Friday, February 29, 2008

The Lost Generation (19)

Pascatragedi

Muhlis Suhaeri
Borneo Tribune, Pontianak
Pergolakan, konflik, kerusuhan atau apa pun namanya, selalu menyengsarakan. Korban pertama dari peristiwa itu adalah rakyat. Ketika terjadi peristiwa demonstrasi, dan diikuti pengusiran terhadap etnis Tionghoa di pedalaman, efeknya sangat terasa. Tak hanya bagi orang Tionghoa, juga bagi warga Dayak.

Tak ada yang jual bahan makanan. Banyak toko tutup dan ditinggal pergi pemiliknya. Kalaupun ada dagangan, hanya garam. Rakyat juga tidak punya uang.

“Berbagai kebutuhan pokok sulit dicari. Kalau pun ada, harganya selangit. Orang Dayak jadi tidak bisa membeli kebutuhan pokok,” kata Fung Jin.

Distribusi barang dan perdagangan dikuasai orang Tionghoa. Ketika mereka terusir, secara otomatis, jalur distribusi barang juga terputus.

Letkol (Pur) H. Zaenal Arifin, mantan Komandan Batalyon 402 Sintang dan Bupati Ketapang menuturkan, pascaperistiwa pengusiran, ada kebijakan dari Panglima Kodam Tanjungpura XII, Brigjen Soemadi.

Pemerintah memberi modal pada para panglima Dayak yang dianggap berjasa, untuk mendistribusikan barang di pedalaman. Para panglima mendapatkan modal usaha. Setelah mendapatkan modal, mereka belanja di Pontianak, lalu dibawa ke pedalaman.

“Tapi, memang dasarnya bukan bakat pedagang, modal yang diberikan ludes,” kata Zaenal.

Semasa Kadarusno menjabat Gubernur Kalbar, juga ada operasi seperti itu. Pemerintah memberi modal pada para panglima, untuk menyuplai barang di pedalaman. Itu pun tidak berhasil.

Zaenal pernah diminta menagih pada para panglima. Dia menjawab, tak tahu perjanjiannya seperti apa. Kalau harus menyita barang, apa yang harus disita? Apa rumah Betang itu? Dia juga tak tahu persis, berapa jumlahnya. Kebanyakan yang diberi modal di daerah timur. Seperti, Lanjak, Nanga Kantuk, dan lainnya.

“Tapi yang jelas, modal itu tidak kembali,” kata Zaenal.

Edward Tenlima atau Edo, mantan Danlanud Singkawang 2, Bengkayang, mengungkapkan, setelah orang Tionghoa mengungsi, pohon sahang atau lada, tidak ada yang merawat. Pohon menjadi mati. Orang Dayak tidak bisa merawat pohon Sahang, karena tidak tahu caranya.

Punari, istri Edo, berkata, “Orang Tionghoa tidak mau mengajarkan cara bercocok tanam. Kalau pun orang Dayak bekerja pada kebun mereka, hanya membersihkan rumput. Berapa takaran memberi pupuk dan merawat Sahang, tidak diberitahu caranya.”

Pada umumnya, orang Tionghoa di Bengkayang, bercocok tanam sahang atau karet, karena tanahnya subur dan ada hujan. Ada ekspor lada. Pascaperistiwa itu, pohon lada sebagian besar mati dan tak terawat.

Dari segi pengamanan dan keamanan, efek dari peristiwa ini cukup lama. “Karena ini menyangkut masalah pengamanan, pemerintah selalu mengirim tenaga pengamanan ke Singkawang,” kata Darius Iskandar.

Dari segi pergaulan sosial, peristiwa itu menorehkan trauma tersendiri. Yohanes J., pemuda dari etnis Tionghoa, dilarang orang tuanya pacaran dengan etnis Dayak. Alasannya, “Kan, orang Dayak yang mengusir kita dari pedalaman.”

Namun, Tyhie Dju Khian atau Petrus, menyikapi lain permasalahan itu. Menurutnya, orang Dayak hanya dimanfaatkan pemerintah. Tapi, pemerintah tidak mau menampakkan dirinya. Orang Dayak tidak akan mau melakukan itu, kalau tidak disuruh.

Petrus juga heran, mengapa peristiwa itu terjadi. Padahal pergaulan orang Tionghoa dan Dayak, sudah seperti saudara. Diantara mereka juga banyak kawin campur. Mereka rukun. Banyak orang Dayak diangkat anak oleh orang Tionghoa. Begitu juga sebaliknya.

“Saya tidak mau mengajarkan anak saya membenci orang Dayak, karena saya tahu peristiwanya seperti apa,” kata Petrus.

Akibat peristiwa itu, bahasa Khek juga mulai berkembang. Dulu, di Pontianak dan Ketapang, bahasa Teochiu digunakan sebagai bahasa perdagangan dan keseharian orang Tionghoa.

Sekarang ini, kalau mau lancar berdagang, orang Tionghoa harus menguasai bahasa Khek juga.
“Orang kalau tidak bisa bahasa Khek, payah berdagang,” kata Thong Fuk Long atau Tomidi.

Pascaperistiwa itu, timbul persepsi baru di masyarakat, pendidikan kurang penting. Orang harus bekerja dan mencari uang. Kalau tak ada uang, orang akan susah dan tidak ada yang menolong. “Karena kalau kita susah, siapa lagi akan menolong mereka dari kesusahan,” kata Wijaya Kurniawan, Ketua Majelis Adat Budaya Tionghoa (MABT) Singkawang.

Namun, ketika ekonomi sudah mulai mapan, perspektif untuk menyekolahkan anak setinggi mungkin, juga mulai muncul. Era 90-an, generasi baru berpendidikan tinggi, mulai muncul dari mantan keluarga pengungsi.

Akibat peristiwa itu, Bengkayang menjadi daerah statis dan tidak berputar ekonominya. Selama puluhan tahun, sebegitu saja. Perdagangan dan jual beli tidak berjalan dengan baik yang menyebabkan banyak hasil rakyat tidak terjual.

Sekarang ini Singkawang dan Kalbar aman, karena masyarakat sudah alami langsung peristiwa hebat, dan efek dari pengusiran yang dilakukan. Sehingga mereka akan berpikir panjang, bila mau membuat ulah atau bertindak anarkis.

Orang Tionghoa yang terusir, karena tidak ada harapan untuk kembali ke daerahnya, mereka merantau ke berbagai daerah di Jakarta, Singapura, Hongkong, RRC dan lainnya. Bahkan, di Jembatan Lima dan Jembatan Besi, Jakarta, merupakan daerah sentra pengungsi dari Kalbar.

Pada tahun 1970-an, banyak yang bekerja di PT Perkayuan di hutan Kalimantan. Jadi, mereka semua mencari hidup walaupun dengan tanpa pengalaman di bidang yang mereka terjuni.

Akibat peristiwa ini, banyak perempuan Tionghoa kawin dengan lelaki Taiwan atau Hongkong. Perkawinan itu tidak lepas dari kemiskinan yang timbul, karena efek dari pengungsian yang terjadi.

XF Asali, sesepuh dan tokoh Tionghoa di Pontianak bercerita, para pengungsi semula ditampung di semua yayasan Tionghoa. Yayasan biasanya mengurusi masalah sosial dan pemakaman.

Tahun 1967, ada sekitar 25 yayasan di Pontianak. Yayasan mendapatkan sumbangan sukarela dari anggotanya. Dengan uang itulah, yayasan membiayai para pengungsi. Ketika itu, ia harus menerima pengungsi, masak air, dan menyediakan berbagai makanan.

Para pengungsi menempati berbagai pabrik yang tidak lagi beroperasi. Seperti, pabrik Hemmes di Jalan Pelabuhan atau Yos Sudarso. Pabrik itu merupakan pabrik karet tapi sudah bangkut. Pabrik itu dikelola PT Hutan Raya. Daerah sepanjang pelabuhan merupakan areal pabrik semua. Banyak juga rumah atap untuk gudang karet di Siantan, digunakan tempat tinggal para pengungsi.

Orang Tionghoa di Sungai Raya, kebanyakan pengungsi dulunya. Karena itu, mereka pakai bahasa Khek dari Singkawang. Daerah Siantan hingga Parit Jepang, Jungkat, juga tempat pengungsi. Dari Pontianak banyak menyebar ke Sungai Raya. Yang ketika itu masih berupa hutan.

Pengungsi tak lama tinggal di Yayasan. Sekitar dua bulan, mereka sudah pada pindah ke berbagai tempat di sekitar Pontianak. Wali kota saat itu mengeluarkan peraturan, bahwa pengungsi harus segera pindah dari kota karena memperburuk kondisi kota.

Harga tanah di Sungai Raya masih Rp 20 per meter, pada 1967/1968. Tapi orang tidak mau beli. Nah, para pengungsi ini menempati daerah tersebut. Mereka kerja di pabrik yang banyak terdapt di sana.

Ketika itu ada bantuan dari PBB. Tapi, banyak juga bantuan yang tidak sampai ke pengungsi. “Banyak yang dikorupsi,” kata Asali.

Kondisi sosial Pontianak saat itu, sebenarnya aman-aman saja. Masyarakat kalau tidak dipengaruhi oleh elit politik atau kelompok tertentu, tidak akan bergerak. Yang namanya orang dagang, tentu mereka butuh aman saja.

Banyak anak kecil dibawa ke yayasan. Akhirnya, mereka ikut ke keluarga lain, menjadi anak angkat.

Pada masa ini, menandai berdirinya induk Yayasan Bhakti Suci. Yayasan ini didirikan para tokoh masyarakat yang peduli pada kondisi saat itu. Yayasan Bhakti Suci didaftarkan melalui akta notaris No. 42, tanggal 19 Maret 1966, di hadapan Notaris M. Damiri di Pontianak.

“Tujuan dari pendirian yayasan ini, membantu pemerintah mengusahakan penerbitan, pengaturan, penggunaan serta perawatan makam-makam di wilayah Kodya Pontianak, khususnya. Dan wilayah Kalimantan Barat, pada umumnya,” kata Asali.

Pertama kali didirikan, Yayasan Bhakti Suci dipimpin dr. H. Soegeng. Wakil Ketua, Slamet Wariban. Sekretaris I, Aloysius Djais Padmawidjaja. Sekretaris II, Raden Slamet Prajitno. Bendahara I, Ng Ngiap Liang. Bendahara II, Ibrahim Saleh dengan pembantu teknis Ir. Ketut Kontra, Mas Soedarjo, Roostamiji, Then Hon Ciap. Pembantu umum, Andi Muis Sunusi, Petrus Anjin, Drs. Achmaddin, Donifansius Manurung, Syarif Sjamsudin, Nio Peng Hian dan Masharum.

Yayasan Bhakti Suci didirikan oleh orang dari beragam etnis dan suku. Ini menunjukkan, adanya hubungan yang sebenarnya harmonis antara semua suku yang ada di Kalbar, saat itu.

Esidorus, generasi Dayak terdidik dari Bengkayang, mengemukakan pendapatnya tentang peristiwa itu. Ketika itu, banyak kelemahan di masyarakat, karena SDM rendah, sehingga mudah terprovokasi. Masyarakat hanya menerima informasi dari satu arah saja.

Bagi generasi muda, ada dua hal yang bisa dipetik dari peristiwa 1967. Secara positif, banyak hal bisa belajar dari kesalahan masa lalu. Ketidaktahuan masyarakat saat itu, sehingga muncul tragedi kemanusiaan. Masyarakat termakan isu yang tidak benar. Sisi negatif, dampak secara psikologis dan menyeluruh, khususya bagi orang Tionghoa yang kebetulan menjadi korban. Ada perasaan sedih, kehilangan, dan dampak lainnya.

Menurutnya, sekarang ini, tak banyak generasi muda tahu tentang peristiwa ini, dan akar penyebabnya. Kalaupun tahu, mereka biasanya tak mau menyalahkan suku Dayak. Mereka melihat bahwa kedua suku menjadi korban politik. Masyarakat di akar rumput dimanfaatkan, sehingga mereka menjadi korban.

“Sekarang ini, saya rasa tidak ada pengaruh yang besar. Tidak ada dendam. Peristiwa itu seolah-olah tidak pernah terjadi,” kata Esidorus.

Mereka ini termasuk generasi ketiga, sejak peristiwa itu terjadi. Hal ini akan menjadi dongeng bagi generasi ketiga, karena tidak terjadi secara langsung. Artinya, mereka melihat segi positifnya. Peristiwa itu mengakibatkan nyawa orang lain meninggal. Hal itu tentu saja melanggar HAM.

“Sekarang ini kalau ada penyesalan, kita bisa memahami diri. Sejarah akan kita jadikan pelajaran,” kata Esidorus.

Generasi muda sadar bahwa hal ini tidak boleh diperpanjang dan ini menjadi catatan di hari depan. Ia berharap, generasi muda tidak boleh melupakan sejarah. Dari sejarah dapat mengambil nilai-nilai positif, dan akan menjadi bahan evaluasi dan bisa menjadi catatan, sehingga menjadi lebih baik.

“Kedepannya, masyarakat harus lebih hati-hati dalam menanggapi berbagai macam isu,” kata Esidorus.

Pada akhirnya, aku harus menutup tulisan bersambung ini dengan mengucapkan terima kasih kepada Perhimpunan Pengembangan Media Nusantara (PPMN). Yang telah memberi kesempatan mendapatkan pendidikan dan memberi dana liputan, sehingga bisa meliput ke Pontianak, Singkawang, Bengkayang dan Kuching.

Semoga, kita semua bisa bercermin dari peristiwa yang pernah terjadi. Sejarah tak perlu diratapi. Sejarah menjadi cermin dalam melangkah. Menuju Indonesia lebih baik. Penuh kesetaraan, plural dan saling menghargai.(selesai)□

Edisi cetak ada di Borneo Tribune, 28 Februari 2008
Foto Sugeng Hendratno

Baca Selengkapnya...

Wednesday, February 27, 2008

The Lost Generation (18)

Tugu Misteri

Muhlis Suhaeri
Borneo Tribune, Pontianak
Angin berembus menerbangkan ribuan benang sari. Membawanya pada sebuah perjalanan dan kembara. Pada sebuah putik sari yang beruntung, dia menempelkan dirinya. Menghasilkan penyerbukan dan terjadi pembuahan. Jadilah, sebuah bibit dan generasi baru.

Sore itu, angin menjadi penguasa pada sebuah ladang jagung yang menghampar. Hembusannya menggoyangkan dahan jagung. Menjadikannya seperti manusia yang sedang bergerak. Melambai dan meminta orang untuk mendekat. Faktanya, lambaiannya tak dijawab mereka yang melihat. Perladangan itu, tetap saja sepi dan sunyi.


Tak berapa lama, langit mulai pekat. Gerimis turun. Alam seolah menjawab dan menyambut, beberapa orang yang datang dan melintas perladangan itu. Inilah, sebuah sore di persawahan dekat Lapangan Udara Singkawang 2, Bengkayang.

Persawahan itu termasuk wilayah Lanud Singkawang 2. Dulunya, jalan setapak ini merupakan jalan utama ke wilayah Lanud. Dengan dibangunnya pintu masuk baru yang sudah teraspal, jalan ini tak digunakan lagi. Lama-lama semakin menyempit dan hanya menyisakan jalan setapak saja.

Di sawah itu ada dua tugu dari semen. Tugu pertama sudah mulai runtuh. Batu dan koral berserakan di samping tugu utama. Tinggi tugu sekitar dua meter. Lebar satu meter. Ujungnya mengerucut. Tugu kedua masih berdiri dengan kokoh. Jarak kedua tugu sekitar 50 meter.

Tugu itu di tengah sawah yang berjarak sekitar 1 km dari jalan raya Sanggau Ledo, Bengkayang. Menurut Durani, 79 tahun, Warga Lumar, jalan raya Bengkayang hingga ke Sanggau Ledo, mulai dibangun pada 1906, oleh Sultan Sambas, Syafiudin.

Sebagian besar penduduk di daerah ini, tahu tentang keberadaan monumen itu. Tugu menjadi cerita dari mulut ke mulut, tentang momen dan sebuah peristiwa yang pernah terjadi.

Orang menyebut tugu itu, sebagai kuburan PGRS-PARAKU. Di sana pernah ada enam anggota PGRS-PARAKU tertembak dalam pertempuran dengan tentara. Mereka dimakamkan dalam satu lubang. Sebagai penanda, di atasnya didirikan tugu.

Ketika berada di tempat itu, seorang anak muda yang menjadi tukang ojek, kebetulan melintasi persawahan. Dalam perbincangan sebentar itu, dia juga mengetahui keberadaan dan asal usul tugu itu.

“Oh, kuburan orang-orang PGRS itu, ya. Itu,” katanya, sambil menunjuk tugu warna hitam di tengah persawahan.

Melihat tugu hitam itu, ingatan kita langsung dibawa dan tertuju pada, produk budaya zaman prasejarah. Saat kebudayaan Megalitikum atau batu besar, membuat Menhir atau tiang batu didirikan sebagai tanda dan peringatan, bagi arwah nenek moyang dan leluhur.

Melihat tugu dan orang-orang yang dimakamkan di sana, mengingatkan aku pada desa-desa kecil di Jawa. Banyak dari kebun atau persawahan menjadi tempat kuburan massal bagi anggota atau simpatisan PKI.

Mereka yang dianggap “bermasalah” dibawa setiap malam dengan truk. Setelah itu, tak kembali lagi. Untuk menutup sejarah, daerah itu dikatakan “angker”. Berbahaya bila didatangi. Bisa menimbulkan celaka dan petaka.

Itulah cara bangsa kita menutup sejarah. Menyelimuti berbagai peristiwa dan fakta dengan mitos. Sehingga menghilangkan nalar dan kemampuan analisis generasi selanjutnya, pada berbagai realitas yang pernah terjadi.

Faktanya, di tanah air yang katanya dihuni Bangsa yang Agung dan Berbudaya ini, jutaan orang dikubur tanpa nisan. Jutaan orang mati dan dikuburkan tanpa prosesi pemakaman. Jutaan orang hilang tak tentu rimbanya.

Mereka hilang dalam berbagai peristiwa besar. Seperti, penumpasan PKI, PGRS-PARAKU, peristiwa Talang Sari, Tanjung Priok, DOM Aceh, kerusuhan antarkomunitas di Sanggau Ledo, Sambas, Sampit, Poso, Ambon, dan lainnya.

Cerita tentang tugu, aku dapatkan pertama kali, ketika berhenti untuk makan di sebuah warung dekat Lanud 2 Singkawang. Dari perbincangan dengan beberapa orang di warung, muncul cerita tentang tugu.

Aku menemui orang tua yang cukup lama tinggal di sana. Namanya Suminah, 95 tahun. Aku memanggilnya Mbah Suminah. Pendengarannya masih bagus. Cara bicaranya jelas sekali. Dia menjadi saksi dari beberapa peristiwa yang pernah terjadi di Sanggau Ledo. Perempuan itu lahir pada 1919 di Yogyakarta.

Ia ke Kalimantan Barat pada 1945. Perjalanan menggunakan kapal barang dari Jakarta ke Pontianak. Butuh waktu empat hari. Dari Jakarta langsung menuju Singkawang. Setelah itu, naik bis Taiso menuju Sanggau Ledo.

Suminah rumahnya dekat Lanud 2 Bengkayang. Jauhnya, tak lebih dari dua kilometer. Kebetulan, dia bekerja di kantin Lanud. Ketika gudang senjata AURI diserang oleh PGRS, sambungan telepon diputus PGRS.

Setelah peristiwa itu, setiap malam orang berjaga. Semua jadi tak aman. Rumah di sekitar lapangan terbang, diperintahkan membuat benteng pertahanan dari karung pasir sebagai benteng. Karung diletakkan menggelilingi rumah masing-masing.

Ketika peristiwa pengusiran terhadap orang Tionghoa, dia menjadi saksi dari peristiwa itu. “Banyak orang disuruh keluar rumah tanpa membawa barangnya,” kata Suminah.

Ada juga orang Tionghoa menjual barangnya ke dia. Orang Tionghoa tahu, selain bekerja di dapur tentara, Suminah juga jual beli barang secara kredit, kepada penduduk di sekitar itu.

Ada tiga mesin jahit ditawarkan padanya. Dia membelinya. Dua dijual lagi, dan satu digunakan sendiri. Merek mesin jahitnya, Singer. Mesin itu dibawa dengan gerobak yang dihela dengan sapi.

Dulunya, orang Tionghoa biasa bertani, berkebun sahang, karet, dan memelihara babi. Dari Sungai Sanggau Ledo, semua komoditi tersebut langsung dibawa ke Sentete, Paloh, dan Sekura, Kabupaten Sambas. Barang diangkut melalui jalur sungai Sanggau Ledo.

Seperti juga tugu yang berada di tengah sawah itu, Sumirah juga menjadi saksi dari peristiwa ethnic cleansing terhadap orang Madura pada 1997. Banyak yang terbunuh.
Setiap hari ada yang dijagal. Banyak yang terbunuh. Ada mayat tak lagi utuh. Hilang kepala, jeroan, hati dan lainnya. Dia berdoa, peristiwa 1967 atau 1997, tak terjadi lagi.

"Wis nak, mugi-mugi mboten wonten kedadian kados niki maleh. Ngeri....Ngeri,” kata Mbah Suminah.(bersambung)□

Edisi cetak ada di Borneo Tribune, 27 Februari 2008
Foto by Sugeng Hendratno

Baca Selengkapnya...

Tuesday, February 26, 2008

The Lost Generation (17)

Tapol

Muhlis Suhaeri
Borneo Tribune, Pontianak
Dia terlihat menjaga jarak, ketika kami duduk satu meja di ruang tamu. Ruangan itu terlihat sederhana. Hanya ada beberapa kursi plastik. Sebuah bingkai foto Bung Karno, terpasang rapi di tembok.

Suasana menjadi cair, beberapa menit kemudian. Dia sangat berhati-hati bicara. Pengalaman masa lalu, menorehkan trauma.

Namanya A Ming. Wajahnya tirus dan tegas. Ada karakter. Guratan dan kerutan waktu menanda pada kulitnya. Sebuah kaca mata nangkring di hidungnya. A Ming mantan tahanan politik (tapol). Dia dianggap anggota PGRS, dan pernah dipenjara 10 tahun. Tak ada pengadilan resmi bagi dirinya.

A Ming tinggal di Singkawang. Dia termasuk intelektual. Ia fasih berbahasa Indonesia, sejak muda. Artinya, dia mengenyam pendidikan sekolah pada usia muda. Di Singkawang, orang seusianya jarang fasih berbahasa Indonesia. Kalaupun bisa, baru sekarang-sekarang ini.


Dia mengikuti perkembangan dan berita terkini. Saat berbicara tentang Sukarno, dia terlihat antusias sekali. Matanya berbinar.

Kami berbincang beberapa topik. Ketika berbincang mengenai konfrontasi Indonesia dan Malaysia, dia memberikan argumentasinya. Menurutnya, peristiwa itu terjadi, karena Presiden Sukarno berusaha membendung bahaya neo kolonialisme (Nekolim) atau penjajahan gaya baru. Yang dipelopori negara-negara Barat. Seperti, Amerika, Inggris, dan lainnya. Karenanya, Bung Karno berafiliasi ke negara-negara komunis. Maka, dibentuk poros Jakarta-Hanoi-Pyongyang-Beijing.

A Ming lahir dan besar di Sebaluan, Kecamatan Selakau, Kabupaten Sambas. Sebaluan merupakan hulu Sungai Selakau. Di perkampungan itu, ada sekitar 1.000 orang Tionghoa. Di sana juga ada orang Dayak. Mereka hidup berdampingan dan rukun.

Sebaluan sering dilewati rombongan gerilyawan PGRS. Penduduk tak bisa melarang. Mereka juga tidak menganggu penduduk. Di daerah ini, PGRS melakukan infiltrasi. Mereka membaur dengan penduduk yang sebagian besar orang Tionghoa.

Ketika itu, ada Partai Komunis Indonesia (PKI). Banyak juga pengikutnya. Siapa saja anggota PGRS yang masuk ke Indonesia, akan bergabung dengan PKI.

Ketika gejolak sedang terjadi, A Ming berusia 20 tahun. Dia diajak Lo Pan, biasa dipanggil Kakak ketiga. Kakak Pertama adalah Sofyan.

Sebaluan termasuk daerah yang didatangi massa demonstrasi. Rombongan orang Dayak memakai ikat kain merah di kepala. Mereka membawa mandau dan senapan lantak.

“Waktu pengusiran, orang-orang PKI mengajak warga kampung untuk ikut bersama PGRS ke hutan,” kata A Ming.

Hutan tak jauh dari kampung itu. Namun, banyak juga warga memilih mengungsi ke Sambas. Jarak Sambas dan Sebaluan sekitar 70 km.

Mereka yang mengungsi ke hutan beranggapan, kondisi akan kembali normal selama beberapa minggu. Mereka yakin itu. Zaman Jepang juga seperti itu kondisinya. Ketika Jepang datang, mereka menyingkir ke hutan. Setelah 15 hari, dan kondisi dirasa aman, mereka balik ke kampung lagi. Mereka berpikir, paling banter dua minggu bersembunyi di hutan, setelah itu kembali ke kampung lagi. Ternyata, setelah ditunggu beberapa minggu, mereka tidak bisa kembali lagi ke kampung.

A Ming ikut rombongan masuk ke hutan. Dia di hutan selama setahun lebih. Makan apa saja. Banyak juga mendapat makanan dari orang kampung di sekitar hutan.

Pada 1968, tentara Kujang 330 melakukan operasi di sekitar Sambas hingga ke Bengkayang. A Ming ditangkap di Sepang, Kecamatan Lumar, Kabupaten Bengkayang. Sepang sekitar 4 jam berjalan kaki dari Sebaluan.

Dia ketemu patroli tentara yang melakukan operasi pagar betis dan menyisir semua wilayah tersebut. Ketika tertangkap, kondisinya kurus sekali. Dia ditangkap di hutan bersama seorang temannya. Saat ketemu tentara, dia ditanya.

“Kamu anggota PGRS?”
“Ya.”

Kalau tak mengaku, akan dipukul. Karenanya, dia tak mendapat pukulan. Dari Sepang, dia dibawa ke Sebangkau. Setelah itu dibawa ke Selakau. Dari Selakau, dibawa ke Kodim Singkawang. Ketika itu, Kodim berada di Pasiran, Singkawang.

Selesai menjalani interogasi, dia langsung dibawa ke penjara Singkawang. Dari penjara Singkawang, dipindah ke penjara di Sungai Raya, Kabupaten Kubu Raya. Sekitar empat tahun, dia menjalani penjara di Sungai Raya. Dari sini, terus dipindah ke penjara Ketapang, selama enam tahun.

Ketika bertemu dengan Letkol Harsono Subardi, Eks Biro Intel POM Kodam Tanjung Pura, aku bertanya tentang kondisi para Tapol dan kondisi ketika itu.

Harsono adalah orang yang menangani para mantan anggota PGRS-PARAKU. Dia bertugas menginterogasi dan mendapatkan berbagai informasi dari para mantan gerilyawan ini. Tugas Harsono, membantu detasemen dari intelijen Kodam. Tugasnya khusus operasi intelijen saja, dan tidak dalam pertempuran.

Dari beberapa narasumber tentara yang diwawancara, mereka punya satu persepsi sama tentang PGRS-PARAKU. Para gerilyawan ingin menjadikan Kalbar sebagai satu provinsi RRC. Itu menurut satu dokumen yang ditemukan dari penangkapan anggota PGRS-PARAKU. Dalam rangka mencapai tujuan itu, mereka bersatu dengan PKI Gaya Baru yang dipimpin Sofyan.

Ketika tertangkap, anggota PGRS-PARAKU dimasukkan ke camp di Sungai Raya. Jumlahnya ada sekitar 2.000 orang. Diantara yang tertangkap, banyak juga perempuan.
Dalam pemeriksaan, dia melarang TNI menyiksa, memukul dan menggunakan alat listrik, untuk memeriksa tawanan. Sebagian tentara ada yang protes.

“Mereka ini kan komunis?”
“Ada, ndak UU dari pemerintah yang memperbolehkan menyiksa tawanan? Kalau ada, silakan."

Karenanya, Harsono tak memperbolehkan tahanan disiksa. Bahkan, dia pernah diboikot para tentara, supaya tidak melakukan pemeriksaan terhadap tahanan. Ketika pemeriksaan, para tawanan menurut padanya dan tidak melawan.

Kalau memeriksa tawanan perempuan, dilarang pada malam hari. Namun, ada juga tawanan perempuan dilecehkan. Ada Kopral CPM dikeluarkan dari dinas militer, karena melecehkan tawanan atau memerkosa. Ada juga tawanan yang dikawini. Contohnya, tawanan perempuan yang menjadi istri Mayor Romli. Sekarang ini, Romli sudah meninggal. Jabatan terakhir sebagai Wakil Asisten Intel (Waasintel) Kodam XII Tanjungpura. Pangkat terakhir Letnan Kolonel.

Harsono belajar bahasa Tionghoa Khek, kalau memeriksa tawanan. Kosakata yang umum-umum saja dan biasa dipakai. Misalnya, namanya siapa? Rumah di mana? Umur berapa? Sekarang ikut siapa? Namun, terkadang juga ada penerjemah. Yang menjadi penerjemah, biasanya orang Tionghoa yang sekolah di Yayasan Katolik.

Dalam memeriksa tawanan, dia biasa mengajak tawanan bicara sambil minum kopi. Dengan cara lembut dan tanpa kekerasan, para tawanan malah bicara semua tentang PGRS-PARAKU. Siapa saja yang menjadi anggotanya, organisasinya, dan lainnya. Banyak juga anggota PGRS-PARAKU mencoba menyusup ke ABRI. PKI yang dipimpin Sofyan, salah satu tugasnya adalah masuk ke unsur-unsur militer. Ada sebagian tentara yang ikut dan termasuk anggota PKI.

Suatu ketika, Harsono jalan-jalan ke Glodok, Jakarta. Dia dipanggil orang-orang Tionghoa di pertokoan itu.
“Pak Harsono, sini.”
“Maaf, siapa ya?”
“Saya kan, orang camp. Mari kita makan bersama.”

Ketika ditanya tentang peristiwa itu dengan konstelasi politik yang terjadi, Harsono menjawab tidak tahu. “Sebagai tentara CPM, tugas saya mengawasi disiplin para prajurit,” kata Harsono.
Menurutnya, selama mantan gerilyawan PGRS-PARAKU ditahan, pemerintah memperlakukan mereka dengan baik.

A Ming, mengemukakan pengalamannya selama di penjara. Dia memang tak selalu di dalam sel. Bahkan, sering bekerja di kebun atau ladang di sekitar penjara. Dari kerjaan itu, dia mendapat bayaran dari tenaga yang dikeluarkan.

Menjelang akhir pertemuan, aku penasaran dan bertanya padanya.
“Kenapa mau ikut dengan PGRS ke hutan?”
“Karena Sukarno baik dengan orang Tionghoa.”(bersambung)□

Edisi cetak ada di Borneo Tribune, 26 Februari 2008
Foto by Sugeng Hendratno

Baca Selengkapnya...

Monday, February 25, 2008

The Lost Generation (16)

Generasi yang Hilang

Muhlis Suhaeri
Borneo Tribune, Pontianak
Bagaimana rasanya hidup tanpa tahu asal dan usul kita? Bagaimana rasanya hidup tanpa sosok dan figur orang tua? Padahal, awal dari kehidupan seorang anak adalah, meniru dan mengamati orang paling dekat dalam hidupnya: orang tua. Bagaimana rasanya berada dalam satu lingkungan yang dianggap beda secara fisik?

Aku menemukan jawaban itu, pada diri Moy Tang, 41 tahun. Moy Tang punya tiga anak. Yang paling besar kuliah di Yogyakarta. Suaminya PNS, penyuluh pertanian pada Dinas Pertanian Kabupaten Bengkayang. Namanya, Gaduh. Dia orang Dayak Bekatik. Gaduh baru saja menyelesaikan kuliah S2-nya. Dia membuka toko pupuk tanaman dan berbagai obat-obatan pertanian. Moy Tang yang mengelola dan menjaga toko itu.


Moy Tang bertubuh sedang. Kulitnya putih bersih. Ia mengenakan kaca mata. Di balik kaca mata itu, sepasang mata sipitnya terlihat dengan jelas. Sorot mata itu sendu. Meski selalu tersenyum ketika berbicara, aku merasakan, ada satu keterasingan pada dirinya. Pada sebuah sejarah dan asal usulnya.

Siang itu, aku menemuinya di toko pupuk dekat jembatan pasar Bengkayang. Dia sedang mengatur anak buahnya, mengangkut beberapa sak pupuk untuk dibawa ke mobil pengangkut.

Moy Tang anak asuh Lengken. Lengken beberapa kali mengganti nama Moy Tang. Ketika kecil, dia sering sakit, sehingga namanya diganti. Nama Moy diambil dari nama Amoy. Sebutan bagi perempuan Tionghoa. Tang, memudahkan untuk dipanggil saja. Moy Tang.

Sejarah keberadaan Moy Tang, aku dengar dari Lengken. Sulit untuk membujuknya bercerita. Setelah diberi berbagai penjelasan tentang arti dan pentingnya cerita itu, bagi generasi sekarang, dia mau bercerita. Lengken khawatir, cerita itu bakal membuat Moy Tang sedih. Ya, begitulah sikap sayang pada anak asuhnya.

Lengken punya 10 anak. Namun, yang masih hidup ada empat orang. Lengken ikut membantu tentara. Mengangkut berbagai perbekalan, beras senjata dan lainnya. Dalam suatu perjalanan dari Bengkayang ke Samalantan, rombongannya ketemu bayi berusia sekitar satu tahun.

Hari menjelang sore. Di hutan yang termasuk wilayah Maya Sopa, rombongan terhenti. Ada sesuatu di jalan. Merasa ada yang janggal di hutan, rombongan itu saling bertanya.

“Itu anak rusa mungkin?”
“Itu bukan anak rusa. Itu anak manusia.”

Setelah didekati, ternyata anak manusia. Melihat ada anak manusia di hutan, mereka mulai saling silang pendapat. Ada yang minta anak itu dibunuh. Namun, Lengken tidak mengizinkan. Dia malah ingin membawa anak itu ke rumahnya.

“Jangan piara anak Tionghoa. Apalagi kamu masih bujang,” kata teman yang lain.

Ada anggapan, orang bujangan mengambil anak, akan sulit dapat jodoh. Logika sederhananya, orang tentu akan pikir-pikir, kawin dengan orang sudah pernah menikah, atau punya anak.
Lengken membawa anak itu pulang. Lehernya sempat ditempeli Mandau oleh temannya. Hendak dibunuh. Dia bersikeras membawa anak itu.

Sampai di Dusun Molo, Moy Tang dititipkan pada keluarga Alex, saudara Lengken. Setelah Lengken berkeluarga dan Alex meninggal, Moy Tang dibawa ke rumahnya.

Lengken tidak membedakan anak sendiri dengan anak angkat. Dia mengurus Moy Tang dengan baik. Sangking sayangnya pada Moy Tang, dia tidak ingin menyekolahkan anaknya hingga pendidikan tinggi. Khawatir kalau nanti tahu kondisi sebenarnya, Moy Tang akan pergi dari rumahnya. Dan, tak mengakui dia sebagai orang tua angkat.

Ketika kecil, Moy Tang sering diolok teman sepermainan.
“Eh, kau tuh anak Tionghoa. Mana gak orang mau berkawan.”

Moy Tang tegar mendengar olokan dari temannya. Ketika berumur enam tahun, dia mulai tahu, bahwa dirinya bukan anak kandung dari Lengken. Akhirnya, dia tanya pada Lengken.

“Orang tua ada di mana? Diejek terus oleh teman main. Disebut sebagai Tionghoa sesat,” kata Moy Tang.
“Itukan olok-olokan dari teman saja. Kamu tidak boleh sedih dengarnya,” kata Lengken.

Pendidikan formal masih jarang. Sekolah belum ada. Kalaupun ada, jauh dari kampung tersebut. Sekolah non formal dilakukan dengan memanggil guru, dan mengajar mereka sekolah di ladang. Belajar hitung dan membaca. Bayarnya dengan bekerja di ladang atau mengambil rumput.

Gurunya bernama Safin. Kelas satu umur 15 tahun. Lucunya, karena sudah pada remaja, gurunya pun ada “rasa” dengan sang murid.

Beranjak dewasa, Moy Tang mencari orang tuanya ke Singkawang dan Pontianak. Lengken menyusul dan memintanya pulang. Moy Tang pernah empat kali ke Singkawang mencari orang tuanya.

Dia terus berdo’a, supaya mendapatkan jodoh orang baik. Dan, doanya terkabul. Sekarang ini, dia suaminya baik sekali. Bersama sang suami, dia juga mencari informasi tentang keberadaan orang tua kandungnya. Dia berharap, orang tuanya masih hidup.

Pernah ada orang di Singkawang datang menemui dan bertanya, marganya apa. Tentu saja dia tidak bisa menjawab. Orang itu juga tahu, nama orang tua yang mengangkatnya.

Anak Moy Tang yang beranjak dewasa juga menanyakan keberadaan keluarganya.
“Manalah betul, kakek dan nenek kita nih? Nenek dan kakek di mana?”
“Nenek di kampunglah.”
“Nenek kok hitam.”
“Om itu hitam, mama putih.”

Apa yang paling dirasakan dan membuatnya sedih, tatkala orang merayakan Natal atau keluarga sedang berkumpul. Dia merasa sedih, karena tak bisa kumpul dengan keluarga biologisnya.

Moy Tang pernah sakit, hingga dua bulan tidak bisa bangun dari tempat tidur. Suami dan anak paling besar, merawatnya dengan telaten. Ia merasa sedih, karena sering marah pada keluarganya. Penyakit darah tinggi membuatnya sering marah. Sudah dua tahun ini, hidupnya tergantung dengan obat. Beruntung, sang suami bisa memahami kondisinya.

Ketika sedang sakit-sakitan, dia ingin mendapatkan kesembuhan. Suatu hari, dia pernah bermimpi, ketemu dengan orang tua yang menyarankan, untuk sembahyang di Pekong. Kemudian, dia bertanya dengan baik-baik pada sang suami.

Suami setuju, dia sembahyang di Pekong, kalau memang hal itu bisa membawa perubahan dan menentramkan. Kemudian, Moy Tang mulai bertanya pada temannya, orang Tionghoa. Bagaimana tata cara sembahyang di Pekong.

Sekarang ini, dia hanya ingin menyekolahkan anak-anaknya. Yang paling besar sudah kuliah di Yogyakarta. Moy Tang sering mengantarkan anaknya ke Pontianak. Ada pengalaman lucu, ketika mereka makan dan minum di sebuah kedai di Singkawang. Sang pemilik kedai berbicara dengan bahasa Tionghoa. Namun, Moy Tang tak bisa menjawabnya. Si pemilik kedai heran.

“Orang Tionghoa kok tak bisa bahasa Tionghoa?”
“Saya hidupnya dengan orang Dayak Bekatik,” jawab Moy Tang.
Moy Tang berbahasa Dayak Bekatik dalam kesehariannya.

Saat aku bertanya, hal apa yang paling istimewa dalam hidupnya sampai sekarang? Moy Tang merasa belum ada yang istimewa dalam hidup.

“Kalau saya remaja dulu, hal istimewa adalah, dapat suami dan keluarga yang baik. Sekarang ini, ketemu keluarga, mungkin hal yang paling istimewa dalam hidup,” kata Moy Tang.

Moy Tang masih menyimpan asa, tentang keluarga kandungnya. Sebelum meninggal, dia ingin bertemu kedua orang tua, adik atau kakak, kalau memang mereka masih hidup. Dia mendengar dari orang kampung, keluarganya masih hidup.

“Kalaupun mereka meninggal, di mana makamnya,” kata Moy Tang.

Aku tak kuasa lagi bertanya atau memandangnya. Matanya sembab dan berkaca-kaca. Dari sudut matanya, bulir air mata mulai menetes. Aku terbawa suasana. Terbayang wajah gadis kecilku yang baru berumur satu tahun, Cori Nariswari Mernissi.

Aku membatin, “Nak, ayah, akan menjagamu dengan sebaik-baiknya.”(bersambung)□

Edisi cetak ada di Borneo Tribune, 25 Februari 2008
Foto by Muhlis Suhaeri

Baca Selengkapnya...

Sunday, February 24, 2008

The Lost Generation (15)

Diselamatkan, Dipelihara, dan Diperistri

Muhlis Suhaeri
Borneo Tribune, Pontianak
Dia biasa dipanggil Lilis. Nama sebenarnya, Cin Tiam Moy, 56 tahun. Lilis kelahiran Sempalai, Kecamatan Tebas, Kabupaten Sambas. Kehidupan yang rigid dan keras menempa hidupnya. Warna kulitnya tak lagi putih dan bersih. Sinar matahari melengaskan warna kulitnya. Saban hari ia bertani dan menanam padi.

Ia juga bercocok tanaman budi daya. Di kebun belakang rumahnya, Lilis menanam pisang, ketela, dan tanaman pangan lainnya. Pekerjaan itu dilakukannya bersama sang suami, Gubang. Lilis juga membuka kedai kopi di terminal Bengkayang. Kedai itu lebih banyak ditunggu dan dijaga sang anak.

Gubang lelaki penuh perhatian dan bertanggung jawab. Posturnya kecil. Dia berasal dari etnis Dayak Bekatik di Bangkayang. Lilis dan Gubang tinggal di Lumar, Bengkayang. Keberadaan Lilis di Lumar, punya kisah dan sejarah tersendiri.


Lilis anak paling besar dari lima bersaudara. Tiga perempuan dan dua lelaki. Mereka tinggal bersama dua orang tuanya di Sempalai. Ayahnya bernama Cin Hin Lung. Ibunya bernama Cang Moi Kie. Dua orang tua, dua anak lelaki dan tiga anak perempuan. Lilis baru berusia 11 tahun. Adik lelakinya berumur sekitar sembilan dan delapan tahun. Adik Ce Tu, tujuh tahun. Adik ketiga, Ce Moy berusia lima tahun.

Jarak satu rumah dengan lainnya berjauhan. Terpisah oleh kebun. Tempat tinggalnya menjorong ke dalam dan jauh dari jalan raya utama. Mereka hidup dari bercocok tanam.

Keluarga itu tak tahu, bakal ada demonstrasi. Rumah mereka berjauhan dengan para tetangga. Menjelang terjadinya peristiwa, tetangga mereka di sekitar jalan raya Tebas, sudah mengungsi ke Sambas. Kampung itu telah sepi. Ditinggalkan penghuninya.

Keluarga ini berangkat dengan jalan kaki menuju pasar Tebas. Di pasar ini, banyak komunitas etnis Tionghoa berdiam. Mereka hidup dari perniagaan.

Ketika orang Tionghoa akan diusir, ada juga yang hendak melawan. Mereka membuat berbagai perangkap, pelantik. Kalau tidak bisa melawan, mereka akan lari ke hutan.

Mereka berangkat tujuh orang menuju pasar Tebas. Sebelum mencapai pasar Tebas, mereka ketemu rombongan demonstrasi di jalan raya menuju pasar Tebas. Para demonstran berjumlah sekitar 800 orang. Mereka berasal dari Lumar dan sekitarnya.

Keluarga itu terkepung. Lilis dan dua adik perempuannya diberi selendang kain merah di lehernya. Ini sebagai tanda, mereka dilindungi dan tidak boleh diganggu. Orang tua dan dua saudara lelakinya ditangkap. Mereka dibawa ke pinggir sungai Perasa, Tebas. Di pinggiran sungai inilah, keempatnya dieksekusi. Lilis tahu cerita itu dari para saksi mata.

Setelah itu, rombongan demonstrasi melanjutkan perjalanan. Jarak Sempalai ke pasar Tebas sekitar 5 kilometer. Lilis dan dua adiknya dititipkan di perkampungan terdekat.

Rombongan demonstrasi melanjutkan penyerangan ke pasar Tebas. Rencana penyerangan sekitar jam lima pagi. Namun, sekitar jam empat pagi, jalanan menuju pasar Tebas telah dipenuhi ratusan tentara bersenjata lengkap.

“Karena tak mau mundur, tentara mengeluarkan tembakan peringatan ke udara. Ketika demonstran masih berusaha maju, tembakan diarahkan ke tanah,” kata Gubang, 54 tahun, warga Lumar yang ikut demonstrasi.

Sehari berikutnya, rombongan demonstran kembali ke Bengkayang. Lilis dan dua adik perempuannya dijemput. Mereka dibawa ke Lumar, Bengkayang.

Dalam demonstrasi itu, tentara menahan orang yang dianggap pimpinan demonstrasi. Namanya Petrus Kate. Pemerintah menangkap dan menghukumnya selama 12 bulan. Ketika ditanya tentara, siapa bertindak sebagai kepala, dia mengacungkan tangan. Penahanan ini, ibaratnya supaya ada yang dianggap bertanggung jawab.

“Di penjara kongsi Sambas, Petrus kate malah mendapat gaji dan badannya gemuk,” kata Gubang.

Sekembali di Bengkayang, Lilis dan dua adiknya tinggal di kampung Molo. Dia tinggal di rumah Tundur. Yang juga punya dua anak. Tundur punya dua adik, Sendok dan Gubang. Keduanya masih bujangan.

Setelah tinggal di Molo, Lilis juga membantu tugas tentara membawa beras. Ketika itu usianya 12 tahun. Dia juga dijadikan penerjemah, kalau tentara ketemu orang Tionghoa di jalan. Dia pernah diajak ke San Sak, Subah, Sanggai Ledo, sebagai penerjemah tentara Siliwangi 310. Lilis pernah diminta tinggal di San Sak selama dua bulan, sebagai tenaga di kantor tentara. Setelah itu tinggal lagi di Molo.

Ketika ditangkap, Lilis dibesarkan dulu. Karena ketika mau dikawini, umurnya belum cukup. Setelah berumur 15 tahun, dia dikawini Sendok.

Ketika ketemu di rumahnya, aku ingin tahu psikologi dari Lilis, ketika memutuskan kawin dengan Sendok.
“Kenapa mau kawin dengan Sendok?”
“Karena sebatang kara, tidak ada orang lain.”
“Tidak takut?”
“Tidaklah. Orang kampung yang tolong kita. Kalau tidak, kita akan mati. Kita tidak punya kampung lagi.”
“Tidak dendam pada orang-orang yang pernah membunuh keluarga Anda?”
“Tidaklah. Banyak pelaku sudah mati. Malah ada yang gila. Contohnya Ijil,” kata Lilis.

Ijil adalah salah satu pemimpin demonstrasi dari Bengkayang. Yang memimpin demonstrasi ke Tebas, Sambas. Selain Ijil, ada Karoyot dan Sakandung. Dua orang ini sudah meninggal.

Lilis sering ditanya orang, apakah masih punya orang tua. Dia biasanya menjawab, orang tuanya dibunuh. Dia diambil orang Dayak dan tinggal di kampung. Selama hidup di kampung, dia menyesuaikan diri dengan lingkungannya. Bercocok tanam dan berkebun.

Sendok meninggal usia muda. Perkawinannya dengan Lilis, dikaruniai satu anak. Gubang merasa bertanggung jawab dan menyelamatkan Lilis yang sebatang kara. Dia mengawini Lilis. “Kalau Lilis bersuami, tidak akan diganggu tentara,” kata Gubang.

Saat menikah, Gubang berusia 19 tahun. Lilis berusia 21 tahun. Dari perkawinan itu, lahir lima anak. Dua lelaki dan tiga perempuan.

Dulu, Lilis sembahyang di Pekong. Sekarang tidak lagi. Ia memeluk agama Katolik, dan sembahyang di gereja.

Semasa masih punya anak satu, Lilis tidak pernah pergi ke mana pun. Setelah punya dua anak, dia mulai mencari keluarganya ke Tebas. Lilis berangkat bareng Gubang. Di Tebas dia mendapat kabar, orang tuanya memang sudah terbunuh. Dia juga ketemu adik perempuan bapaknya. Juga beberapa keluarganya yang selamat. Sekarang ini tinggal di Singkawang.

Lilis merasa beruntung kawin dengan Gubang. Dia menganggap, Gubang sangat bertanggung jawab. Sekarang ini, lima anak-anak mereka tak tahu, tentang peristiwa yang terjadi. Namun, pernah juga ada anak yang bertanya.

“Mengapa orang Dayak dan Tionghoa berperang? Atau, mereka adalah orang Tionghoa, kenapa lalu masuk dan menjadi orang Dayak?”

Keduanya berusaha memberikan jawaban yang bisa diterima sang anak. Bapak orang kampung, ibu orang Tionghoa. Karena tinggal di kampung, ya, mereka tinggal dengan orang kampung.

Belum ada niat menceritakan permasalahan yang terjadi. “Kalau mereka tahu, kuatir sedih. Sengaja tidak dikasih tahu,” kata Gubang.(bersambung)□

Edisi cetak ada di Borneo Tribune, 24 Februari 2008
Foto oleh Sugeng Hendratno

Baca Selengkapnya...

Saturday, February 23, 2008

The Lost Generation (14)

Mengungsi ke Negara Tetangga

Muhlis Suhaeri
Borneo Tribune, Pontianak
Peristiwa pembersihan terhadap etnis Tionghoa, tak hanya terjadi di pedalaman Kalbar, juga terjadi di Kota Singkawang. Pada awal-awal peristiwa, penduduk yang berada di dalam kota, merasakan betul situasi itu. Akibat berbagai intimidasi dan situasi tak menentu, membuat mereka juga mengungsi.

Peristiwa itu dialami Bong Bu Tjin, 70 Tahun. Aku menemuinya di Kuching, Sarawak, Malaysia. Dalam usianya yang telah senja, Bong masih terlihat gagah. Cara berjalannya cepat dengan langkah-langkah lebar. Bahasa Indonesianya agak patah-patah. Dia sudah 40 tahun di Malaysia. Namun, tak bisa kemana-mana, selain di Kuching.


Bong mengemudikan mobilnya sendiri. Kemanapun. Ketika aku tanya tentang fisiknya yang masih sehat hingga usia tua, Bong menjawab dengan yakin, “Biasa bekerja dari muda. Itulah resepnya.”

Bong Bu Tjin kelahiran Singkawang, 1938. Sejak 1960, ia sudah memiliki foto studio di Jalan Pasar Tengah, Singkawang. Dari usaha studio itulah, dia sering diminta tentara mengabadikan berbagai momen penting. Bong sering diminta menjadi fotografer. Dia pernah ikut tentara melakukan operasi militer. Keluar masuk hutan mengabadikan kegiatan tentara.

Tak hanya itu. Dalam berbagai kesempatan, Bong selalu diminta memotret berbagai peristiwa penting. Ketika Jenderal Nasution datang ke Kalbar, untuk menandatangani prasasti di Taman Makam Pahlawan di Singkawang, Bong jadi fotografernya. Begitu juga ketika Jenderal Ahmad Yani berkunjung ke Kalbar, seminggu menjelang peristiwa G30SPKI. Atau, saat Mayjen Suharto ke Kalbar. Bong mengabadikan peristiwa itu. Tak heran, berbagai isu dan peristiwa penting, dia ketahui.

Bong Bu Tjin pernah foto bareng dengan Mayjen Suharto. Karena itulah, ketika berada di Malaysia, dia dibilang orang Suharto.

Menurutnya, zaman Sukarno, RI paling bagus. Antara orang Tionghoa, Dayak dan Melayu, satu adik. Zaman Suharto semua diadu. Semua nama dan huruf Tionghoa dilarang. Peraturan itu diterapkan dan diawasi para serdadu.

Waktu itu, setiap malam, para serdadu selalu jalan mengelilingi perkampungan. Maklum, Singkawang jadi basis penumpasan PGRS-PARAKU. Tentara juga memberdayakan masyarakat menjadi Hansip. Semua orang yang pakai baju hijau, bisa menangkap orang.

Ketika ada yang ketahuan bicara dengan bahasa Tionghoa, orang akan kena hukuman. Orang itu akan disuruh makan pasir. Kecuali, ada uang untuk menyogok para serdadu ini. Karenanya, saat itu banyak orang makan uang suap.

Sebagai basis dari operasi yang dilakukan, Singkawang dipenuhi para prajurit. Perdagangan jadi macet. Ada toko atau warung, menjadi tumpuan bagi sebagian serdadu, untuk memenuhi segala kebutuhannya. Mereka minta barang kebutuhan sehari-hari. Bila penjual menanyakan pembayaran, para serdadu itu menyorongkan senjata sambil berkata, “Ini senjata.”

Hal itu membuat para pedagang bangkrut. Bahkan, ada hotel digunakan menginap satu kesatuan elit tentara. Sepuluh kamar hotel dipakai, hingga sembilan tahun lamanya.

Menurutnya, pengusiran pertama kali dilakukan di Sanggau Ledo. Di Singkawang, sebelum pengusiran dilakukan, dibuat tanda dari tempayan berisi beras dan bendera. Tempayan ditaruh di satu tempat. Bila ada orang di tempat itu tidak pergi dari tempayan yang diletakkan, dan melanggar batas waktu yang ditentukan, mereka bisa dipotong lehernya. Karena itulah, banyak orang mengungsi dan menghindar.

Para serdadu juga melepas seragam dan mengikat kepalanya dengan kain merah. Mereka berada di antara barisan para demontran.

Ketika Singkawang terjadi ribut-ribut, semua mengungsi dari Singkawang. “Semua kalang kabut. Semua diusir dari Kota Singkawang. Rumah-rumah orang Tionghoa diambil,” kata Bong.

Hidup di Singkawang susah. Banyak orang minta-minta. Tak ada makanan. Akhirnya, banyak juga yang kabur ke hutan. “Mati-matilah. Sakit-sakitlah. Tak ada obat,” kata Bong Bu Tjin.

Pada masa pengungsian di Singkawang, pemerintah Republik Rakyat Tionghoa (RRC) mengirimkan kapal, untuk membawa para pengungsi yang ingin pindah ke RRC. Ada dua kapal dikirim. Thai Po Kong dan Chang Cun. Setiap kapal bisa memuat 3.000 orang.

Yang diutamakan dalam pengangkutan, orang tua dan orang cacat. Orang muda mendapat giliran terakhir, karena dianggap bisa menjaga diri dan cari makan sendiri. Setelah kapal membawa para pengungsi, pemerintah Indonesia tak membolehkan pemerintah RRC mengangkut para pengungsi. Indonesia memutuskan hubungan dengan RRC.

Setelah itu, semua orang Tionghoa di Indonesia, diminta mengganti nama dan masuk menjadi warga negara RI. Semua sekolah Tionghoa ditutup. Anak-anak Tionghoa tak bisa sekolah. Guru sekolah Tionghoa banyak ditangkap. Akhirnya, orang tidak bisa sekolah dan harus mencari hidup.

Melihat kondisi tidak menentu, Bong meninggalkan Singkawang, bersama 34 orang. Yang terdiri dari 5 keluarga. Ia membawa istri dan lima anaknya. Anak paling besar berusia tujuh tahun, paling kecil baru tiga puluh hari.

Lewat pelabuhan Kuala, dia meninggalkan Singkawang. Dengan kapal barang kayu berukuran kecil, rombongan itu menuju Sematan, Malaysia. Pemilik kapal juga ikut mengungsi dan membawa keluarga. Mereka tidak dipungut biaya.

Selama tiga hari dua malam, mereka mengarungi lautan menuju jalan pembebasan. Tak ada bekal dibawa. Hanya celana dan baju yang menempel di badan. Selama perjalanan, hanya ada sedikit roti dan air. Persediaan itu bagi kanak yang ikut mengungsi. Orang tua harus menahan diri, tidak makan apa pun, selama perjalanan.

Ketika mengungsi, dia bawa semua foto yang pernah dipotret dan dicetaknya. Foto tersebut hasil kerja selama beberapa tahun, ikut dalam berbagai operasi yang tentara lakukan. Foto Jenderal Ahmad Yani, Nasution dan Suharto, juga dimilikinya.

Sesampai di Sematan, rombongan pengungsi ditahan petugas Diraja Malaysia. Mereka ditempatkan dalam suatu camp oleh pemerintah Malaysia. Semua foto diambil dan dibakar polisi Malaysia.

Ketika berada di pengungsian, pemerintah Malaysia melarang wartawan bertemu dengan Bong. Pemerintah takut dia bicara dan membuka rahasia. “Tidak boleh diungkit masa lalu. Sekarang Malaysia sudah baik dengan Indonesia,” kata Bong, menirukan ucapan polisi Malaysia.

Mereka tinggal di camp selama tiga tahun. Yayasan Tionghoa dan perorangan di Malaysia, menanggung kehidupan para pengungsi. Setiap hari, mereka mendapat bantuan uang 50 sen.

Setelah tiga tahun di penampungan, ada datuk Lim Peng Sun menjadi pejabat di Sarawak. Dia menjamin para pengungsi dari Indonesia, untuk keluar dari camp. Setelah itu, Lim memberi pekerjaan para bekas pengungsi dengan bekerja di kebunnya. Lim punya 130 hektar kebun. Di kebun ini didirikan lima rumah, bagi lima keluarga tersebut. Satu bulan mereka mendapat bantuan 270 ringgit.

Selain itu, mereka juga berkebun dan menanam berbagai sayuran. Namun, karena tanah tidak subur, sayuran pun kurang bagus. “Tanah tak bagus. Mau beli pupuk uang tak cukup. Tidak ada pupuk, mana bisa bagus itu sayur,” kata Bong.

Mereka diberi bantuan selama tiga bulan. Setelah itu, harus bisa mencari kerja dan memenuhi kebutuhannya sendiri. Setelah tiga bulan, ia mulai mencari kerja. Bong Bu Tjin kerja apa saja. Dia menjadi buruh bangunan. Bongkar muat barang. Jualan kecil-kecilan. Pokoknya semua kerja dijalani. Pekerjaan itu dijalani hingga 10 tahun.

Selama di Malaysia, ia tidak bisa pergi kemanapun, karena tidak ada surat. Anak tak dapat sekolah. Kalau anak tak sekolah, mau jadi apa?

Meski sudah mendapat jaminan, Bong hanya boleh tinggal di Kuching. Lewat dari daerah itu, dia bisa ditangkap. Dia juga tidak bisa membeli rumah, tanah atau lainnya. Setiap tahun, dia harus memperpanjang izin tinggal di Sarawak. Untuk keperluan itu, dia harus mengeluarkan 90 ringgit per orang.

Jadi, bila sepasang suami istri dan lima anak, kalikan saja, berapa dia harus membayar izin tinggal tiap tahunnya. Dari salah seorang petugas imigrasi Malaysia, Bong pernah mendapat informasi, ada sekitar 20 ribu orang masih mendaftar ulang ke pemerintah Sarawak, tiap tahunnya.

Setelah anaknya paling besar kawin dengan warga Malaysia, ada sedikit rasa lega. Mereka mulai bisa membeli rumah. Tentu saja atas nama menantunya.

Kini, dengan adanya perubahan dan keluarnya UU Kewarganegaraan yang baru, Undang-undang Nomor 12 Tahun 2006, orang seperti Bong Bu Tjin mendapat kesempatan memperoleh kewarganegaraannya lagi. Dia sudah mengajukan diri dan mengurusnya.


Didik Zulhadji, Third Secretary/Vice Consul, Consulate General of the Republic of Indonesia di Kuching, pernah beberapa kali wawancara dengan Bong Bu Tjin, dalam rangka memperoleh kembali kewarganegaraan Indonesia.

“Orang yang pindah karena peristiwa 1965 atau 1967, tidak hanya di Kuching, tapi di daerah lain juga ada. Di Sarawak mereka pindah, karena faktor menghindari peristiwa dan bukan karena faktor ideologis,” kata Didik.

Sekarang ini dengan UU Kewarganegaraan yang baru, orang bisa memperoleh lagi kewarganegaraannya. Masih banyak dari mereka yang ingin memperoleh kewarganegaraannya. Mereka masih mengindentifikasi diri sebagai warga negara RI. Tidak hanya masalah suku dan etnis saja. Mereka sadar, bahwa merasa bagian dari warga negara RI.

Untuk generasi muda, mungkin mereka tidak terlalu kentara, karena generasi muda lebih mudah, dapat identifikasi sebagai warga negara.

“Kita melihat bahwa mereka memang sadar, dan ada kesadaran bahwa mereka punya identitas kebangsaan sebagai warga negara Indonesia,” kata Didik.

Padahal di Malaysia banyak etnis Tionghoa, dan mereka tidak sulit menyesuaikan diri. Ini menunjukkan, kesadaran politik lebih daripada warga di Sarawak.

Menurut Didik, orang seperti Bong Bu Tjin punya pandangan ideologis, bahwa para pemimpin mereka ada di RI. Identitas mereka masih hidup. Ini masalah dokumentasi tidak terwujudkan. Identitas harus dijaga secara dokumentasi.

“Masalah identitas, saya percaya sekali beliau bisa menjelaskan. Dan sedikit banyak mengikuti perkembangan yang ada di RI. Mereka jelas mengidentifikasi diri.

Apa yang dikemukakan Didik, memang cukup berasalasan. Selama berbincang dengan Bong Bu Tjin, dia selalu mengerti dan memantau perkembangan dan isu aktual di Indonesia. Berita itu diaksesnya melalui layar televisi dan koran.

Dari beberapa kali percakapan yang kami lakukan, aku bisa merasakan keindonesiaannya. Dia sangat merindukan Indonesia. Dia ingin kembali ke Indonesia.

Dia ingin........Meninggal dan dikubur di Indonesia.(bersambung)□

Edisi cetak ada di Borneo Tribune, 23 Februari 2008
Fotografer: Muhlis Suhaeri

Baca Selengkapnya...

Friday, February 22, 2008

The Lost Generation (13)

Penampungan Pengungsi

Muhlis Suhaeri
Borneo Tribune, Pontianak
Sebuah bangunan tak lagi utuh. Pada suatu tanah lapang penuh semak dan rumput liar. Bangunan dua lantai itu, seluruhnya terbuat dari kayu. Luas bangunan sekitar 20 kali 30 meter. Pada beberapa bagian bangunan, kayu telah mulai keropos dan lapuk.

Waktu, cuaca dan manusia, melemahkan fisik bangunan itu. Namun, struktur, bentuk dan detail sisa-sisa kejayaan bangunan, masih terlihat pada berbagai sisinya. Ada bak air berukuran tiga kali enam meter dengan tinggi satu setengah meter.

Bak ini berfungsi mencuci lembaran karet. Sebuah tungku bulat berukuran satu meter dengan bentuk memanjang. Pada ujung tungku, terhubung dengan satu ruangan. Yang terdiri dari beberapa tonggak kayu. Bentuknya tersusun dan bertingkat ke atas. Di tempat inilah, lembaran-lembaran karet dikeringkan dengan cara diasapi atau disalai.


Ya, di bangunan ini, masa kejayaan karet pernah ditorehkan. Dari salah satu bangunan ini, Singkawang pernah mengekspor 700 ton karet ke Singapura setiap bulannya. Harga karet mentah berkisar Rp 5 ribu per kilo. Harga karet kering sudah jadi sekitar Rp 11-12 ribu.

Namun, pascaperistiwa ethnic cleansing terhadap orang Tionghoa di sepanjang perbatasan, industri karet langsung hancur. Kenapa? Karena pemilik kebun karet, tukang sadap karet, semuanya mengungsi.

Kini, bangunan tua itu, teronggok tak terurus. Padahal, bangunan ini saksi sejarah dari tragedi kemanusiaan yang pernah terjadi. Bangunan itu ada di Kuala, Gang Kelapa Mas, Singkawang Barat.

Seorang mantan pekerja karet yang tinggal di daerah itu, menceritakan padaku, tentang keberadaan bangunan. Namanya Asmawi, lahir 1929. Asmawi tinggal di Kuala sejak 1962. Gudang karet banyak terdapat di Singkawang pada 1960-an.

Asmawi tinggal di sebuah pondok kecil berukuran tiga kali enam meter. Seluruh pondok terbuat dari papan kayu. Rumah itu sederhana sekali. Status bangunan menumpang pada tanah pemilik gudang. Namun, ia terlihat menikmati kehidupannya. Terima hidup apa adanya.

Asmawi pernah bekerja sebagai pencuci karet. Perusahaan itu terdiri dari beberapa bagian. Ada pekerja yang khusus mencuci dan menggantung karet. Jumlahnya enam orang. Tukang bakar ada satu orang. Tugasnya menjaga tungku api supaya terus menyala. Dia harus memasukkan kayu ke dalam tungku. Ada tukang gunting getah yang sudah kering. Jumlahnya delapan orang.

Tugasnya memotong lembaran karet yang sudah disalai dan kering. Tukang bungkus ada delapan orang. Tugasnya membungkus karet yang sudah dipotong, dan memasukkannya ke bungkus plastik. Satu bungkus karet beratnya sekitar 113 kilogram. Setelah dibungkus, karet siap diekspor melalui pelabuhan Singkawang.

Asmawi bertugas mencuci karet, sebelum dimasukkan ke ruangan khusus, untuk disalai. Kerjanya borongan. Pada 1960, satu ton karet dibayar Rp 10 ribu. Satu ton selesai dua hari. Uang Rp 10 ribu dibagi tujuh pekerja.

Di bangunan itu, ada tujuh tungku pembakaran, dan tujuh kamar pengeringan karet. Satu kamar mampu keringkan 18 ton karet sehari. Lama pengeringan sekitar seminggu. Untuk mensalai menggunakan batang kayu karet atau kayu tamau. Satu kamar butuh 10 meter kubik kayu. Kayu diperoleh dari hutan di sekitar Singkawang atau membeli. Ada pemasok kayu. Yang khusus menangani hal itu.

Dalam satu hari, dari tujuh kamar itu, harus ada yang selesai, sehingga bisa dikirim. Karet dikirim melalui pelabuhan Kuala. Sekali kirim 100 ton. Pengiriman menggunakan kapal laut. Dari pabrik dibawa dengan perahu kecil. Setelah itu, dibongkar dan dipindahkan ke kapal laut lebih besar. Pelabuhan laut ada di ujung pelabuhan Kuala. Jaraknya sekitar 3 kilometer.

Ketika terjadi pengungsian secara besar-besaran menuju Singkawang, seluruh bangunan dan gudang karet menjadi tempat pengungsian.

“Saat itu, di Singkawang ada 14 pengasapan dan gudang karet,” kata Tomidi.

Singkawang menjadi pusat penampungan pengungsi dari wilayah Bengkayang dan Sambas. Bupati Sambas saat itu, Nurdin. Pengejaran terhadap orang Tionghoa hingga di Roban, Singkawang. Pengungsi di Kota Pontianak, biasanya datang dari Sanggau, Landak atau Kabupaten Pontianak.

Darius Iskandar, 80 tahun, seorang tetua masyarakat Tionghoa di Singkawang, bercerita tentang kondisi pengungsi saat itu. Dia punya gudang dan rumah di Pasiran serta Roban, yang ditempati pengungsi. Ia mau melakukan itu, karena ingin membantu pemerintah dan masyarakat.

Dulunya, dia pedagang dan punya CV Sampurna. CV ini menampung dan membeli karet dari Bengkayang. Setelah diolah dan dikeringkan, karet diekspor langsung ke Singapura melalui pelabuhan Singkawang. Biasanya dengan kapal tongkang.

Gudang karet di Kuala, termasuk paling akhir ditempati pengungsi. Dengan ditempatinya berbagai gudang karet, praktis produksi pengolahan karet terhenti. Para pekerjanya, seperti Asmawi, beralih menjadi petugas yang menangani pengungsi.

Bersama mantan pekerja karet lainnya, dia melakukan penjagaan gudang karet setiap hari. Kalau malam, mereka giliran ronda. Kuatir ada pencurian. Tak ada polisi atau tentara berjaga di pengungsian. Masyarakat sekitar secara gantian melakukan penjagaan.

“Pengungsi tak mau bercerita apa pun, tentang peristiwa yang terjadi dengan orang lain,” kata Asmawi.

Orang yang datang ke pengungsian, biasanya menggunakan pakaian sederhana. Malah banyak yang sobek-sobek. Mereka tak sempat membawa barang-barang berharga. Seperti, emas, intan, dan perhiasan lainnya. Kalaupun ada barang berharga, mereka akan menguburnya ketika mengungsi.

Perhiasan disimpan dalam cangkir atau piala kecil. Setelah itu ditanam di kebun dengan ancar-ancar sebuah pohon besar. Atau, tanda lain yang tak gampang hilang. Karenanya, tak heran ketika peristiwa itu telah terjadi puluhan tahun lamanya, ada beberapa orang Tionghoa di Bengkayang, masih bisa menemukan barang berharga yang mereka tanam di kebunnya, dulu.

Selama di penampungan, pengungsi tidur sembarangan dan tak beraturan. Pokoknya asal tidur saja. Bertumpuk-tumpuk seperti ikan. Pengungsi dapat jatah makan sehari dua kali. Makanan berupa nasi atau bubur. Namun, jangan membayangkan nasi seperti yang ada sekarang.

Beras itu serupa bulgur. Biasa untuk pakan ternak. Lauknya satu sendok kepala ikan asin yang dihaluskan. Ada juga sayur. Biasanya kangkung. Cara memasaknya dengan drum besi yang dipotong setengah.

Dalam penampungan pengungsi, orang dilarang jual kue. Banyak anak menangis minta kue. Orang tua tidak bisa membelikan anaknya, karena tidak ada uang. Penjual kue diminta pergi.

Banyak pengungsi meninggal selama di penampungan. Mereka meninggal karena kelaparan dan berbagai penyakit. Daerah di sekitar Kuala airnya asin. Banyak pengungsi terkena penyakit diare, muntaber dan lainnya. Hanya ada sedikit obat-obatan.

“Tiap hari ada yang meninggal. Ada sekitar 4-5 orang,” kata Asmawi.

Mereka yang mati dibawa dengan kereta dorong beroda tiga. Roda kereta ada dua di depan dan satu di belakang. Alat ini biasa digunakan membawa barang. Mereka yang meninggal dimakamkan secara berderet dalam makam. Lebar makam sekitar 75 cm dengan tinggi satu meter. Satu lubang makam untuk 4-5 orang.

Banyak juga anak kecil tak terurus dan dimakamkan dekat Rumah Sakit Umum Singkawang. Rumah sakit itu sekarang milik Yayasan Kristen Santo Vincencius.

Anak yang meninggal, sangking kurusnya, ada cacing keluar dari dalam lubang hidungnya. “Mungkin, sangking tak ada makanan lagi dalam perut anak yang meninggal,” kata Om Jo, aku biasa memanggilnya.

Ketika terjadi pengungsian, banyak perempuan tua Dayak ikut mengungsi. Mereka kawin dengan orang Tionghoa. Asimilasi Tionghoa dan Dayak, hampir terjadi di semua tempat. Mereka biasa disebut, Mebuyan Kamaluk (Famili) Bekatik. Karena percampuran darah. Kalau tidak ikut mengungsi, siapa yang bakal rawat cucu-cucu mereka.

“Banyak orang meninggal karena muntaber. Makanan tak sehat, dan kesehatan buruk. Pokoknya terserah nasib,” kata Tomidi.

Meski kondisi seperti itu, ada juga orang memanfaatkan dan mengambil keuntungan bagi dirinya sendiri. Ada bantuan dari PBB bagi para pengungsi. Makanan dan pakaian, banyak yang tersalurkan. Namun, obat-obatan, jarang yang sampai.

Yayasan Tionghoa membangun berbagai pondok untuk menampung pengungsi. Juga disediakan kuburan bagi yang meninggal. Salah satunya di pekuburan Manggis.

Dinamakan pekuburan Manggis, karena banyak pohon manggis di sana. Bahkan, ada pohon manggis tertua. Usianya sekitar 100 tahun. Pekuburan Manggis dinamakan Taman Batas Dunia dan Akherat. Ada sekitar 1.000 orang dikuburkan di sana. Para pengungsi dikuburkan di Manggis, karena pekuburan ini tidak dipungut biaya.

Tukang kubur bernama Sio Po Kie. Dia sudah meninggal sekarang. Ia berprofesi sebagai tukang angkut barang dan becak. Yayasan membayar Sio Po Kie.

Selama berada di penampungan, pengungsi melakukan kerja apa saja, untuk menyambung hidup. Ada yang berjualan. Menjadi kuli angkut barang. Cari kayu bakar, dan lainnya.

Akibat peristiwa ini, menimbulkan rentetan peristiwa kemanusiaan lainnya. Banyak orang jadi pengemis. Banyak anak kecil ditinggal semasa di perjalanan atau dititipkan pada orang lain. Orang tua tak sanggup merawatnya. Bagi mereka yang dianggap sudah dewasa, akan langsung dinikahkan.

Pascaperistiwa ini, banyak perempuan Singkawang menikah dengan lelaki Taiwan. Inilah era yang menandai munculnya Pengantin Pesanan, dan berlangsung hingga sekarang.

Semasa di penampungan, bagi mereka yang mau menetap, dipersilakan saja. Tapi kalau mau pergi dari penampungan, juga tidak dilarang. Setelah tak ada harapan hidup di penampungan, mereka sedikit demi sedikit meninggalkan penampungan. Pergi ke berbagai tempat di Pontianak, Jakarta, Malaysia, Hongkong, Tiongkok dan lainnya.

Kalau ada saudara, mereka pergi dan menumpang dulu di rumah saudara. Setelah sekian lama, para pengungsi yang sudah meninggalkan penampungan dan bekerja, juga mengajak teman yang masih berada di pengungsian. Pengungsi tinggal di penampungan 2-3 tahun.

Makin berkurangnya pengungsi di penampungan, seiring dengan pembangunan dan masuknya investor ke Indonesia. Banyak pengungsi masuk di lapangan kerja.

Lalu, bagaimana kondisi para pengungsi sekarang?

“Bekas pengungsi sekarang, sudah banyak yang kaya. Mereka malu kalau ketemu kita dan pura-pura tidak kenal. Dikiranya kita mau minta kalau menegurnya. Malas juga lah,” kata Asmawi. Padahal, dia biasa memberi makan para pengungsi. Mereka sekarang lupa. Namun, bukan berarti dia ingin mengungkit-ungkit.

Dia berharap, peristiwa itu tak terjadi lagi. “Kita sudah susahlah dengan peristiwa ini,” kata Asmawi.

Selesai berbincang, aku meninggalkan rumah kecil di pinggiran bekas gudang karet itu. Ketika gudang karet itu telah lama ditinggalkan para penghuninya, Asmawi masih dengan setia tinggal di sana. Tutur kata dan sikapnya yang bersahaja, membuatku menitipkan sesuatu untuk kebutuhannya.

“Semoga Tuhan membalas segala kebaikan yang pernah Bapak lakukan,” kataku dalam hati.(bersambung)□

Edisi cetak ada di Borneo Tribune 22 Februari 2008
Foto Sugeng Hendratno

Baca Selengkapnya...

Thursday, February 21, 2008

The Lost Generation (12)

Berjuang Menyelamatkan Hidup

Muhlis Suhaeri
Borneo Tribune, Pontianak
Di sebuah tempat bernama Montrado, Liu Hian Kit, berjuang menyelamatkan nyawa. Montrado dulunya wilayah Kabupaten Sambas. Setelah pemekaran, Montrado termasuk Kabupaten Bengkayang. Montrado berjarak 165 km arah utara Pontianak.

Liu Hian Kit berumur 23 tahun, ketika itu. Ia tidak menyangka, bakal terjadi peristiwa penyerangan terhadap orang Tionghoa oleh orang Dayak. Dalam kehidupan sehari-hari, kedua etnis itu akur adanya. Bahkan, ia juga biasa minum arak bareng dengan orang Dayak. Hingga kini, Liu Hian Kit tidak pernah bisa lepas dari arak. Dalam satu hari, ia bisa menghabiskan satu liter arak.


Dulu, kehidupannya termasuk mapan. Ia hidup dari pertanian. Menanam sahang, karet dan padi. Ada puluhan ekor babi. Ia juga memelihara puluhan ekor sapi. Sapi dipelihara dari para pemilik ternak. Setelah besar dan berkembang biak, sapi dibagi antara pemilik dan pemelihara. Perbandingannya, tiga dibanding satu. Tiga untuk pemilik dan satu untuk pemelihara.

Sehari sebelum kejadian, ada temannya orang Dayak memberitahu. Kalau dia tidak pergi, bisa terbunuh. Semua orang diberitahu terlebih dahulu. Kalau lari tidak akan diapa-apakan. Tapi, kalau melawan, akan dibunuh. Semua orang pergi tanpa membawa apapun. Kalau ada yang menyembunyikan emas dalam baju misalnya, akan digeledah.

Ketika rombongan orang Dayak ke kampungnya, ia sudah meninggalkan rumah menuju hutan terdekat. Jumlahnya ada ribuan. Tersebar dalam berbagai kelompok. Mereka sembunyi. Tidak ada yang bawa makanan.

Hendak lari ke Singkawang takut, karena kuatir bakal dicegat di tengah jalan. Lagi pula tidak ada uang untuk biaya perjalanan. Bagi orang kaya dan punya persediaan uang, mereka bisa langsung sewa kendaraan menuju Singkawang.

Semua miliknya dalam bentuk barang. Dan ketika rombongan orang Dayak mendatangi kampung, semua barang itu diambil. Tak tersisa. Ia lari ke hutan hingga enam bulan. Selama itu, mereka makan apa saja. Ada ubi, umbi-umbian, dedaunan, kelapa, makan ubi, atau apa saja.

Ada 20 orang tertangkap, namun tak jadi karena ada tentara. “Kalau tak ada tentara di sana, orang Tionghoa akan habis,” kata Liu Hian Kit.

Setelah merasa aman, dia bersama sepuluh keluarganya menuju penampungan di Montrado. Penampungan itu dijaga militer. Dari Montrado dibawa dengan mobil palang merah menuju Singkawang. Ada penampungan untuk pengungsi di Singkawang. Penampungan berupa gudang karet.

Liu Hian Kit tinggal di penampungan Singkawang hingga dua tahunan. Setelah itu, ia pindah ke penampungan di sekolah Fajar Harapan, Siantan, Pontianak. Setelah tinggal di penampungan, pada 1969, pemerintah menempatkan pengungsi ke relokasi di Kalimas, Punggur, Kabupaten Kubu Raya.

Setiap pengungsi diberi lahan selebar 25 depa. Satu depa setara dengan 1,5 meter. Diberi rumah berukuran 6 kali 4 meter. Rumah dari kayu. Pengungsi juga dapat cangkul, sabit, pupuk, dan jatah makan selama setahun. Masing-masing orang secangkir beras sehari. Bila dalam keluarga ada empat orang, berarti dapat empat cangkir beras dalam sehari. Sewaktu pertama kali pindah ke Kalimas, ada 30 KK ditempatkan di sana.

Setelah penempatan relokasi pengungsi pertama, diikuti dengan gelombang pengungsi berikutnya. Ada empat lokasi penampungan di Kalimas. Pemerintah juga membuatkan 500 rumah untuk pengungsi di Siantan Tengah. Namanya Parit Baru.

Sekarang ini, penduduk di Kalimas menanam sayur mayur, timun, cabe rawit, padi dan kelapa. Selama berkebun, segala suka dan duka ia rasakan. Ketika panen, hasil kebun dijual ke Pontianak. Tapi, ada juga pedagang pengumpul datang ke Kalimas, membeli hasil kebun mereka. Harga terkadang tidak jelas. “Kalau panen murah,” kata Liu Hian Kit.

Bila dulunya punya banyak kekayaan, sekarang ini tidak punya apa-apa. Ketika teringat peristiwa itu, dia marah dan sakit hati. Liu masih ingat orang-orang yang telah memotong kepala di kampungnya, hingga sekarang. Dia memilih sikap, tidak membolehkan anaknya menikah dengan orang Dayak.

Seorang warga Roban Tama, Singkawang, A Ki, 65 tahun, menceritakan pengalamannya ketika harus mengungsi. Dulunya, ia tinggal di Montrado. Bekerja sebagai penoreh getah karet. Getah dibawa ke pasar Montrado.

Sebelum demontrasi, ada pemberitahuan bahwa orang Tionghoa di daerah itu, akan dihabisi. Mereka diminta kabur terlebih dahulu. Kalau tidak mau kabur, akan dipotong lehernya.

Isu itu begitu kuat. Akhirnya orang di kampungnya lari semua. Tanpa membawa apapun. Cuma pakaian singlet dan celana pendek. Ia bersama masyarakat di dusunnya berjalan hingga di Pakucing, Singkawang. Berangkat jam sepuluh malam dengan berjalan kaki. Sampai di Pakucing jam enam pagi. Setelah itu, ada jemputan dari tentara. Dalam rombongannya ada bayi, anak, dan orang tua.

Suasana sangat panik. Ia seperti mati rasa. Bingung. Semua campur aduk. Dia terpisah dengan orang tuanya. Kedua orang tuanya kembali ke hutan. A Ki berjalan menuju ke Kota Singkawang, bersama 20 orang lainnya. Namun, kedua orang tuanya, akhirnya juga dijemput oleh tentara.

Ia termasuk orang pertama di pengungsian. Penampungan pertama berada di Kali Asin, Singkawang. Bersama 300 ratusan orang lainnya, ia menempati sekolah bagi warga Tionghoa. Dia di sana selama 2-3 bulan. Setelah itu, pindah ke penampungan di Roban Tama. Orang tuanya berada di penampungan Kuala.

A Ki dan orang tuanya bertemu di penampungan Roban Tama. Orang tuanya dipindahkan dari penampungan Kuala ke Roban Tama. Roban Tama ketika itu merupakan gudang karet besar, milik CV Tama. Karenanya, diberi nama Roban Tama. Pemiliknya bernama Suhardi atau A Can. Dia juga pemilik bioskop Kota Indah, Singkawang.

Kini, semua gudang dan bekas pabrik pengolahan karet itu sudah hilang. Pun bangunannya. Namun, di lahan itu, masih terlihat bekas pondasi gudang karet sebanyak empat gudang. Ada bak besar berukuran 10 kali 20 meter, untuk mencuci karet. Dari bak inilah, dulunya getah karet dicuci, setelah itu dikeringkan dengan cara diasapi atau disalai, sehingga kering.

A Ki berada di penampungan selama lima tahun. Dalam sehari, dia mendapat jatah secangkir beras. Selama di penampungan, dia kerja dengan membantu orang berkebun. Dia minta orang mempekerjakannya sebagai tenaga buruh.

Setelah berada di penampungan, dia bekerja sebagai penjual kayu bakar. Kayu itu dicari dari hutan di sekitar Roban Tama. Di penampungan inilah, dia kenal dengan A Cau, yang kini menjadi istrinya.

Letkol Harsono Subardi, Eks Biro Intel POM Kodam XII Tanjungpura menuturkan pengalamannya, ketika bertugas di Singkawang mengawal dan mengamankan para pengungsi. Ketika bertugas di sana, komandannya bernama Mayor Jafar. Sekarang ini, dia sudah meninggal.

Dia mengamankan para pengungsi dari Singkawang hingga ke Montrado dan Capkala. Di sana, banyak orang Tionghoa terusir. Para pengungsi dikejar terus sampai di Kulor, Singkawang. Tentara dengan menggunakan truk, juga mengungsikan orang Tionghoa ke Pontianak. Mereka tidak bawa apa-apa. Hanya peralatan memasak dan baju. Kalau bawa barang-barang, akan susah dalam perjalanan.

Sebagian orang Dayak, malah akan menyerbu hingga ke Kota Singkawang. Ada sekitar 40 orang. Saat masuk ke Roban, perbatasan Kota Singkawang, senjatanya dilucuti di perbatasan. Mereka ditangkap dan ditahan.

“Kalau panglima instruksinya adalah, tidak boleh menyerang kota kabupaten. Kita melindungi benturan antara masyarakat. Boleh melawan PGRS-PARAKU yang bersenjata. Yang tidak bersenjata tidak boleh,” kata Harsono.

Akibat peristiwa itu, Kota Singkawang penuh dengan para pengungsi. Saat itu, sulit untuk mengungsikan dan membawa pengungsi. Mobil di Singkawang hanya ada lima. Empat mobil tentara dan satu mobil orang Tionghoa kaya di Singkawang. Namanya, Tek Long. Kebanyakan masyarakat menggunakan sepeda. Becak tidak ada. Oplet tidak ada. Motor adanya merek Humme DKW.

Sebagian besar rakyat tidak bisa bahasa Indonesia. Ketika itu, banyak pengungsi bekerja apa saja. Jadi pembantu, kerja cari air di sawah, petani, dan lainnya.

Ada juga pengungsi tak bisa memberi makan anaknya. Anak itu diberikan pada orang. Beberapa kali pengungsi datang ke rumah Harsono, menyerahkan anak kecil supaya dipelihara. “Bayar terserah bapak. Asal bisa untuk hidup,” kata sang pengungsi.

Tapi, karena dia sudah punya banyak anak, tidak mau mengadopsi anak lagi.

Saat itu, kesulitan hidup sangat luar biasa. Banyak anak Tionghoa dititipkan dan diadopsi keluarga lain. Banyak juga perempuan remaja diambil istri oleh orang Taiwan.

Rentetan pengungsian itu, menimbulkan peristiwa kemanusiaan yang luar biasa pedih. Lara, tiada berbatas.(bersambung)□

Edisi cetak ada di Borneo Tribune 21 Februari 2008
Foto Sugeng Hendratno

Baca Selengkapnya...

Wednesday, February 20, 2008

The Lost Generation (11)

“Demonstrasi”

Muhlis Suhaeri
Borneo Tribune, Pontianak
Kalender menunjuk angka, 31 Oktober 1967. Siang itu, suasana perkampungan yang biasanya tenang dan damai, sontak berubah.

Aaauuuu....Aaauuuu...Aaauuuu.

Suara itu riuh terdengar. Saling menyambung dan bersahutan. Memenuhi ruang dan udara perkampungan. Nada suaranya serempak. Terkadang acak. Iramanya bagai lolongan srigala sedang mengejar mangsa.

Suara berasal dari ratusan orang. Kepala mereka diikat kain merah. Ada yang memegang tombak, mandau, dan senjata tajam lainnya. Rombongan itu mendatangi satu persatu rumah. Sesampai di setiap rumah, mereka langsung mengambil berbagai perabot rumah dan barang yang ditinggal pemiliknya. Bila ada yang melawan dan menghalangi, tak segan mereka mengayunkan senjata terhunus itu. Hasilnya, kepala terpisah dari raga.

Dari sebuah tempat yang jauh dari perkampungan, sepasang mata mengawasi peristiwa itu. Bersama keluarganya, ia telah menyingkir terlebih dahulu, sebelum rombongan datang. Apa boleh buat, ia memang harus menyingkir.

Lelaki itu bernama Tyhie Dju Khian. Ia biasa dipanggil Petrus. Orang tuanya bernama Ci Siu Dzie, datang dari Kabupaten Kwantung, Provinsi Ciu Liang, Tiongkok. Ci Siu Dzie mengajar bahasa Mandarin. Ketika datang ke Kalbar, Ci masih bujangan. Setelah itu, dia menikah dengan perempuan Dayak. Keluarga itu beranak pinak di Sebadu.

“Kami kerja apa saja di kampung. Bertani, dagang, dan beternak,” kata Petrus.

Petrus tinggal di dekat Jalan Raya Sebadu, Kecamatan Mandor, Kabupaten Landak. Jaraknya 88 km arah timur Pontianak. Di Kampung Sebadu ada 40 pintu. Orang di kampung itu, rukun dan tidak mau saling mengganggu.

Dia menempati rumah toko di belakang pasar Sebadu. Di depan rumahnya ada jalan masuk ke desa. Pergaulan orang Tionghoa dan Dayak, sangat akrab. Mata pencarian orang Dayak sebagai petani. Orang Tionghoa juga. Di kampung itu, 80 persen petani. Orang Tionghoa 60 persen menjadi petani. Namun, orang Tionghoa ada juga jadi pedagang.

Rumah tinggal mereka berupa rumah toko. Rumah tidak bertingkat. Di kampung itu, dia punya banyak saudara. Sebagian sudah punya rumah sendiri.

Ketika peristiwa itu terjadi, Petrus berusia 27 tahun. Istrinya, Dyong Sin Lan, 27 tahun. Mereka punya dua anak, berusia 5 dan 2 tahun.

“Dulunya, orang tua kami sudah punya oto tiga buah. Mobil itu untuk mengangkut penumpang ke Pontianak,” kata Petrus. Dia menjadi salah satu supirnya. Sejak umur 22 tahun, dia sudah biasa kerja.

Sebelum peristiwa itu terjadi, Petrus sudah diberitahu tetangganya, orang Dayak. Akan ada demonstrasi. Petrus pernah sekolah dan tinggal di Pontianak. Jadi, dia tahu demonstrasi seperti apa. Hanya unjuk rasa. “Tapi, ketika terjadi peristiwa pada kami, ternyata unjuk rasanya tidak sama,” kata Petrus.

Orang yang datang berdemontrasi langsung bongkar pintu, rumah dan sebagainya. Mengambil apa saja yang ada di rumah. Merampas semua harta kekayaan. “Yang menyerang kampung kami, dari kampung lain dan tidak dikenal,” kata Petrus.

Dari jalan depan rumahnya, Petrus bisa melihat orang Dayak turun menuju kampungnya. Jumlahnya ratusan orang. Seorang tetangga dari suku Dayak, bicara padanya, “Kamu masuk saja ke rumah saya. Itu orang-orang mau membongkar rumah yang ada di depan. Mereka dari kampung lain.”

Merasa tak aman lagi, Petrus mengajak keluarganya meninggalkan rumah. Mereka menyusuri jalanan kecil, menuju jalan besar. Jarak puluhan kilo meter. Ia ketemu rombongan pengungsi lain. Mereka menggendong anak kecil, dan menandu orang tua berusia lanjut.

Petrus sempat mengungsi ke gereja Sebadu. Seorang pastur berkebangsaan Amerika menyambutnya. Lelaki itu bernama Goodmen. Ia seorang misionaris di gereja Sebadu. Mereka ditampung selama empat hari di gereja. Di sana ada juga beberapa keluarga mengungsi.

Setelah menginap empat hari empat hari di gereja Sebadu, Petrus diantar Goodmen menuju pasar Senakin. Jarak 18 km. Seorang warga Dayak yang mengenalnya memberi kabar. Ada tiga peristiwa bakal terjadi. Pertama, perampasan. Kedua, pembakaran. Ketiga, pembunuhan. Sesampai di Senakin, ia mendapat kabar, pasar Senakin telah dibakar. Karenanya, ia segera berangkat ke Mandor. Mereka diantar pendeta hingga ke Mandor. Ada bus dari Mandor menuju Pontianak.

Dari Mandor, Petrus sewa mobil angkutan, jenis colt diesel. Begitu menaikkan anak dan istri, tiba-tiba mobil sudah penuh. Banyak orang menumpang. Dia sendiri tidak mendapatkan tempat, dan terpaksa duduk di atap mobil. Ia tidak membawa apa pun, kecuali uang.

Beda halnya dengan penumpang lain. Ada yang bawa ayam, kelapa, padi dan lainnya. Bila ada yang bawa tiga butir kelapa, satu untuk sewa mobil. Begitu juga dengan ayam, padi atau lainnya. Mobil berangkat dari Mandor jam enam sore. Tiba di Pontianak jam 11 malam.

Saat itu, ada juga mobil yang tidak ada sopirnya. Akhirnya, kernet mengemudikan. Kernet belum pandai bawa mobil. Pas di tikungan menurun, mobil menghantam tiang kayu. Dalam kejadian itu, dua orang meninggal dunia.

Ada beberapa daerah yang paling parah terjadi pada peristiwa itu. Mereka tidak tahu, karena penyerangan berlangsung dengan tiba-tiba dan sangat cepat. Seperti terjadi di Menjalin, Tohok, dan Mandor.

Yang paling parah terjadi di Senakin. Korban banyak terjadi di pasar Senakin. Pasar itu dibakar. Penduduk Tionghoa yang sebagian besar tinggal di sekitar pasar Senakin, melakukan perlawanan. Sebagian besar orang Tionghoa dibunuh. Orang Dayak juga banyak di sekitar Senakin. Bahkan, di sebuah sungai kecil, ada banyak mayat. Warna sungai itu merah oleh darah.

Sesampai di Pontianak, Petrus ditampung di sekolah Tionghoa di Siantan. Namanya Sin Hua atau Fajar Harapan. Ia hanya dua hari di penampungan. Setelah itu pindah ke gereja. Banyak juga orang ditampung di gudang karet milik Cu Yu Ming. Karet itu dikeringkan di gudang-gudang itu.

Kebetulan ada pamannya beli rumah di Pontianak. Rumah itu segera ditempati. “Kalau orang yang tidak punya kenalan atau saudara di Pontianak, sangat menderita dan susah,” kata Petrus.

Petrus tak begitu susah di Pontianak. Dia pernah tinggal di Pontianak, ketika remaja. Dia mengenyam pendidikan SMP di Pontianak. Banyak kenalannya di Pontianak. Teman-teman inilah yang banyak membantunya. Selain itu, dia bisa mengemudi, sehingga mudah saja cari kerja. Saat itu, belum banyak orang bisa mengemudi. Petrus juga bisa kerja kantoran. Karenanya, anak-anak langsung bisa sekolah.

Para pengungsi di Pontianak bekerja keras. Pekerjaan apa saja akan dilakukan. Pokoknya kerja keras. Kuli angkut. Tukang sampan. Narik becak dan lainnya. Orang yang tidak ada saudara dan tidak ada kerjaan, banyak jadi pengemis. Pemerintah luar negeri banyak memberi bantuan.

Di sebuah tempat bernama Toho, 75 km arah timur Pontianak, serombongan orang berjalan menyusuri pematang sawah. Mereka berjalan dalam gelap. Menghindari jalan utama. Rombongan terdiri dari kanak, remaja, dan orang tua. Jumlah rombongan ada ratusan orang. Mereka tersebar dalam beberapa kelompok.

Seorang perempuan usia 21 tahun, ikut dalam satu rombongan. Namanya Fung Jin. Ia anak keempat dari sepuluh saudara. Tiga perempuan dan tujuh lelaki. Ia berjalan sambil menggendong adiknya. Fung Jin kelahiran 1948. Semenjak lahir hingga besar, tinggal di TohoKetika peristiwa itu terjadi, ada orang dari kampung lain mendatangi kampungnya. Mereka membawa mandau. Setiap orang mengikat kepalanya dengan kain merah.

Setelah merasa tak aman, keluarganya menuju Mandor. Bila ada anak kecil, mereka digendong keluarganya. Orang sepuh diusung dengan tandu.

Sangking takutnya, ada orang tua membekap anak sendiri hingga meninggal. Anak itu sering menangis. Suara tangis bakal membuat seluruh rombongan terancam keberadaanya.
“Takut sekali. Dan anak itu tidak bisa diam,” kata Fung Jin.

Fung Jin menyaksikan peristiwa itu. Ada juga anak balita ditinggalkan di kampung dan di jalan oleh keluarga pengungsi. Kebanyakan yang ditinggal adalah anak perempuan. Anak lelaki dianggap sebagai penerus marga. Banyak juga perempuan Tionghoa tertangkap orang Dayak. Mereka dijadikan istri. Biasanya orang Dayak tidak menangkap perempuan yang mengendong anak kecil.

Setelah berjalan semalam, mereka tiba di Mandor. Kabar yang mereka terima, Mandor aman. Namun, setiba di Mandor ternyata tidak aman. Mereka meneruskan perjalanan ke Sungai Pinyuh. Dari Sungai Pinyuh, perjalanan dilanjutkan ke Pontianak.

Setelah berjalan sehari-semalam, rombongan pengungsi tiba di Pontianak. Mereka ditampung di sekolah Sin Hua atau Fajar Harapan, Siantan. Di penampungan dapat bantuan makanan, pengobatan, dan lainnya. Ada bantuan dari luar negeri seperti, Taiwan, Singapura, Australia, Amerika, dan lainya.

Di penampungan banyak yang mati. Mereka terkena kolera, demam, dan lainnya. Meski ada pelayanan dokter gratis, namun pada hari tertentu. Pemerintah kurang begitu banyak menangani. Yang banyak membantu Yayasan Tionghoa.

Setelah tinggal beberapa lama di penampungan, Fung Jin dan keluarganya direlokasi di Kalimas, Sungai Kakap, Kabupaten Kubu Raya. Di penampungan hingga ke relokasi, dia ikut dengan orang tua. Di relokasi dapat suami. Setelah tinggal di Kalimas sekitar 14 tahun, ia pindah ke Pontianak.

Di Pontianak, anak-anaknya mulai bangkit. Membuka usaha. Memperbaiki nasib. Dan membuka lembaran hidup baru.(bersambung)□

Edisi cetak ada di Borneo Tribune 20 Februari 2008
Foto Muhlis Suhaeri. Judul, Prosesi.

Baca Selengkapnya...

Tuesday, February 19, 2008

The Lost Generation (10)

Mangkok Merah

Muhlis Suhaeri
Borneo Tribune, Pontianak
Selain tentara melakukan provokasi, para pemimpin Dayak menemui J.C. Oevaang Oeray, membicarakan pengusiran orang Tionghoa dari pedalaman Kalbar.

Terjadi pertemuan di Pontianak. Hasil pertemuan diikuti dengan pengumuman di radio, supaya orang Dayak melakukan pengusiran.

Menurut Jamie Davidson dan Kammen, pengumuman melalui radio dilakukan, bersaman dengan dibentuknya Laskar Pangsuma, untuk mengorganisir demonstrasi.

Oevaang menulis surat dan membacakannya sendiri di radio RRI Pontianak, menurut laporan dari PB HAM Kalbar. Pengumuman itu berisi, orang Tionghoa harus meninggalkan wilayahnya dan pindah ke kota kecamatan terdekat.


Pengumuman diikuti surat undangan menghadiri pertemuan pada 11 Oktober 1967. Seluruh Kepala Kampung di Kewedanaan Bengkayang, diminta datang ke Samalantan, untuk pertemuan besar. Pertemuan dihadiri Oevaang dan dijaga ketat Tentara dari Pasukan Kujang 328 dan Batalyon 641. Dalam pertemuan, Oevaang memerintahkan kepada seluruh kepala kampung, bersiap-siap menunggu hari yang disebutnya ”Gerakan Demonstrasi”.

Setelah pertemuan ini, sumber resmi tentara, Sendam, menyebutkan bahwa proses pengusiran terjadi pada 14 Oktober 1967. Saat itu, massa Dayak di Kampung Taum mulai melakukan serangan terhadap orang Tionghoa. Serangan meluas ke Serimbu, Sei Betung, Sebakuan, Selakau, Samelantan, Mempawah Hulu, Menjalin, Mandor dan Capkala, Sungai Raya, Kampung Toho, Sangking, Sei Pinggan di Kecamatan Toho, Kampung Tumang dan sekitarnya, Kampung Menjalin, Kampung Sosok dan kampung-kampung sekitar Ngabang, Kembayan di Kabupaten Sanggau dan lain-lain. Pertemuan Samalantan menandai adanya demontrasi.

Sebagian besar penduduk yang diwawancara, mengemukakan alasan sama ketika ikut demontrasi.

“Siapa yang memerintahkan demontrasi?”
“Oevaang Oeray.”

Menurut buku Sejarah Singkat Perkembangan Pemerintah Daerah Tingkat I Kalbar, Johanes Chrisostomus Oevaang Oeray menjadi Gubernur Kalbar, 1959-1966. Dia satu-satunya orang Dayak, sebelum reformasi yang pernah menjadi gubernur di Kalbar.

Presiden Suharto menuduh Oevaang terlibat kegiatan PKI. Karena tak mau dikatakan PKI, tokoh sentral dan jadi panutan warga Dayak itu, ingin membuktikan dirinya bukan anggota PKI. Oevaang berkata, dia akan menyelesaikan masalah itu dalam waktu tujuh hari. Dalam jangka itu, orang Tionghoa sudah akan pindah dari tempatnya.

Dalam waktu seminggu, orang Tionghoa harus mengungsi dan meninggalkan tempatnya di pedalaman. Selama waktu tujuh hari itulah, sekitar 70 ribu orang Tionghoa meninggalkan rumahnya. Banyak orang jalan kaki dan diangkut kendaraan.

Berdasarkan wawancara dengan masyarakat di Lumar dan Molo, mereka ikut demonstrasi dan mengusir orang Tionghoa, karena ada sembilan orang dibunuh. “Kalau mereka tidak dibunuh, mungkin, orang Dayak tak bertindak,” kata Durani, warga Dusun Sebol, Bengkayang.

Abin, 76 tahun, warga Dusun Molo, ketika peristiwa itu terjadi, tiba-tiba ada seruan melalui Mangkok Merah. Upacara Mangkok Merah dilaksanakan dengan upacara adat, berupa penyembelihan babi dan ayam. Darah hewan tersebut ditaruh dalam satu mangkok kecil. Seperti mangkok sloki. Mangkok harus diedarkan dari kampung ke kampung.

Bagi warga Dayak, Mangkok Merah merupakan ajakan dan memenuhi panggilan perang. Ketika Mangkok Merah sudah berjalan dari kampung ke kampung. Mangkok Merah harus dilanjutkan ke kampung di sebelahnya. Diedarkan secara berantai. Yang mengantar Mangkok Merah biasanya pemuda di daerah tersebut. Orang yang dilewati jalur Mangkok Merah, harus memenuhi panggilan itu.

Namun, Abin maupun Durani, atau penduduk lainnya, tidak tahu dari daerah mana Mangkok Merah berasal. “Tahu-tahu Mangkok Merah sudah beredar,” kata Abin.

Kecamatan Lumar di Bengkayang, termasuk pusat terjadinya peristiwa pengusiran atau ethnic cleansing peristiwa 1967. Ada dua tempat yang dianggap pusat tempat tinggal orang Tionghoa. Namanya Piong San dan Sepang.

Sebagian besar penduduk di Lumar, ikut dalam demontrasi. Mereka ikut demontrasi hingga ke Tebas, Sebakau, dan Semparuh di Sambas.

Aten, warga Lumar menuturkan, sebelum berangkat demonstrasi, mereka mengadakan upacara pelangkah atau upacara adat. Menyembelih anjing dan ayam, sebagai penghormatan dan minta izin ruh leluhur. Setelah melakukan upacara, setiap orang diisi dengan berbagai kesaktian. Juga ada jimat dari taring babi, tanduk rusa, dan lainnya. Jimat berfungsi melindungi tubuh dan kebal dari bacokan senjata tajam atau api.

Ketika semua sudah siap, rombongan berangkat dipimpin seorang panglima. Panglima inilah yang menuntun penduduk, sehingga mereka bisa berjalan cepat.

“Jalan tak terasa. Seperti tidak sadar. Yang terlihat hanya bayangan dan kelebatan pohon di hutan,” kata Aten.

Aten dan penduduk di Lumar, pernah demonstrasi ke Tebas, Sebakau, dan Semparuk, di Sambas. Jumlah mereka mencapi 800-an orang. Bila jalan biasa, jarak Lumar dan Sambas ditempuh dalam waktu 24 jam. Dengan ilmu itu, perjalanan hanya butuh waktu empat jam saja.

Ada tariuh. Teriakan melengking memanggil dan minta bantuan pada arwah leluhur. Upacara untuk mendapatkan kekuatan itu disebut Matok. Efeknya, orang sepuluh akan terlihat seperti seribu orang.

Junaedi, guru SD di Dusun Sebol, Desa Tiga Berkat, Kecamatan Lumar, Kabupaten Bengkayang, menceritakan pengalamannya. Ketika melihat orang demontrasi, dan keliling sambil membawa senjata tajam, dia sempat demam melihatnya. Jatuh Sakit.

Pengikut demontrasi dibuat sistem silang. Misalnya, warga kampung A melakukan aksi di kampung C. Orang kampung B, melakukan aksi di kampung D. Sistem dibuat seperti itu, karena antara orang Dayak dan Tionghoa, sangat dekat dari dulunya.

Dalam sejarah awal masuknya orang Tionghoa ke Kalbar, sebagian besar mereka terdiri dari bujangan. Mereka datang dan bekerja sebagai penambang emas. Generasi awal ini berasimilasi dan menikah dengan perempuan lokal, Dayak, Melayu atau lainnya.

Karenanya, kehidupan antara warga Tionghoa dan etnis lain, Dayak khususnya, sangat akrab. Mereka diikat oleh suatu perkawinan. Penduduk hidup berdampingan. Ketika terjadi pengusiran, warga Tionghoa di perkampungan diberitahu terlebih dulu. Yang melakukan pengusiran dari kampung lain. Awalnya, warga Tionghoa diam saja, ketika barang-barang di rumah diambil. Karena takut dan tidak tahan lagi, mereka menyingkir dan mengungsi.

Orang Dayak datang demonstrasi dengan mengenakan ikat kain merah di kepala. Mereka berteriak dengan lengkingan tinggi, sebelum mendatangi perkampungan. Orang Dayak seperti kerasukan ruh dan trance, sebelum melakukan pengusiran. Kalau ada orang Tionghoa melawan, akan dibunuh.

Ketika terjadi pengusiran terhadap orang Tionghoa di Bengkayang, Letkol Harsono Subardi, Eks Biro Intel POM Kodam Tanjung Pura, menemui beberapa panglima Dayak. Salah satunya, Panglima Sopa di Bengkayang. Dia melarang Panglima Sopa membunuh orang Tionghoa.

“Boleh memanfaatkan barang-barang dan menempati rumah. Tapi jangan membunuh,” kata Harsono.

Membunuh adalah pelanggaran hukum. Warga Tionghoa biasa, tidak tahu menahu tentang PGRS-PARAKU. Dia bertugas di Bengkayang, menentramkan orang Dayak, untuk tidak mengadakan pembunuhan. Orang Dayak tunduk dengan militer. Sehingga dia langsung menemui para panglimanya.

“Kalau tidak akan habis masyarakat Tionghoa di sana,” kata Harsono. Nah, di Pahuman sampai terjadi pembunuhan satu kampung terhadap orang Tionghoa, karena tentara tidak ada yang mengawasi ke sana.

Menurut Pastor Herman, dalam demontrasi orang Dayak memegang teguh pada dua B, Bakar dan Bunuh. Dua hal itu harus dihindari. Namun, satu bulan setelah peristiwa pengungsian, banyak dari pemuda Tionghoa yang masuk ke hutan keluar, untuk mengadakan perlawanan. Hal inilah yang pada akhirnya menimbulkan berbagai pertumpahan dan pembunuhan. Demontrasi dipersiapkan dengan sangat baik, sistematis dan cepat.

Dari penuturan Tyhie Dju Khian atau Petrus yang diperolehnya dari badan dunia yang menangani pengungsi saat itu, tercatat ada sekitar 3.000 orang meninggal dalam pergolakan ini. Sekitar 70 ribu orang mengungsi, meninggalkan tempatnya.

Pemerintah menyebut peristiwa 1967, sebagai Pergolakan Rakyat. Dalam peristiwa itu, terjadi pengusiran warga Tionghoa di sepanjang perbatasan Kalimantan Barat dengan Serawak, Malaysia, oleh masyarakat Dayak.

Selain berbagai penyebab di atas, ada satu cerita yang membuat orang Dayak, ikut melakukan pengusiran terhadap orang Tionghoa. Peristiwa itu disebut dengan Peristiwa Sepasa. Sepasa merupakan daerah di Bengkayang.

Durani, 79 tahun, cerita padaku tentang peristiwa itu. Secara tepatnya, orang tidak tahu, kapan tepatnya peristiwa ini terjadi. Cerita ini dituturkan dari mulut ke mulut oleh orang tua, kepada anak-anak mereka. Cerita Sepasa dianggap sebagai satu alasan, orang Dayak ikut membunuh dan memburu Tionghoa di pedalaman.

Cerita Sepasa merupakan peristiwa pembunuhan yang dilakukan orang Tionghoa, terhadap penduduk Dayak di Kampung Sepasa. Ketika itu, orang Tionghoa dikenal sebagai pemberani. Punya senjata api dan bekerja di sungai-sungai yang penuh dengan butiran emas. Orang Dayak takut bila punya masalah dengan orang Tionghoa. Perkampungan mereka terpisah.

Suatu ketika, orang Tionghoa merasa dilecehkan, karena sumber air yang menjadi sumber penghidupan, ternoda oleh kotoran manusia. Orang Tionghoa beranggapan, orang Dayak pelakukannya. Maka dipanggil semua orang Dayak di Kampung Sepasa, dan dibuatkan pesta. Orang Dayak datang dan tidak merasa curiga. Semua makanan dihidangkan. Babi dipotong sebagai hidangan. Setelah itu, orang Tionghoa menghidangkan minuman arak. Orang Dayak menikmati semua hidangan, dan minum arak sehingga mabuk berat. Usai mabuk dan tak berdaya, orang Tionghoa membunuh semua tamu mereka. Namun, ada satu orang berhasil lolos. Orang ini bercerita pada masyarakat di sekitarnya.

Usai peristiwa itu, orang Dayak tak ada yang berani melawan. Mereka takut dengan berbagai peralatan dan senjata orang Tionghoa. Teknologi dan persenjataan orang Tionghoa lebih unggul. Senapan Lantak dan parang panjang, dibuat orang Dayak, setelah mereka belajar dari orang Tionghoa.

Sehingga ketika ada kesempatan untuk membalas, mereka melakukannya dengan semangat untuk mencari eksistensi diri. Selain itu, peluang ekonomi, harta rampasan, dan kekuasaan.

Dan, setelah orang Tionghoa terusir, terjadi perebutan rumah, tanah, dan berbagai aset lainnya. Kekosongan penduduk ini, diisi etnis lainnya. Sehingga timbul persaingan baru dalam pengelolaan aset, peluang ekonomi, pekerjaan dan lainnya. Semua itu, pada tahap selanjutnya, menjadi salah satu pemicu konflik di Kalbar.

Akibat peristiwa 1967, militer kembali menghidupkan budaya Ngayau atau memotong kepala. Padahal, budaya mengayau sudah berhenti di Kalimantan, pasca pertemuan semua suku Dayak Tumbang Anoi di Kalimantan Tengah, 1894. Prof KMA M. Usop, dalam bukunya berjudul Pakat Dayak menulis, pertemuan itu mengandung nilai-nilai kemanusiaan yang tinggi, yaitu persaudaraan, perdamaian dan kesadaran tertib hukum.

Semua nilai-nilai itu hancur, karena kebutuhan operasi militer dalam rangka penumpasan gerilyawan PGRS-PARAKU.(bersambung)□

Edisi cetak ada di Borneo Tribune, 19 Februari 2008
Foto Muhlis Suhaeri, Judul, Jelang Ritual.

Baca Selengkapnya...