Thursday, December 1, 2011

Mengunjungi Sabuk Penyebaran Islam di Jantung Borneo

Oleh Muhlis Suhaeri
Kabupaten Sambas ibarat sosok penari. Penari yang sudah lupa bersolek. Penari yang telah gontai mengikuti ritme tarian. Padahal dengan sekali gebrakan, segala kejayaan era masa lalu, akan muncul dan bersinar kembali.

Sebuah sore di muara Ulakan, Sambas. Ulakan menjadi pertemuan tiga cabang anak sungai. Sungai Sambas, Subah dan Teberau. Matahari sebentar lagi turun. Awan bergerumbul di batas cakrawala jadi tujuan akhir. Cahaya matahari menerpa air sungai. Memendarkan warna kuning keemasan. Siluet gerbang dan tiang kapal membentuk imaji tersendiri. Kepingan dan untaian pemandangan sore di komplek Kesultanan Alwatzikhoebillah Sambas tersebut, seolah ingin mengatakan sisa-sisa kejayaan masa lalu.

Komplek kesultanan terletak pada areal seluas satu hektar. Ada dua gerbang. Gerbang pertama jadi pintu masuk. Memisahkan jalan raya dengan komplek kesultanan. Terdapat masjid Jami’ Sultan Muhammad Safiuddin II, alun-alun, tiga meriam di bawah tiang bendera berbentuk tiang kapal. Gerbang kedua memisahkan alun-alun dengan istana Kesultanan Alwatzikhoebillah Sambas.

Memasuki lingkungan istana, terlihat lambang Kesultanan Alwatzikhoebillah berupa dua kuda laut bersayap mengapit matahari bernomor 9. Istana terdiri dari tiga bangunan. Bangunan utama di bagian tengah. Bangunan di kanan dan kiri berfungsi menyimpang senjata kesultanan dan tempat tinggal.

Sore itu saya menemui imam masjid Jami’ selepas salat ashar. Rasyidi Mukhtar (66), sosok lelaki bersahaja. Tatapan matanya teduh. Kepala selalu menunduk. Sebuah sikap tawaduk. Khas para hamba Allah yang selalu berserah diri.

Masjid Jami’ berdiri pada 1 Muharam 1303 Hijriah atau 10 Oktober 1885. Sultan Muhammad Safiuddin II diberi nasehat ibunya, Ratu Sabar untuk mendirikan masjid. Warga berpartisipasi. Kesultanan memberi untaian bunga setaman kepada warga yang menyumbang pembangunan masjid. Warga berbondong dan menyumbang.

Arsitektur masjid Jami’ sangat khas. Ada empat menara berbentuk limas melengkung. Bagian atas menyerupai pagoda. “Ada perpaduan dengan bangunan dari Muangthai,” kata Rasyidi.

Masjid beberapa kali alami perbaikan. Tahun 1935 dan 1980. Renovasi tak sampai mengubah struktur masjid. Bagian atas tak pernah diubah. Masjid awalnya satu lantai. Lantai dua hasil renovasi tahun 1980-an.

Masjid Jami’ terbuat dari kayu belian. Ini jenis kayu keras. Tahan hingga ratusan tahun. Sebagian kayu berasal dari bekas bangunan istana Sultan Aqomadin III di Tanjung Rengas. Istana dibongkar dan pindah ke Desa Dalam Kaum. Sebanyak 20 tiang kayu belian berdiameter 30 cm dengan panjang sekitar 18 meter menopang kerangka masjid. Masjid sanggup menampung sekitar 900 jamaah. Ditambah bagian pelataran, bisa menampung sekitar 1.600 jamaah.

Atap masjid terbuat dari sirap atau kayu setebal satu centimeter. Dulu, masjid bagian depan terdapat dua pintu yang dapat dibuka kedepan. Sekarang diganti dengan pintu geser. Jendela kayu diganti kaca. Masjid terlihat lebih terang.

Bagian imam terdapat mimbar bermotif ukiran khas Melayu Palembang. Kesultanan Sambas mendatangkan ahli ukir dari Palembang. Ada tempayan keramik dari Tiongkok. Tinggi dan lebarnya sekitar satu meter. Dulunya untuk menampung air untuk berwudhu. Sekarang tak berfungsi. Tempayan diletakkan di dalam masjid.

Satu masjid lain yang sering dikunjungi para peziarah adalah, masjid Bersejarah Sirajul Islam di Kecamatan Selakau, Sambas. Saya bertemu Mursidin. Dia cucu generasi ketiga Syekh Muhammad Sa’ad. Dia murid Syekh Ahmad Khatib ibn Abdul Ghaffar al-Sambasi al-Jawi.

Sa’ad belajar agama dan hukum Islam di Bagdad, Irak. Dia mengajar Thariqat Qadiriyyah Naqshabandiyyah 18 tahun di Banjarmasin, Kalimantan Selatan. Juga mengajar di Nusa Tenggara barat (NTB), dan lainnya.

Masjid Bersejarah Sirajul Islam dibangun pada 1340 H atau 1927. Masjid berada di daerah aliran sungai Selakau. Pendiri masjid ada tiga orang. Yaitu, Syekh Muhamad Sa’ad, Datuk Itam dan Datuk Uray Aswan. Datuk Itam memiliki ilmu kanuragan. Dia kebagian cari kayu di hutan.

“Mereka mewakili golongan ulama, cendekiawan dan pemerintahan,” kata Mursidin.

Masyarakat secara swadaya turut membangun masjid. Setiap panen, warga menyerahkan sebagian padi bagi pembangunan masjid.

Bangunan utama masjid tidak diubah sejak dulu. Hanya bagian dalam yang diperbaiki. Atap sirap dari kayu diganti atap seng. Masjid berukuran 12 x 18 meter dapat menampung sekitar 300 jamaah. Ada enam tiang utama dari kayu belian berukuran 16 x 16 cm. Kayu dibungkus panel kayu.

Kekhasan bangunan masjid sangat kontras dengan lingkungan sekitar. Sungai, pasar, nelayan dan kuburan, seolah menjadi siklus bagi perjalanan hidup manusia.

Sejarah Sambas
Empu Prapanca dalam Kitab Negara Kertagama menyebut kerajaan Sambas yang masih beragama Hindu. Sejarah Sambas dibagi dua fase. Pertama, fase Sambas kuno sudah ada sejak abad ke 13. Warga Sambas masih beragama Hindu, karena pengaruh dari Majapahit. Kedua, sejak Kesultanan Sambas sekitar abad ke 16.

Kesultanan Sambas didirikan Sultan Muhammad Safiuddin I. Dia pemeluk agama Islam. Sultan memerintah dari 1631-1668. Kesultanan Sambas alami masa kejayaan saat diperintah Sultan Muhammad Safiuddin II, 1866-1934. Dia sultan ke 13. Pada saat itu rakyat Sambas sangat makmur. Perkembangan ekonomi maju. Begitu juga perkembangan Islam.

Kondisi itu tak mengherankan. Sebab, pelabuhan dan perairan Sambas langsung terhubung dengan jalur pelayaran internasional di Singapura dan Malaka. Sambas punya hubungan baik dengan negara-negara tetangganya.

Seperti juga kerajaan lain di Kalimantan Barat, Kesultanan Sambas berada di pinggir sungai. Sungai jadi jalur utama saat itu. Sehingga menjadi pilihan mendirikan pusat pemerintahan. Secara ekonomi dan pertahanan lebih menguntungkan. Kesultanan Sambas berada di muara Ulakan. Yang menjadi pertemuan tiga cabang anak Sungai Sambas, Subah dan Teberau.

Kesultanan Sambas mendatangkan para penambang emas dari Tiongkok, untuk menambang emas di wilayah Kesultanan Sambas. Monterado, Mandor dan Sempadang merupakan tujuan awal orang Tiongkok pertama kali masuk ke Kalbar.

Kesultanan alami kemunduran, saat Sultan Muhammad Mulia Ibrahim Syafiuddin yang berkuasa sejak 1931-1943, diculik dan dibunuh Jepang. Sejak Juli 1950, Kesultanan Sambas bersama seluruh kerajaan di Borneo Barat, bergabung dan menyerahkan mandat kekuasaan pada Republik Indonesia Serikat (RIS). Selepas itu, Kesultanan Sambas hanya diperintah Ketua Kerabat Kesultanan Sambas dengan gelar Pangeran Ratu.

Sejak 1957-1999, Sambas menjadi Daerah Tingkat II Sambas dengan ibukota Singkawang. Pada 2009, Kabupaten Sambas dimekarkan menjadi Kabupaten Bengkayang. Ibukota Kabupaten Sambas pindah ke Kota Sambas.

Perjalanan ke Kabupaten Sambas dapat ditempuh dengan perjalanan darat dari Pontianak. Ada bis umum melayani rute ini. Kalau mau lebih cepat, Anda bisa menggunakan taksi. Armadanya Kijang Innova. Kendaraan diisi 4-5 orang. Butuh waktu sekitar lima jam dari Pontianak.

Ada beberapa penerbangan langsung ke Pontianak. Dari Jakarta, Batam, Jogjakarta, Pangkalanbun, Balikpapan, Kuching dan Singapura.

Seni, Budaya dan Islam
Hampir tak ada kehidupan masyarakat Melayu Sambas terlepas dari ritual dan budaya. Sejak lahir hingga meninggal, masyarakat melaksanakan ritual dan adat yang identik dengan nilai-nilai keislaman.

Pengaruh Islam melekat pada seni dan budaya lokal. “Seni dan budaya di Sambas tak bisa dipisahkan dengan religi,” kata Arpan, penulis buku mengenai saprahan.

Warga punya tradisi makan bersama atau saprahan. Satu saprah untuk enam orang. Ditata berderet dan memanjang. Saprahan biasanya dilaksanakan pada acara pernikahan.

Menu saprahan tergantung orang yang punya gawe. Selama 2-3 hari acara, biasanya para tetangga cuti dari kerja. Mereka membantu dan bergotong-royong. “Sehingga setiap orang mampu melakukan saprahan,” kata Arpan.

Kalau di desa, karena sebagian besar berprofesi sebagai petani, mereka menyumbang dengan barang. Warga membawa dua kilogram beras, satu ekor ayam, satu kelapa dan gula. Hal itu sebagai tanda ikut bergembira dan meringankan yang punya gawe. Kalau di kota, biasanya menyumbang dengan uang.

Dalam saprahan terdapat acara rentetannya. Ada acara Mulang-mulangkan. Pengantin lelaki datang ke rumah pengantin perempuan. Pada acara itu, keluarga pengantin lelaki menyerahkan pengantin lelaki pada keluarga perempuan. Dan keluarga perempuan menyerahkan pengantin perempuan pada keluarga lelaki.

Pada acara Mulang-Mulangkan, dodol makanan khas yang selalu tersaji. Dodol rasanya manis. Hal itu sebagai harapan, kehidupan lebih baik bagi pengantin. Berbagai ritual adat dan budaya akan ditampilkan. Ada zikir, nyanyian dan tarian.

“Semua mengandung unsur keislaman,” kata Yuhendri, Kasi Kebudayaan Disporabudpar Sambas.

Ada tiga jenis zikir. Zikir barzanji, nazam dan maulud. Pada acara pindah rumah, sunatan, ritual buang rambut anak kecil, biasa menggunakan zikir barzanji. Isinya puji-pujian dan riwayat Nabi Muhammad. Zikir maulud khusus untuk acara maulud atau memperingati Hari Kelahiran Nabi Muhammad. Kataman Alqur’an biasanya menggunakan zikir nayam.

Radat atau nyanyian berbahasa Arab akan ditampilkan. Liriknya memuji kebesaran Allah. Ada penyanyi solo. Gerakan penyanyi sederhana. Sehingga nilai religinya muncul.

Tarian jappen lembut ikut ditampilkan. Ini tarian khas. Hanya ada di Sambas. Beda dengan jappen di daerah lain. Jappen lembut pakai bahasa Arab. Tarian ini tak bisa dipisahkan dengan semangat dan nilai keislaman. Gerakan tubuh lentur dan lembut. Ada nuansa religi yang kuat pada penampilannya.

Begitulah budaya khas Sambas. Tak terpisahkan dengan nafas keislaman.



Para Imam dari Sambas
Sambas menorehkan beberapa nama besar dalam perkembangan Islam di Indonesia atau dunia. Karenanya, mengunjungi Sambas serasa tak lengkap, tanpa berziarah ke makam para raja dan imam. Meski hanya ramai pada hari tertentu saja, makam itu selalu dikunjungi para peziarah.

Ada ulama besar tingkat internasional kelahiran Sambas. Namanya, Syekh Ahmad Khatib ibn Abdul Ghaffar al-Sambasi al-Jawi. Dia kelahiran Kampung Dagang, Sambas, 1803. Semasa remaja belajar ilmu agama di Mekah, Saudi Arabia. Dia belajar kepada guru bernama Syekh Syamsuddin. Syekh Khatib menikah dan tinggal di Arab Saudi. Dia memiliki tiga anak. Yaitu, Syekh Yahya, Siti Khadijah dan Syekh Abdul Gaffar. Semasa hidupnya, dia menjadi imam di Masjidil Haram, Mekah. Dan termasuk ulama besar di Saudi Arabia.

Syekh Khatib mengabungkan dua aliran besar tasawuf, Qadiriyyah dan Naqshabandiyyah menjadi Thariqat Qadiriyyah Naqshabandiyyah. Kemunculan tarekat ini menyumbang perkembangan dan peradaban Islam yang kuat di Indonesia. Syekh Khatib meninggal dan dimakamkan di Mekah pada 1875.

Sebagian besar muridnya menjadi penyebar Islam di Indonesia dan Asia Tenggara. Misalnya, Syekh Muhammad Makruf Ibn Abdullah al-Khatib dari Palembang. Syekh Haji Ahmad dari Lampung. Syekh Abdul Karim dari Banten. Syekh Ahmad Thalhah dari Cirebon. Syekh Ahmad Hasbullah dari Madura. Syekh Muhammad Isma'il Ibn Abdul Rahim dari Bali. Syekh Yasin dari Kedah Malaysia. Syekh Abdul Latif bin Abdul Qadir Sarawak, Malaysia. Syekh Nuruddin dari Filipina. Syekh Abdullah Mubarak bin Nur Muhammad dari Tasikmalaya. Syekh Muhammad Saad dari Selakau, Sambas.

Syekh Muhammad Sa’ad meninggal di Selakau. Makamnya berada di samping Masjid Sirajul Islam. Makam itu dibiarkan terbuka. Tak ada pembatas atau atap. Dulunya, pernah dibuat atap. Tujuannya melindungi makam dari hujan atau terik matahari. Namun, ketika anaknya bernama H. Abdul Mu’in pulang dari belajar di Kairo, Mesir, dia mendapati makam orang tuanya diberi rumah-rumahan. Segera saja rumah-rumahan itu dibongkar. Dia kuatir orang berbuat syirik, karena mengkultuskan dan mengeramatkan makam.

Setiap tahun ada rombongan tur kunjungi makam Syekh Muhammad Sa’ad. Terutama murid-murid dari pondok Pesantren Suralaya, Tasikmalaya, Jawa Barat. Atau, beberapa pesantren dari Nusa Tenggara Barat. Bahkan, tahun 2010, ada rombongan dari Brunei, Kuala Lumpur, Kabupaten Sanggau, Landak, Pontianak mengunjungi makam secara bersama.

Mereka datang dan berdo’a di depan makam. Paling lama dua jam.

Sejarah perkembangan Islam di Sambas tak bisa dipisahkan dengan Sultan Muhammad Safiuddin II, raja ke 13 Kesultanan Sambas. Semasa berkuasa, sultan mencanangkan Kesultanan Sambas sebagai Serambi Mekah. Sultan mengirim para alim ulama dari Sambas ke Arad Saudi, Mesir dan Irak untuk belajar ilmu dan hukum Islam. Juga mendatangkan ahli hukum agama dan guru pengajar agama Islam. Tak hanya dari Kalbar, juga dari negara tetangga. Sultan mengundang ulama dari Pattani, Thailand Selatan menjadi guru agama di Sambas. Namanya Abdul Jalil. Makamnya di Lumbang Keramat, Sambas. Peziarah kerap mengunjungi makam tersebut.

Orang Sambas menilai Sultan Muhammad Safiuddin II pemimpin berkarakter, jujur dan amanah atau bisa dipercaya. Ia memiliki karisma dan sifat pemimpin. Makam Sultan Muhammad Safiuddin II sering dikunjungi peziarah. Warga mengunjungi makam, karena semasa hidupnya sultan dianggap berjasa bagi Kesultanan Sambas. Keramat hidup dan mati. Artinya, semasa hidup berbuat baik dan berguna.

Warga kunjungi makam jelang Ramadan dan Lebaran. Ada berbagai alasan orang kunjungi makam. Mereka ingin bayar niat, mengharap berkah atau menghormati orang tersebut.

Sejarah penyebaran Islam di Kesultanan Sambas juga terlihat dari munculnya dua imam. Imam Maha Raja dan Maha Raja Imam. Imam Maha Raja adalah imam masjid. Ia tidak diangkat sultan. Sultan mengangkat dan menobatkan Maha Raja Imam melalui upacara kesultanan. Tugasnya mengurus pendidikan agama Islam, pendidikan sekolah agama, mengumpulkan zakat dan lainnya. Ia bertugas seumur hidup.

Sultan pernah mengangkat tiga Maha Raja Imam. Maha Raja Imam Haji Muhammad Arief, Maha Raja Imam Haji Muhammad Imran dan Haji Muhammad Basiuni bin Imran. Kedudukan mereka penting dalam syiar agama Islam di Sambas.

Saya menemui anak Basiuni Imran, Badran Hamdi. Ia seorang kontraktor. Menurutnya, sifat Basiuni Imran sangat sederhana. Basiuni sering diskusi dengan pemerintahan, bagaimana mengembangkan agama Islam dan ahlakul karimah warga.

“Beliau bisa bergaul mulai dari tingkat bawah hingga atas,” kata Badran Hamdi.

Basiuni Imran pernah belajar ke Mekah dan Mesir. Tahun 1889, ia ke Mekah mempelajari hukum Islam. Ia pulang ke Sambas tahun 1906. Tahun 1910, berangkat ke Universitas Al Azhar, Kairo untuk memperdalam hukum Islam.

Setelah balik ke Sambas, ia membuat beberapa metode dakwah. Mendirikan sekolah Tarbiyatul Islam. Menerbitkan buku-buku Melayu berbahasa Arab Melayu atau Melayu Jawi, biasa disebut Arab gundul. Melakukan pendekatan dengan kaum muda. Misalnya, sebagai dewan penasehat satu yayasan. Pemikirannya tentang Islam, terdokumentasi dalam beberapa buku. Dia juga menerjemahkan beberapa buku mengenai hukum Islam.

Dia juga terlihat dalam perjuangan kemerdekaan. Bersama pemuda-pemuda Sambas, ia memimpin dan mengganti bendera Belanda di kantor Controleur Sambas, 27 Oktober 1945.
Syiar agama bersanding dengan perjuangan membela tanah air.

Print edition in Garuda In-Flight Magazine, Middle East, December 2011

Baca Selengkapnya...