Sunday, December 1, 2002

Dari Sherina sampai Eliana

Riri Riza dari generasi yang meninggalkan semangat lama film Indonesia

Oleh Muhlis Suhaeri

DI RANJANG tergeletak dua buku. Satu dari buku itu bergambar pria bertopi Mao, berkaca mata hitam. Judulnya, Akira Kurosawa Something Like an Authobiography. Kurosawa sutradara legendaris Jepang. Buku yang lain bersampul coklat dengan gambar pria berkaca mata tebal, berjudul Pergumulan Seorang Intelektual. Ini biografi Soedjatmoko, intelektual Indonesia yang terkenal sampai ke luar negeri.

Pada papan kecil berwarna putih yang menempel di dinding terpampang nama yang empunya buku: Muh. Rivai Riza. Seprai putih membungkus kaki hingga dadanya. Di ujung lengan sebelah kanan menancap jarum infus yang isinya tinggal separo.

Seorang perempuan muda yang berada di dekatnya terlihat letih dan gelisah. Ia menekan nomor tertentu pada telepon selulernya. Perempuan itu bernama Wilita Putrinda, biasa dipanggil upik. Ia dan pria yang terbaring di ranjang itu menikah pada 1996. seorang wanita dan pria lanjut usia juga berada dalam ruangan ini. Mereka ibu si pasien dan ayah Upik.

Pasien yang akrab dipanggil Riri ini telah tiga hari menghuni lantai empat, kamar nomor 194, Rumah Sakit Medistra di Jalan Gatot Subroto, Jakarta Pusat. Pemicunya terjadi pada pertengahan September lalu.


Ketika itu ia tengah mengendarai mobil. Sang istri duduk di sebelahnya. Tiba-tiba ia merasa sakit pada bagian dada dan sekujur tubuh. Khawatir terjadi sesuatu yang berbahaya, mereka mampir ke rumah sakit untuk memeriksakan diri. Oleh dokter, Riri Riza dianjurkan untuk rawat inap.

Secara umum kondisi Riza terhitung baik. Tak ada kelainan pada jantung, liver, dan paru-paru. Tapi, ada gangguan otot. Penyebabnya? Si pasien kurang olah raga dan terlalu lama di ruang berpendingin. Riza juga diminta menghindari makanan berkolesterol tinggi. Kolesterol dalam tubuhnya mencapai 159 miligram, melampaui batas normal: 100 miligram.

Namun, dalam keadaan sakit, ia masih berusaha membaca buku-buku biografi itu. ”Dengan membaca biografi atau otobiografi, sebagai manusia kita menjadi kecil dan belum ada artinya,” katanya. ”Ada nilai-nilai universal yang bisa dicontoh dan diambil dari sang tokoh,” lanjutnya, lagi.

Ketertarikan pada watak dan karakter manusia dituangkan Riza dalam beberapa film dokumenter. Sebut saja, film tentang Sutan Takdir Alisyahbana, sastrawan angkatan Pujangga Baru, Agam Wispi, penyair yang terasing lama di luar negeri akibat peristiwa 1965, dan ibu Tuti, ibunda Yani Afri yang jadi korban penculikan di masa Presiden Soeharto.

Kini Riza menyiapkan naskah untuk film terbarunya tentang Soe Hok Gie. Soe tokoh intelektual dan pemuda idealis yang banyak mempengaruhi pemikiran generasi sesudahnya. Ia mati di puncak Gunung Semeru, terjebak gas beracun. Meski film ini dibuat tahun depan, Riza sudah mempersiapkannya dari sekarang.

”Kita jadi malu bila membaca kisah anak muda ini,” ujarnya. ”Tapi di sisi lain, banyak maling di negeri ini,” lanjutnya.

Menurut Riza, Shoe merefleksikan kegelisahannya terhadap perpolitikan di Indonesia, ”Dan, kita harus membuat film orang yang menentang tirani.”

Tiba-tiba ia seperti teringat sesuatu dan menyodorkan sebuah album padaku, berisi foto-foto bayi berusia sekitar dua bulan. ”Objek yang baik adalah yang paling dekat dengan kita,” katanya.

Liam Amadeo Riza, bayi dalam foto itu, putra pertama Riza. Liam lahir pada 10 Juli 2002, setelah enam tahun usia perkawinan Riza dan Upik. Nama Liam berasal dari Irlandia, yang artinya penjaga utama yang kuat atau ksatria. Amadeo kata lain dari Amadeus, bahasa Itali, yang artinya dekat dengan Tuhan. Riza yang menjadi nama belakangnya adalah nama keluarga.

Tampaknya sang ayah tengah rindu pada anaknya. ”Kasihan Liam. Sudah tiga hari tidak melihat bapaknya,” katanya.

”Kan sudah diberi kain sarung yang bergaris-garis itu,” tukas Upik sang istri.


PAGI ITU udara lumayan cerah. Jalan di depan kantor Miles Productions, sebuah rumah produksi di kawasan Cipete, Jakarta Selatan, tak jauh beda dengan daerah lain, penuh kendaraan macet.

”Ayo kita berangkat!” seru Mira Lesmana, sutradara sekaligus produksi film.

Di samping Mira, seorang pria bercelana jins dan jaket coklat muda ikut bergegas, menuju mobil Toyota Kijang abu-abu metalik. Sesekali si pria memegang gagang kacamatanya.

Agenda mereka hari itu menonton dan mengedit film Rumah Ketujuh, yang disutradarai Rudi Sudjarwo. Film Rumah Ketujuh adalah genre baru, genre romantic comedy. Adegan didominasi oleh pembicaraan dua orang saja. Skenarionya dibuat pada 1997. Ini kisah percintaan dengan gaya komedi situasi. Tak membuat orang tertawa terbahak-bahak, tapi tersenyum geli.

Kerja sama Riza dan Mira itu berlangsung sejak 1994 sebelum Miles Productions berdiri. Ketika itu Mira hendak mengerjakan proyek besar, tawaran dari perusahaan rokok Gudang Garam, dan Riza datang melamar. Mira menerima tawaran Riza dan mereka cocok sampai hari ini.

Riza kuliah di Institut Kesenian Jakarta, satu almamater dengan Mira. Ia mengambil jurusan penyutradaraan film di Fakultas Film dan Televisi. Riza lulusan terbaik pada 1993. Tugas akhirnya berjudul Sonata Kampung Bata. Film pendek ini meraih juara ketiga Festival Film Pendek Oberhausen di Jerman pada 1994. Setahun kemudian,
film ini masuk sebagai finalis Festival Film Antar-sekolah Film Tokyo, Jepang.

“Film ini bercerita tentang anak kecil yang tinggal di sebuah perkampungan pembuat batu bata di Bekasi. Suatu ketika, kampung didatangi rombongan komedi putar keliling. Si anak datang dari lingkungan yang lain. Dia ingin sekali main komedi putar. Tapi, sang anak tidak pernah mendapat kesempatan untuk itu,” katanya.

Pada 1994 ia juga sempat terlibat dalam pembuatan film bertaraf internasional, Victory. Film ini disutradarai orang Inggris, Mark Peploe. Kebetulan Peploe membutuhkan asisten dan Riza pun mendapat kesempatan itu.

Lokasi pengambilan gambar untuk Victory berlangsung di kota Besuki, Situbondo, dan Pamanukan, Jawa Timur. Film yang mengambil kejadian pada 1912 ini mengharuskan mereka mengubah semua lokasi syuting mirip dengan suasana tahun-tahun itu. Pengambilan gambar cuma lima hari sehingga mereka harus bekerja ekstrakeras. Riza mengatur semua hal yang menyangkut nasib kru film dari Inggris, Jerman, dan Amerika Serikat yang berada di Indonesia selama dua minggu.

Pada 1995 Riza terlibat pembuatan film dokumenter Anak Seribu Pulau bersama sejumlah sutradara, antara lain Garin Nugroho dan Nan Triveni Achnas. Di tahun-tahun awal kariernya.

Riza mengerjakan beberapa film dokumenter, seperti Siulan Bambu Toraja (1995), Kupu-kupu di Atas Batikku (1995), dan Nafas Batu Merapi (1996).

Buku Catatanku (1997), merupakan film televisinya yang masuk nominasi film terbaik kategori drama televisi pada Festival Film Internasional di Singapura pada 1998. Ia bertindak sebagai sutradara sekaligus co-writer.

Di antara rasa manis, ada masa pahit Riza. Mata Ketiga (1997), film yang dibuatnya bersama Mira Lesmana, tak laku di pasaran. Stasiun televisi tak bersedia membeli. Ia dan Mira terpaksa menanggung utang Rp 300 juta.

Kegagalan tadi tak membuatnya menyerah. Ia kemudian menggarap film berjudul Kuldesak (dari bahasa Perancis culde-sac, jalan buntu) bersama Mira Lesmana, Nan Triveni Achnas, dan Rizal Mantovani. Inilah film ‘pemberontakan’ pertama orang-orang yang berlatar belakang akademis di film orang-orang sekolahan.
“Apa sebenarnya semangat dari pembuatan film ini?” tanyaku.
“Kita ingin berteriak saja, supaya diberi tempat untuk berkarya,” jawab Mira Lesmana.

Namun, karya pertama selalu punya kekurangan.

“Kalau kita lihat film ini, ada yang terpotong-potong,” kataku.
“Ya, bayangin saja. Kalau ada empat sutradara. Dalam pembuatannya jalan sendiri-sendiri. Kemudian film itu digabung menjadi satu,” jawab Riza.

Film Kuldesak dianggap tonggak kelahiran kembali film layar lebar setelah beberapa dekade ambruk. Film ini diproduksi awal 1996 dan diputar November 1998.

“Saya langsung menangis. Terharu,” kata Mira, mengenang saat film tersebut diputar di bioskop 21, Jakarta.

Gerakan anak-anak muda yang ingin keluar dari semangat serta idiom lama film Indonesia ini terus berkanjut. Pada 1999 Riza dan teman-temannya, antara lain Rizal Manthovani, Miza Lesmana, dan Nan Triveni Achnas, mendirikan I-Cinema. Mereka bermanifesto untuk membuat film independen. Programnya membuat film layar lebar sebebas-bebasnya dan saling bantu. Film mereka juga tak lagi mengendepankan tema klasik tentang sejoli yang putus cinta lantaran yang satu berasal keluarga kaya dan yang lain miskin, kisah si baik hati dan si jahat yang hitam-putih, atau kekerasan yang vulgar. Tema-tema yang mereka tampilkan lebih kompleks dan berwarna dalam masyarakat yang terus berganti.

Film musikal Petualangan Sherina, yang disutradarai Riza pada 2000, menemukan gaungnya. Film anak ini dibintangi penyanyi cilik Sherina.

“Kalau melihat antusiasme penonton Sherina. Itu gila sekali,” kata Riza dengan antusias.

Mira bercerita bahwa saat itu ia dan Riza sama-sama nekad. Di tengah lesunya perfilman nasional, mereka malah membuat film anak-anak. Banyak orang pesimis, tapi mereka jalan terus. Hasilnya? Film itu meledak di pasaran. Orang rela antre di bioskop-bioskop, bahkan ada yang membuat tenda gara-gara takut tak kebagian karcis.

Dalam Ada Apa dengan Cinta, film remaja yang diproduksi pada 2000, Riza bertindak sebagai penulis cerita bersama Mira dan Prima Rusdi. Riza juga bertindak sebagai produser bersama Mira.

Film yang disutradarai Rudi Sudjarwo ini pun sukses besar. Riza sadar betul membuat film adalah pekerjaan bersama. Riza sadar betul membuat film adalah pekerjaan bersama. Riza menghargai setiap perbedaan pendapat dalam proses kreatif. Ia paham cara menyakinkan seseorang, hingga orang itu percaya dan satu visi dengannya.

Namun, Riza punya kelemahan. Menurut Mira, Riza bukan orang yang tepat waktu. Managemen waktunya agak kacau. Walau begitu tak ada pekerjaan yang jadi korban karenanya. Bila diminta mengerjakan sesuatu, ia akan terus intens dan memberikan seluruh waktunya.

Riza tak membantah. Bisa saja dalam satu hari ia membuat janji dengan 10 orang, tapi “Yang terpenuhi hanya tiga janji.” Untuk itulah, Mira selalu memberi tenggat waktu bila membuat janji dengannya. Meski Riza mengatakan sanggup menyelesaikan suatu pekerjaan dalam seminggu, Mira tetap memberi cadangan waktu beberapa hari untuk Riza merampungkannya.

Setelah Ada Apa dengan Cinta, Riza membuat film digital Eliana-eliana. Ia bertindak sebagai sutradara, penulis, dan produser sekaligus. Film ini membuat Riza nombok Rp 700 juta, tapi sedari mula ia memang tak menargetkan untung. Ini proyek idealismenya, eksperimen kreatifnya.

Eliana-eliana bertutur tentang hubungan ibu dan anak di tengah nilai-nilai masyarakat yang terus berubah.

“Seorang tokoh Bunda dalam Eliana-eliana, tidak bisa dibilang seorang ibu yang baik. Dia bisa berkata kasar pada anaknya. Merokok. Menurut kode-kode formal masyarakat Indonesia dan Islam, tidak memberi contoh. Tapi menurut saya hal itu ada,” katanya.

Bila Petualangan Sherina dan Ada Apa dengan Cinta dimulai dengan konsep bahwa dunia itu harus ideal dulu dan setelah itu baru ada drama, maka Eliana-eliana sebaliknya, dimulai dengan drama, dengan konflik.

Pada Festival Film Internasional di Singapura tahun ini, Riza memperoleh penghargaan sebagai Best Young Cinema dari juri Networking for Promoting Asian Cinema dan Federation of International Film Critic berkat film tersebut.


RIRI RIZA terlahir dari seorang ayah berdarah Makassar, Muhammad Riza. Ibunya perempuan Bugis bernama Hadjarah dg Tongi. Ia anak ketujuh dari delapan bersaudara.

Rumah mereka dihuni oleh lebih dari tiga puluh orang. Kebetulan rumah itu besar. Sanak yang datang dari kampung maupun keponakan ayahnya yang mau melanjutkan sekolah ditampung di rumah itu. Saking banyaknya orang, makanan saja harus dijatah. Untuk memenuhi sebagian kebutuhan lauk-pauk, keluarganya memelihara ikan di empang. Unggas seperti ayam dan bebek juga dipelihara. Hewan-hewan ini dipotong bila ada acara khusus.

Di depan rumah Riza ada pabrik kapur. Cerobong asap besar menjulang di atasnya.

Selang beberapa tahun tak ada aktivitas di pabrik itu. Suatu hari, menjelang magrib, cerobong asap tadi roboh di depan mata Riza yang tengah di beranda rumah. Ribuan kelelawar terbang bergerombol di langit yang semburat merah. “Saya menangis waktu itu. Buat saya hal itu sangat fotografik dan selalu saya ingat,” katanya.

Sejak kecil Riza selalu ingin berbeda, termasuk dalam selera berpenampilan. Ketika orang ramai membicarakan merek sepatu Adidas, Nike, atau yang lain, Riza malahan mencari merek lain yang tak beredar di pasaran, bahkan tak dijual di Indonesia. “Sepatu kesukaannya waktu itu adalah New Balance,” tutur Wardana, kakak Riza.

Riza terkenal gigih memperjuangkan keinginannya. Ia masih duduk di kelas dua SD waktu mendapat kamera fotonya yang pertama. Saat itu bentuk kamera memang besar-besar dan ia kurang tertarik. Suatu hari Krisbiantoro, seorang penyanyi dan pembawa acara yang tersohor saat itu, mengiklankan kamera saku merek Fujika di televisi. Kamera yang bisa dikantongi, kamera mini. Riza menangis minta dibelikan dan ia berhasil. “Saya memotret teman-teman main bola, kakak yang kecelakaan lalu lintas,” kenangnya.

Ia juga memotret suasana pasar. Saat itu ia biasa ikut ibunya ke pasar untuk menawar harga ikan. Pasar tradional sangat penting baginya. Pasar bisa dijadikan standar umum masyarakat, punya bahasa dan pergaulan yang khas. “Kita bisa melihat rakyat suatu kampung, hasil buminya, kecenderungan masyarakatnya seperti apa,” katanya.

Sayangnya, ia kini jarang menikmati suasana tersebut. Bila ada syuting atau undangan diskusi di daerah barulah ia berkesempatan jalan-jalan sambil menikmati pasar tradisional.

Ketertarikannya terhadap film juga dimulai sejak kecil. Ketika itu ayaknya bekerja sebagai direktur penerangan di Departemen Penerangan di daerahnya, anak buah Harmoko saat masih menteri penerangan. Riza akrab dengan proyektor, karena sering diajak ayahnya ke pelosok-pelosok kampung untuk memutar film-film pembangunan.

Film memang media afektif untuk mempropagandakan keberhasilan Orde Baru saat itu. Program transmigrasi atau aktivitas partai Golongan Karya selalu menjadi tema utama.

Saat Riza kelas tiga SD, keluarganya hijrah ke Jakarta. Ia melanjutkan pendidikannya di kota ini.

Di SMA Riza lumayan badung dan nilai pelajarannya buruk sekali. Ia sering berkelahi, bolos sekolah, bahkan mencoba obat bius. Namun, ia mengatakan tak menikmatinya, hanya sekedar fase yang kemudian berlalu.

Setelah lulus SMA, ia ingin masuk jurusan musik di Institut Kesenian Jakarta. Sejak kanak-kanak ia terinspirasi oleh musik. Kakeknya seorang pemain biola. Ia juga sempat menikmati kehidupan anak band ketika remaja. Dua nama grup musiknya terus ia kenang, Seedz dan Razor. Ia dan teman-temannya selalu memainkan Los Angeles Rock, julukan untuk aliran musik yang biasa dimainkan band-band yang berasal dari kota di Amerika Serikat itu. Sebut saja Guns and Roses atau AC/DC.

Cita-citanya memperdalam musik berubah begitu melihat ada jurusan film di institut yang terletak di pusat kesenian Taman Ismail Marzuki, Jakarta Pusat. Teman-temannya kaget melihat Riza berubah haluan.

Rupanya pilihan Riza mendapat restu sang ayah. “Mungkin ia berharap saya bisa menggantikannya kelak,” tuturnya.

Tapi film tak membuat musik surut dari kehidupan Riza. Membuat film ternyata memerlukan kepekaan musikal. Selain itu, “Saya tetap mencipta illustrasi musiknya,” katanya. Banyak film yang ia kagumi memiliki unsur musik yang kuat atau punya ritme pengucapan yang musikal.

Kepekaan terhadap musik juga berpengaruh ketika Riza menulis skenario film. Untuk konsentrasi pun ia membutuhkan musik.

Empat tahun kemudian ia menjadi produser film Garin Nugroho, Bulan Tertusuk Ilalang, pada 1994. Garin dianggap sutradara yang memelopori pembaruan di dunia film Indonesia, baik teknik maupun tema.

“Hidup saya berubah dalam waktu singkat,” katanya. Di usia muda ia harus bertanggung jawab pada produksi film sebesar Rp 600 juta. Riza juga menangani urusan keuangan. “Itu sangat berguna sekali sekarang,” katanya, lagi.

Mengapa Garin berani mempercayai anak muda macam Riza?

“Saya seorang guru yang tahu kemampuan murid,” kata Garin. Di mata sutradara ini, Riza punya keseriusan, disiplin, dedikasi, dan kemampuan. Keempat elemen itulah yang menjadi syarat bagi keberhasilan orang di bidang film atau apapun.

Apakah Riza sudah berhasil dalam berkarya?

Ia percaya manusia bisa menemukan sesuatu karena ada proses dialog dengan Tuhannya, ada semacam bisikan dari dialognya dengan yang lebih besar. Seorang seniman adalah orang telah dipilih untuk mendapat bisikan itu. Seorang Pramoedya atau Picasso tak mungkin menghasilkan karya yang dahsyat tanpa proses dialog, katanya.

“Anda merasa sebagai orang yang sudah dipilih untuk itu,” tanyaku.
“Saya merasa belum sebagai seniman,” jawabnya.

Ia hanya ingin karyanya berdampak luas, tak sekedar proyek kenes-kenesan. Kalau pun membuat film, harus yang bermakna bagi orang banyak.

Menurut Riza, film yang bernilai adalah film yang komersial, karena ditonton begitu banyak orang, sehingga tanggung jawabnya menjadi lebih besar. Dengan membuat film komersial yang bagus, ia merasa bisa berdialog dengan jutaan orang, dan menyampaikan sesuatu yang berharga.

ADA SATU hal yang selalu diingatnya hingga kini. Ia memperoleh kesempatan belajar di luar negeri berkat pengalaman dan prestasinya, bukan semata ijazah pendidikan formal.

Semula ia merasa minder mengajukan lamaran beasiswa, karena cuma lulus diploma. Syarat untuk beasiswa itu harus sarjana lulusan strata satu yang belum ada programnya di kampus. Tapi, ia lolos juga dan berangkat ke Inggris untuk kuliah penulisan skenario film di Media Arts Departement, Royal Holloway University of London.

“Itu pendidikan setingkat master,” katanya.

Kelas master untuk penulisan skenario cuma berlangsung dua kali seminggu. Formatnya diskusi. Sepuluh orang bertemu dan saling membagikan makalah. Mereka juga menonton film dan mendiskusikannya.

Namun, Riza mengaku lemah dalam penulisan skenario. “Tidak bisa menulis dengan tekun,” katanya. “Saya yakin bisa menjadi sutradara, tetapi menulis dengan konsep sendiri sangat sulit,” lanjutnya. Padahal semua sutradara yang ia kagumi, menulis sekaligus menyutradarai sendiri film-film mereka.

Riza menulis naskah skenario berjudul Growing Young untuk tugas akhir. Naskah itu setebal 111 halaman. “Standarnya satu halaman naskah untuk adegan satu menit,” katanya.

Ceritanya tentang seorang anggota pasukan antihuru-hara, yang melarikan diri dari Jakarta dan pulang ke Sumatera. Situasi di rumah menunjukkan bahwa polisi yang gagah dan selalu pakai tameng bila menghadapi demontran itu ternyata takut pada ayahnya. Seorang polisi yang selalu menjadi suatu bagian dari sebuah batalion, suatu hari ingin jujur pada ketakutannya sendiri.

Penggalan kalimat dalam novel Harimau-Harimau, karya Mochtar Lubis, tercantum diawal skenario tersebut. Novel itu antara lain, mengungkap sisi batin manusia, ketakutan mereka terhadap harimau yang bersembunyi dalam dirinya sendiri. Ironi ini muncul dalam diri manusia. Inilah yang ingin ditampilkan Riza dalam film.

Setahun kemudian ia tamat kuliah, kembali ke Indoensia dan mengajar di Institut Kesenian Jakarta, almamaternya.

Bagi Riza, seorang seniman perlu tercerabut dari akarnya untuk melihat masalah dari luar. “Tadinya saya hanya tahu bahwa film adalah medium visual,” katanya. Ternyata pengetahuan tersebut tak cukup. Film melibatkan emosi, karakter, dan menyentuh persoalan zamannya.

Riza berpendapat bahwa film harus memenuhi tiga kriteria utama: bisa menjadi komoditas ekonomi, punya unsur artistik yang kuat, dan memiliki unsur teknologi yang juga kuat. Tiga hal inilah yang akan dieksplorasi dalam semua filmnya.

Film yang baik adalah film yang sederhana. Penonton bisa memahami alur dan menghayati cerita film itu. Film yang menjadi tontonan banyak orang dari berbagai lapisan, menandakan film tersebut mewakili zamannya, mewakili dinamika masyarakat tempat ia lahir. Bagi Riza, filosofi dari film yang sesungguhnya adalah cerita tentang diri sendiri.

“Sekarang saya sadar, bahwa apa yang diungkap oleh Eliana, adalah ungkapan saya. Apa yang diungkapkan Bunda, itu kegelisahan saya,” kata Riza. Akhirnya film menjadi media ekspresi personal sang sutradara. “Tapi, film yang berhasil selalu punya arti yang lebih luas,” lanjutnya.

Garin Nugroho punya pendapat khusus tentang Eliana. “Memang dalam film bersifat human, Riza cukup berhasil.” Namun dalam film Eliana, Riza kurang menggarap sisi negatif dari budaya urban. “Ia kurang nakal,” komentar Garin.


DINDING-DINDING ruang tinggal di Apartemen Rasuna, Jakarta Selatan, itu berwarna lily white atau kuning rona gading. Catnya masih baru. Ini warna toleransi. Dalam menentukan warna cat rumah, ia perlu mendengar pendapat dari sang istri. Ia sendiri menyukai banyak warna. “Karena hidup itu penuh warna,” kata Riza.

Di ruang tersebut Lima Amadeo mengerjap-ngerjapkan matanya. Badannya lumayan besar untuk bayi seusianya. Ia tersandar nyaman dalam pelukan sang nenek. Tatapannya menyapu ke penjuru ruang. Buku-buku rapi berderet rapi dalam lemari kaca yang menempel di dinding. The Scorsese, Inner View, Andrej Tarkovsky, Ozu......Di sisi dinding yang lain, kaset-kaset DVD tersusun dalam rak. Judul-judulnya terlihat: The Lord of The Ring, Crouching Tiger Hidden Dragon, Vertigo, X-men, Blood II-The Last Vampire, Queen-We Will Rock You.....

Kue orang pindah rumah pun dihidangkan. Keluarga Riza baru saja pindah ke apartemen ini. “Ini namanya kue kaya,” kata ibu Riza. Kue itu terbuat dari santan dan gula merah. Ini mengikuti tradisi di Makassar. Bila orang pindah rumah, ulang tahun atau menyelenggarakan perayaan lain, maka kue serupa akan dihidangkan.

Riza memperlihatkan dua buku catatan padaku. Buku itu berisi potongan karcis bioskop. Riza membuat catatan ini sejak pertama kali membuat film, sekitar 1994. Biasanya ia memberi keterangan di bawah potongan-potongan karcis tersebut, semacam analisis atau komentar.

Ia kemudian menunjukkan catatan sebuah film yang ditontonnya dan membacakannya, “Gagallah, gagallah, dan gagallah dengan baik.”

Ia paling takut ketika tak bisa membuat catatan seperti itu lagi. Kini, dua minggu setelah sakit, ia belum mengisi bukunya lagi.

Riza pun sudah tak punya waktu untuk membaca. Dulu mobil, tempat tidur, dan kamar mandi menjadi tempat rutinnya membaca buku. Ia sengaja menggaji sopir pribadi agar bisa membaca di mobil. Di tempat tidur dan kamar mandi minimal dua buku bacaan tersedia. Buku terakhir yang dibacanya sudah setengah tahun lalu. Sekarang ia membaca tulisan yang pendek saja, macam esai dan cerita pendek.

Padahal, membaca buku penting bagi Riza. Ia menemukan kata-kata baru dari sana. Membuat film ada berbahasa. “Saya menemukan peristiwa dan saya menemukan cara menulis peristiwa,” ungkapnya.

Setelah itu ia memperlihatkan foto-foto bangunan padaku. Kelak ia ingin membuka teater dan galeri di Makassar, kampung halamannya. Sebuah bangunan telah dibelinya untuk itu. Riri Riza ingin mendirikan komunitas kesenian di sana. Kalau perlu akan didirikan semacam yayasan untuk menangani komunitas tersebut. Ia banyak cita-cita dan berharap, “Dalam bidang apapun yang akan dijalani kelak, saya ingin berteman dengan anak saya.”


Edisi cetak ada di Majalah PANTAU, edisi Desember 2002.
Foto dari Riri Riza blog, dan Miles Productions

Baca Selengkapnya...

Thursday, August 1, 2002

Spread Your Wing and Fly Away

Oleh: Muhlis Suhaeri

Aria Kusumadewa dari anak jalanan jadi sutradara alternatif.

SUATU sore di kawasan Taman Ismail Marzuki, Jakarta Pusat. Di antara rindang pohon dalam rembang cahaya dan sepoi angin, tampak tiga orang tengah berbincang sambil menikmati penganan kecil di pelataran warung empek-empek. Wajah salah seorang di antara mereka pernah muncul dalam sebuah iklan televisi. Ia juga cukup punya nama di dunia film. Penampilannya sederhana. Rambutnya ikal, hidung bangir, tatap matanya tajam dengan guratan dan kerutan di sekitarnya.


Aria Kusumadewa sangat akrab dengan lingkungan di sini. Ia sempat kuliah dan lulus dari Institut Kesenian Jakarta. Aria lulus saat kondisi perfilman di Indonesia mengalami krisis. Ada pengalaman pahit ketika ia masih belajar di sana. Tugas akhirnya ditolak dosen pembimbing, karena dianggap tak sesuai dengan teori. Saat itu ia membuat film berjudul Pelacur di Malam Lebaran. Ia bahkan menulis sendiri skenarionya.

“Seorang perempuan sudah mulai menua dan guratan keriput mulai kelihatan di sana-sini. Tepekur sendiri suatu malam. Hatinya mulai gelisah dengan proses yang ia jalani. Terbersit kesadaran malam itu. Suara bedug dari masjid sebelah rumah mengetuk-ngetuk jendela hati dan nuraninya. Malam itu malam lebaran. Ia ingin membuat suatu pilihan di malam sakral itu. Kembali ke jalan Tuhan atau dia selalu takut dengan masa lalunya. Suasana perempuan yang sedang sholat Idul Fitri di pelataran parkir timur Senayan yang luas akan membentuk suatu konfigurasi. Latar yang putih dari orang yang sedang bersujud pada Tuhannya, dan keinginan untuk kembali ke jalan yang benar, itulah yang ingin diparalelkan. Tapi, ketika keinginan itu belum muncul, perempuan itu memutuskan bunuh diri.”

Walaupun cuma berdurasi delapan menit, film itu telah menghabiskan seluruh tabungan Aria, sebesar Rp 8 juta. Ini jumlah yang tak sedikit pada awal 1990-an, karena ia menggunakan seluloid. Aria sempat menangis dan kecewa. “Saya menganggap, hanya di kampuslah kita bisa bereksperimen dengan ide kita. Ternyata, sejak di kampus pun kita sudah mendapatkan tekanan dalam hal ide,“ katanya.


SEHABIS gerimis di pelataran Gelanggang Remaja Bulungan, kawasan Blok M, Jakarta Selatan. Seorang lelaki melambaikan tangan. Ia mengenakan kaos oblong dan beralas kaki sandal jepit putih, bersih. Rambutnya yang semula panjang dan ikal kini pendek dan lurus.

Rambut yang diluruskan itu membuat setiap orang yang kenal dekat dengannya merasa asing. “Sebenarnya gue pingin gundul, tapi orang-orang yang menyayangi gue, pingin rambut gue dibikin eksperimen dan inilah hasilnya."

Ia menghampiri seorang kawan yang telah menunggunya. Di antara segarnya udara dan hiruk-pikuk kesibukan sore itu, mereka saling menyapa dan berbincang.

Aria berencana membuat film baru, berjudul Novel Tanpa Huruf R. Ia antusias bercerita. Ada tekanan dalam setiap kata dengan irama mengalir deras. Ada semangat. Gaya bicaranya penuh percaya diri. Ia bercerita dengan rinci, seolah berada dan menjadi bagian cerita itu sendiri. Tapi, ia kemudian berhenti dan menarik napas.

“Cuma gue sedang kesulitan mencari pemeran utama laki-laki?” lanjutnya.
“Memangnya kenapa?” tanyaku.
“Karena dalam film ini, sang pemain utama punya kebiasaan telanjang dan beronani. Tentunya adegan itu tidak kita tampilkan secara vulgar,” katanya.

Ia sudah melakukan riset dan melihat beberapa tempat untuk lokasi pembuatan filmnya. Ia tak akan membuat pernyataan-pernyataan dalam filmnya, tapi pertanyaan-pertanyaan.

Telepon selulernya berbunyi. Aria merogoh ke dalam kaos oblongnya. Telepon dipegang. Tapi, ia malah menjauhkan telepon untuk membaca pesan pada layar. Ternyata, matanya sudah plus dua. “Karena aku biasa mengedit film, itu mungkin penyebabnya.”

Pesan datang dari Lola Amaria, aktris muda Indonesia yang mulai naik daun. Ia tengah dalam perjalanan menuju Jakarta dari Cirebon dengan kereta api. Lola di Cirebon untuk launching film terbarunya, Ca Bau Kan. Lola jadi pemeran utama wanita dalam film yang disutradarai Nia Dinata itu.

Hajatan besar tampaknya baru saja selesai. Setiap orang yang kami temui menyapa Aria dengan ramah, menyalaminya, dan menanyakan kabarnya. Dari tukang parkir sampai seniman, menyambut hangat. Inilah lingkungan yang membuat lelaki ini merasa hidup dan damai.

“Lingkungan itulah yang bisa meningkatkan adrenalin saya dan membuat saya merasa bisa berkreasi,” katanya. Menurut Aria, sutradara yang baik tak hanya bekerja dengan pikiran tapi juga naluri. Kadang-kadang dalam membuat film, ia merasa trance, karena, “Saya sedang mencari titik untuk berkomunikasi dengan yang di atas.”

Aria bertutur bahwa dalam proses kreatifnya, ia merasa masih sangat tradisional, “Apa yang saya lihat, yang saya rasakan dan saya amati, kemudian akan saya terjemahkan dalam media yang saya punya, yaitu film.”

Karya film yang baik adalah karya yang mampu mencerminkan ketidaksempurnaan manusia. Ia sepakat dengan pendapat ini. Perbincangan kami mengalir, dari masalah perkawanan sampai masalah kesenian. Ia menyesalkan tempatnya dulu, Komunitas Gardu, yang kini harus dirobohkan karena sudah tak layak pakai. Teman-temannya tak bisa berkumpul lagi di sana. Ia merasa bersalah pada mereka. Setelah film Beth tak ada lagi kegiatan di situ.

Di tengah perbincangan, tiba-tiba sebuah taksi biru muda masuk Gelanggang Remaja. Seorang wanita muda keluar dari taksi. Rambutnya yang pendek diikat. Ia memakai jins dan kaos hitam. Walau tanpa riasan, ia tetap cantik, alami.

Cewek itu Lola Amaria. Aria langsung menyalaminya. Mereka berpelukan. Hangat. Aria kemudian mengenalkan Lola padaku. Bila melihat keakraban mereka, orang tentu akan berasumsi mereka pacaran.

“Kami cuma dekat saja,” kata Lola.
Kami bertiga meninggalkan Bulungan dengan Peugeot warna merah hati.
“Ini mobil Lola. Tadi saya pinjam,” kata Aria sambil duduk di belakang kemudi.

Suasana jalan lumayan sepi. Mobil melaju ke arah Jakarta Selatan. Ketika aku tanya pendapat Lola tentang Aria, Lola tertawa dan berkata, “Masak ngomongin orang, dan orangnya ada di samping kita?” Ia tertawa lagi.

Aria punya kehidupan yang tidak teratur dan tidak bisa diatur hidupnya. Ia lebih sering menggunakan feeling. Mendengar hal itu, Aria langsung menyambar, “Habis pakai logika, meleset terus.”

Sering Lola merasa jengkel ketika mereka janjian, misalnya. Tujuan sudah disepakati. Waktu keberangkatan juga sudah ditentukan. Tiba-tiba, ketika mau berangkat, Aria bisa saja membatalkan janji itu dengan alasan sedang tidak mood.

Tapi, jika hal itu berhubungan dengan pekerjaan, Aria sangat disiplin dan tepat waktu. Syarat bekerja dengan Aria adalah sabar dan satu irama. Saat syuting bisa saja Aria berubah pikiran dan mengubah adegan, melenceng dari naskah. Sebagai pemain tentu akan kebingungan. Repotnya Aria tidak bisa menjelaskan alasan di balik perubahan adegan atau lokasi syuting ini.

“Setelah kita tahu, oh, maksudnya ini,” kata Lola, tertawa.

Memang, teks bagi Aria hanyalah pegangan. Selebihnya, proses kreatif dan tafsir yang berjalan. Makanya ia tak pernah puas dengan apa yang dibuat orang lain. Ini dibenarkan Lulu Ratna, kawan dan rekan kerjanya dalam pemutaran film Beth. Kekuatan Aria terletak pada konsep ruang.

Dalam film Beth ada beberapa adegan yang tak ada dalam skenario. Ketika Aria melihat Bucek Depp, pemeran pria film itu, main skateboard terlintas ide menarik di benaknya. Ia lalu membuat adegan Bucek dan Ine Febrianti, yang memerankan tokoh Beth, berpelukan dan melayang di atas papan beroda itu, dalam gerakan lambat, rambut panjang tergerai, indah, dan romantis.

Lola juga sering menjadi tumpahan kemarahan Aria. Kejengkelan Aria pada orang lain tak jarang tercurah pada Lola. Tapi, Lola bisa paham.

“Mungkin, tidak ada orang yang diajak curhat,“ ujar Lola, sambil menggeserkan badannya.

Mobil berhenti di sebuah rumah bercat putih dengan pohon mangga di depannya. Pekarangan rumah lumayan luas. Beberapa kursi panjang dari bambu menghias teras muka.
“Kita sudah sampai,” kata Aria.

Inilah tempat tinggalnya sekarang. Rumah ini terdiri dari beberapa kamar. Aria menempati sebuah kamar di bagian belakang rumah, berukuran tak lebih dari 3x3 meter persegi. Ia harus membayar uang sewanya tiap bulan.

“Inilah ruangan saya,” kata Aria.

Ada nada tulus dalam suaranya saat mempersilahkan aku masuk.
Sebuah ambin kecil, pas untuk satu orang, menempel pada sisi dinding di sudut ruangan. Seperangkat komputer dan printer. Televisi. Tape kompo kecil. Semua tertata rapi. Sebuah lampu menyala dengan cahaya yang tak memendar, tapi tertumpu di satu sisi, menimbulkan kesan artistik.

Poster-poster filmnya juga menghiasi dinding berwarna putih itu. Ada selembar kertas yang dipasang terbalik. Ketika aku amati, ternyata itu sertifikat penghargaan untuk film Beth.

"Kok, dipasang terbalik?

“Gue nggak membutuhkan itu. Kalau mau memberi penghargaan, mendingan yang kongkrit aja,” jawabnya, enteng.

“Yang kongkrit itu seperti apa?” tanyaku.
“Misalnya, memberi uang untuk modal membuat film, itu jauh lebih kongkrit, ” jawabnya. Aria selalu kesulitan dalam mendanai film-filmnya. Mungkin, orang takut menanamkan uang mereka untuk pembuatan film yang ia sutradarai. Ada yang menganggap film Aria terlalu alternatif dan tak melihat selera pasar, tak berdaya jual.

Aria menyanggah, “Sinetron itulah yang terlalu alternatif. Masak mau tidur saja harus berdandan menor dan memakai sanggul gede? Itu ‘kan terlalu alternatif dan tak sesuai dengan realitas. Saya percaya bahwa persepsi penonton tidak tunggal. Selera yang ada di masyarakat itu masing-masing ada pasarnya.”

Aria juga tak suka publikasi. Dua filmnya, Bingkisan Untuk Presiden dan Beth, yang mendapat penghargaan dalam sebuah festival film independen di Rotterdam, Belanda, tak pernah dia kabarkan pada wartawan. Penghargaan, menurutnya, hanya membuat orang jadi sombong. Padahal, seorang seniman harus berani kembali ke titik nol.

Sebuah foto kuno menghiasi kamar itu. Foto orangtua Aria.

“Lihat, ibu saya cantik ‘kan?” katanya.

Seorang perempuan memakai kebaya dengan sorot mata tajam terekam di kertas foto. Cantik. Aria kerap merindukannya. Tapi, perempuan ini telah diambil yang Maha Kuasa.

Aku jadi teringat satu adegan film Novel Tanpa Huruf R yang pernah Aria ceritakan padaku.Beberapa anak kecil berlompatan ke laut dari sebuah kapal penyeberangan yang sedang bersandar. Mereka menyelam dan memburu recehan logam yang dilemparkan penumpang ke air. Gesit sekali gerakan mereka.

Salah seorang dari mereka, yang bernama Drum, tak ikut berebut. Ia melompat ke air dengan tangan menggenggam setangkai mawar merah. Ia ingin mempersembahkan kuntum mawar itu kepada seorang ibu, yang ia percaya bersemayam di bawah sana, oleh suatu peristiwa.


ARIA terlahir dan tumbuh di sebuah keluarga besar. Ia menyelesaikan sekolah dasar sampai sekolah menengah atasnya di Lampung. Ia anak kelima dari sembilan bersaudara pasangan M. Kusumadewa, lelaki kelahiran Surabaya, dan Muhibbah, perempuan dari Palembang. Keluarga ini sangat taat dalam menjalankan syari’at Islam. Mereka semua pandai membaca Alqur’an dan khatam berkali-kali.

“Ada rasa bangga, karena setiap khatam Alqur’an, kami akan disembelihkan kambing,” kata Aria.

Latar belakang keluarga itulah yang sangat berpengaruh dalam proses kreatifnya. Aria pernah menjalani kehidupan pesantren selama beberapa tahun. Walau akhirnya ia tak betah dan memilih kabur dari sana.

“Bayangkan saja, umur segitu, di mana usia lagi senang-senangnya main layangan, kumpul dengan keluarga, ingin melihat cewek cantik, bahkan kalau bisa menciumnya. Tapi di pesantren? Saya harus bangun subuh, mengaji terus, dan mengaji ini menjadi suatu rutinitas yang makin lama, makin menakutkan saya,” tutur Aria.

Ia tak hanya kabur dari pesantren, juga dari rumah, pada usia belia. “Kelas dua SMP,” kata Aria, dengan mata menerawang.

Ia mulai hidup dari satu keluarga ke keluarga lain yang mau menampung hidup dan menyekolahkannya. Saat itu ia merasa hidupnya mengalir begitu saja, “Hidup di jalanan, dipukuli orang, punya pacar cantik, di sekolah tidak terlalu bodoh, tapi juga tidak terlalu cerdas.”

Hobinya waktu kecil adalah membaca komik. Tapi, komik dulu tak seperti komik sekarang, yang serba grafis dan bertumpu pada teknologi komputer, katanya. Cerita-cerita silat menjadi tema paling laris saat itu. Tokoh-tokoh komik yang terkenal antara lain, Bangau Samparan dan Si Buta dari Gua Hantu. Kelak kegemaran Aria membaca komik tadi membawa hikmah pada keterlibatannya di film. Ia baru menyadarinya sekarang.

“Di dalam komik ada semacam editingnya, time shot.”

Usai sekolah menengah atas, Aria menyeberang ke tanah Jawa, langsung ke Ibu kota, Jakarta. Berbagai peristiwa ia alami di kota ini, juga menemukan teman sejati. Salah seorang di antaranya adalah Aman Sugandhi, orang yang disebutnya “bapak.” Aman memanggil Aria “Ujang.” Ujang berasal dari kata Bujang. Ini panggilan dalam bahasa daerah Aria untuk anak laki-laki. Hanya dua orang yang memanggilnya dengan nama itu. Ibunya dan Aman.

Pertemuan Aman dan Aria terjadi kebetulan pada tahun 1980-an. Waktu itu Aria sedang mengamen di Taman Ismail Marzuki dengan perut keroncongan. Aman kuliah di Institut Kesenian Jakarta dan sedang nongkrong bersama kawan-kawannya di sana. Begitu mendengar suara Aria, ia langsung tertarik.

“Suara anak itu bagus,” kenang Aman.

Aman lalu menawarkan makan pada Aria dan Aria tak menolaknya. Setelah itu mereka mulai akrab. Aria juga bergaul dengan seniman yang sering nongkrong di situ dan menyerap pengetahuan dari mereka sampai ia tertarik untuk kuliah. Aman mendukung niat tersebut. Aria pun masuk Institut Kesenian Jakarta, mengambil jurusan sinematografi.

Di mata kawan-kawannya, Aria dikenal sederhana, lugu, jujur dan ngomong apa adanya. Pergulatan hidup di Jakarta membuat ia banyak melihat dan menghadapi bermacam hal, lalu menyerapkan dengan baik. Babak demi babak tertanam erat dalam benak dan pikirannya.

“Film saya selalu menampilkan segalanya sesuai dengan realitas yang ada.”

Saat masih tinggal di belakang pasar burung di Jalan Pramuka, Jakarta Timur, ia mengenal seorang pelacur. Perempuan itu rupanya mulai sadar dan terlihat rajin mengerjakan sholat. Tapi, suatu hari ia ditemukan mati bersimbah darah. Lingkungannya gempar. Kenangan Aria terhadap kejadian ini berjejak pada filmnya, Pelacur di Malam Lebaran.


SORE itu diskusi film tengah berlangsung di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Indonesia. Orang-orang datang ke aula. Bangku mulai terisi oleh yang hadir. Empat orang duduk berjajar di depan hadirin. Mereka adalah Garin Nugroho, Rudi Soedjarwo, Hari Dagoe, dan Aria Kusumadewa. Keempatnya sutradara film.

Seorang peserta menanyakan motivasi Aria dalam membuat film. Aria menjawab bahwa dalam hidupnya tak ada sesuatu yang istimewa, semuanya mengalir apa adanya, dan mungkin hal itulah yang membuat dia lebih leluasa berkarya dari awal. Pengalaman hidup itulah kekuatan bagi proses kreatifnya.

Membuat film, merupakan kenikmatan, katanya, “Jangan-jangan, membuat film itu suatu hobi, karena bila itu dikerjakan dengan senang hati, akan mendapatkan hasil yang baik.” Aria ingin dalam proses berkeseniannya, ia tampil sebagai manusia yang bebas dan merdeka. Tak terikat aturan yang baku dan kaku.

Salah seorang mahasiswa komunikasi yang ikut seminar mengatakan jawaban Aria jujur-jujur saja, tak sediplomatis sutradara papan atas Garin Nugroho, misalnya. Kesan ini bertolak belakang saat orang menonton film-filmnya. Film Aria selalu membuat orang berpikir dan mengira sang sutradara pastilah tipe orang yang serius, dengan segala filosofi yang tertuang ke dalam layar.

Memang, dalam proses berkarya, perjalanan Aria tidaklah mulus. Film pertama Aria selepas dari kampus adalah Senyum yang Terampas. Film ini diproduksi tahun 1990, tidak bergaung sama sekali, dan boleh dikata, tak laku. Tapi, itu tak membuatnya patah arang.

Pada 1993, ia membuat film dokumenter berjudul Laskar Putri Indonesia dengan produser Garin Nugroho. Tahun 1996, ia membuat film lagi dengan judul Si Luet, untuk stasiun televisi Anteve. Film ini pun belum bisa mengangkat nama sang sutradara. Pada tahun yang sama, ia kembali membuat film untuk stasiun televisi tersebut, untuk tayangan “Oh Mama, Oh Papa.” Ada satu naskah yang rupanya tak dilirik sutradara lain.

Padahal, menurut Aria, dalam naskah itu ada persoalan menarik, yaitu masalah gender. Dalam masyarakat patriarki seperti di Indonesia, kesetaraan bukan isu populer. Aria kemudian menuangkannya dalam film Aku Perempuan dan Laki-Laki Itu. Aria menemui banyak kesulitan dalam mengolah karyanya ini. Ia kurang menguasai problem gender saat itu. Ia mencoba mengatasinya, bergaul dan berdiskusi dengan para aktivis gender. Banyak ikon dalam film ini. Aria melontarkan berbagai pertanyaan didalamnya.

Kenapa ada perempuan? Kenapa juga harus ada laki-laki? Kenapa harus ada tatanan yang dipertajam antara laki-laki dan perempuan? Dewi Selebriti, sinetron yang dibuat Aria pada 1997, telah mengangkat nama dan citranya di dunia penyutradaraan.

Padahal, selama satu setengah tahun film tersebut tersimpan dalam gudang stasiun televisi Indosiar. Krisis ekonomi yang berdampak pada matinya sejumlah rumah produksi membuat Indosiar terpaksa membongkar gudang mereka dan menyiarkan sinetron 26 episode tersebut. Dewi Selebriti sempat jadi salah satu sinetron favorit pemirsa saat itu. Tapi, Aria justru tak bersenang hati. Ia merasa telah menyutradarai karya yang hanya berorientasi pasar.

“Inilah karya pertama dan terakhir saya dalam dunia sinetron,” ikrarnya.

Pada 1999 Aria membuat film berjudul Bingkisan untuk Presiden. Film ini mengalami nasib serupa Dewi Selebriti, mendekam dalam gudang, kali ini milik stasiun RCTI, tanpa alasan jelas. Aria kemudian dituduh mengajarkan cara memakai narkotik dalam film tersebut. Ia juga dianggap sebagai bekas pecandu yang memperagakan pengalaman dalam karyanya. Padahal, ia tak bermaksud buruk.

Ia justru ingin memberi pesan pada pemirsa, betapa berbahayanya pengaruh obat keras. Akhirnya film itu ditayangkan RCTI pada hari Sumpah Pemuda, 28 Oktober 2001, setelah disunting habis-habisan. Pengalaman buruk dengan beberapa televisi swasta itulah yang membuat Aria, dalam sebuah happening art di Bulungan, memecahkan dan menghancurkan televisi. Ini hanya simbol perlawanan, bukan sikap anti teknologi.

“Saya menganggap, ruang saya di televisi telah mati,” katanya.

“Aku tidak mau menjual mimpi, apalagi membodohkan masyarakat.”

Kalau boleh jujur, harus ia katakan, bahwa film tidak bisa menghidupi dirinya. Bahkan, uangnya habis hanya untuk membuat film. Dalam proses pembuatan Beth, dia harus menjual mobilnya. Kekurangannya ditanggung bersama oleh Lola Amaria, Ine Febrianti, Nurul Arifin, Bucek Depp, dan kawan lain.


Beth yang diproduksi tahun 2000 ini pun tak bernasib baik di pasaran. Film tersebut ditolak pihak 21, jaringan bisnis pemutaran film terbesar di Indonesia. Aria tak menyerah. Bersama teman-temannya, ia melakukan road show, menyambangi satu per satu kampus yang ada di seluruh Jawa. Beth diputar di 26 kampus dan sukses. Karcis selalu habis dalam setiap pertunjukan.

Ia merasa memperoleh hikmah dari putar film keliling itu. Ia bisa berinteraksi, berdiskusi dengan penonton, dan mendapatkan kritik maupun saran untuk karyanya. Pada pemutaran Beth di salah satu kampus di Malang, Jawa Timur, ia dan Ine Febrianti kena damprat seorang mahasiswa yang menonton, “Kenapa hanya demi peran dan atas nama estetika, Ine harus makan sepiring dengan anjing?”

Aria sampai merujuk isi kitab suci untuk menjawabnya. Anjing, katanya, salah satu binatang yang tercatat dalam Alqur’an, selain semut, lebah, sapi dan sebagainya. Bahkan dalam Surat Alkahfi (gua), ada cerita tentang seekor anjing yang setia menunggui majikannya yang masuk dan tertidur dalam gua selama 350 tahun. Begitu sang majikan bangun, ia mendapati bangkai binatang itu teronggok di mulut gua.

“Itulah suatu bukti bahwa anjing dalam sejarah kebudayaan manusia sudah sedemikian dekatnya sejak dulu. Kalau dimakan memang haram hukumnya, “ kata Aria dengan nada datar.

Beth berkisah tentang pasien-pasien dalam rumah sakit jiwa. Para pemain dalam film ini tak dibayar. Bahkan, mereka harus patungan mengeluarkan uang dalam proses produksinya. Mengapa mereka mau?

“Saya percaya dengan Aria. Kalau dia bikin sesuatu, ia bikin dengan nyawanya,” kata Ine Febrianti.

Ine mengenal Aria sejak 1996, saat pembuatan film pendek Si Luet. Aria adalah tipe yang keras, kalau sudah berhubungan dengan profesinya. Ia tak boleh diganggu gugat, tak bisa dipengaruhi siapa-siapa.

Ada sifat unik yang selalu dikenal Ine dalam diri orang ini, “Aria itu gradakan, liar, tidak lazim, dan tidak biasa.”

“Dia itu, orangnya spontan, atos, dan absurd,” ujar Ine yang sempat terlibat dalam tiga film Aria, yaitu di Si Luet, Dewi Selebriti, dan Beth, sembari tertawa lepas.


SUATU petang pertengahan Mei lalu, cuaca Jakarta cerah. Gedung Galeri Nasional Jakarta, bangunan kuno berarsitektur kolonial itu, mulai didatangi pengunjung. Pelukis Hanafi menggelar pameran lukisan selama beberapa hari. Berbagai acara kesenian dan workshop digelar di sana, dari musik sampai film.

Tepat pukul 19.00 pemutaran film Beth dimulai. Bangku penuh terisi. Yang tak kebagian tempat nekad duduk di lantai. Setelah pemutaran film akan ada diskusi. Lantaran jumlah penonton yang membludak, panitia memutar film itu sekali lagi. Bagi yang sudah menonton, waktu jeda diisi dengan acara berpantun yang dilakukan spontan oleh seorang pria berpostur pendek dan berkepala plontos.

Dengan jenaka ia memamerkan kebolehannya di hadapan banyak orang. Penonton memberi semangat, agar ia terus berpantun. Seorang pria di antara penonton yang duduk di lantai ikut berteriak memberi semangat, “Terus...terus.”

Kakinya ditekuk sampai dagunya menyentuh lutut. Celana jinsnya biru. Sepatu kanvasnya abu-abu. Di sampingnya seorang perempuan duduk menemani. Si perempuan tampak gelisah dan diam saja sedari tadi. Mereka berbincang sebentar, lalu sama-sama bangkit dan meninggalkan gedung. Perempuan itu melangkah ke arah sedan warna merah hati dan si pria mengantar sampai pintu mobil. Drummm. mobil melaju dan pria itu melambaikan tangan.

Kini ia kembali dalam kerumunan orang. Ada yang menegurnya, “Hai, apa kabar Mas Aria?” Seorang wanita berambut agak ikal datang menghampiri. Ia selalu membawa buku agenda. Gaya bicaranya santai, tapi meyakinkan. Ia berbisik pada Aria. Dialah yang mengagendakan semua pemutaran film Beth dan menjalin kontak dengan pihak penyelenggara.

Lulu Ratna, nama cewek gesit itu. Lulu sangat enjoy kerja bareng Aria. Satu hal yang membuat Lulu selalu betah bareng Aria adalah sifat low profile-nya.

“Aria sangat mementingkan suatu karya,” katanya.

“Saya biasa kerja pakai nalar dan perencanaan, sedangkan Aria kerja pakai feeling.”

Tapi, itulah yang membuat mereka saling mengisi. Pintu gedung pertunjukan dibuka, tanda pemutaran film sudah rampung. Salah seorang yang keluar dari ruangan itu adalah Oppie Andaresta dan pasangannya, Kurt Keler.

“Dua puluh menit pertama biasa, sebentar lagi pasti gokil,” kata Oppie, mengomentari film Aria.

Aku meninggalkan gedung itu bersama Aria dan Lulu. Kami mencegat taksi. Mobil melaju dan perbincangan pun berlanjut. Aria kembali teringat teman-temannya semasa di Komunitas Gardu.

Ia bercerita, bagaimana Saut Sitompul menulis serta membaca puisi dan yang lain memaknai. Kemudian ada Didi Hasyim, melakukan monolog, sedang yang lain nongkrong sambil mendengarkan. Proses itulah yang menurut Aria sangat nikmat.

“Kekuatan Aria adalah kemampuannya menciptakan komunitas,” kata Garin Nugroho, “Ia juga pribadi yang tidak ingin didominasi oleh siapa pun. Walaupun begitu, dia punya sifat support kepada kawan.”

Ketika pertanyaan beralih ke film Aria, Garin berkata; “Filmnya adalah ekspresi yang terjadi pada dirinya. Dan selalu dalam posisi perlawanan. Salah satu film Aria, yang berjudul Aku Perempuan dan Laki-Laki itu, terasa sekali unsur perlawanannya.”

Tak terasa taksi telah sampai di perempatan jalan, di samping pertokoan mewah Blok M Plaza. Aku dan Aria turun di situ, sementara Lulu melanjutkan perjalanan ke arah Warung Buncit. Malam itu ramai sekali, maklum malam Minggu. Sampai tengah malam, suasana tetap hiruk-pikuk.

Kami berbincang tentang kawasan itu dan kehidupannya selama bertahun-tahun. Ia bercerita tentang proses kreatif salah satu filmnya, Bingkisan untuk Presiden, yang dimulai di situ. Suatu ketika pembicaraan mengarah ke urusan keluarga.

“Sampai sekarang, kalau mencium bau Rhemason atau minyak angin, saya akan menghindar,” katanya. Bahkan ketika dia berada dalam kendaraan umum, seperti bus kota, bila mencium bau itu, maka Aria akan turun.

“Saya jadi teringat ketika anak sedang sakit,” katanya, dengan pandangan menerawang jauh,

“Mungkin, itu rasa kangen dan rindu pada keluarga dan dua anak saya,” lanjutnya, lirih, lalu menenggak teh botol yang tinggal separo. Aria berpisah dari Mari Kondo, istrinya, setelah 14 tahun berumah tangga.

Mereka mempunyai dua anak. Putra sulung mereka, Mario Maralari sudah duduk di kelas satu sekolah menengah atas. Yang bungsu bernama Matahari Merah. Lola Amaria, sebagaimana ditulis oleh media, dikaitkan dengan perpisahan ini. Lola disebut sebagai pihak ketiga. Tapi, Lola membantah.

Ia bertemu Mari hanya sekali, “Waktu syuting film Beth di Bogor.” Ia baru dekat dengan Aria setelah perceraian itu. Aria juga menganggap berita media ikut memperburuk hubungannya dengan Mari. Tapi, sejak awal cinta mereka sudah mendapat tentangan dari orangtua Mari. Aria anak jalanan, sedang Mari berasal dari keluarga mapan.

Walau demikian, selalu ada ruang untuk berbagi. Aria dan kedua anaknya sering berlibur bersama. Ia mengajak mereka memancing dan dekat dengan alam. Ia juga tetap berhubungan baik dengan mantan istrinya. Mario menyebut Aria sebagai sosok yang teguh mempertahankan prinsip yang dianggapnya benar.

Adakah keinginan melihat orangtuanya bersatu kembali? Mario menarik napas panjang, lalu berkata, “Dengan jujur aku katakan, Mario memang sayang sama keduanya, tapi sebagai bocah kecil,” katanya. Ia juga lelah kalau setiap hari harus melihat kedua orangtuanya bertengkar.

“Kalau memang cara itu yang terbaik, ya, sudah,” katanya. Dulu, ketika masih bersama, mereka hanya bisa membayangkan apa itu popularitas, status sosial dan kebanggaan diri. Kini, ketika itu semua hadir, keduanya tak bersatu lagi.

Di mata Aria Kusumadewa selalu tersimpan kerinduan pada orang-orang yang dicintainya, pada ibunya, pada keluarganya yang terpisah. Tapi, ia tetaplah orang dengan jiwa yang bebas. Udara mulai berembun, tapi sinar merkuri dari lampu jalan menyapu gelap malam itu. Kami memutuskan berpisah.

Melihat dia, aku teringat sepotong syair dari Queen, grup musik legendaris yang ia suka.

Spread your wing and fly away
Fly away far away….
because you are free man….**

Edisi cetak ada di majalah Pantau, edisi Agustus 2001

Baca Selengkapnya...