Saturday, April 15, 2006

Melongok Benyamin Si Biang Kerok

Kompas,
Sabtu, 15 April 2006

Dia dijuluki biang kerok dan kata itu bercerita banyak tentang dirinya. Julukan yang berarti "penyebab keributan" itu tidak cuma menunjukkan kenakalannya: menggerakkan pemberontakan atas pakem umum dan formalistis. Biang kerok juga terkait erat dengan yang disebut oleh Ridwan Saidi sebagai setiar (ikhtiar) dalam memupuk rasa percaya diri yang mendorong terbentuknya pandangan hidup orang Betawi yang "engga hero" alias tidak menghiraukan.JJ Rizal

Inilah salah satu kunci membaca Benyamin. Benyamin memang bukan sekadar nama, dia adalah sebuah pengertian. Sosok yang merupakan representasi dari tradisi-kebudayaan orang Betawi. Suksesnya, daya pukaunya, maupun kenakalannya yang genial. Semua itu adalah buah dari apa yang disebut oleh penulis biografi terkemuka, Rudolf Mrazek, sebagai "struktur pengalaman" atau apa yang telah membudaya dalam diri seseorang, melalui mana ia mengonsepkan dirinya dan masyarakat.



Dalam hal ini struktur pengalaman Benyamin adalah corak khas masyarakat Betawi yang mempunyai "egaliterianisme" dan "anti-formalisme". Benyamin adalah cermin dari yang disebut pengamat kebudayaan Betawi, Mona Lohanda, sebagai ciri utama budaya Betawi yang jauh dari pakem-pakem kaku, tetapi sangat menampakkan sifat "kelenturan".

Mungkin dengan menempatkan Benyamin dalam "struktur pengalaman" itulah sebuah karya biografi tentang diri seniman Betawi ini—sebagaimana dinyatakan oleh sejarawan Taufik Abdullah dalam esainya yang menantang, Mengapa Biografi—tidak akan menjadi sekadar sebuah karya latihan akademis atau pemenuhan kontrak kerja yang telah ditandatangani, tetapi juga biografi sungguh-sungguh yang kreatif, subur, merangsang, dan menantang. Ia mampu merekam dan memperlihatkan hubungan antara tindakan dan nilai atau makna (struktur pengalaman) yang dilakukan oleh pelakunya dan bagaimana perbuatan itu dimengerti oleh lingkungan sosialnya.

Sayang hal tersebut tidak dapat dirasakan dalam biografi Benyamin S Muka Kampung Rezeki Kota karya Ludhy Cahyana dan Muhlis Suhaeri. Tidak terlihat adanya suatu usaha untuk menghadapkan diri si penulis biografi pada sasarannya. Karena itu, dapat dimengerti mengapa biografi tersebut hanyalah berdimensi satu; Benyamin berbuat dan perbuatannya kelihatan. Itu saja. Satu perbuatan diikuti oleh yang lain, seperti slide yang dipertunjukkan terpecah-pecah.
Inilah gaya penceritaan yang pernah disebut seorang ahli kritik sastra paratactic; kalimat menciptakan imaji-imaji tanpa pendalaman dan keterangan. Dengan demikian, keinginan untuk menguak makna atas fakta-fakta kehidupan Benyamin, si seniman Betawi legendaris kelahiran Kemayoran itu, tidak terpenuhi.

Di sana, memang, bahwa Benyamin adalah sosok seniman yang lincah dalam banyak lapangan seni. Salah satu yang terutama membuat nama Benyamin terkenal adalah kepiawaiannya di dalam mencipta dan membawakan lagu-lagu irama Betawi. Tetapi, ihwal bagaimana proses ia dapat begitu rupa menghadapkan tradisi musik Betawi dengan pelbagai arus musik modern Barat (blues, rock, jazz, pop, disko, rap, dan bahkan seriosa) tanpa kehilangan identitas kebetawiannya tidaklah terkuakkan.

Padahal, ini penting jika ingin menunjukkan ketokohan Benyamin sebagaimana dikatakan oleh penulis biografi Masao Maruyama, bahwa salah satu ketokohan seseorang itu ditentukan oleh caranya berjuang agar tidak kehilangan identitas dirinya terhadap homogenisasi dan standardisasi kemauan umum.

Tentu saja beberapa faktor dapat disebutkan untuk menguak Benyamin yang melihat konsep jati diri sebagai nilai penting (mungkin yang terpenting) dari struktur pengalamannya. Benyamin dilahirkan di Kampung Utan Panjang, Kemayoran (Jakarta Utara), pada 5 Maret 1939. Keluarga yang melahirkan Benyamin adalah keluarga khas produk dari Kemayoran, yang sejak awal abad ke-20 menunjukkan sikap penyesuaian diri pada perkembangan kemodernan, yang jauh lebih kompleks dengan pola multiras dan etnik yang luas dalam komposisi kemasyarakatannya.

Benyamin adalah salah satu dari generasi Betawi asli penghuni Kemayoran yang telah bersilang budaya dan berkawin campur dengan penduduk luar daerah yang didatangkan ke kampung tersebut. Ibu Benyamin, Siti Aisyah, putri seorang jago Betawi terkemuka dan kaya, Rodiun atau sohor sebagai Haji Ung. Ayah Benyamin adalah Sueb alias Sukirman yang berayah Kromojoyo, serdadu Belanda asal Purworejo.

Perkembangan yang memukau pada masa kelahiran Benyamin adalah citra Kemayoran yang memesona dalam peta perkembangan sandiwara-musik Indonesia. Pada masa itu Kemayoran bukan saja ramai oleh aktivitas seniman gambang keromong, wayang kulit, der muluk atau tonil yang menjadi nenek moyang lenong dines dan lain-lain. Tetapi juga telah menjadi kancah seniman-seniman yang disponsori oleh orang Belanda, indo, dan pribumi dalam memodernkan musik keroncong asal Tugu dengan irama musik jazz band yang melahirkan genre popular keroncong kemayoran.

Sekali lagi mengutip Mona Lohanda bahwa sifat kelenturan akibat persandingan, perkutatan, dan hubungan timbal balik yang terus-menerus antara tradisi dan kemodernan (pengaruh luar dan dalam) sebagaimana yang terjadi dalam perkembangan kesenian Betawi di Kemayoran itu pulalah yang kemudian terus hidup dan mempribadi pada diri Benyamin.

Benyamin sendiri dalam berbagai kesempatan sering mengungkapkan bahwa ia lebih kerap menyerap elemen-elemen Barat sejak kecil sampai sekolah menengah atas. Ia menjadi penyanyi fasih nada-nada irama cha-cha dan calypso yang populer di tahun 1950-an di kelab-kelab malam, seperti Sindang Laut, Wisma Nusantara, dan Hotel des Indes. Ia pun mendalami musik jazz dengan bermain bersama Jack Lesmana dan Bill Saragih.

Namun, setelah begitu jauh dan dalam menekuni musik Barat, pada tahun 1960-an, ketika politik Demokrasi Terpimpin yang dalam orientasi politik-budayanya menekankan pada upaya pencarian keaslian dan menentang musik Barat yang dianggap sebagai musik yang merusak moral dan jauh dari kepribadian Indonesia, Benyamin sama sekali tidak merasakan hal ini sebagai tekanan. Ia dengan sigap membanting setir menekuni irama dan lagu tanah kelahirannya.

Di sinilah Benyamin menunjukkan sifat kultural orang Betawi yang "lentur". Ia membawa unsur musik Barat pada tradisi musik Betawi, terutama gambang keromong dan sebaliknya. Publik tergetar. Tergelitik oleh spontanitas yang kaya humor dan dinamisme yang unik dalam musiknya, serta penampilannya yang menyegarkan saat membawakan lagu-lagu yang diciptakan sendiri, seperti Si Jampang, Hujan Gerimis, Tukang Solder.

Sambutan di tingkat massa yang hebat ini bukan sekadar karena lagu-lagunya dapat memuaskan kebutuhan ideologis masa itu dengan sifatnya yang merakyat dan menawarkan alternatif untuk musik Barat. Tetapi juga lantaran Benyamin dengan segala bakat dan kekayaan penguasaannya atas berbagai aliran musik modern dan tradisional Betawi telah benar-benar hadir dengan wujud yang tersendiri dan istimewa.

Selain itu, juga yang membuat Benyamin teramat menarik adalah kelihaiannya di dalam genre yang paling sulit dalam musik, yakni humor. Dalam karya musik, orang kecil biasanya tidak segera disejajarkan dengan humor, tetapi lebih sering dikaitkan dengan kesusahan, penindasan, ketidakadilan, dan sebangsanya. Namun, lagu-lagunya tidaklah menampilkan tokoh-tokoh yang terbebas dari kesulitan hidup. Tokoh-tokohnya adalah orang-orang kecil yang terbelit kehidupan yang sulit, seperti orang kecil mana pun, tetapi boleh dikatakan keseluruhan lagunya menumbuhkan suasana humor.

Inilah yang membedakan dan membuat Benyamin dapat meraih sukses yang lebih hebat dan dapat terus bertahan dalam memasyarakatkan lagu-lagu Betawi dari pendahulu-pendahulunya, seperti pasangan Suhairi Mukti dan Lilis Suryani (Sayur Asem dan lain-lain).

Bahkan, setelah iklim politik budaya yang mencari keaslian dan sifat kerakyatan Soekarno digulung seiring meletus peristiwa G30S 1965, Benyamin tetap berkibar di jagat musik nasional. Ia tetap dapat unjuk gigi ketika politik budaya Orde Baru Soeharto membuka lebar-lebar pintu untuk musik rock, country, serta pop Inggris dan Amerika untuk mengisi kekosongan yang tercipta akibat larangan pemerintah terhadap musik impor sebelumnya.

Segi lain yang tidak mendapat perhatian dalam biografinya ini adalah perkaitan Benyamin dengan perkembangan bahasa Betawi-Jakarta yang menasional. Ketika Benyamin hadir, ia bukanlah orang pertama yang secara sadar memakai base Betawi sebagai alat ungkap segala ekspresinya.

Namun, tak bisa disangkal bahwa kehadiran Benyamin telah membuat daya dobrak base Betawi semakin kuat untuk diterima sebagai lingua franca oleh masyarakat Indonesia. Ini lantaran Benyamin melengkapi penetrasi base Betawi yang sebelumnya telah menggebrak dan mewabah di media massa ke lingkup media elektronik.

Akibatnya, pengaruh base Betawi tak terbendung lagi dan membuat masyarakat Indonesia lebih dapat berbahasa Betawi-Jakarta ketimbang bahasa Indonesia. Sebab itulah jika indonesianis Ben Anderson dalam Languange of Indonesia Politics (1976) menggambarkan perkembangan bahasa Indonesia, yang bersumber pada bahasa Melayu, itu dua arah: perkembangan ke arah "kromonisasi" dan "ngokonisasi". Maka, bolehlah dikatakan bahwa Benyamin, di samping SM Ardan dan Firman Muntaco, punya artikulasi yang sangat besar dalam perkembangan bahasa Betawi sebagai ngoko-nya.

Benyamin memang seniman yang gape alias ahli dalam banyak lapangan, tetapi kalau neraca sejarah mesti menimbangnya, dua hal di atas telah membuatnya hadir dan kukuh bukan saja, pertama, sebagai tokoh lokal sebab bersamanya masyarakat Betawi pada paruh kedua tahun 1970-an mendapat kekuatan untuk bangkit setelah bertahun-tahun sejak MH Thamrin meninggal seperti tenggelam dan tidak memiliki kebanggaan identitas sebagai orang Betawi.

Namun, Benyamin juga sebagai tokoh nasional sebab dengan dua hal di atas ia telah menanamkan pengaruhnya yang dalam dengan basis pengikutnya yang amat luas di kalangan masyarakat kelas bawah. Setelah kematiannya pada 5 September 1995 sampai sekarang, sosoknya tetap mampu merangsang masyarakat umum, bahkan anak-anak dan kalangan remaja, untuk menjadikannya sebagai salah satu kiblat hati sanubari dalam mengetengahkan caleur local (warna lokal) dan mengekspresikan pemberontakan terhadap tabu-tabu.

Akhirnya, kalau Norman Miller, filsuf pemikir Amerika, pernah mengungkapkan bahwa "biografi adalah perjalanan sejati dari dasar hati sanubari seseorang ke dasar hati sanubari orang lain", biografi Benyamin ini sayangnya hanya mampu membawa pembacanya melakukan perjalanan sebatas kulit ari.

JJ Rizal Peneliti Sejarah di Komunitas Bambu dan Kolumnis Sejarah Betawi-Jakarta di Moesson Het Indisch Maandblad di Belanda

Kompas, 15 April 2006



Baca Selengkapnya...

Saturday, April 1, 2006

The Dream of Ordered Bride

Marriage usually gives a bunch of dreams. But, even a dream has two angles; they are the bad one and the good one. In Singkawang, those angles present their extreme sharpness.

By: Muhlis Suhaeri

On a paper she starts to write the names one by one. Her pen starts to shake. There is a pressure at each letter which she writes. The lists of words form a sentence. Cen Seng Fung, Po Chen, Sie Chi, at a moment, her breath starts to be unstable. That oriental face starts to ossify and strained. Her Mimic and face her implies sorrow. Hurt that very deep in.

After she wrote those names, her face directly bent down. She looks weak and pale. Her expression seems that she just lifted burden. A very heavy burden of hers. But he mimic looks more relax. She has an expression of submission on her faith and destiny that is not in her sides.

That woman named A Jan. She is one of ”Amoy”, it is a called of Tionghoa woman, a victim of ordered bride.


A Jan was born on December 7 1980 in Batu Payung village, district of Karimunting, sub-district of Bengkayang, West Kalimantan. That region used to be the part of Singkawang. After the separation, the region along the coast that face directly with Sea of South China, became parts of Bengkayang regency. The name of Batu Payung came from a little island that came up on the sea. A tree grew up among the rocks.

If we come to that place, a beach with its white sand will be seen. The sun sets very beautifully here. That view is very contrast with the condition of its surrounding. The bushes and the coconut trees combined with the simple house made of woods and the roof is made from sago palm or zinc. The way to this village is also very simple. Hard soil combined with the rocks with 2 meters width.

Most of the people that live there are from Tionghoa ethnic. Most of them are from Khek tribe. There are just view Maduranese family. People on the north coast of West Kalimantan keep pigs as their occupation. No wonder if we visit that place, the bad smell that come from pigs dirt will be smelled. Besides that, people there also find their living be fishing in the sea.

their tools to fish are simple. A little boat and the fish trap in the middle of the sea. In that fish trap, they make the net all night. However, the result is not enough. It is usually consumed only for their own needs. There was a factory of fish processing in that place. But that factory was closed. However, the trace of the existence of that factory is still can be seen clearly. The quay woods as long as tens meters to the sea to take the fish is also still in a good condition.

A Jan is the fourth child from eight siblings. Family economic pressures, makes her not able to continue her study. She was only able to study until the second grade of junior high school. After that, she tried her luck in Jakarta. A Jan worked as the shop keeper. She lived in Jelambar, West Jakarta. She lived and worked in Jakarta for a year.

She was matched with the Taiwan man by her family. For the people in her place, get married with Taiwan man is a common thing. Near to her home, there was 11 people that have got married with Taiwan man. They are living in Taiwan up to now.

A Jan was married when she was 17. her husband named Cen Seng Fung -41 years old. A Jan’s Mother’s sister in law was the person who introduced them. The marriage with Taiwan man always trough the matchmaker. A matchmaker can be from his/her own family, people who have married and live in Taiwan, of from the real matchmaker.

Ordered bride started with the visit of ”Kadin” or the Taiwan’s trader to West Kalimantan on 1980. the visit was continued by visiting Singkawang. The distance from Singkawang to Pontianak is about 145 Km to the North. ”In order to tied up the relationship, it is done by having the marriage among them” said Hairiah, a Child and Women activist in Kalimantan.

They assumed that marriage was one of the ways to tied up the brotherhood. Singkawang people believe that they have the same ancestors with Taiwan people. That is from China, Tiongkok.

In its development, ordered bride that symbolized of the kinship increasing become the way to get benefit for some people. They take the advantages from the owe eve of the education, family living source, the unknown about the right and obligation, consumerism, unfair gender issue or the majority of matrilineal culture in the family or the society.

”The low level awareness of a child value, and also others factors that become the weak point of family and society become the point of the matchmaker to persuade the parents to allow their children’s marriages,” said the head-covered woman that was invited to Taiwan, when she finds out this problem.

There is a certain pattern in the ordered bride. On the era of 1980s, usually, the woman that come to Taiwan. When she arrives in Taiwan, there is a facilitator that find the ”Amoy” to the Taiwan man. In the year of 1990s, the man from Taiwan who came to West Kalimantan to find Singkawang girl.

They even came with their parents. On the year of 2000s, marriage has been a business field. It become one way to find money. Many cases where a marriage woman came back to Singkawang. It absolutely after they go a lot of money and goods.
Various reasons and people who used the matchmaker to find their own prosperity make the ordered marriage happens. The matchmakers go to the poor village in the suburb. They look for the poor young woman. The matchmaker persuades and offers them to get married with the Taiwan man. And as the repayment, is to change their life to be better.

They also offer they service as the match bureau, and make the marriage package. It will make the prospective groom easier to held the marriage. Amoy usually obey all of the requirements that are given by the matchmaker. Especially in the case of documents and administrative procedure. Usually all the data related to the age will be manipulated. It was done because Amoy usually still in a very young age, -under 18.
”Parents role is very important to allow the intension of the matchmaker.”
Often, Amoy resist to be matched with the bridegroom, because, the man is much more older that her. When Amoy does not want to the matched, her parents will force them. With the reason to dedicate to their parents, and the willingness to get out from the poverty, finally Amoy will agree. If parents are agree too, the matchmaker will take care of all of the administration related to the marriage, and the preparation of the wedding party. All of the marriage cost will be demanded to the bridge groom.

The lack of Amoy’s education and the information of the prospective husband, are the gaps in this problem. The bridge should have the sufficient information, so it become the consideration for her future. Get married with anybody is the right of every person. ”but, she has also get a sufficient information about who is her prospective husband, where do they come from etcetera,” Hairiyah said.

Before the wedding party is held, usually, the pictures that is sent to the girl are the pictures of a good looking guy. But that just a fake. That thing is a trick that matchmaker does. The poverty and the unknown factors are the gaps that are always used by the matchmakers. When there is something wrong with the marriage, no one that should be responsible. If the trouble happens, Amoy that does not know her right will remain silent. Often they will go back to Indonesia and leave her child behind. They choose to get divorce. The reason is they have been exploited physically, mentally and sexually.

There are some reasons why ordered marriage happens in West Kalimantan. It is the poverty. West Kalimantan lies in the west of Kalimantan island, between line 2.08 LU and 3.05 LS. Width of the region is 146.807 Km, or 7, 53 percent of Indonesia. It is equivalent with one and a half of Java Island. West Kalimantan consists of 10 sub-provinces, and 2 municipal administrations. Based on Badan Pusat Data Statistik (BPS) or Statistical Data Center, in the year 2003, the number of residents is 3.947.691 people. It Consists of 2.038.471 men, and 1.909.220 woman. The number of children is 33,21 percent from the total residence.

The spread of the residence is not well. West Kalimantan is the fourth poorest province in Indonesia. Based on BPS, the level of poverty tends to be the same in the city or in the village. The poverty number in village is 14.42%. Index Development of Human Being OF West Kalimantan is on the 27 rank from 32 provinces in Indonesia. Base on the previous study from Bappeda on 2002, IPM 62.5. On 2004, IPM 65.4. IPM is the rate of education level, income, and health level.

Poverty is also the main reason of ordered bride. In order to change the family economic condition, a child has to obey the parents and her big family, and get married with Taiwan man. Besides that, the willingness to have a better life, change to go abroad, well perform, own their private asset, and because of love. They also want to get a better life by having a husband that love and respect them.

the man powers problem. With the high level of unemployed for about 8.80%. based on the data from the labor department and the society of West Kalimantan in 2003, the employee participation in the village is bigger than in the city. The percentage in the city is 74.70%, then in the village, it is for about 60.94%. but the level of the jobless in the city is 15.69%, and in the village is just about 6.66%. it is because the village sectors are more open for the job from various informal sectors. Or the sectors that less demanded the skill.

The rapid world development that is not followed by the increase of the ability, makes the competition is getting harder. It is also the cause of specific problems in developing country. The big number of workers but with the low quality. The globalization finally cause the immigration of the workers from poor country to rich country.

Education problem. Based on the data from education department (Diknas) in west Kalimantan, in 2004 there are 164.628 illiterate people. The level of education of the society is junior high school graduated. It reaches 85.34% from the total numbers. Because of that, for the work fields that demands the special education and skills, they can not be hired.

The problem of death mother. The number of death mother because of giving birth in West Kalimantan is about 5.2% per 1000 birth. The factors are the pregnancy that is not handled by the doctor, anemia pregnant mother, lack of zinc and others.

Taiwan is a cultural fusion and united culture. The problem of culture a Tionghoa people in West Kalimantan has the similar culture with Taiwan. Confucianism, Buddhism, and the adoration of the ancestors. People think that marriage with Taiwan man is the combination of the culture.

Why do Taiwan man choose Amoy as their life partner? People of Taiwan think that Amoy is loyal, diligent and very consistent in taking care of the family. Besides that, getting married with Amoy is cheaper that Taiwan girl where they have to prepare the car, house, and other household equipment. ”the married cost with a Taiwan girl is equal with the cost of 5-6 Amoy from Singkawang”, said A nga, a man from Singkawang.

So, how much do the cost that has to be prepared to get an Amoy? ”With the cost about 60 million, a Taiwan man is able to proposed Amoy,” A Nga said. The currency of Taiwan is dollar Taiwan. I U$ dollar is equal to 33 dollar Taiwan.

That money is to take care all marriage documents, the journey cost, and the accommodations. All of letters such as passport can cost for about 17-20 million rupiah. ”Amoy’s parents will only get 6 million rupiah”, A Nga said. No wonder, when in the problem of ordered marriage, the person who get the most benefit is the matchmakers.

Get marriage with Taiwan man is an easiest way to raise up the family economic. Right after marriage, Amoy can send some money to her parents in the village. With that money, they will be able to fix the house and as the capital for having a business.

As the description, based on the bank in Singkawang, the data of transfer from abroad in 2004 is Rp 2.433.050.436. in 2005 the total transfer increase become Rp 3.987.471.804. that is the number for one bank. Meanwhile, there are 5 banks in Singkawang. Not all the money is from Taiwan, but the biggest number is from there, said one of the bank staff.

The Taiwan man that married with Amoy usually from the middle to down level. If they life in the city, it usually from the cleaning service or others. If it is from village, it is usually farmer. In the beach area, it is usually from the fishermen. Although the man works in the government department, it is usually a retired or more than 40 years old.

Get married with Taiwan man is just like a gamble. If she gets a good man and he really wants to life with her, so Amoy will be able to increase the level of her family. But if she is unlucky, so the violence in the house can be happen.

As a farmers’ wife, Amoy has to work as a farmer too and work whole day to help her family in the farm. The worst is her husband works as a fisherman, when the famine is there, and the man can not pay the loan to get married, so the wife will be used to pay the debt. Whether as the prostitute, or anything. The more lucky if Amoy get a soldier or a civil servant as her husband, because she will get the salary for each month.

Besides that, the ordered bride is very sensitive with problems. They get a low legal status. This will make them difficult. The spread of Amoy community also make the coordination become difficult. The language also gives the problem too. Many of Amoy that can not speak mandarin. In West Kalimantan, they usually use Chinese with Khek and Teochiu dialects.

According to Domestic Ministry of Taiwan of year 1987-2003, there is 240.837 foreign people step into Taiwan with 93 % of bride. From Chinese Continent 57,8 % and South-East Asia 42,2 %. From that amount, ordered bridge of South-East Asia, counted 57,5 percentage of Vietnam. 23, 2 percentage of Indonesia. 5,3 percentage of Thailand. And 5,3 percentage of Filipina. Korean The rest and other.

Woman that get married with Taiwan man and their children are considered as the second level society. They often get the discrimination in Taiwan society. They are considered as the trouble maker in Taiwan. That is why, in 2003, Taiwan’s government give the limitation for the marriage with Amoy from Indonesia. It is about 2000 marriages each year. That is done because it is worried that the marriage will bring problem for Taiwan.

The fact that the position of women is in the sensitive spot. Even they already have children, but before 4 years, Amoy still become the foreign citizen in Taiwan. That is why they are easily to be depurated if they are considered brake the law and guilty. When it happen, they can do nothing. If they runaway, they have to leave their children.

In the article titled How Taiwan Law Discriminates Against the Newly-Arrived Female Immigrants, Bruce Liao, an assistants professor dari NCCU Taiwan, wrote, “The main laws governing immigrants’ destiny: the immigration act, the act governing relations between people of Taiwan area and the mainland area, the act governing the issuance of visas in foreign passports, the nationality act, the employment service act.

The pre-entry and entry barriers, regardless “the right to live together”. Screening interview mechanism: open-ended standards, hostile and humiliating attitude, awesome discretion. Discriminatory quotas: no exception or preference for family-based immigrants, immigration quotas along the national and regional lines—picking the superior races, quota for immigrations from mainland China have been enacted and enforced newly-arrived female immigrants in the land of Taiwan.

Unfair causes for deportation; vague and open-ended terms (e.g. national security, public interest, etc.), very trivial matters (e.g. gambling or breach of peace), without taking marriage immigrants’ special status into account, other unfair situations (e.g. catch an infection). That paper was told in the International Workshop for Asian NGOs on Female Imigran and Migrants event. That was held on 13-15 Mei 2005, in Chien Tan Overseas Youth Activity Center, Taipe, Taiwan.

Now Taiwan government do the new immigrations. Taiwan gives the chance to the foreign people that married with Taiwan man to learn the language, culture, and habits in an institution. No wonder if the people from Chine, Vietnam, Indonesia, Philippine, Korea, and others follow that program.

There is also a TV channel that give a hotline service. When somebody experience the violence, and other law problem, they can contact that service anytime by using any language. Even in the church, they make an association. They learn about togetherness, sharing each other about their problem, and solve it together.

After married, A Jan directly taken to Taiwan. They live in Chu-Pei city, Hsin-chu, Taiwan. Cen Seng Fung is the first child. Both of his sisters are girls. His father died as a soldier, when he was a boy. So Chen was taken care by his mother. For Taiwan people, a mother has a strong role in a family, even in finance matters.

A Jan does not want to tell her mother in law’s name. Hen expression suddenly become terrible when she was asked to write down her name.

After a year marriage, that couple has children. The first child is Po Chen, the second is Sie Chi, that was born on their third year marriages. Happiness always be in this family. When holiday, we always go to the ma or the zoo,” said A Jan.

With two children make Cen gives more attention to his wife. That makes his mother fells lonely. The mother tries to do something to get his son’s attention. She tells Cen that A Jan does not allow he to carry Po Chen and Sie Chi. Because of that, Chen started to be rude to A Jan. Every heard his mothers’ complaining, Cen directly hit A Jan. A Jan does not fight back or tell others about that. There is no relatives there. For several years, A Jan got physical abuse. Cen also use wood or iron stick to hit A Jan. No one care of A Jan because they think that is the problem in her family.

One day, Cen hit A Jan by using base ball stick. That makes A Jan must be hospitalized. Her left arm crack. After that, her husband starts to have good behave. But it just a moment, then Cen starts to hit his wife again.

The cruel action to A Jan makes her shocked. Fear always haunted her every time. When her husband come back from the office, it means hit and violence for her. Because of that physical stress, A Jan always screaming out side of the house. Looking at that thing, Cen directly drag her into the house.

A Jan started to be considered crazy. Cen does not give permission to her to tackle care of the children. She was shocked with that. A Jan has a depression. Her husband too her to the mental hospital. For a few moment she was taken care there. In the hospital A Jan tried to kill her self. She slice her hand by glasses. Blood was every where, but A Jan could survive, the slice did not cut her veins.


Ironically, because if that her husband divorced her. When in the hospital, Cen asked A Jan to sign the letter. Because she did not know, so she signed that letter. After she cure, she was sent home to Indonesia. And her children is with her husband.

In Jakarta, A Jan was taken to Pontianak to her village. For more that a year, A Jan was taken care. Her family thinks that there is an evil spirit inside her. So that, her family took her to the lauya or Chinese hamlet. A Jan even got hospitalized in Bodok hospital, or mental hospital in East Singkawang. She stayed there for few time alone. There were no law action for what had happened to ajan.

Although trouble often appear in an ordered marriage, but those problems are rarely to be known by the society. There are some factors that cause the difficulty in the handling of ordered marriage. One of them is from the family and the victim that always covered the problem. They think that the problem is the family scandal.

”That is why, the problem has to be covered and people out side the family souls not have to know it,” said Rosita Nengsih, The coordinator of LBH PEKA Singkawang. No wonder that if there is people outside the family are restricted by the family if they want to help the victim. The victim and her family usually do not want to talk with them.

This case is agreed by Maya, the social workers that often go to the village in Singkawang. Most of them are Tionghoa people. ”Actually we want to help their problem, but they refused it. They are too exclusive,” Maya said, with a little upset.

That attitude is not just appear in that way. There must be the background of it. Hari Purwanto wrote in his book, the people of Chinese Khek from Singkawang, ”the discriminative that often experienced the Chinese people in Indonesia not only because of Indonesian are jealous with the succeed of Chinese people. That is not the real reason. If Chinese thinks that they often be discriminated, they should analyzed about the real problem. In fact, that attitude that they received is because their own attitude in the past. long time ago Chinese always have a strong orientation to their ancestors. This attitudes avoid them to assimilated with the people surrounding them. Sometimes, the chauvinism among Chinese is so high, so some of them assumed that their people is more prestige than other tribes in Indonesia. Chauvinism is a psychology boundary for Chinese people to get assimilated with Indonesian.

In the era of colonial zed, Dutch separated the society into 3 classes. first European an (Dutch). Second Vremde Oosterlingen (Chinese, Arabic, India).third, Inlander (the native Indonesian). In the era of old Orde, Sukarno also made a discriminative statement. Sukarno published the government rules no 10/1959, that rules was about the forbidden for the non native little trader out side the capital. By this rule, Tionghoa finally gathered only in one place.

What about with the new Orde? This time is as the worst. Some attitudes and discriminative action manifest in many form. The legalized of SBKRI for Tionghoa was one of the most discrimination action that have ever done. On the name of SBKRI, various life side was stricter economical or politically. SKBRI also supported by special people to get some money. Various administration of identity card or documents always need a lot of money for the Tionghoa. Well, that kind of history that made Tionghoa people became introverted people.

For this long time, Indonesian government does not response this problem seriously. The handling of this problem never been finished. The link were disconnected in some places. There are some factors that can be done to reduce the problem of ordered marriage. In the making of important documents, just like identity card, passport, the related side must be more careful. For example by asking the person who make the passport, whether his or her age is already reached the standard or not.

For al this time, the immigration does not have their braveness. They think that administratively that thing are completed. So there is no reason not to give the passport, Hairiyah said.

Besides that, there are some opinion in the society, why do the people who want to be happy by having the marriages must be forbidden? When handled the passport making procedure, parents must have known about it. And this is a deal, not a rule brake.

Based on the data from immigration people in Singkawang, there is the increasing of women that want to have the passport. There are two kinds of passport, 24 pages for 3years, and 459 pages for 5 years. People who get married by the Taiwan man, usually make 48 pages passport, said the immigration officers in Singkawang. If in 2004 people that want to make the 48 passport are 1819 people. In 2005, it increasing became 2999. but the number of people who want to make 24 pages passport was decreased, in 2004 there were 9060 people, in 2005 became 964. so did with the woman worker that applied for the passport. In 2004 there were 1127 peoples, in 2005 it became 109 people.

Nosed on the data in the Singkawang court from 1997-2003, there were 170 cases of divorce with the Taiwan husband. The court was held in absensi or without the attendance of one side. That case is agreed if the proposed can explain their reasons correctly, and the court agreed it. After the divorce, in getting the right to take care of the children is also obstacle.

So, how does a mother can get the right to take care of her children?

M. Akil Mochtar, the vice of representative house III of Indonesia, when he was met in an seminar in Pontianak said in the matter of marriage that happened between Indonesian women with foreign man, based on Indonesian law, so the children that born will have their father’s nationality.

When the mother want to get her right to the under age children, it can possibly done by claiming in the national courts where her marriages were noted. And it usually can be seen if the mother has the capability in and a sufficient income. But the law matters are the children still have the foreign nationality and stay in Indonesia with the limited time. If the requirement are not fulfilled, he can be deported by the immigration.

Yes, the rule of law in Indonesia does not give the space for the women that got marriage with foreign people, to have the right to keep her children. Although the marriage happened in Indonesia. The constitution no. 62. 1958 stated that when the woman get marriage with the foreign people, the children will have the foreign nationality. When the children reach the age of 17, he/she can choose their own nationality that they want.

Some people that lost the trace, because there is no news from it. As experienced by Gow Sie Lan family in Singkawang. She got married with the Taiwan man in 1982. up to now, the news from her has never been heard. Her family can not do much. There is no money to find the information to Taiwan.

It can not be denied that ordered marriage has presented the fact of human trafficking, but it is covered by the marriage ritual. The lack of early information before the marriages caused many problems that appear later. Things that make it difficult, the numbers of the cases can not be seen in the surface. That woman’s family will be very closed if there is a trouble. The matchmaker also do not want to be responsible when there is a problem.

Finally, the problem of ordered marriages, just like the phenomenon of ice berg. There are just a little in the surface, but in fact, it has a grate numbers in side.

Now, A Jan started her new life. But the trauma from the past and her longing to her children always come to her. Not mush that she can do. It is possible to go to Taiwan, because the cost is too big. Whereas, she has a great willingness to see her children. She surrendered to her life and destiny that grab her right as a mother.

To heal her longing to her children, A Jan often sit alone in the harbor of the coast in the afternoon. She sits for hours there, while looking at the sea. She hopes that two reflection of her children appear in the middle of the sea. It was really absurd, but by that way she can heal her longing. ***


Publish in Play Boy Indonesia Magazine April 2006

Baca Selengkapnya...

Impian Pengantin Pesanan

Pernikahan biasanya memberikan sekantung impian. Namun, mimpi punya dua sudut, indah atau buruk. Di Singkawang sudut-sudut itu menampilkan wajah tertajamnya.

Oleh: Muhlis Suhaeri

Dituliskanya satu persatu nama pada kertas. Bolpoinnya mulai bergetar. Ada tekanan pada huruf yang ia tulis. Deretan kata membentuk suatu kalimat. Cen Seng Fung. Po Chen. Sie Chi. Sejenak, nafasnya mulai tak teratur. Wajah oriental itu, mulai mengeras dan tegang. Mimik dan raut mukanya menyiratkan duka. Luka teramat dalam.

Selepas menulis ketiga nama, wajahnya langsung menunduk. Ia terlihat kuyu dan lunglai. Ekspresinya, seperti orang baru saja mengangkat sebuah beban. Beban teramat berat. Namun, raut wajahnya nampak lebih santai. Ia terlihat pasrah. Pada nasib dan takdir. Yang tak berpihak padanya.


Perempuan itu bernama A Jan. Ia merupakan salah satu amoy --sebutan bagi perempuan Tionghoa-- korban dari pengantin pesanan.

A Jan terlahir pada 7 Desember 1980 di desa Batu Payung, Kecamatan Karimunting, Kabupaten Bengkayang, Kalimantan Barat. Dulunya, daerah itu termasuk wilayah Singkawang. Setelah pemekaran, daerah sepanjang pantai yang berhadapan langsung dengan Laut China Selatan, menjadi bagian dari Kabupaten Bengkayang. Nama Batu Payung berasal dari pulau kecil dan bentuknya menyerupai payung. Pulau itu berupa batuan yang menyembul di atas laut. Sebatang pohon berdiri di antara gerumbul bebatuan.

Bila kita menyambangi daerah itu, akan terlihat pantai dengan hamparan pasir putihnya. Matahari terbenam terlihat sangat indah di sini. Pemandangan itu terlihat kontras sekali dengan lingkungan sekitarnya. Gerumbul semak dan pohon kelapa berpadu dengan rumah sederhana dari papan kayu beratap rumbia atau seng. Jalan menuju perkampungan ini juga apa adanya. Tanah keras bercampur batuan dengan lebar dua meteran.

Sebagian besar masyarakat yang menempati daerah itu adalah etnis Tionghoa. Kebanyakan dari suku Khek. Hanya ada beberapa keluarga Madura. Mata pencaharian masyarakat di pesisir pantai utara Kalimantan Barat itu, memelihara babi. Tak heran, jika kita mendatangi wilayah tersebut, dari jauh sudah tercium aroma kurang sedap dari kotoran babi. Masyarakat juga mencari ikan dengan melaut.

Peralatan mereka sederhana. Perahu kecil dan bagan di tengah laut. Di bagan itulah, mereka memasang jala semalaman. Hasilnya tidak memadai. Biasanya dikonsumsi untuk kebutuhan sendiri. Dulunya, daerah itu pernah berdiri pabrik pengolahan ikan. Namun, perusahaan itu telah tutup. Bekas keberadaan pabrik pengolahan ikan masih terlihat dengan jelas. Dermaga kayu sepanjang puluhan meter menjorok ke laut untuk mengangkut ikan, juga masih terlihat apik dan terpelihara.

A Jan nomor empat dari delapan saudara. Tekanan ekonomi keluarga, membuatnya tak sanggup meneruskan sekolah. Ia hanya sempat mengenyam pendidikan hingga kelas dua SMP. Selepas itu, ia mengadu nasib dan merantau ke Jakarta. A Jan bekerja sebagai penjaga toko. Ia tinggal di Jelambar, Jakarta Barat. Selama setahun, ia bekerja dan tinggal di Jakarta.

Oleh keluarganya, ia dijodohkan dengan pria Taiwan. Bagi masyarakat di daerahnya, menikah dengan pria Taiwan, merupakan hal lumrah. Di sekitar rumahnya, ada 11 orang telah menikah dengan pria Taiwan. Mereka hidup di Taiwan hingga kini.

A Jan menikah pada usia 17 tahun. Pasangannya bernama Cen Seng Fung, 41 tahun. Cen bekerja sebagai pegawai pemerintah, di kantor jawatan listrik. Adalah adik ipar ibu A Jan, yang mengenalkan mereka. Perkawinan dengan pria Taiwan selalu melalui perantara. Seorang perantara bisa dari keluarga sendiri, orang yang sudah nikah dan tinggal di Taiwan, atau para mat comblang atau calo (cangkau).


PENGANTIN PESANAN berawal dari kunjungan Kadin (Kamar Dagang) Taiwan ke Kalimantan Barat pada tahun 1980. Muhibah itu diteruskan dengan mengunjungi kota Singkawang. Jarak Pontianak ke Singkawang sekitar 145 Km, arah utara. “Untuk mempererat hubungan itu, maka dilakukan juga dengan cara pernikahan,” kata Hairiyah, aktivis Perempuan dan Anak, wilayah Kalimantan.

Mereka menganggap pernikahan merupakan salah satu cara, untuk mengikat kembali tali persaudaraan. Masyarakat Singkawang percaya, mereka satu leluhur dengan masyarakat Taiwan. Sama-sama dari China Daratan, Tiongkok.

Pada perkembangannya, pengantin pesanan yang merupakan simbol peningkatan hubungan kekerabatan, dijadikan alat mendapatkan keuntungan oleh sebagian orang. Mereka memanfaatkan rendahnya tingkat pendidikan, sumber pendapatan keluarga, ketidaktahuan hak dan informasi, gaya hidup konsumtif, ketidakadlian gender atau kuatnya budaya patriakhi dalam keluarga dan masyarakat.

“Rendahnya kesadaran terhadap nilai anak, serta faktor-faktor lain yang merupakan titik lemah ketahanan keluarga dan masyarakat, menjadi sasaran para calo mendekati para orang tua untuk merestui menikahkan anaknya,” kata perempuan berjilbab, yang pernah diundang ke Taiwan, untuk melihat permasalahan langsung tentang pengantin pesanan ini.

Ada pola tertentu pada pengantin pesanan. Pada era 1980-an, biasanya si perempuan datang ke Taiwan. Begitu sampai di Taiwan, sudah ada penghubung yang mempertemukan amoy dengan pria Taiwan. Tahun 1990-an, pria Taiwan datang langsung ke Kalbar, untuk mencari perempuan Singkawang. Bahkan, ada yang datang bersama orang tuanya. Tahun 2000-an, perkawinan sudah menjadi ajang bisnis. Dan merupakan salah satu cara, mencari dan menggeruk uang. Banyak kasus, perempuan yang sudah kawin, balik lagi ke Singkawang. Tentunya, setelah mereka mendapatkan berbagai uang dan barang.

Berbagai sebab dan adanya orang yang menggunakan hal itu –calo-- untuk mencari keuntungan bagi dirinya sendiri, membuat praktik pengantin pesanan bisa terjadi. Para calo masuk ke desa miskin di pedalaman. Mereka mencari perempuan usia muda dan hidup miskin. Para calo itu membujuk dan menawarkan menikah dengan warga negara Taiwan. Imbalannya, tentu saja merubah nasib dan mencari kehidupan lebih baik. Mereka juga menawarkan jasa sebagai biro jodoh, dan membuat paket perkawinan. Yang memudahkan calon pengantin melaksanakan perkawinan. Amoy biasanya menuruti segala syarat yang diajukan calo. Terutama dalam pengurusan dokumen dan berbagai surat. Biasanya segala data mengenai usia bakal dimanipulasi. Hal itu dilakukan, karena amoy biasanya masih sangat muda, dan berusia dibawah 18 tahun.

“Peran orang tua sangat penting untuk meluluskan niat para calo,” kata Hairiyah.

Tidak jarang, amoy menolak dijodohkan dengan pengantin pria. Alasannya, pria bakal suaminya jauh lebih tua dari usianya. Ketika amoy tidak mau dijodohkan, orang tua akan memaksanya. Dengan alasan berbakti pada orang tua, dan keinginan keluar dari kemiskinan, akhirnya amoy akan menurut. Bila orang tua setuju, calo akan mengurus semua administrasi yang berhubungan dengan perkawinan, dan persiapan pesta nikahnya. Semua biaya dan keperluan menikah, ditanggung pihak pengantin laki-laki.

Minimnya pendidikan amoy, dan minimnya informasi terhadap calon pengantin pria, merupakan celah bagi masalah ini. Seharusnya, calon pengantin perempuan mendapatkan informasi yang benar. Sehingga bisa menjadi pertimbangan menentukan masa depannya. Menikah dengan siapa pun memang hak seseorang. “Tapi, dia harus mendapatkan informasi yang jelas. Siapa calon pasangannya, bagaimana negara asal pasangannya, dan lainnya,” kata Hairiyah.

Sebelum pernikahan berlangsung, biasanya yang datang fotonya ganteng-ganteng. Begitu acara nikah, ternyata orang tua. Hal itu tentu saja merupakan suatu penipuan. Yang dilakukan para calo. Faktor kemiskinan dan ketidaktahuan inilah, satu celah dan selalu dimanfaatkan calo. Namun, ketika ada masalah dengan perkawinan itu, tidak ada yang bisa dimintai pendapat dan tanggung jawab. Biasanya bila terjadi masalah, amoy tidak tahu haknya dan memilih diam. Tak jarang mereka balik lagi ke Indonesia, dan meninggalkan anak yang dilahirkan. Mereka memilih pisah dan cerai. Alasannya, mereka dieksploitasi secara fisik, psikis dan seksual.

Ada beberapa sebab, mengapa terjadi pengantin pesanan di Kalimantan Barat. Masalah kemiskinan. Wilayah Kalimantan Barat terletak di bagian barat pulau Kalimantan, antara garis 2.08 LU dan 3.05 LS. Luas wilayah mencapai 146.807 Km, atau 7,53 persen dari luas Indonesia. Setara dengan satu setengah pulau Jawa. Kalimantan Barat terdiri dari 10 kabupaten, dan 2 pemerintahan kota. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) Kalimantan Barat pada tahun 2003, jumlah penduduk sebesar 3.947.691 jiwa. Terdiri dari 2.038.471 laki-laki, dan 1.909.220 perempuan. Jumlah penduduk anak, mencapai 33,21 persen dari total penduduknya.

Penyebaran penduduk tidak merata. Kalimantan Barat merupakan propinsi nomor empat termiskin di Indonesia. Berdasarkan data BPS, tingkat kemiskinan cenderung merata di perkotaan dan pedesaan. Jumlah di perkotaan mencapai 15,81 persen dari seluruh penduduk perkotaan. Angka kemiskinan di pedesaan mencapai 14,42 persen. Indek Pembangunan Manusia (IPM) Kalimantan Barat berada pada urutan 27 dari 32 propinsi di Indonesia. Berdasarkan studi yang dilakukan Bappeda tahun 2002, IPM 62,5. Tahun 2004 IPM 65,4. Ukuran IPM adalah rata-rata pendidikan, pendapatan dan derajat kesehatan.

Kemiskinan merupakan penyebab utama pengantin pesanan. Atas nama merubah nasib dan ekonomi keluarga, seorang anak harus “berbakti” pada orang tua dan keluarga besarnya, dan menikah dengan pria Taiwan. Selain itu, keinginan menjalani kehidupan lebih baik, kesempatan ke luar negeri, penampilan lebih baik, pemilikan aset pribadi, tidak ingin menikah dengan pria lokal, dan atas nama cinta. Mereka juga ingin mendapatkan kehidupan lebih baik, dengan memiliki suami yang mencintai dan menghargai.

Masalah ketenagakerjaan. Tingkat pengangguran tinggi dengan angka mencapai 8,80 persen. Berdasarkan data di Dinas Tenaga Kerja dan Kependudukan Propinsi Kalimantan Barat pada tahun 2003, tingkat partisipasi angkatan kerja penduduk pedesaan relatif lebih besar dibandingkan dengan perkotaan. Bila di perkotaan mencapai angka 74,70 persen, maka di pedesaan angkanya mencapai 60,94 persen. Namun, tingkat penggangguran penduduk perkotaan mencapai angka 15,69 persen, dan penduduk pedesaan hanya sebesar 6,66 persen. Hal ini disebabkan, wilayah pedesaan lebih terbuka bagi pekerjaan dari berbagai sektor informal. Atau, sektor yang tidak memerlukan keahlian, maupun pendidikan formal. Sektor informal lebih banyak di pedesaan.

Perkembangan dunia yang begitu cepat, dan tidak diikuti peningkatan dan kemampuan, menyebabkan persaingan tenaga kerja semakin ketat. Ini pula penyebab masalah spesifik di negara berkembang, jumlah buruh besar tetapi kualitas rendah. Globalisasi pada akhirnya, mengakibatkan imigrasi tenaga kerja dari negara miskin ke negara maju.

Masaah pendidikan. Berdasarkan data Dinas Pendidikan (Diknas) Kalimantan Barat pada tahun 2004, terdapat 164.628 masyarakat buta huruf. Jenjang pendidikan masyarakat paling banyak adalah tamatan SLTP. Angkanya mencapai 85,34 persen dari jumlah penduduk. Karenanya, untuk pasar kerja yang memerlukan kualifikasi pendidikan dan keahlian tertentu, mereka tidak bisa tertampung.

Masalah angka kematian ibu. Angka kematian ibu bersalin di Kalimantan Barat sebesar 5,2 per 1000 kelahiran hidup. Faktor penyebabnya, persentase kehamilan tidak dapat diperiksa tenaga medis, kondisi ibu hamil menderita anemia, kekurangan zat besi, dan lainnya.

Masalah persamaan budaya. Masyarakat Tionghoa di Kalimantan Barat, mempunyai persamaan budaya dengan Taiwan. Persamaan budaya konfusianisme, buddisme, dan pemujaan pada leluhur. Faktor itu secara tidak langsung, turut juga menyumbang pernikahan pesanan. Orang beranggapan, menikah dengan pria Taiwan merupakan penyatuan dan pertautan budaya.




MENGAPA PRIA Taiwan memilih amoy sebagai pasangan hidupnya? Orang Taiwan beranggapan, amoy punya tipe setia, rajin dan ulet dalam membina keluarga. Selain itu, menikah dengan amoy jauh lebih murah, dibandingkan menikah dengan perempuan Taiwan. Menikah dengan perempuan Taiwan, harus mempersiapkan rumah, mobil dan berbagai kebutuhan rumah tangga lainnya. “Biaya nikah dengan perempuan Taiwan, bisa untuk mendapatkan 5-6 gadis amoy dari Singkawang,” kata A Nga, seorang pemuda di Singkawang,

Lalu, berapa modal harus disiapkan, untuk mendapatkan amoy? “Dengan modal sekitar Rp 60 juta, pria Taiwan sudah bisa mempersunting amoy,” kata A Nga. Kurs mata uang Taiwan adalah dollar Taiwan. Satu dollar U$ Amerika setara dengan 33 dollar Taiwan.

Uang itu untuk mengurus berbagai surat pernikahan, biaya perjalanan dan penginapan pria Taiwan, selama berada di Indonesia. Pokoknya, pria Taiwan terima beres. Segala macam surat dari RT, kelurahan, paspor, dan seluruh biaya perkawinan dengan uang itu. Bila ditotal semua, biaya mengurus semua keperluan itu sekitar Rp 17-20 juta. “Orang tua si amoy, paling diberi uang cuma Rp 6 jutaan,” kata A Nga. Tak heran, bila dalam masalah pengantin pesanan, orang paling mendapat untung dari praktek ini adalah para calo.

Menikah dengan pria Taiwan, merupakan cara paling mudah mengangkat harkat dan perekonomian keluarga. Kelak setelah menikah, amoy bisa mengirimkan uang pada keluarga besarnya di kampung. Dengan kiriman uang itulah, mereka memperbaiki rumah dan modal usaha.

Sebagai gambaran, menurut salah satu bank di Singkawang, data penerusan transfer dari luar negeri pada tahun 2004 berjumlah Rp 2.433.050.436. Tahun 2005, total transfer meningkat menjadi Rp 3.987.471.804. Jumlah itu untuk satu bank. Sedangkan, di Singkawang ada 5 bank nasional yang melayani jasa perbankan. Memang, tidak semua uang dari Taiwan. “Tapi, jumlah terbesar berasal dari Taiwan,” kata salah satu staf bank tersebut.

Pria Taiwan yang menikah dengan amoy, biasanya dari kalangan menengah kebawah. Bila mereka hidup di perkotaan, biasanya dari kalangan cleaning service, dan lainnya. Dari pedesaan, biasanya petani dan penggarap tanah. Wilayah pantai, biasanya dari kalangan nelayan. Kalaupun dari kalangan pegawai atau pemerintahan, adalah pensiunan dan berumur di atas 40 tahun.

Kawin dengan pria Taiwan memang untung-untungan. Kalau mendapat pria baik, dan benar-benar untuk menikah, maka si amoy akan dapat meningkatkan taraf hidup diri dan keluarganya. Tapi bila tidak beruntung, maka pengalaman buruk berupa pemukulan, atau kekerasan dalam rumah tangga kerap juga terjadi.

Sebagai istri petani, amoy harus merangkap sebagai pekerja pertanian, dan bekerja seharian penuh membantu keluarganya di kebun. Yang lebih parah, bila suaminya bekerja di sektor nelayan. “Bila musim paceklik tiba, dan pria Taiwan tidak mampu membayar uang pinjamannya untuk kawin, maka istrinya akan diberdayakan,” kata Hairiyah. Entah, sebagai PSK atau apa, demi melunasi hutang sang suami. Yang agak beruntung, bila amoy mendapat suami seorang tentara atau pegawai, karena mendapat gaji setiap bulannya.

Selain itu, pengantin pesanan selalu rentan dengan masalah. Mereka mendapatkan status legal yang rendah. Hal ini tentu saja menyulitkan, dan ketidakpastian hak-hak legal. Terpencarnya komunitas amoy, juga mempersulit kordinasi bila ada masalah. Kendala bahasa turut pula menyumbang permasalahan. Banyak dari amoy tidak bisa berbahasa Mandarin. Di Kalimantan Barat, biasanya mereka menggunakan bahasa China dengan dialek Khek, dan Teochiu.

Menurut Kementrian dalam negeri Taiwan dari tahun 1987-2003, ada 240.837 pengantin asing yang masuk ke Taiwan dengan 93 persen pengantin perempuan. Dari Cina Daratan 57,8 persen dan Asia Tenggara 42,2 persen. Dari jumlah itu, pengantin pesanan dari Asia Tenggara, sebanyak 57,5 persen dari Vietnam, 23,2 persen dari Indonesia, 5,3 persen dari Thailand, dan 5,3 persen dari Pilipina. Sisanya dari Korea, dan lainnya.

Perempuan yang kawin dengan pria Taiwan dan anak hasil perkawinan mereka, dianggap sebagai masyarakat kelas dua. Mereka seringkali mendapat diskriminasi di masyarakat Taiwan. Mereka dianggap bisa membuat masalah sosial bagi Taiwan. Karena itulah, pada tahun 2003, pemerintah Taiwan mengeluarkan kuota bagi perkawinan dengan amoy dari Indonesia. Jumlahnya sekitar 2000 orang saja setiap tahunnya. Kuota itu diberlakukan, karena ada kekhawatiran, pernikahan bakal membawa masalah bagi negara Taiwan.

Faktanya, justru posisi perempuan inilah, berada pada titik rawan. Meski sudah melahirkan dan punya anak, sebelum 4 tahun, amoy masih menjadi warga negara asing di Taiwan. Karenanya, mereka rentan dideportasi, bila dianggap melanggar peraturan dan berbuat salah. Ketika mengalami eksploitasi, mereka tidak bisa berbuat apa-apa. Kalaupun lari, mereka harus meninggalkan anak hasil perkawinannya.

Dalam makalahnya berjudul How Taiwan Law Discriminates Against the Newsly-Arrived Female Immigrants, Bruce Liao, seorang asisten profesor dari NCCU Taiwan, menulis, “The main laws governing immigrants’ destiny: the immigraton act, the act governing relations between people of Taiwan area and the mainland area, the act governing the issuance of visas in foreign pasports, the nationality act, the employment service act.

The pre-entry and entry barriers, regardless “the right to live together”. Screening interview mechanism: open-ended standards, hostile and humiliating attitude, awesome discreation. Discriminatory quotas: no exception or preference for family-based immigrants, immigration quotas along the national and regional lines—picking the superior races, quota for immigrationts from mainland China have been enacted and enforced newly-arrived female immigrants in the land of Taiwan.

Unfair causes for deportation; vague and open-ended terms (e.g. national security, public interest, etc.), very trivial matters (e.g. gambling or breach of peace), without taking marriage immigrants’ special status into account, other unfair situations (e.g. catch an infection). Makalah itu disampaikan pada acara International Workshop for Asian NGOs on Female Imigrant and Migrants. Yang berlangsung pada 13-15 Mei 2005, di Chien Tan Overseas Youth Activity Center, Taipe, Taiwan.

Sekarang ini, pemerintah Taiwan melakukan new imigrations. Taiwan memberikan peluang bagi warga negara asing yang menikah dengan pria Taiwan, untuk belajar budaya, bahasa, adat istiadat, di suatu lembaga. Tak heran jika orang dari China Daratan, Vietnam, Indonesia, Pilipina, Thailand, Korea, dan lainnya, mengisi fasilitas itu.

Ada juga satu TV Channel di Taiwan menyediakan layanan hotline. Ketika orang mengalami penganiayaan, dan permasalahan hukum lainnya, dapat menghubungi layanan itu. Kapan saja. Dengan menggunakan berbagai bahasa. Bahkan, ketika mereka di gereja, juga membuat semacam perkumpulan. Mereka belajar kebersamaan. Saling bercerita berbagai pengalaman dan mengatasi permasalahan.


SETELAH MENIKAH, A Jan langsung diboyong ke Taiwan. Mereka tinggal di Chu-Pei City, Hsin-chu, Taiwan. Cen Seng Fung merupakan sulung dari tiga bersaudara. Kedua adiknya perempuan. Ayahnya meninggal sebagai tentara, ketika ia masih kecil. Jadi, sejak kecil Cen diasuh ibunya. Bagi masyarakat Taiwan, seorang ibu, biasanya tinggal bersama keluarga anak lelakinya. Terkadang, ibu punya peran kuat dalam keluarga anaknya. Bahkan, hingga masalah keuangan.

A Jan tidak mau menyebutkan nama mertuanya. Ekspresi wajahnya seketika menjadi takut dan ngeri, ketika diminta menuliskan namanya.

Setahun perkawinan, pasangan itu dikarunia anak. Anak pertama bernama Po Chen. Anak kedua, Sie Chi, lahir pada tahun ketiga perkawinan mereka. Kebahagian perkawinan melingkupi keluarga ini. “Kalau liburan ke mall dan kebun binatang di Taiwan,” kata A Jan.

Lahirnya dua anak, membuat Cen punya perhatian lebih pada istrinya. Hal itu membuat ibunya merasa terabaikan. Si ibu mulai berbuat sesuatu, untuk merebut perhatian anaknya. Ia memberitahu Cen, bahwa A Jan tidak memperbolehkannya menggendong Po Chen dan Sie Chi. Akibat laporan itu, Cen mulai berbuat kasar pada A Jan. Setiap mendengar laporan ibunya, Cen langsung memukul. A Jan tidak melawan atau melaporkan perlakuan itu. Tidak ada kerabat di sana. Selama beberapa tahun, A Jan mengalami kekerasan fisik. Bila awalnya pemukulan menggunakan tangan, Cen juga mulai menggunakan tongkat kayu dan besi. Tak ada yang membela A Jan, ketika terjadi kekerasan. Keluarga atau tetangga, tak peduli. Mereka menganggap itu masalah dalam keluarganya.

Suatu ketika, Cen memukul A Jan dengan tongkat base ball. Perlakuan itu membuat A Jan harus dibawa ke rumah sakit. Lengan kirinya retak. Ia dirawat selama beberapa minggu. Usai perawatan, suaminya mulai bersikap baik. Tapi, hal itu tidak berlangsung lama. Setiap mendapat laporan ibunya, Cen mulai memukul istrinya.

Perlakuan tidak manusiawi terhadap A Jan, membuat jiwanya mulai tergoncang. Perasaan takut menghantuinya setiap saat. Kedatangan suami dari kantor, berarti bakal deraan pukulan ke tubuh. Tekanan psikis itulah, membuat bumi tempat ia berpijak, seakan bergoyang dan runtuh. Akibatnya, setiap perasaan itu hadir, A Jan menjerit dan keluar rumah. Melihat hal itu, Cen langsung menyeret dan membawanya masuk ke rumah.

A Jan mulai dianggap gila. Cen tidak memperbolehkan A Jan mengasuh dua anaknya. Ia sangat terpukul dengan kondisi itu. A Jan mengalami depresi. Suaminya membawa A Jan ke rumah sakit gila. Selama beberapa waktu, ia dirawat di sana. Di rumah sakit inilah, A Jan berbuat nekad. Ia berniat bunuh diri. Dengan sebilah kaca, ia mengiris pergelangan tangan kirinya. Darah berceceran memenuhi ruangan. Namun, A Jan selamat. Sayatan tidak mengenai urat nadinya.

Ironisnya, karena dianggap gila itulah, pihak suami menceraikannya. Ketika dalam perawatan rumah sakit, Cen meminta A Jan membubuhkan tanda tangan pada secarik kertas. Karena tidak tahu, A Jan meneken saja surat itu. Usai perawatan, A Jan dipulangkan ke Indonesia. Pemulangan terjadi pada tahun 2003. Kedua anaknya dirawat pihak suami.

Begitu sampai di Jakarta, A Jan langsung dibawa ke Pontianak. Dari kota katulistiwa, ia diantar ke kampungnya. Selama setahun lebih, A Jan menjalani perawatan. Keluarganya menganggap berbagai roh jahat masuk pada diri A Jan. Karenanya, keluarga membawanya ke berbagai tabib dan dukun China (lauya). Bahkan, A Jan sempat juga dirawat di RS Bodok, atau RS Gila di Singkawang Timur. Selama beberapa waktu, ia menghuni tempat itu. Seorang diri. Tak ada penyelesaian hukum, atas apa yang telah A Jan alami.


MESKI SERING terjadi masalah pada pengantin pesanan, namun masalah itu jarang sekali muncul ke permukaan dan diketahui masyarakat. Ada beberapa faktor kesulitan dalam penanganan masalah pengantin pesanan. Salah satunya, ketertutupan pihak korban dan keluarganya. Mereka beranggapan, masalah itu merupakan aib keluarga. “Karena itu harus ditutupi, dan masyarakat tidak perlu mengetahuinya,” kata Rosita Nengsih, kordinator LBH PEKA Singkawang. Tak heran, bila ada pihak “luar” ingin melakukan advokasi terhadap korban, malah dilarang. Korban dan keluarga besarnya, tidak mau bicara.

Hal ini dibenarkan Maya, pekerja sosial yang sering keluar masuk perkampungan di Singkawang. Ia merasakan, betapa tertutupnya keluarga korban. Yang rata-rata masyarakat Tionghoa. “Padahal, kita mau membantu permasalahannya. Eh, mereka malah tidak mau. Mereka terlalu eksklusif,” kata Maya, setengah jengkel.

Sikap itu tidak serta merta muncul. Tentu ada latar belakangnya. Hari Purwanto menulis dalam bukunya, Orang Cina Khek dari Singkawang, “Perlakuan diskriminatif yang acap dialami orang Cina di Indonesia, bukan semata-mata karena orang Indoensia bersikap rasis atau cemburu terhadap kemajuan ekonomi orang Cina. Bukan itu sebabnya. Seandainya orang Cina memandang mereka sering mendapatkan perlakuan diskriminatif, hendaknya duduk persoalan sebelumnya dikaji. Agaknya jika di antara mereka merasa ada sikap diskriminatif dari Bumiputera, pada hakekatnya juga merupakan sebab dan akibat dari perbuatan mereka sendiri di masa lalu. Sejak dulu orang Cina selalu memiliki orientasi sangat kuat ke negeri leluhurnya. Sikap ini menghalangi mereka untuk berasimilasi dengan warga setempat. Kadang-kadang, chauvinisme di kalangan orang Cina begitu tinggi, sehingga sebagian dari mereka memandang bangsanya lebih bermartabat dari berbagai suku bangsa lain di Indonesia. Chauvinisme ini merupakan hambatan psikologis orang Cina untuk berasimilasi dengan orang Indonesia.

Pada masa penjajahan, Belanda membagi masyarakat menjadi tiga kelas. Pertama, Europeanean (Belanda). Kedua, Vremde Oosterlingen (Cina, Arab, India). Ketiga, Inlander (berbagai suku bangsa Bumiputera). Pada masa pemerintahan Orde Lama, Sukarno, juga membuat kebijakan yang diskriminatif. Sukarno mengeluarkan PP No 10/1959, berupa pelarangan bagi perdagangan kecil eceran yang bersifat asing di luar ibu kota tingkat I dan II. Dengan peraturan ini, masyarakat Tionghoa akhirnya mengumpul di satu wilayah saja.

Bagaimana dengan pemerintahan Orde Baru? Masa ini tak kalah sengitnya. Berbagai perlakuan dan tindakan diskriminatif, termanifestasi dalam berbagai bentuk. Pemberlakuan Surat Bukti Kewarganegaraan Republik Indonesia (SBKRI), bagi masyarakat Tionghoa, merupakan cara dan salah satu bentuk paling diskriminatif yang pernah dilakukan. Atas nama SBKRI, berbagai segi kehidupan, baik secara ekonomis atau politis terpasung. SBKRI juga dilanggengkan oleh kalangan tertentu, untuk mengeruk upeti dan mendapatkan uang. Berbagai pengurusan kartu tanda penduduk (KTP), atau dokumen, selalu dikenakan biaya tinggi bagi masyarakat Tionghoa. Nah, sejarah itulah yang membuat masyarakat jadi menutup diri dan eksklusif.

Selama ini, pemerintah Indonesia tidak menganggap serius permasalahan pengantin pesanan. Penanganannya tidak pernah tuntas. Jaringannya terputus di berbagai tempat. Ada beberapa faktor bisa dilakukan, untuk memangkas masalah pengantin pesanan. Dalam pengurusan dokumen, seperti KTP atau paspor, pihak terkait harusnya lebih jeli. Misalnya, dengan menanyakan orang yang membuat paspor, sudah cukup umur atau belum. Apalagi, bila diketahui akan menikah dengan pria Taiwan.

“Selama ini pihak imigrasi tidak punya gigi. Mereka beranggapan, secara administrasi hal itu sudah dilengkapi. Jadi tidak ada alasan untuk tidak memberikan paspor,” kata Hairiyah.

Selain itu, ada pendapat dari masyarakat, kenapa orang ingin menikah dan mencapai kebahagian, harus dihalangi? Ketika mengurus paspor, orang tua tentu mengetahui. Dan ini sebuah kesepakatan, dan mereka anggap bukan suatu pelanggaran.

Berdasarkan data pihak imigrasi Singkawang, ada kenaikan jumlah perempuan pencari paspor. Ada dua jenis paspor, 24 halaman berlaku 3 tahun, dan 48 halaman berlaku 5 tahun. “Orang yang kawin dengan pria Taiwan, biasanya membuat paspor 48 halaman,” kata petugas, di imigrasi Singkawang. Bila pada tahun 2004, pencari paspor 48 halaman berjumlah 1819. Pada tahun 2005, meningkat menjadi 2999. Namun, jumlah pencari paspor 24 menurun drastis. Jika tahun 2004 berjumlah 9060, tahun 2005 menjadi 964. Begitupun dengan TKW yang mengajukan paspor. Bila pada tahun 2004 berjumlah 1127. Pencari paspor pada tahun 2005, menjadi 109 orang.

Berdasarkan data Pengadilan Negeri Singkawang, dari tahun 1997-2003, ada 170 kasus gugatan perceraian dengan suami dari Taiwan. Pengadilan digelar secara in absensia (perstek)/tanpa kehadiran salah satu pihak. Acara itu disetujui, bila penggugat dapat mengemukakan alasannya secara tepat, dan pihak pengadilan menyetujuinya. Setelah perceraian, untuk mendapatkan hak perwalian dan pengasuhan anak juga terhalang.

Lalu, bagaimana seorang ibu bisa mendapatkan hak asuh bagi anaknya?

M. Akil Mochtar, Wakil Ketua Komisi III DPR RI, ketika ditemui dalam suatu seminar di Pontianak, mengemukakan, “Dalam hal terjadinya perkawinan wanita Indonesia dengan laki-laki asing, berdasarkan hukum Indonesia, maka anak-anak yang lahir dari perkawinan itu ikut kewarganegaraan bapaknya.”

Dalam hal ibu ingin mendapat hak asuh terhadap anak yang masih dibawah umur, hanya mungkin dilakukan gugatan di Pengadilan Negeri di tempat perkawinannya dilakukan dan dicatat. Dan biasanya dilihat, apakah si ibu mempunyai kemampuan, dan penghasilan yang layak, untuk memungkinkan pemeliharaan si anak dalam masa pengasuhan. “Tetapi persoalan hukumnya adalah, si anak itu tetap warga asing dan batas tinggal di Indonesia mempunyai batasan tertentu. Yang jika tidak dipenuhi syarat-syarat hukum sewaktu-waktu bisa dideportasi oleh aparat yang berwenang seperti imigrasi,” kata Akil, yang sedang menyelesaikan pendidikan doktoralnya ini.

Ya, peraturan hukum di Indonesia tidak memberikan ruang bagi perempuan yang menikah dengan warga negara asing, untuk memiliki hak asuh bagi anaknya. Sekalipun, pernikahan itu terjadi di Indonesia. Undang-Undang No. 62 Tahun 1958 menyatakan bahwa perempuan yang menikah dengan orang asing, anak hasil perkawinan tersebut otomatis menjadi warga negara asing. Ketika anak berusia 17 tahun, ia baru dapat memilih kewarganegaraan mana yang diinginkan.

Untuk mengantisipasi terjadinya pelanggaran terhadap hak-hak perempuan dalam perkawinan antarnegara, pada tahun 1997, Forum Keturunan Etnis Tionghoa (FOKET) membuat syarat tambahan. Pendeta menambah syarat, pernikahan dapat dilakukan bila ada lampiran izin dari orang tua/wali kedua belah pihak, untuk mengetahui pernikahan tersebut.

Banyak dari pasangan pengantin pesanan mendapat kebahagian. Tapi, tak sedikit mengalami masalah. Bahkan, ada yang telah meninggal, karena terkena virus HIV/AIDS. Mereka diperdagangkan menjadi PSK, ketika sampai di Taiwan. Ada yang diminta melayani satu keluarga, karena uang untuk mendapatkan amoy diperoleh melalui patungan.

Tak sedikit yang kehilangan jejak, karena tak ada kabar beritanya. Seperti dialami keluarga Gow Sie Lan di Singkawang. Ia kawin dengan pria Taiwan pada tahun 1982. Hingga sekarang, berita tentangnya tidak pernah terdengar. Pihak keluarganya tidak bisa berbuat banyak. Tidak ada uang untuk mencari informasi ke Taiwan.

Tak bisa dipungkiri memang. Pengantin pesanan telah menghadirkan fakta, adanya perdagangan manusia, tapi dibungkus melalui ritual perkawinan. Minimnya informasi awal sebelum perkawinan, membuat berbagai masalah muncul dikemudian hari. Repotnya, angka kasus itu tidak terlihat di permukaan. Keluarga perempuan menutup diri bila ada masalah. Jaringan calo juga tidak bisa mau tanggung jawab, bila ada kasus.

Pada akhirnya, permasalahan pengantin pesanan, seperti fenomena gunung es. Sedikit di permukaan, padahal sebenarnya besar sekali jumlahnya.


KINI, A JAN mulai menapaki hidup baru. Namun, trauma masa lalu dan kerinduan pada dua anak, kerap menyergapnya. Tak banyak yang bisa ia lakukan. Untuk ke Taiwan, tidak mungkin. Biayanya terlalu besar. Padahal, ia ingin sekali menjenguk anaknya. Ia pasrah pada nasib dan kehidupan. Yang mengulung dan merampas haknya, sebagai seorang ibu.

Untuk mengobati rasa rindunya pada sang anak, A Jan kerap duduk menyendiri di dermaga pinggir pantai pada sore hari. Ia duduk berjam-jam di sana, sambil melihat laut lepas. Ia berharap, dua bayangan bocah hadir dari tengah laut. Absurd memang. Tapi, dengan cara itulah, ia bisa mengobati kerinduannya.***


Foto by Lukas B. Wijanarko, "Sembahyang."
Edisi cetak, majalah Play Boy Indonesia, edisi April 2006

Baca Selengkapnya...