Sunday, December 30, 2007

Yang Magis di Upacara Nyobeng

Oleh: Muhlis Suhaeri

Perjalanan ke wilayah pedalaman Kalimantan Barat, merupakan suatu pengalaman dan sensasi tersendiri. Keanekaragaman masyarakat, keelokan budaya, dan keasrian alamnya, memberikan pengalaman tersendiri. Satu hal pasti, Anda harus siap dengan berbagai pengalaman tak terduga.

Tak heran, ketika seorang teman mengajak ke acara gawai adat, 15-16 Juni 2007, tanpa pikir panjang aku langsung mengiyakan. Upacara adat itu bernama Nyobeng. Yang merupakan upacara adat, memandikan atau membersihkan kepala manusia hasil mengayau nenek moyang. Suku Dayak Bidayuh merupakan salah satu sub suku Dayak di Kecamatan Seluas, Kabupaten Bengkayang. Daerah ini berbatasan langsung dengan negara tetangga, Malaysia.

Dari ibu kota propinsi, Pontianak, perjalanan bisa ditempuh dengan menggunakan kendaraan roda empat menuju Kota Singkawang. Perjalanan sejauh 145 km, bisa ditempuh dalam waktu 2-3 jam. Jalanan lumayan bagus. Dari Singkawang menuju Bengkayang bisa ditempuh selama satu setengah jam. Jarak dari Singkawang ke Kabupaten Bengkayang, sekitar 80 km. Jalanan sempit dengan aspal hingga ke ibu kota kabupaten. Ada beberapa losmen dan hotel di sini.

Paginya, kami melanjutkan perjalanan menuju Kecamatan Seluas. Setahun lalu, ketika melewati jalan ini, banyak lubang menganga di sepanjang jalan. Namun, sekarang jalan sudah terlihat mulus dan bagus. Namun, kondisi ini biasanya hanya bertahan dua tahunan saja. Setelah itu, jalan harus diaspal kembali. Ada beberapa faktor penyebabnya. Pertama, faktor manusia. Cara pengerjaan jalan kurang bagus, sehingga jalan cepat rusak. Kedua, faktor alam. Sebagian besar tanah di Kalbar merupakan tanah gambut, sehingga tanah bersifat labil dan mudah amblas.

Setelah menempuh perjalanan darat selama dua jam, sampailah kami di sebuah penyeberangan perahu di Sungai Kumba. Belasan perahu tertambat di pinggir sungai. Air sungai kecoklatan dengan arus tidak begitu deras. Sungai Kumba menjadi pertemuan alur antara Sungai Siding dan Bumbung. Kedua nama itu adalah salah satu wilayah kecamatan di Bengkayang.

Perjalanan dilanjutkan dengan menggunakan motor air (perahu bangkong). Perahu bangkong merupakan sejenis perahu berukuran panjang 8 meter dan lebar 80 cm, bermesi 15 PK. Ketika dimuati delapan orang, jarak air dengan bibir perahu hanya 5 cm. Kalau bersimpangan dengan perahu lain jalannya harus pelan, agar perahu di sebelahnya tidak terkena ombak dan bisa menyebabkan perahu kemasukan air.

Perahu ini biasanya dimiliki para pedagang untuk mengangkut barang dagangan. Sekali angkut biasanya 400 kg. Dari ibu kota kabupaten, pedagang biasanya mengangkut barang dagangan berupa kebutuhan 9 bahan pokok, sabun, deterjen dan berbagai kebutuhan lainnya. Dari pedalaman, pedagang membawa hasil kebun dan pertanian, seperti karet, jagung, lada dan lainnya. Diantara bawaan barang dagangan itulah, penduduk “numpang” perahu menuju perkampungannya. Untuk jasa tersebut, penduduk harus merogoh koceknya sebesar Rp 15 ribu.

Air sungai Kumba tidak terlalu deras. Lebar sungai sekitar 50 meter dengan kedalaman 2-3 meter. Setelah satu setengah jam perjalanan, sampailah kami pada dua cabang anak sungai. Sungai Siding dan Bumbung. Kami menuju hulu Sungai Bumbung.

Sungai Bumbung tidak begitu lebar. Lebarnya sekitar 15 meter. Kedalaman sungai ditentukan oleh faktor curah hujan. Bila curah hujan jarang, kedalaman air sungai 1-2 meter. Bila turun hujan, ketinggian air lebih tinggi. Bagi para pemilik perahu motor, melayari sungai lebih enak saat air pasang. Bila air surut, perahu harus berjalan zig-zag menghindari batang pohon tumbang dan berserakan di dasar dan permukaan sungai. Tak heran bila terkadang tersangkut di batang pohon tumbang. Bila sudah demikian, penumpang harus turun dan mengangkat perahu secara bersama. Dasar sungai merupakan lumpur bercampur pasir.

Setelah menempuh perjalanan dua jam, dan berkelok pada beberapa anak sungai, sampailah kami pada jembatan Taling atau Sohoo. Jembatan itu terdiri dari dua batang bambu direntangkan di atas Sungai Sohoo. Tingginya sekitar 4 meter dari sungai. Bagian atas jembatan ada dua batang bambu direntangkan sebagai pegangan tangan.

Perjalanan dilanjutkan dengan berjalan kaki menyusuri jalan setapak di tengah hutan dan ladang. Setelah berjalan kaki selama satu jam, kami sampai pada batas kampung. Sebuah papan bertuliskan selamat datang tertera pada pintu masuk kampung.

Kampung itu bernama Dusun Sebujit. Termasuk wilayah Desa Hli Buei. Wilayah Kecamatan Siding, Kabupaten Bengkayang. Di batas desa, ada penyambutan. Puluhan lelaki mengenakan selempang kain merah dengan hiasan manik-manik dari gigi binatang. Sebagian diantaranya membawa senapan lantak dan sumpit. Senapan lantak biasa digunakan untuk berburu binatang. Hari itu, senapan dibunyikan sebagai tanda penyambutan. Bunyinya menggelegar dan keras. Letupan senapan lantak juga berfungsi memanggil ruh leluhur, dan meminta izin bagi pelaksanaan adat yang bakal dilakukan.

Rombongan tamu disambut para tetua adat. Sang kepala adat, Pak Amin, melempar anak anjing ke udara. Kepala tamu rombongan harus menebas anak anjing itu di udara dengan mandau. Kalaupun tak kena, anjing harus dipotong dengan mandau sesampai di tanah. Setelah itu, juga ada pelemparan ayam ke rombongan. Ayam, sama nasibnya dengan anjing. Upacara ini disebut naburi.

Setelah itu, tamu dilempar dengan telur ayam. Menurut kepercayaan, bila telur tidak pecah, berarti yang datang tidak ihlas. Kalau pecah, berarti tamu datang dengan ihlas. Beras putih dan beras kuning dilempar ke tamu, sambil dibacakan mantra. Rombongan diberi minuman tuak dari pohon niru dicampur kulit pohon Pakak. Kulit pohon ini memberi warna kemerahan dan rasa manis pada tuak. Cara membuatnya, kulit pohon itu harus dikeringkan terlebih dahulu.

Tuak yang terletak dibumbung bambu itu, diedarkan para gadis kembang desa ke segenap tamu. Dengan cawan dari bambu, setiap tamu meneguk tuak yang diedarkan. Inilah minuman penyambutan. Ibaratnya, inilah minuman welcome drink, seperti ketika kita masuk ke cafe atau tempat entertainment lainnya.

Selepas upacara penyambutan di batas perkampungan, rombongan tamu masuk ke perkampungan. Masyarakat menyalami semua tamu. Kami diantar memasuki tempat upacara yang berada di tengah perkampungan. Perkampungan itu tak lagi menampakkan ciri khas rumah adat Dayak, biasa disebut rumah Betang. Rumah ini berbentuk rumah panggung besar dan memanjang. Semua bangunan dari kayu. Bentuk atap menyerupai limas segitiga. Rumah dihuni puluhan kepala keluarga. Biasanya, di rumah inilah, semua pola hidup komunal dan kebudayaan Dayak, merepresentasikan dirinya.

Sebagian besar rumah di kampung Sebujit dihuni satu keluarga. Rumah terbuat dari semen dan pasir. Bentuk, warna, hiasan rumah, tak lagi menampak ciri khas ornamen dan hiasan khas Dayak. Beberapa rumah memasang antena parabola. Siaran TV3 Malaysia, lebih mudah ditangkap daripada TVRI.

Tempat upacara berada di tengah kampung. Di sana ada rumah adat. Namanya, rumah balug. Rupa rumah adat ini bentuknya bulat. Lebarnya sekira 10 meter dengan tinggi 15 meter dari tanah. Rumah ditopang dari kayu belian bulat yang dibenamkan ke tanah. Ukuran kayu sebesar 10-15 cm. Setiap sambungan rumah diikat dengan tali ijuk. Tangga rumah terbuat dari sebatang pohon yang telah dibuat undakan dengan pegangan dua batang bambu. Atap rumah mengerucut.

Di rumah adat inilah, berbagai benda pusaka disimpan. Di lantai bawah ada empat gong dengan diameter sekira 75 cm. Pada tengah rumah terdapat simlog atau sibakng. Ini seperti beduk. Bentuknya memanjang sekitar tujuh meter. Diameter bedug sekitar 30 cm. Bedug terbuat dari kulit rusa. Alat pemukulnya dari rotan-rotan kecil sebesar ibu jari.

Nah, pada bubungan rumah inilah terssimpan tengkorak hasil mengayau para leluhur. Tengkorak disimpan dalam kotak berukuran 40x30x20 cm. Di dalamnya juga berisi berbagai kalung dari taring babi.

Memasuki tempat upacara, rombongan diperciki air yang telah diberi mantera. Tamu yang masuk tempat upacara diperciki dengan daun anjuang. Fungsi dari air dan daun anjuang sebagai talak bala. Tamu juga mesti menginjak buah kundur yang diletakkan dalam baskom. Ritual ini disebut pepasan.

Di sekitar rumah adat ini, ratusan orang telah berada di bawah rumah balug. Tamu disambut dengan tarian. Warga dan tamu menari bersama, sambil mengitari rumah adat. Tetua adat menyanyikan lagu dan membaca matra. Tarian itu bernama mamiamis. Ini tarian bagi Ngngiu atau pembela tanah leluhur. Tarian secara bersama ini untuk menyambut para pahlawan pembela tanah leluhur. Yang baru datang dari mengayau. Arti dari tari ini adalah, tari perdamaian. Lalu, para tetua adat naik rumah balug. Simlog dipukul. Mercon pun dinyalakan. Bunyi dua benda itu bertujuan memanggil arwah leluhur. Ini pertanda ritual upacara Nyobeng telah dimulai.

Selepas membuka acara, kegiatan dilanjutkan dengan makan bersama di sekitar balug. Bagi yang beragama Islam, diberikan makanan khusus. Tidak mengandung babi. Tempatnya juga khusus, dari bumbung bambu dibelah dua dan memanjang.

Setelah makan bersama, tamu dipersilahkan meninggalkan area rumah adat dan menuju rumah penduduk. Setiap rumah penduduk boleh untuk ditempati. Mereka terbuka dengan semua tamu yang datang. Penduduk juga menjamu tamu yang datang ke rumah mereka dengan berbagai suguhan. Sebagian besar rumah penduduk menyediakan penganan kecil di ruang tamunya. Penduduk juga menyembelih ayam bagi masyarakat muslim yang datang ke rumahnya. Ayam dianggap makanan dan lauk “netral” bagi kaum muslim. Tamu berisitirahat sebentar dan menaruh barang di rumah penduduk. Setelah mandi atau membersihkan badan, tamu beristirahat sejenak.

Sementara itu, sebagian penduduk laki-laki berjalan menyusuri hutan di sekitar perkampungan. Mereka mencari bambu hutan. Batang bambu selebar 10 cm digotong beramai-ramai ke rumah adat. Bambu itu diletakkan di tanah dengan satu ujungnya diganjal balok. Beberapa lelaki mengitari bambu dan mulai berbaris. Setiap lelaki menyandang mandau di tangan.

Mandau senjata khas masyarakat Dayak, serupa pedang. Di tengah mandau biasanya ada ukiran dan motif tertentu. Gagang mandau biasanya dibuat dari tulang atau kayu. Pada gagang mandau, biasanya diberi hiasan tertentu. Hiasan itu berupa rambut manusia, gigi manusia dan lainnya. Hiasan melambangkan makna dan prestasi tertentu dari si pemegang mandau. Semakin banyak prestasinya dalam mengayau dan mendapatkan kepala, semakin banyak hiasan di mandaunya. Namun, tradisi mengayau sekarang ini, jarang sekali dilakukan.

Ketika ketua adat menganggukkan kepala, sebagai tanda kegiatan bisa dimulai, seseorang maju ke depan. Ia meloloskan mandau dari sarungnya. Sriing. Suara mandau bergesek dengan sarung menimbulkan suara. Terasa ngilu bagi yang mendengarnya. Ia mulai mengambil ancang-acang. Gagang mandau di pegang dengan dua tangannya. Setelah menarik napas, ia mulai mengangkat mandau. Dengan sekuat tenaga, ia mengayunkan mandau ke batang bambu. Cressssh. Batang bambu terpotong. Orang bertepuk tangan dengan riuh. Menurut kepercayaan, bila bambu terpotong, berarti pertanda baik. Namun, ada juga beberapa orang tidak bisa memotong bambu dengan sekali tebas. Kegiatan ini sebagai bentuk uji keperkasaan dan kekuatan bagi para lelaki. Menetak bambu hingga terputus, merupakan lambang kejantanan.

Sebelum ritual kelompok dilakukan, setiap rumah membuat sesaji. Sesajian itu harus dioles dengan darah ayam dari sayapnya. Darah ayam juga dipercikkan ke berbagai tempat. Yang dianggap sakral di sekitar rumah, rumah adat dan perkampungan.

Menjelang sore, ketua adat melakukan pemanggilan ruh. Ruh adat harus diberitahu sebelumnya, karena pelaksanaan adat harus segera dimulai.

Ketua adat menaiki rumah panggung. Dia mulai membuka upacara. Sesajian diletakkan di ujung daun buah. Untuk ruh baik, dibuat 7 sesaji. dan ditempatkan di berbagai batas desa. Setelah itu, ketua adat mengambil kotak yang berada di bubungan rumah balug.

Kotak itu berisi tengkorak manusia dan kalung dari taring babi hutan. Ketua adat melumurkan tangannya pada suatu ramuan, dan mengoleskannya pada tengkorak. Setelah itu, seekor ayam dipotong kepalanya hingga putus. Kepala ayam dan tetesan darah dioleskan pada tengkorak. Usai mengoleskan darah pada tengkorak, kotak itu dimasukkan lagi pada kotak dan disimpan.

Acara dilanjutkan dengan memotong anjing. Anjing dewasa itu berwarna hitam. Pemotongan anjing dimasukkan untuk menolak ruh jahat. Setelah dipotong, darah anjing diusapkan pada rumah-rumahan kecil yang berada di samping balug. Rumah-rumahan itu dianggap sebagai asal-usul nenek moyang Dayak Bidayuh. Ada juga patung lelaki dan perempuan. Ketika bakal dipotong, anjing tidak mengonggong sama sekali. Anjing itu diam saja. Dia seolah tahu, nasibnya untuk persembahan suatu ritual yang manusia jalankan. Darah anjing diusapkan pada tiang, dan berbagai sudut rumah adat. Potongan anjing juga dibawa ke atas rumah adat.

Acara selanjutnya adalah mandi-mandi. Upacara ini diikuti segenap kawula. Tua, muda, dan kanak. Tujuannya membersihkan jiwa dan raga. Air yang telah diberi jampi-jampi dimasukkan dalam tempayan besar. Dengan sebuah gayung, tetua adat mengambil air dan mengalirkan air itu lewat daun anjuang. Daun ini dipercaya sebagai daun yang punya kekuatan magis. Daun anjuang biasa dipakai dalam berbagai upacara adat, kaum Dayak.

Selanjutnya, acara memotong babi. Darah babi digunakan untuk memandikan tengkorak. Babi juga diambil hatinya dan dibakar untuk persembahan arwah leluhur. Setelah melakukan upacara ini, setiap orang yang mengikuti upacara, berpantang untuk berkata kotor. Bersikap kasar pada perempuan. Tidak berhubungan badan dengan perempuan. Tidak berjalan di bawah tiang jemuran. Bila orang melakukan itu, dipercaya bisa membawa malapetaka.

Uniknya, ketika upacara berlangsung malam hari, sebagian besar masyarakat tidak mengikuti upacara ritual itu. Yang mengikuti biasanya hanya orang tua dan tetua adat. Kawula muda dan kanak, lebih tertarik datang ke lapangan dan menonton pertujukkan musik dangdut. Di tengah lapangan tersebut, juga bertebaran permainan judi. Ada judi kolok-kolok, dokok dan lainnya.

Orkes dangdut dimainkan para pemuda setempat. Suara penyanyi dan peralatannya biasa saja. Bahkan, kalau boleh dibilang, hancur lebur. Meski demikian, itulah salah satu hiburan yang sangat dinantikan. Grup band menyediakan lima orang perempuan, untuk menemani orang yang ingin menari. Caranya, setiap yang ingin berjoget, mesti membayar tiket. Cukup dengan membayar Rp 5.000 untuk setiap lagunya. Dengan tiket itu, ia bisa mengajak seorang penari di orkes tersebut. Bagi yang tidak kebagian penari, mereka harus aktif dan pintar mencari penonton perempuan yang bertebaran di sekitar acara. Ketika ada kesepakatan, penonton perempuan akan mengikuti ajakan si pemegang tiket.

Setiap orang bolah memborong tiket. Berapapun ia mau. Asal dengkul kuat saja mengikuti alunan musik dangdut, hingga pagi. Uniknya, meski terjadi persaingan dalam mendapatkan teman joget atau ketika sedang berjoget di sekitar arena tersebut, tidak ada keributan atau perkelahian layaknya dalam suatu pentas musik. Orang akan berpikir seribu kali, bila berbuat rusuh atau berkelahi. Pasalnya? Siapa yang melakukan perkelahian atau berbuat rusuh, harus mengganti seluruh biaya pesta adat. Jumlahnya mencapai puluhan juta. Upacara adat juga mesti diulang dari awal. Karena itulah, orang tidak berani berbuat sembarangan.

Kampung di tengah hutan itu, terus mengeliat. Mengikuti kemajuan arus zaman dan modernisasi. Ada kemajuan diraih. Namun, ada juga yang mulai terkikis.□

Foto-foto : Muhlis Suhaeri
Edisi cetak ada di Koran Tempo






Baca Selengkapnya...

Saturday, December 29, 2007

Perempuan dan Semangat Pembebasan

Muhlis Suhaeri,
Borneo Tribune, Pontianak

Dor…..Dor…..
Blum……….....

Dua tembakan meluncur. Menembus leher dan dada. Suasana langsung berubah gaduh. Orang berlarian menyelamatkan diri. Semua kacau balau.

Ada mobil terbakar. Daging terpanggang. Asap mengepul. Semua campur aduk. Mengepung jiwa-jiwa yang marah dan kalut.

Aku tertegun. Menyaksikan sebuah drama yang begitu memilukan. Dari layar kaca TV 24 inchi di kantor, sebuah pemandangan terhampar. Stasiun televisi Aljazeera menayangkan berita itu. Penembakan dan bom bunuh diri yang ditujukan kepada Benazir Bhutto. Tokoh oposisi utama di Pakistan.



Malam itu, beberapa saluran televisi seperti CNN dan BBC, menayangkan berita itu hingga sekitar satu jam lebih.

Bhutto berada dalam suatu acara kampanye dan iring-iringan, ketika penembak dan pelaku bom bunuh diri itu, melakukan aksi. Dia sempat dibawa ke rumah sakit di Rawalpindhi. Namun, jiwanya tak tertolong.

Pengikutnya langsung bereaksi. Aksi bakar, dan merusak segera terjadi di beberapa wilayah Pakistan. Dunia internasional pun langsung berseru. Mengutuk penembakan dan segala cara dan bentuk kekerasan yang dilakukan.

Bhutto tidak sendiri. Dia adalah ikon. Simbol pembebasan dan demokrasi melawan Jenderal yang tiran, Perves Musharraf. Pengasingan yang dijalaninya selama delapan tahun di Inggris, tak membuatnya gentar menghadapi segala kekerasan yang ditujukan pada dirinya.

Beberapa jam setelah mendarat, dua bom mobil meledak di tengah iring-iringan orang yang menyambutnya. 138 orang meregang nyawa. Ia bergeming. Tak tunduk pada teror.

Aku jadi teringat pembicaraan dengan orang Pakistan. Dia kawin dengan sepupuku. Namanya, Sayid Laiq. Ia berbahasa Postun. Ada tradisi dalam masyarakatnya, “Dalam kondisi apapun, bahkan ketika bahaya mengancam nyawa, kita tidak boleh lari.”

Bhutto telah menghapus stigma di Pakistan. Mungkin juga di negara lain, bahwa sosok perempuan, tidak hanya berfungsi secara domestik atau bekerja di dapur saja. Melayani suami dan mengurus anak saja. Perempuan juga bisa tampil di ranah yang selama ini, menjadi hegemoni dari lelaki. Ranah politik. Ranah yang identik dengan intrik. Sikut-sikutan dan saling ganyang.

Ia telah berhasil menguak tradisi. Membongkar segala kekolotan dan nilai tradisional yang membelenggu kaum perempuan. Dengan kekuatannya yang khas seorang ibu, sosoknya bisa merangkul dan mengayomi semua kekuatan. Tempat berlindung bagi jiwa-jiwa yang resah. Hunian yang aman bagi mereka yang terpinggirkan. Karenanya, kekuatannya itu tak bisa dianggap remeh.

Bhutto juga telah berhasil membongkar tradisi. Dominasi laki-laki terhadap perempuan. Ia membuka mata kaumnya, ketika segregasi antara lelaki dan perempuan masih mendominasi pola kehidupan suatu masyarakat.

Di satu sisi, Bhutto telah berhasil menguak tabu. Namun, pada sisi yang lain, ia menumbuhkan bibit-bibit ekstremisme atas peran yang hilang dari budaya patriarki. Yang selama ini dipegang kaum lelaki. Apalagi bagi mereka yang masih berpikiran kolot. Maka segala cara pun bakal dilakukan, demi meraih superioritas.

Hatiku terasa ngilu. Pada wajah anggun dan berkarisma di layar itu. Sosok pejuang yang menjadikan dirinya martir, bagi sebuah proses demokrasi. Bagi sebuah tatanan nilai baru.

Tak jauh dari Pakistan, sebuah negara tetangga, juga terjadi gejolak serupa. Myanmar, negara dengan tradisi dan kediktatoran militer, melakukan hal sama pada warganya. Segala bentuk pengekangan yang dilakukan serdadu dengan dukungan bedil, membekap negeri tiran ini, puluhan tahun lamanya.

Aung San Suu Kyi, memanggul tanggung jawab dan seruan dari rakyatnya. Dia berdiri lantang melawan segala bentuk tiran. Perempuan yang satu ini, menjadi simbol dan pemersatu bangsa, dalam melawan kediktatoran militer.

Dalam pemilihan umum yang dilakukan, dia memenangkan suara. Namun, militer menolaknya. Malah memenjarakan di rumahnya sendiri. Suu Kyi menjadi tahanan rumah. Untuk segala usaha dan pengorbanan yang dilakukan, dunia menghadiahi perempuan lembut ini dengan hadiah tertinggi. Nobel Perdamaian.

Perjuangan perempuan di belahan bumi lain yang tak kalah heroiknya terjadi di Amerika Latin. Negeri-negeri di Amerika Selatan ini, sebagian besar mengalami kontradiksi dasar dan pertentangan yang jelas. Antara kaum kapitalis yang didukung rejim militer.

Munculnya Melida Anaya Montes dari El Salvador, menjadi ikon dan lambang pejuang kaum perempuan dan simbol pembebasan di Amerika Lain. Ia menemui ajal dan dibunuh teman-temannya sendiri.

Bagaimana dengan perempuan di Indonesia, sekarang ini?

Perempuan di Indonesia tak lebih. Munculnya Megawati, bisa dianggap sebagai awal dan ikon yang bisa mempersatukan dan menjadi simbol pembebasan. Ketika semuanya sudah didapat, dia melupakan semangat pembebasan itu.

Dia malah tenggelam dalam berbagai gelimang yang diperbuat orang di sekitarnya. Tak mengakar pada kaum yang telah memilihnya. Dalam berbagai kebijakan, seringkali tidak populis dan menggunakan naluri keibuannya.

Aceh terus diganyang dengan kebijakan militeristiknya. Kekuatan senjata digunakan untuk menangani negeri Serambi Mekah, tersebut. Hasilnya, Aceh makin bergolak. Operasi militer tak bisa membungkam semangat pembebasan yang dimiliki rakyat Aceh. Sebaliknya, munculnya Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dari militer, malah bisa meredam kemarahan dan ketidakadilan yang dirasakan dengan cara perundingan dan pemberian otonomi diperluas bagi rakyat Aceh.

Gerakan dan semangat pembebasan di Kalbar, agaknya belum menemukan gaungnya. Padahal, isu dan permasalahan perempuan, tak kalah banyaknya dengan isu-isu lain. Seperti, illegal logging, fishing, trading. Isu perempuan tak begitu populer, ketika berlangsung hajatan dan pesta demokrasi, Pilkada. Isu perempuan masih menjadi isu pinggiran. Belum ada perhatian khusus terhadap isu perempuan.

Sejatinya, isu perempuan dan perdagangan anak atau trafiking, masih menjadi kasus yang terjadi hingga kini. Apalagi dengan kondisi Kalbar yang berbatasan langsung dengan Malaysia. Kekerasan dalam rumah tangga, dan penganiayaan terhadap anak, menjadi peristiwa penting dalam berbagai pemberitaan di berbagai media.

Lahirnya UU No. 23 Tahun 2004, tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, seolah tak memberikan jawaban dan penyelesaian terhadap permasalahan yang terjadi.

Dalam berbagai kasus, perempuan yang mengalami KDRT, cenderung menutup diri dan tak mau melaporkan kasus itu ke polisi. Ada tabu dan peristiwa itu dianggap memalukan, bila diketahui oleh masyarakat. Kalaupun melapor, ketika ada proses hukum dilakukan, dan suami bakal ditahan, perempuan malah menarik kasus itu. Alasannya, ia tak siap untuk hidup sendiri. Faktor ketergantungan perempuan secara ekonomi, masih menjadi alasan, penanganan terhadap masalah ini. Dalam hal ini, perempuan kurang mandiri sehingga tidak berani mengambil sikap tegas.

Munculnya kasus ini tak lepas dari budaya patriarki dan bias gender yang terjadi di masyarakat. Data akhir tahun 2006 yang dihimpun Komnas Perempuan, dari 258 lembaga di 32 provinsi di Indonesia mencatat, telah terjadi 22.512 kasus kekerasan terhadap perempuan sepanjang tahun 2006. Dengan beban penanganan 40 - 95 kasus per lembaga, para perempuan pembela HAM yang bekerja pada organisasi penyedia layanan ini membutuhkan dukungan luas agar dapat menjaga keberlanjutan dalam memberikan pelayanan bagi korban.

Kasus KDRT di Kalbar, juga menimpa seorang bocah cilik perempuan bernama Zulkaidah Kurniawati, 7 tahun. Bocah perempuan yang seharusnya mendapat perlindungan dari keluarga ini, malah disiksa dan diperlakukan secara tidak manusiawi. UU KDRT Nomor 23 Tahun 2004 dan Perlindungan Anak Nomor 23 Tahun 2002 menyebutkan, pelaku akan mendapat hukuman maksimal 10 tahun dan minimal 3 tahun.

Isu perempuan dan anak juga masih tak bergeser dengan perdagangan perempuan dan anak. Meski telah keluar UU Nomor 21 Tahun 2007, tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang, permasalahan ini seolah tak berujung pangkal.

Dalam berita Antara (20/8), ketika membuka kegiatan Workshop Regional, “Pembangunan dan Pengelolaan Pusat Pemberdayaan Perempuan” di Yogyakarta, Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan, Meutia Hatta mengatakan, sekarang perempuan menghadapi tantangan baru berupa meningkatnya tindak kekerasan dan perdagangan orang.

Meningkatnya tindak kekerasan dan perdagangan orang lebih banyak dialami oleh perempuan dan anak. Tantangan itu membutuhkan tindakan nyata untuk meningkatkan kualitas perempuan khususnya dalam bidang pendidikan, kesehatan, ekonomi, politik dan perlindungan terhadap hukum. Berkaitan dengan itu, diperlukan suatu lembaga yang dapat mendukung pemberdayaan dan perlindungan bagi perempuan dan anak, seperti pusat pelayanan bagi perempuan dan anak.

Berita Sindikasi Pantau menyebutkan, data dari International Organization for Migration (IOM), ada sekitar 2,4 juta orang, sebagian besar perempuan, dan menangguk sekitar 32 miliar dolar per tahun di seluruh dunia. Ada bermacam bentuk perbudakan buruh di dunia. 85 persen korbannya adalah perempuan dan anak-anak yang terjerat jaringan eksploitasi seks.

Pusat Pengembangan Sumberdaya Wanita (PPSW) Borneo, Rosmaniar, mengatakan, kasus trafiking sebetulnya cukup banyak. Namun, nyaris sulit dibongkar karena berbagai kendala, termasuk dari para penegak hukum yang kesulitan mencari alat bukti atau penyebab lain.

Dijelaskannya, ada juga bentuk lain dari kerja migran, yaitu penari, penghibur, dan pertukaran budaya. Penari, penghibur dan pertukaran budaya ini terutama terjadi di luar negeri. Perempuan dan anak perempuan dijanjikan bekerja sebagai penari duta budaya, penyanyi atau penghibur di negara asing. Saat kedatangannya, banyak dari perempuan ini dipaksa untuk bekerja di industri seks atau pada pekerjaan dengan kondisi mirip perbudakan.

Koordinator Program PPSW Borneo, Reny A. Hidjazie mengatakan, korban trafiking memerlukan pendampingan. Tujuannya, supaya dapat memulihkan kondisi mereka, serta mencegah terjadinya hal-hal yang lebih buruk. Negara bersama organisasi non pemerintah, harus bertanggung jawab melakukan pendampingan korban trafiking. Memberikan pelayanan hukum, dan mengusahakan pemulihan kondisi korban, baik secara fisik, psikologis dan sosial.

Selama ini, penanganan korban trafiking masih dilakukan secara parsial, baik oleh pemerintah, maupun organisasi-organisasi non pemerintah.

“Karena itu diperlukan suatu metode pendampingan korban trafiking yang terpadu dan melibatkan semua unsur yang berkaitan dengan masalah ini,” ujarnya.

Pemerintah, harus melakukan langkah membangun sistem koordinasi dan kerjasama antara pemerintah dan organisasi non pemerintah dalam pendampingan korban trafiking perempuan dan anak. Selain itu, mesti menciptakan mekanisme rehabilitasi dan reintegrasi korban trafiking perempuan dan anak.

Pemerintah mesti meningkatkan pelayanan dan perlindungan terhadap korban trafiking perempuan dan anak. Harus ada suatu cara, bagaimana meningkatkan kesadaran korban untuk menjadi pribadi yang mandiri. Serta meningkatkan pengetahuan dan keterampilan korban, untuk menjalani kehidupan yang wajar sebagai anggota masyarakat.

Hal yang tak kalah penting adalah, mencegah korban tidak kembali mengalami hal yang sama, serta mengurangi terjadinya trafiking.

Isu tak kalah marak adalah masih banyaknya tindak kekerasan yang terjadi terhadap TKW yang bekerja di luar negeri. Berbagai kasus muncul karena adanya eksploitasi tenaga dan terjadinya berbagai kekerasan. Kasus Maria Bonet, dan beberapa TKW yang menjadi korban kekerasan di Malaysia, Saudi Arabia atau lainnya, makin menegaskan, masih minimnya perlindungan terhadap tenaga kerja Indonesia yang bekerja di luar negeri.

Kasus TKW juga muncul seiring dengan munculnya berbagai praktik seks komersial. Dalam berbagai kasus, banyak TKW terpelosok dalam jaring trafiking berkedok pengiriman tenaga kerja ini. Remaja dari berbagai pelosok negeri, tergiur dengan iming-iming gaji dan kerja yang menjanjikan, yang berakhir dengan eksploitasi seks pada mereka.

Masalah kawin pesanan juga masih marak dan terjadi di Kalbar. Praktik yang telah terjadi puluhan tahun lamanya ini, membawa efek dan berbagai masalah, ketika terjadi suatu kasus hukum. Misalnya, ketika mereka mendapat kekerasan rumah tangga, atau mengenai hak kepemilikan anak. Banyak kasus terjadi, mereka harus terpisah dari anak-anak yang mereka miliki, karena hak asuh anak, otomatis berada di pihak lelaki atau pria Taiwan.

Banyak kasus juga terjadi, para pengantin pesanan ini terjebak dalam berbagai praktik prostitusi dan perdagangan seks komersial.

Bila awalnya perkawinan terjadi dengan lelaki Taiwan, sekarang ini kecenderungannya bergeser ke Malaysia. Ketidakberdayaan secara hukum, membuat mereka cenderung diam dan pasrah, ketika mereka mendapatkan kekerasan dari pihak lelaki.

Isu tentang perempuan juga berkisar mengenai kuota pencalonan 30 persen perempuan. Ketentuan pasal 65 ayat 1 UU Pemilu menyebutkan, setiap partai politik peserta pemilu dapat mengajukan calon anggota DPR, DPRD Provinsi dan DPRD kabupaten/kota untuk setiap daerah pemilihan dengan memerhatikan keterwakilan perempuan sekurang-kurangnya 30 persen.

Kenyataannya, masih banyak partai-partai yang belum melakukan hal ini. Malahan, dari data yang dimiliki Cetro, partai yang melakukan hal ini, adalah partai-partai besar yang cenderung mendulang suara dalam pemilu.

Kenyataan yang bisa kita lihat secara kasat mata dalam lembaga legislatif di DPRD Provinsi Kalbar. Dari 55 anggota legislatif itu, jumlah perempuan hanya ada dua orang. Malah, lebih ironis lagi terjadi di DPRD Kota Pontianak. Dari 45 jumlah anggota dewan, tak ada satu pun, perempuan duduk sebagai anggota dewan.

Ternyata, kuota 30 persen, masih sebatas slogan belaka.

Melihat berbagai realitas dan permasalahan perempuan yang masih menumpuk di Kalbar, apakah bakal muncul perempuan-perempuan yang memiliki semangat pembebas dan dapat membela hak-hak mereka yang tertindas?

Jawabnya, ada pada diri perempuan itu sendiri. Sejauhmana perempuan mengorganisir diri dan menjawab berbagai permasalahan yang muncul. Tentunya dengan tekad membebaskan diri dari keterkungkungan adat, tradisi, dan dogma agama.

Siapa berani menjawab tantangan itu? Mari kita tunggu......□

Foto PKpolitics.com

Baca Selengkapnya...

Sunday, December 23, 2007

Perginya Sang Pemberi Teladan

Segalanya terjadi dengan mendadak. Tak ada kabar, bahwa ia alami sakit. Tak ada gejala, ia rasakan sesuatu. Tatkala berita itu tersiar, semua seperti tersentak. Kaget dan shok. Rabu (19/12), pukul 02.10 WIB, H Apar Aswin meninggal dunia di rumah sakit.

Benarkah berita yang didengar?

Bukankah, semalam ia masih bersama sang istri membuka suatu acara organisasi kepemudaan? Bukankah, ia baru saja pulang dari melantik kader Partai Hanura yang dipimpinnya di Kalbar? Bukankah, ia masih sehat dan berbincang dengan semua koleganya, malam itu?



Semua pertanyaan berpendar dalam setiap benak yang mengenalnya. Masih tak yakin. Hingga terlihat sebuah jasad telah terbujur kaku dalam satu rumah di Jalan Akcaya, tempatnya tinggal selama ini.

Sebagian besar pejabat dan staf hadir. Menyambangi untuk terakhir kali. Semua merasa kehilangan. Bagi mereka yang pernah mengenalnya, ia dikenal sebagai sosok yang rendah hati.

Meski Jenderal berbintang dua, karakter militer tak nampak dalam gaya pemerintahannya, semasa menjabat sebagai gubernur Kalbar, periode 1993-1998 dan 1998-2003.

Bila sedang marah, ia memilih diam. Bila ada staf terlihat bingung karena sedang tak ada uang, ia cepat tanggap dan memberikan jalan.

Karenanya, semua merasa kehilangan. Pada Sang Pemberi Tauladan.
Selamat jalan Pak. Kami akan mengenang dan melanjutkan cita-citamu….□


Foto : Lukas B. Wijanarko
Teks : Muhlis Suhaeri

Edisi Cetak 23 Desember 2007



Baca Selengkapnya...

Tuesday, December 18, 2007

Restu dari Semesta

Rintik hujan menetes. Dalam hitungan menit, bumi menangkap setiap butiran air yang jatuh. Seperti bunda yang menyambut kanak dengan elusan berjiwa. Semesta ikut berdendang. Menyambut pergantian dengan sebuah hidangan.

Hujan dan ritual. Alam dan kepercayaan. Dua sisi yang selalu selaras. Dalam kepercayaan masyarakat, bila ada ritual disambut dengan hujan, rejeki bakal lancar. Ada keberuntungan bakal terpancar.



Begitu juga siang itu, Senin (18/12). Ada satu ritual. Pelantikan Walikota dan Wakil Walikota Singkawang terpilih, periode 2007-2012, Hasan Karman, SH, MM dan Drs H Edy R Yacoub, Msi.

Hujan menyambut dan mengguyur bumi. Seolah memberi penanda dan restu. Ada kemakmuran bakal mengalir. Ada kehidupan bakal terjamin. Bagi sebuah asa dan kebersamaan yang hendak diukir.

Banyak masyarakat hadir. Pejabat yang melantik pun, tersungging. Menyematkan tugas baru, dan membawa pemerintahan ke depan. Bagi semua rakyat. Yang telah memberikan dukungan dalam sebuah pemilihan.

Sebuah bahtera bakal berlayar. Membawa semua harapan dan tumpuan. Bagi semua yang berjejak dan bernama pembangunan.

Bagimu, diserahkan semua kepercayaan. Bagi sebuah tatanan baru. Sebagai rakyat, kami ikut menyeru.

Selamat dan sukses. Bagi Hasan Karman, SH, MM dan Drs H. Edy R Yakoub, MSi. Walikota dan Wakil Walikota Singkawang.

Bawa. Bawalah kami. Dalam suatu kemakmuran dan pencapaian. □


Fotografer : Lukas B. Wijanarko
Teks : Muhlis Suhaeri

Baca Selengkapnya...

Sunday, December 16, 2007

Bahasamu, Harimaumu

Muhlis Suhaeri
Borneo Tribune, Pontianak
Peribahasa di atas terasa seperti berlebihan. Namun, begitulah adanya dengan fungsi bahasa. Bahasa punya banyak fungsi. Bahasa ibarat mata pedang. Ia dapat membunuh, juga dapat memuliakan pemakainya. Tak heran, salah satu sahabat Nabi Muhammad SAW, Sayidina Ali RA pernah berkata, ”Bila kamu tidak ingin terpedaya suatu kaum, kuasailah bahasanya.”

Bahasa adalah identitas. Bahasa menunjukkan suatu bangsa. Betapa pentingnya arti sebuah bahasa itulah, sebuah hajatan berlangsung. Bertempat di Aula Balai Bahasa Kalbar, sebuah seminar bertema Bahasa Dalam Media Massa dilangsungkan, pada Sabtu (15/12).

Ada tujuh organisasi bergabung dalam kegiatan ini. Pusat Studi Bahasa dan Masyarakat Borneo (PSBMB). Balai Bahasa Provinsi Kalbar. Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri STAIN Pontianak. Forum Bahasa Media Massa (FBMB). Asosiasi Bahasa dan Tradisi Daerah (ABSTRAH). Himpunan Pembina Bahasa Indonesia (HPBI). Masyarakat Linguistik Indoensia (MLI) Cabang UNTAN.


Acara ini terdiri dari tiga sesi. Setiap sesi berlangsung selama dua jam. Ada
Sesi pertama terdiri dari Marluwi, dosen STAIN dengan makalah berjudul Bahasa dan Wacana Media: Upaya Memelihara Bahasa Indonesia. Martina, Peneliti Balai Bahasa, makalah Penggunaan Bahasa Inggris dalam Media Cetak. Dewi Juliastuti, peneliti Balai Bahasa, Ambiguitas Berita di Koran. Yeni Yulianti, peneliti Balai Bahasa, Bahasa Sastra dalam Koran. Hardianti, Lembaga Pers Mahasiswa STAIN, Bahasa Sastra dalam Pemberitaan di Media Cetak. Sesi ini dipandu Aris Munandar, dari Media Indonesia, sebagai moderator.

Sesi kedua, sebagai pembicara Ika Nilawati, peneliti Balai Bahasa, Efektivitas Kalimat dalam Media Cetak. Prima Duantika, peneliti Balai Bahasa, Penggunaan Pilihan Kata Di Mana dalam Koran. Irmayani, peneliti Balai Bahasa, Interferensi Bahasa Melayu dalam Surat Kabar. Wahyu Damayanti, Peneliti Balai Bahasa, Interferensi Bahasa Melayu Pontianak terhadap Bahasa Indonesia: Tinjaun Dialog Interaktif di TVRI Kalbar. Dedy Ari Asfar, Peneliti Balai Bahasa, Membina Korpus Data Bahasa Daerah dalam media Cetak: Wahana Memperkaya Bahasa Indonesia. Syarifah Lubna, Peneliti Balai Bahasa, Optimalisasi Perkembangan Bahasa Anak Melalui Media Massa: Suatu Tinjaun Psikolinguistik. Sebagai moderator Hairul Fuad, dari Balai Bahasa.

Sesi ketiga, Nur Iskandar, Borneo Tribune, Berita Kasus Gang 17. Ambaryani, LPM STAIN, Analisis Bahasa Berita dalam Media Cetak. Yusriadi, PSBMB, Etnisitas dan Agama dalam Pemberitaan Media. Sudarsono, Dosen FKIP UNTAN, Kekerasan Bahasa dalam Media Massa. Sebagai moderator Teguh Imam Wibowo dari Perum ANTARA.

Seminar berlangsung dengan semarak. Mesti, jumlah peserta tak terlalu banyak. Hanya ada belasan puluhan peserta. Masing-masing pembicara mengemukakan berbagai pemaparannya tentang bahasa di media.

Bahasa memiliki fungsi yang penting sekali dalam kehidupan manusia. Bahasa merupakan identitas, entitas dan sarana komunikasi. ”Dengan bahasa, interaksi sosial bisa dilakukan,” kata Marluwi.

Penggunaan bahasa Inggris yang sering muncul dalam media massa juga menjadi sorotan. Dari beberapa media yang dijadikan subyek penelitian, masih banyak sekali menampilkan bahasa istilah asing dan bahasa Inggris dalam kalimatnya. Hal ini bisa menimbulkan salah pengertian dan pembaca juga tidak tuntas dalam memahami berita yang dibaca. Ada lubang informasi yang mungkin saja tidak diketahui dalam berita tersebut.

Padahal, menulis dan membuat berita di media massa merupakan komunikasi monologis. Tak ada tanya jawab. Sehingga, dalam membuat berita di media massa, seharusnya jurnalis mesti membuat berita dengan jernih. Baik dari segi bahasa maupun berbagai ungkapan dengan kata serapan yang ada dalam kalimatnya.

Pada prinsipnya, membuat berita harus kembali ke hal yang paling sederhana. Begitu juga dengan pemakaian kalimat yang digunakan, sehingga orang paling awam sekalipun, bisa mengetahuinya.

”Adanya interferensi bahasa asing tersebut, dipandang bisa mengacaukan penggunaan bahasa Indonesia yang sudah ada,” kata Martina.

Selain itu, bahasa yang digunakan dalam media massa harus memiliki makna yang jelas. Informasi apa saja yang ingin disampaikan, harus menggunakan bahasa yang jelas. “Bahasa di media massa harus lugas, dan tidak menimbulkan ambiguitas, sehingga tidak menimbulkan kesalahan makna,” kata Ambarwati.

Lalu, bahasa yang baik dan tidak menimbulkan makna ganda atau ambiguitas dalam media itu, seperti apa?

Dewi Yulistuti memberikan jawabannya, ”Bahasa yang baik ialah, baik dalam diksi dan bahasa yang benar ialah, benar dalam penataan kata-kata dan ucapan.”

Bahasa di media juga harus efektif. Dengan bahasa yang efektif, bakal memudahkan pembaca memahami suatu berita. ”Salah satu unsur kalimat efektif adalah, penghematan yang terdiri atas penghilangan bentuk ganda dan penghematan dalam penggunaan kalimat,” kata Ika Nilawati.

Bahasa sastra dalam media massa juga menjadi sorotan para pembicara. Munculnya media massa elektronik, seperti televisi dan radio, memiliki kelebihan tersendiri terhadap media tulis. Media elektronik lebih cepat dari segi pemberitaan. Tampilannya juga lebih atraktif. Orang bisa menyaksikan suatu kejadian dengan gambar hidup dan lebih menarik. Selain itu, orang tidak perlu bayar untuk mendapatkan informasi dari televisi. Kecuali, televisi kabel tentunya.

Meski begitu, ada satu hal yang dimiliki media cetak. Yang bisa membahas suatu isu dengan lebih mendalam. Inilah kekuatan yang tetap dan terus dipelihara para pengelola media, bertahan dari persaingan.

Hal ini membuat pekerja di media cetak memutar otak dalam menghadapi persaingan dengan media elektronik. Selain dibuat dengan mendalam, informasi yang diberikan juga dengan bahasa semenarik sekali. Bahasa yang enak dibaca, menarik dan tidak membosankan. Bahasa tersebut identik dengan bahasa sebuah karya sastra. Seperti, cerpen atau novel. Namun, tentu saja ada batas yang jelas antara jurnalistik dan sastra. Dalam karya jurnalistik, semua yang ditulis harus berdasarkan fakta. Titik.

”Keluwesan bahasa sastra dapat membuat penulis dapat menyampaikan informasi secara mendetail dan mendalam. Namun, tetap memikat,” kata Yanti.

Untuk mengatasi persaingan, media massa juga memasukkan berbagai karya sastra pada halaman medianya. Meski tidak berdasarkan fakta, karya sastra juga memiliki kekuatan tersendiri. Ketika massa rejim Orde Baru membungkam berbagai media massa, maka kekuatan sastra yang bicara.

”Di balik kerendahan hati sebuah karya sastra, tidak jarang terkandung muatan yang melebihi tamparan dan hujatan,” kata Yeni Yulianti.

Interferensi sebagai akibat dari kontak penggunaan bahasa, juga menjadi sorotan. Masuknya berbagai unsur bahasa daerah dalam pemberitaan media cetak, banyak terjadi dan menimbulkan berbagai kerancuan.

”Apabila surat kabar ingin menggunakan kosakata bahasa daerah, akan lebih baik jika kosakata tersebut dimiringkan,” kata Irmayani.

Interferensi bahasa juga terjadi di media elektronik. Banyak dari pejabat yang ketika berbicara dalam suatu acara resmi, menggunakan bahasa lokal. Misalnya, bahasa Melayu Pontianak. ”Seyogianya interferensi dialek Melayu Pontianak, tidak dilakukan secara berlebihan dalam acara-acara yang bersifat resmi, karena akan menjadi rujukan dan panutan masyarakat awam sebagai bahasa yang baik dan benar,” kata Wahyu Damayanti.

Dedi Ari Aspar membuat catatan lain dalam seminar tersebut. Ia berharap media massa membuat semacam korpus dan memberi ruang pada bahasa daerah di media massa. Ia ingin ada semacam kolom kecil yang menggunakan bahasa daerah. Menurutnya, hal itu penting bagi para peneliti bahasa, seperti dirinya. Atau, bagi para pengajar, sehingga bisa menjadi suatu muatan lokal dalam pendidikan.

”Bahasa daerah bisa memberi khasanah dan memperkaya bahasa Indonesia,” kata Dedi. Ia beranggapan, sekarang ini, fungsi peneliti bahasa, terkadang terjebak pada fungsi menerjemahkan saja. Pelestarian bahasa melalui media massa perlu dilakukan. Hal itu penting, karena menurut catatan PBB, sekarang ini ada 6.000 bahasa di seluruh dunia, hilang setiap harinya.

Pentingnya fungsi bahasa membuat orang harus membiasakan diri berbahasa dengan baik dan benar sejak usia dini. “Untuk bisa berbahasa dengan baik, tentu dibutuhkan rangkaian panjang dan tidak berdiri sendiri,” kata Rudi Maryati.

Dalam hal ini, pendidik memiliki peran sangat penting. Begitu juga dengan peran media pada anak kecil. Karena anak kecil (0-8 tahun) memiliki kemampuan yang kuat dalam menyerap suatu informasi. “Hal ini bisa dilakukan dengan optimalisasi perkembangan bahasa anak melalui media massa,” kata Syarifah Lubna.

Nur Iskandar menyoroti pemberitaan mengenai seringnya konflik di Kalbar. Menurutnya, konflik biasanya berawal dari hal-hal yang kecil, seperti perkelahian atau tindak kriminal. Salah satunya yang baru terjadi di Gang 17, Pontianak. Ketika akan memberitakan kasus ini, “perang” di dapur redaksi juga cukup alot. Ada yang berpendapat berita ini perlu dimuat atau tidak.

Melalui berbagai pertimbangan, pemilihan narasumber. “Akhirnya berita tersebut dimuat dengan selunak mungkin, sehingga tidak membuat provokasi,” kata Nur Iskandar. Prinsip yang dipakai dalam pemberitaan tersebut mengandalkan kesopanan berbahasa.

Yusriadi menyoroti berbagai pemberitaan media mengenai isu etnisitas dan agama di beberapa media lokal. Ia tertarik dengan dua isu tersebut, karena sedari awal, Kalbar dikenal sebagai daerah yang rawan dan memiliki sejarah dalam masalah etnisitas. “Sekarang ini, meski terlihat damai, ada konflik terselubung yang berdasar pada masalah etnisitas dan agama,” kata Yusriadi.

Masalah etnisitas juga bisa dilihat dari makin maraknya berbagai perkumpulan yang membawa isu etnisitas. Semisal, MABM, MABT, MAD, dan lainnya.

Dalam pemilihan bupati Ketapang, isu agama juga muncul dengan ditemukannya selebaran yang menggunakan sentimen agama. Begitu juga dengan di Sintang. Ketika ada penerimaan PNS, isu tentang agama juga muncul. Ada agama tertentu yang minta jatah diterima sebagai PNS.

Dua isu itu pula yang santer dan memenuhi berbagai pemberitaan media massa, ketika Kalbar melangsungkan pemilihan langsung untuk gubernur periode 2008-2013. Dua isu tersebut digunakan untuk mendapatkan dukungan dari pemilih. Program, visi dan misi tidak begitu penting untuk digunakan. “Etnisitas dan agama juga digunakan sebagai bahan untuk menghujat bagi calon dan tim kampanye, dan masyarakat,” kata Yusriadi.

Dalam berbagai pemberitaan yang dilakukan, media memberi porsi cukup besar untuk dua itu tersebut. Antara lain, dukungan yang diberikan satu golongan etnis pada satu kandidat. Dukungan tokoh agama pada satu calon gubernur. Pemberian gelar adat. Penghargaan pada kandidat dari istana. Begitu juga dalam sosialisasi damai yang dilakukan KPUD Kalbar. Simbol etnisitas dan agama muncul dalam acara tersebut. Ada sambutan yang mewakili etnis tertentu.

“Namun, dari berbagai berita mengenai etnisitas dan agama, media memberikan porsi cukup besar untuk berita seruan MUI mendukung salah satu kandidat,” Yusriadi.

Penggunaan bahasa di media massa juga mendapat sorotan tajam dari Sudarsono. Ia beranggapan, kekerasan bisa muncul dari bahasa itu sendiri. Bahasa bisa menimbulkan kekerasan. Kekerasan melalui bahasa, punya efek lebih permanen dari kekerasan tindakan. Kekerasan bahasa terjadi, ketika bahasa itu dikeluarkan. Kekerasan bahasa dari sisi isi, terjadi berdasarkan konteks dan situasi komunikasinya.

Karenanya, seorang filsuf dan tokoh agama seperti Confusius berkata, “Tidak boleh ada kesewenang-wenangan dalam berbahasa.”

Kesewenang-wenangan terhadap bahasa bisa menimbulkan diskursus dalam kekerasan simbolik. Kesombongan dan ketidakpedulian pada situasi yang ada di sekitar, juga suatu bahasa kekerasan. Kekerasan merupakan peringatan dan ancaman dari kekerasan yang lain. Namun, Sudarsono menyayangkan, bahwa pelanggaran terhadap kekerasan bahasa, belum bisa dianggap sebagai delik hukum.

“Sehingga orang yang melakukan pelanggaran dan melakukan kekerasan melalui bahasa, tidak bisa dijerat secara hukum,” kata Sudarsono.□

Edisi cetak ada di Borneo Tribune 16 Desember 2007

Foto Muhlis Suhaeri

Baca Selengkapnya...

Friday, December 14, 2007

Mengawal Desentralisasi dengan Pemberian Beasiswa

Muhlis Suhaeri
Borneo Tribune, Pontianak

Dalam rangka mengawal pelaksanaan desentralisasi daerah, serta meningkatkan individu dan insitusi, NESO (Netherlands Education Support Office) Indonesia, memberikan beasiswa kepada para kandidat di seluruh Indonesia, untuk mengenyam beasiswa pendidikan ke berbagai universitas di Belanda. Hal itu dinyatakan Wiwin Erikawati, Senior Scholarship Officer NESO Indonesia, di Pontianak, Kamis (13/12).

Pemberian beasiswa dan penekanan pada bidang pendidikan bertujuan untuk mengubah suatu cara berpikir, sehingga lebih baik. Program pemberian beasiswa ini sudah berlangsung sejak tahun 2000. Sejak tahun itu pula, sudah ada 1.343 orang diberangkatkan. Jumlah itu diperoleh dari 4.539 orang pelamar.



Setiap tahun NESO memberangkatkan sekitar 150-200 orang. Pada 2006, ada 120 orang yang diberangkatkan untuk studi di Belanda.

Untuk 2008, NESO telah melakukan sosialisasi dengan keliling ke 22 kota di berbagai pulau Jawa dan di luar Jawa, seperti di Kalimantan, Sulawesi, Sumatera dan lainnya. Program sosialisasi beasiswa dilakukan pada 13 November hingga 13 Desember 2008. Pendaftaran beasiswa dibuka pada Januari, sehingga pas pembukaan pendaftaran program, para kandidat bisa langsung mendaftarkan diri.

Sosialisasi dilakukan kepada berbagai institusi pemerintah, perguruan tinggi negeri dan swasta, lembaga swadaya masyarakat (LSM) dan media. Peminat paling banyak terdapat di Jawa. Yang menerima beasiswa paling banyak dari kalangan akademisi, karena mereka memang membutuhkan jenjang pendidikan lanjutan.

Ada beberapa bidang studi yang punya kaitan erat dengan pembangunan. Seperti, pendidikan, penanggulangan HIV/AIDS, pelestarian lingkungan, penyediaan air bersih dan sanitasi, memajukan iklim investasi, pemberdayaan masyarakat dan hak-hak asasi manusia.

Sampai saat ini, kendala utama memperoleh beasiswa adalah di bahasa Inggris. “Hal itu bisa dimaklumi, karena bahasa Inggris memang bukan bahasa sehari-hari,” kata Wiwin.

Program NESO lebih memprioritaskan peminat beasiswa dari luar Jawa. Bahkan, untuk program StuNed, NESO Indonesia memberikan program pra registrasi. Program ini baru berlangsung dua tahun lalu, dan memberikan syarat lebih mudah. Seperti, TOEFL 450 dan IPK 2,75. “Padahal, program beasiswa lain masih memasang syarat IPK 2,90,” kata Wiwin.

Selain itu, ada pelatihan 5 bulan bagi peningkatan kemampuan berbahasa Inggris, bagi kandidat yang sudah diterima oleh satu universitas di Belanda.

Program ini lebih memberikan peluang bagi para perempuan. Bahkan, untuk masalah umur, perempaun juga diberi waktu lebih lima tahun dari lelaki. Bila batas umur beasiswa bagi lelaki 40 tahun, batas umur perempuan 45 tahun.

Sekarang ini, kuota yang diperoleh juga masih didominasi lelaki. Padahal targetnya lelaki dan perempuan sama, 50 persen. Dari angka itu, ternyata hanya diisi 37 persen perempuan, dan sisanya 64 persen lelaki.

Persyarakat bagi para penerima beasiswa juga lebih ringan. beasiswa StuNed pra-registrasi ini hanya memberikan syarat IPK 2,75.

“Syarat lain, kandidat yang menginginkan beasiswa ini harus memiliki motivasi yang kuat dalam lamaran yang diajukan. Tentunya, bagaimana kandidat itu menjual Anda dalam lamaran Anda,” kata Wiwin.

Pelamar bebas melamar kemana saja Universitas di Belanda. Setelah lamaran lulus dan diterima oleh salah satu universitas, StuNed yang akan membiayainya. Untuk program ini, pemerintah Belanda mengeluarkan 5,5 juta Euro atau Rp 55 miliar per tahun. Bagi kandidat yang diterima, akan mendapat beasiswa sebesar 870 Euro atau sekitar 11 juta.

Meski demikian, sejak program ini diberikan, hanya ada 20 orang penerima beasiswa dari Kalbar. Well, Anda tertarik untuk menambah jumlah tersebut?□

Foto : Muhlis Suhaeri

Edisi cetak ada di Borneo Tribune, 14 Desember 2007




Baca Selengkapnya...