Friday, December 12, 2008

Sandingkan Dua Penghargaan Jurnalistik

Muhlis Suhaeri
Borneo Tribune, Pontianak

Jurnalis Borneo Tribune, Muhlis Suhaeri, menyandingkan dua penghargaan bergengsi di bidang jurnalistik. Prestasi itu diperoleh, setelah pada pengumuman Anugerah Adiwarta Sampoerna (AAS), pada 11 Desember 2008, pukul 19-22.00 Wib, di Hotel Crown Plaza, Jakarta. Tulisan berjudul The Lost Generation, dinyatakan sebagai pemenang pada kategori investigasi sosial.

Tulisan yang sama juga telah mendapat penghargaan dari Mochtar Lubis Award (MLA), yang diselenggarakan pada 18 Juli 2008 di Jakarta. Naskah itu menang untuk kategori investigasi, dan mendapatkan hadiah Rp 50 juta dan tropi.

MLA dan AAS merupakan dua penghargaan yang prestisius yang diberikan bagi para jurnalis dari seluruh Indonesia. Dua penghargaan itu diselenggarakan, untuk menjaring naskah-naskah terbaik dari para jurnalis terbaik di negeri ini.


Penghargaan AAS dimulai pada 2006. Tahun ini merupakan penyelenggaraan ketiga. Pada 2008, panitia AAS menerima sebanyak 1.057 naskah dari 274 jurnalis dari 100 media di Indonesia. Dari jumlah itu, koran Kompas menempatkan enam finalis. Majalah Gatra lima finalis. Sindikasi Pantau Aceh dan Jakarta, sebanyak empat finalis.

Ada 19 kategori yang dilombakan pada AAS 2008. Karya dan naskah yang dinilai, tidak hanya bersifat baik dan memenuhi berbagai kriteria penulisan, tapi juga mesti memiliki dampak pada masyarakat. Karenanya, naskah yang masuk, mesti memenuhi berbagai syarat yang baik bagi sebuah tulisan.

Para juri di AAS terdiri dari orang yang sangat punya kapasitas dan kemampuan di bidangnya. Mereka terdiri dari orang-orang yang memiliki kemampuan di bidangnya. Ada jurnalis, ahli hukum, LSM, akademisi, dan lainnya. Penjurian juga dilakukan secara bertingkat. Ada juri semifinal dan final.

Juri semifinal adalah, Yosep Adi Prasetyo atau Stanley, jurnalistik. Ade Armando, komunikasi. Firman Ichsan, foto berita. Veven SP Wardhana, seni dan budaya. TD Asmadi, olahraga. Mohammad Ikhsan, ekonomi dan bisnis. Debra Yatim, sosial. Rocky Gerung, Politik. Adrianus Meliala, hukum.

Juri final terdiri dari, Rosihan Anwar, untuk kategori jurnalistik. Effendi Gazali, komunikasi. Oscar Motulloh, foto berita. Seno Gumira Ajidarma, seni dan budaya. Sumohadi Marsis, olahraga. Faisal Basri, ekonomi/bisnis. Francisia SSE Seda, sosial. Indria Samego, politik. Harkristuti Harkirsnowo, hukum.

Acara diiringi dengan pementasan tarian kontemporer dari Dalang Wayang Suket, Slamet Gundono. Beberapa sekuel tarian dibawakan dengan cerita tentang pers dan perkembangan demokrasi di Indonesia.

Effendi Gazali, Dewan Juri AAS dalam sambutannya sebelum memberikan pengumuman menyatakan, “Meskipun karya-karya yang masuk sudah cukup baik secara keseluruhan, namun masih ada beberapa yang belum lengkap. Seperti, kekuatan dan akurasi data. Kami berharap, hal ini dapat memotivasi para jurnalis, untuk terus meningkatkan kualitas karya-karyanya.”

Dalam seleksi yang telah dilakukan, akhirnya keluar sebagai karya terbaik adalah, Silvia Galikano dari Tabloid Koktail (Jurnal Nasional), kategori humaniora bidang seni dan budaya dengan karya berjudul, Misinya Menulis. Priyambodo dari Kompas, untuk kategori foto berita seni dan budaya. Karya berjudul Terbakar. Lasti Kurnia dari Kompas, kategori olah raga dengan karya berjudul Special Olympics: Berprestasi untuk Mengubah Dunia. Crack Palinggi dari Reuter untuk foto berita bidang olahraga dengan karya berjudul Untuk Indonesia. Dia juga menang pada kategori foto bidang sosial dengan karya berjudul Polusi. Marta Nurfaidah dari Harian Surya (Surabaya), untuk kategori humaniora bidang social dengan karya berjudul Kehidupan Pengungsi Sampit di Pasar Keputran.

Hendri Firzani dari majalah Gatra kategori reportase investigatif bidang hukum, dengan karya berjudul Nelayan Asing Menjarah Laut, Menebar HIV/AIDS. Irawan Santoso dari majalah Mahkamah, kategori humaniora bidang hukum dengan karya berjudul Merindukan Advokat Pejuang. Prasetyo Utomo dari ANTARA untuk kategori bidang hukum dengan karya berjudul, Sumpah Al-Amin. Arsadi Laksana dari Modus Aceh untuk kategori reportase investigatif bidang politik dengan karya, Tiga Tahun MoU Adakah yang Berubah?. Tjipta Lesmana dari majalah Teltra, kategori humaniora bidang politik dengan karya berjudul, Pers Nasional: Antara Roh dan Kinerja.

Wahyu Setiawan dari Koran Tempo, kategori foto bidang politik dengan karya berjudul Tekanan Politik. Yeni H. Simanjuntak dari Bisnis Indoonesia, kategori reportase investigatif bidang ekonomi/bisnis dengan karya berjudul, Menyoal Dana Investasi. Marlini Hasan Pontoh dari majalah Femina, kategori humaniora bidang ekonomi/bisnis dengan karya berjudul Meraup Triliunan Rupiah Lewat Gagasan. Achmad Ibrahim dari Associated Press untuk kategori foto bidang ekonomi/bisnis dengan karya berjudul, Hancur. Anastasia Putri dan Anton Sukma dari Liputan 6 SCTV, kategori karya jurnalistik televisi terbaik dengan karya berjudul, Profil: Salomina Berjuang Meraih Pendidikan.

Pada AAS 2008, dewan juri tidak memutuskan pemenang untuk kategori investigatif bidang seni dan budaya, serta bidang olahraga. Setiap pemenang mendapatkan uang sebesar Rp 18 juta, piala dan tropi. Setiap peserta yang naskahnya masuk sebagai finalis, juga mendapatkan uang Rp 3 juta.

AAS 2008, memberikan penghargaan khusus bagi Jurnalis Muda Berbakat. Penghargaan ini diberikan bagi jurnalis muda berusia dibawah 25 tahun, atau pengalaman jurnalistik kurang dua tahun. Pemenangnya Novia Liza dari Pantau Aceh. Juga, ada penghargaan khusus bagi media paling partisipatif dengan jumlah wartawan dan karya paling banyak diikutsertakan dalam AAS 2008, diraih Kompas dan RCTI.

Ketika memenangkan MLA dan AAS, ada sebuah keyakinan yang tertanam bahwa, naskah yang baik akan mencari jalannya sendiri. Kalimat itu yang selalu tergiang, ketika membuat tulisan. Begitu juga ketika membuat tulisan The Lost generation.
Naskah ini bercerita tentang pengungsian besar-besaran warga Tionghoa di sepanjang perbatasan, karena provokasi yang dilakukan militer Indonesia, terhadap warga Dayak pada 1967.

Ketertarikan menulis tema tentang ini, karena ketertarikan pribadi pada berbagai isu pada isu-isu kemanusiaan. Karenanya, ketika membuat penulisan ini, seolah tak berbatas halaman. Alhasil, naskah yang tersusun sebanyak 22.481 kata atau 161.451 karakter. Naskah ini membutuhkan 19 edisi penerbitan. Atau 11 halaman koran, ketika sekaligus dimuat.

Karenanya, pada sesi penyerahan piala AAS 2008, jurnalis senior di Indonesia, Rosihan Anwar berkata, ”Muhlis, tulisanmu panjang sekali.”

Tulisan ini tak terpikir bakal diikutsertakan dalam lomba penulisan. Tak ada sama sekali. Yang muncul ketika menulis hanya, bayangan para korban kekerasan di negeri ini. Mereka tak pernah mendapat keadilan, di negeri tempat mereka dilahirkan. Juga, tak ada pengadilan bagi para pelaku kekerasan yang telah dilakukan negara pada rakyatnya sendiri.

Aku menganggap, ini merupakan kemenangan bagi mereka yang pernah ditindas oleh kekuasaan negara. Dan, bagi mereka yang selalu berjuang bagi rakyat dan negerinya. Hasta la Victoria Siempre.□

Foto:

PENYERAHAN PIALA
Wartawan senior, Rosihan Anwar, menyerahkan piala kepada para pemenang kategori sosial pada acara Anugerah Adiwarta Sampoerna (AAS) pada 11 Desember 2008 di Hotel Crown Plaza, Jakarta. FOTO Fahri Salam/Freelancer

Edisi cetak 13 Desember 2008

Baca Selengkapnya...

Tuesday, December 2, 2008

Tato Bagi Masyarakat Dayak

Oleh: Muhlis Suhaeri

Sekelompok orang menari. Langkah dan geraknya ritmis. Mereka berderet dalam langkah-langkah teratur. Pakaian para penari khas dan unik. Ada sulaman, manik-manik dan rupa warna berpadu. Gelang dan giwang juga memenuhi tangan dan kaki penari.

Dua orang pemusik memegang Sape’. Ini jenis alat musik khas Dayak Kayaan yang bentuknya menyerupai gitar. Ada beberapa senar. Diantara yang menari, seorang perempuan tua, penuh tato di sekujur tangan dan kaki, ikut bergabung. Gerakannya masih lincah dan bersahaja. Ia seolah membimbing penari muda, mengikuti gerakannya.

Itulah sebuah siang, pada pertengahan bulan Juni di Rumah Betang, Jalan Sutoyo Pontianak. Hari itu, mereka berkumpul menggelar Gawai Dayak Kayaan. Setiap warga Dayak Kayaan di Pontianak, diharapkan hadir dalam acara itu. Berbagai upacara dan ritual adat digelar.


Dalam buku Mozaik Dayak, Keberagaman Subsuku dan Bahasa Dayak di Kalimantan Barat, selain di Kalbar, subsuku Dayak Kayaan juga ada di Kalteng, Kaltim dan Sarawak, Malaysia. Subsuku Dayak ini cukup terkenal bagi kalangan peneliti.

Dalam masyarakat Dayak Kayaan, ada tiga tingkatan strata sosial. Hipi, bangsawan atau setingkat raja. Panyin, orang bisa. Dan, Diivan atau budak. Strata sosial ini, punya kemiripan dengan Dayak Taman, Lau’, dan Tamambalo. Namun, dalam perkembangannya, strata Diivan, sudah ditiadakan.

Dayak Kayaan memiliki budaya dan kesenian yang cukup dikenal. Tak hanya bagi kalangan masyarakat Dayak, juga masyarakat diluar Dayak. Salah satu contoh adalah seni tato. Seni tato dinamakan Tedak. Ini untuk kata benda. Kalau kata kerjanya, Nedak. Seni tato bagi masyarakat Dayak Kayaan, terutama dilakukan bagi perempuan.

“Dalam adat dan kesenian kami, perempuan harus ditato,” kata Ny Berdanetha JC Oevaang Oeray. Berdanetha perempuan Dayak Kayaan, kelahiran Kecamatan Putussibau, Kapuas Hulu. Ia istri Johannes Chrisostomus Oevaang Oeray, gubernur pertama dari suku Dayak. Berdanetha menikah dengan Oevaang Oeray pada umur 14 tahun. Namun, ia tak tahu persis tanggal kelahirannya. Ia memiliki tato di kedua tangan dan kakinya.

Dulu, ia tinggal di Rumah Betang di Tanjung Kuda, Putussibau. Rumah tradisional masyarakat Dayak bentuknya memanjang. Karenanya, disebut Rumah Betang atau Rumah Panjang. Seperti kebanyakan rumah Betang Dayak, bangunan rumah terletak di pinggir sungai. Yaitu, di Sungai Mendalam.

Masyarakat Dayak hidup secara komunal. Rumah Betang Tanjung Kuda, ada 90 pintu. Rumah dibangun dari kayu Belian. Ini jenis kayu paling keras dan bisa tahan ratusan tahun, meskipun terendam dalam air sekalipun.

Sayangnya, rumah itu tak ada lagi. Rumah terbakar, gara-gara dua remaja sedang memasak di dapur, dan tidak menjaganya. Ia tak ingat pasti, tahun berapa terbakar. Yang pasti, setelah Jepang masuk dan sebelum kemerdekaan. Berarti antara 1942-1945. Menurutnya, rumah itu bagus, besar dan kuat. Paling bagus diantara rumah betang lainnya.

Bagi perempuan Dayak Kayaan, ketika usia menginjak usia 10 tahun, mereka harus ditato. Tato bagi wajib hukumnya. Perempuan yang tidak ditato, dianggap belum dewasa. Kalau tak ditato, mereka tak dianggap dalam lingkungan sosial masyarakat di sana. “Akan diledek dan jadi ejekan,” kata Berdanetha.

Bambang Bider, seorang aktivis Dayak dari LSM Heart of Borneo menyatakan, tato semacam representasi spiritualitas terhadap yang maha tinggi. Semacam tuntunan bagi mereka, ketika meninggal dunia. “Tato menjadi peta dan jalan menuju Apo Lagam atau surga,” kata Bider.

Motif tato Dayak Kayaan, menunjukkan kelas sosial suatu masyarakat. Seorang Hipi atau bangsawan, tentu berbeda dengan kelas sosial biasa, ketika membuat tato. Begitu juga motif yang dipakai.

D. Uyub, lelaki Dayak Kayaan kelahiran Sungai Mendalam, menyatakan bahwa motif tato tidak saja berfungsi sebagai penerang dalam perjalanan di alam baka, hiasan tubuh agar tampak cantik, tapi juga untuk melihat strata sosial. Perempuan itu dari kasta Hipi atau masyarakat biasa. penggunaan motif tato pada kaum perempuan Dayak Kayaan, harus sesuai dengan tingkat strata sosialnya. Tujuannya, selain membedakan tingkat status sosial, juga memiliki makna religi tertentu.

Untuk melihat kasta perempuan Dayak Kayaan, bisa dilihat dari jenis dan motif tatonya. Perempuan Hipi menggunakan beberapa motif. Pertama, Usung Tingaang. Jenis motif ini berbentuk paruh burung Enggang. Ini burung endemik di Kalimantan, yang melambangkan tanda maran atau mulia. Kedua, Kajaa’ Lejo. Bentuknya seperti bekas telapang kaki harimau. Motif ini melambangkan kekuatan dan kegagahan. Kegagahan terlambangkan dengan kehebatan seseorang. Tapak harimau sudah menginjak paha, tapi tidak berbahaya. Karenanya, motif Kajaa’ Lejo menjadi motif tertinggi, pada kalangan perempuan Hipi. Ketiga, Usung Tuva’. Tuva’ sejenis tumbuhan yang akarnya bisa dipakai menuba atau meracun ikan. Motif ini melambangkan kekuatan jiwa, bagi seorang Dayung atau orang yang memimpin doa secara adat. Motif serupa angka delapan atau kurfa. Keempat, Usung Iraang. Motif ini berbentuk piramida. Memiliki ujung tajam. Makna motif, diyakini bisa memberi semangat tinggi, dan kemampuan menganalisa berbagai aspek sosial kehidupan manusia. Kelima, Tena’in Ba’ung. Bentuk motif ini melingkar bulat. Persis lingkaran obat nyamuk bakar. Motif ini mengambil makna usus ikan buntal. Ini sebagai tanda, perempuan siap berkeluarga, dan siap hamil. Ikan Ba’ung perutnya besar, persis perempuan hamil. Keenam, Iko’. Motif ini berbentuk gelombang. Digunakan sebagai batas antara motif satu dengan lainnya. Motif Iko’ tak punya makna khusus.

Motif tato perempuan Panyin, bisa menggunakan motif perempuan Hipi, selain motif Kajaa’ Lejo dan Usung Tingaang. Dua motif itu tak bisa dipakai perempuan Panyin. Akibatnya bisa celaka.

“Jika menggunakan motif tato sembarangan, diyakini akan mendapatkan mala petaka parit,” kata Uyub. Orang tersebut seluruh kulit tubuhnya akan berwarna kuning. Muka tampak pucat, serta perut besar. Penyakit itu diyakini bakal diderita seumur hidup.

Letak tato biasanya pada bagian tangan, kaki dan paha. Letak motif Usung Tinggang pada perempuan Hipi, terletak di paha kiri dan kanan. Tepatnya di atas lutut. Motif Kajaa’ Lejo, di paha kiri dan kanan bagian depan. Motif ini biasanya bercampur dengan Usung Tuva’ dan Usung Iraang, yang juga bisa dipakai kaum Panyin.

Letak motif tato perempuan Panyin, ada di beberapa bagian. Usung Tuva’ terletak di paha kiri dan kanan. Tena’in Ba’ung biasanya dipakai sebagai pembatas dengan motif Usung Tuva’, terletak di paha bagian belakang. Usung Iraang dipakai sebagai pembatas antara motif satu dengan lainnya, bercampur dengan Usung Tuva’dan biasa disebut Iko’. Terletak pada paha bagian depan. Bermakna menandakan ujung bagian yang tajam. Hal itu sesuai dalam Tekna Lawe Idaa Beraan, atau cerita sastra Lawe Idaan Beraan. Lawe adalah seorang tokoh dalam cerita Idaan Beraan.

Peletakan motif Usung Tuva’, Tena’in Ba’ung, Usung Iraang dan Iko’, pada kalangan Hipi bisa sama dengan kaum Panyin.

Pada usia 10 tahun, perempuan Dayak Kayaan ditato pada bagian kaki. Biasanya dari lingkaran engkel hingga betis atas. Ada juga yang hingga ke paha. Kaki bagian jari dan bagian atas juga kena tato. Setelah 12-13 tahun, mulai ditato pada bagian tangan.

Tato dibuat ketika tidak ada kegiatan. Bukan pada musim berladang. Tukang tato biasanya perempuan. “Mereka memiliki kemampuan yang diturunkan secara turun temurun. Tidak boleh sembarangan orang,” kata Bernadetha.

Alat membuat tato terbuat dari kayu. Ada tangkai pemukul dari kayu. Namanya Lutedak. Di ujung kayu ada jarum tato. Jarum dicelupkan ke tinta, setelah itu mengikuti ukiran yang sudah ada. Motif tato berupa cetakan di kayu. Kulit yang akan ditato, dicap dulu dengan alat cetakan ini. Setelah itu, jarum tato mengikuti gambar. Cetakan tato disebut Klinge. Ukuran Klinge sudah paten.

Tinta untuk membuat tato, dikumpulkan dari asap lampu pelita. Lampu ini bahan bakarnya tanah, dan ada sumbu pada ujungnya. Asap yang keluar dari ujung sumbu ditampung. Ketika dipakai, asap dicampur dengan air. Meski dari asap pelita, tapi kualitasnya bagus. Pernah suatu ketika, Bernadetha tersiram air panas. Namun, tatonya tidak apa-apa.

Tak ada pantangan ketika orang ditato. Orang yang ditato, tak boleh bicara. Alasannya, dikhawatirkan tato tak jadi dan tak tuntas, karena melanggar aturan. Ibarat orang sedang menggoreng dan mempersiapkan sebuah makanan, tidak boleh diajak bicara. Bagian yang sudah ditato, dibersihkan di sungai, untuk hilangkan kotoran dan daki.

“Meskipun baru ditato, tapi tak bisa hilang, saat dibersihkan di sungai. Heran, aneh juga,” kata Berdanetha.

Setelah ditato, biasanya bagian itu terasa bengkak. Tapi, tak menimbulkan inveksi. Obat untuk tato, beras yang disangrai atau ditumbuk halus. Lalu, beras dicampur dengan akar Bado. Ini jenis tumbuhan merambat. Cara membuatnya, akar ditumbuk dan dicampur dengan beras. Lalu, diurap dan dibalurkan ke tubuh yang telah ditato. Setelah itu, dibalurkan, seperti bedak dingin.

Tato paling sakit di kaki bagian atas, karena langsung kena tulang. Bila tidak kuat, akan menangis. Tangisan ini dilakukan sambil bernyanyi. “Hehehe......Istilahnya sambil bedayu atau menyanyi,” kata Berdanetha. Lagunya seperti menangisi orang yang meninggal.

Sekarang ini, tato tak dipakai lagi pada perempuan Dayak Kayaan. Hanya orang tua saja yang masih memikiki tato. Sebabnya? Faktor pendidikan dan pergaulan, membuat perempuan Kayaan tak lagi membuat tato di tubuhnya. “Mosok sekolah di kota, tapi lain dari yang lain,” kata Berdanetha.

Tak adanya Rumah Betang bagi komunitas masyarakat Dayak Kayaan, setidaknya turut membuat tradisi dan seni tato turut menghilang.

Selain masyarakat Dayak Kayaan, secara tradisi, tato juga dikenal di kalangan masyarakat Dayak Iban, dan Kenyah, kata Gerar Gabriel Martinus Daria.

Menurutnya, tato bagi masyarakat Dayak, lebih kepada nilai seni. Keberadaan tato sudah ada ratusan tahun lalu, seiring munculnya seni ukir pada masyarakat Dayak.

Gerar dari Kecamatan Benua Martinus di Kapuas Hulu. Ia membuat tato sejak usia 30 tahun. Menurutnya, tato merupakan tanda kebanggaan, ciri khas, dan tak ada unsur magis. Tapi, tato tidak boleh sembarangan. Misalnya, tato Naga. Kepala naga harus menghadap ke bawah. “Supaya tidak makan diri sendiri,” kata Gerar.

Dalam bahasa Dayak Martinus, Naga disebut dengan Naboaou atau mahlug penjaga air. Supaya hari tidak hujan, maka minta pertolongan pada Naboaou.

Bagi Dayak Iban, tato ada di semua badan. Selain Naga, burung Enggang atau Rangkong juga sering dibuat untuk motif tato. Terutama bagi masyarakat Dayak Iban. Mereka lebih banyak ke Sayap Enggang. Ini melambangkan keagungan. Burung Enggang merupakan simbol kesetiaan. Selama betina bertelur dan mengerami telornya, sang jantan akan selalu berada di depan sarang yang terbuat dari lubang pohon, dan mengantarkan makanan bagi betina.

Selain Enggang, gambar tato yang selalu ada di Dayak Iban adalah, Bunga Terong. Gambar ini selalu ada di dada kanan dan kiri. Ini lebih kepada nilai artistik. Namun, motif tato tidak spesifik, harus dipakai siapa. Misalnya saja Iban, bisa ditato apa saja, karena motifnya itu-itu saja.

Tato membuat ciri khas dari suatu suku orang Dayak.

Motif Dayak Kenyah berupa akar-akaran, ular dan segala binatang. Tato Dayak Kayaan lebih halus, kecil dan lebih rumit. Motifnya terutama akar-akaran. Motif akar selalu dipakai, karena orang Dayak tidak bisa dipisahkan dengan hutan dan isinya. “Jadi, aneh saja bila orang Dayak dianggap merusak hutan. Kehidupan mereka tidak bisa dipisahkan dengan hutan,” kata Gerar. Simbol-silmbol yang ada itulah, kemudian dimunculkan di tato. Simbol lain adalah, babi, ular dan anjing.

Tumbuhan akar, rebung, dan pakis, juga sering dijadikan motif untuk tato. Resam bentuk daunnya seperti sisir tali, dan bisa dibuat untuk kalung. Kantung Semar juga simbol yang bagus untuk membuat tato.

“Pada dasarnya, membuat tato seperti membuat motif pada Gunungan di Wayang Kulit. Ini ibarat pohon kehidupan,” kata Gerar. Ada pohon, binatang, berjajar hingga naik ke atas, seperti gambar Gunungan.

Dulu, membuat tato dengan menggabungkan 5-7 jarum menjadi satu. Setiap jarum dibatasi dan ada tandanya, setiap kedalamannya. Butuh waktu tujuh jam sampai satu hari. Tergantung pembuatannya. Namun, membuat tato biasanya tidak sekaligus. Yang paling berat adalah membuat arsir.

Orang membuat tato dari tinta Cina. Tinta ini dipakai karena sangat lengket. Orang Dayak menyebutnya Tawat. Terkadang, orang menggunakan arang batu baterei. Caranya, baterei arang dihancurkan dengan air. Namun, bahan ini, warnanya kurang bagus dan pudar.

Dulu, ada upacara adat untuk membuat tato. Namanya, Adat Batato. Adat ini lebih memohon keselamatan, sehingga ketika membuat tato tidak salah. Adat Iban, Kayaan, Kenyah, hampir sama. Dalam upacara adat ini, keluarga yang bakal ditato, menyembelih babi atau ayam. Ini merupakan bentuk dari syukuran. Di Rumah Betang, keluarga yang akan membuat tato, mengadakan syukuran, dan memberitahu komunitas keluarga lain.

Membuat tato tak sekali jadi. Upacara dilakukan tak sampai satu hari lamanya. Upacara dilakukan sekali saja, ketika orang itu akan membuat tato. Tato merupakan proses yang terus menerus. Tak sekali jadi.

Sekarang ini, ketika membuat tato, unsur adatnya sudah hilang. Namun, ada kejadian yang membuat orang bertato, dianggap preman. Zaman itu disebut Petrus atau penembak misterius. Ini era 80-an. Begitu juga dengan tradisi telinga panjang bagi perempuan Dayak di Rumah Betang. Pemerintah menganggap hal itu tidak bagus, sehingga tidak dibina.

“Sekarang ini, ada kecenderungan anak muda Dayak memiliki tato. Ada kebanggaan kalau memiliki tato,” kata Gerar.

Pada berbagai acara Gawai Dayak, selalu dilakukan pembuatan tato. Sifat dan motif tatonya kontemporer. Tato jenis ini, dasarnya tetap. “Proses tato juga berkembang sesuai dengan proses kehidupan,” kata Gerar.

Namun, sekarang ini ada yang rancu dan tidak pas. Misalnya, orang Dayak membuat tato Gergasi atau Barong dengan lidah menjulur. Lidah menjulur untuk barong dari Bali. Sekarang ini, pertatoan sudah mulai menjadi tren, seperti zaman dulu. “Yang pasti, tato Dayak tidak identik dengan preman,” kata Gerar.

Tak hanya orang Dayak biasa, tato juga melekat pada seorang biarawan. Bruder Stephanus Paiman, misalnya. Dia berasal dari Dayak Kandayatn. Biasa dipanggil Bruder Step. Ia dari Ordo Kapusin.

Menurutnya, tato bila badan tidak kuat, bisa demam dua minggu. Apalagi kalau tato di leher, orang bisa tidak sanggup makan selama dua minggu.

Orang tua tidak mempermasalahkan, ketika dia membuat tato. Mulai dari kakek, kakak, sudah biasa membuat tato.

Bruder Step ayahnya dari Dayak Kandayatn. Ketika zaman mengayau atau berburu kepala masih berlaku, kalau orang selesai mengayau, tangan kanannya diberi tanda tato. Bentuknya bulat dan di tengahnya ada dua garis silang. Lebar lingkaran sekitar dua senti meter. Tiap dapat satu kepala, bulatan itu bertambah, hingga melingkari tangan, seperti gelang. Lingkaran awal berada di ujung pergelangan tangan. Satu lingkaran bisa memuat 12 lingkaran. Setelah penuh, tanda lingkaran itu dibuat ke atas, atau arah siku. Kalau sudah penuh, harus ke atas lagi.

Bruder Step memiliki kakek bernama Kek Uban di Bantanan, Kabupaten Sambas, perbatasan dengan Biawak, Sarawak. Tatonya berbentuk gelang. Dari ujung tangan hingga ke siku.

Sebelum masuk biara, Bruder Step sudah membuat tato. Sejak SMU, mulai membuat tato berciri khas Kalimantan. Alasan ia membuat tato, karena unsur seni. Pertama kali membuat tato, antara 1974-1975. Tato pertamanya bergambar kepala Harimau di dada kanan. Ini melambangkan keberanian dan keperkasaan. Dia mengakui, dulunya suka berkelahi.

Gambar kedua burung Garuda terbang di dada kiri. Ini melambangkan kebebasan.
Ada motif Dayak Kandayatn dibuat di kaki. Di tangan kanan, ada burung Enggang yang dikitari Pakis. Di tangan kiri ada gambar Kalajengking dikitari pakis.

Membuat tato dengan motif binatang berbisa, memiliki arti tersendiri. Orang percaya, tato Kalajengking atau binatang berbisa lainnya, kalau pemiliknya memukul, bisa berakibat fatal. Apalagi ada tahi lalat di tangan. Ceritanya, bakal berbahaya bila memukul orang.

Namun, bila ada tato Ular, Kalajengking atau binatang berbisa lainnya, bila masuk ke wilayah pedalaman, harus izin dulu dengan masyarakat setempat. Tujuannya, supaya tidak diuji atau dicoba masyarakat. Misalnya, masyarakat mengirim Ular, Kalajengking atau lainnya.

Ketika di biara, Bruder Step memperbanyak tatonya. Alasannya, hal itu tidak bertentangan dengan konstitusi dan aturan hidup di Kapusin. Tidak ada ajaran gereja yang melarang hal itu.

Bagi Bruder Step, membuat tato berhubungan dengan sesuatu yang ideologis. Di Ordo atau kehidupan biarawan gereja, ada yang namanya mendera diri. Sejarahnya, pada abad pertengahan, banyak pengikut dari Ordo Fransiskus, hidup mendera diri dengan cambuk. Mereka ingin merasakan penderitaan Yesus dalam perjalanan menuju Golgota.

“Saya membuat tato, karena ada darah yang saya bayangkan, adalah penderitaan Yesus,” kata Bruder Step. Ia menerapkannya dengan tato. Ketika masuk biara, ia membuat kepala Yesus dengan hiasan Mahkota Duri. Gambar itu ada di bagian perut.

Sekarang ini, ada beberapa imam yang punya tato di tubuh. Cirinya khas. Yesus Sang Gembala. Gambarnya, Yesus dengan tongkat dan dua anak domba.

Bruder Step punya tato gambar salib di pangkal tangan kanan. Gembala di dada kanan atas. Di punggung ada gambar naga dan burung Phoenix.

Suatu ketika, ada ada Master General dari Roma, Italia, John Chardou datang ke Kalimantan Barat pada 2003. Ia berkata, “Step satu-satunya Kapusin yang bertato di seluruh dunia.”

Ada beberapa pengalaman unik, dengan tato di tubuhnya. Pada 2003, Bruder Step dan Romo Ignatius Sandyawan Sumardi SJ, menjemput TKI yang diusir dari Malaysia di Tanjung Priok. Pelabuhan ini terkenal dengan para preman dan calonya. Karenanya, Bruder Step diminta maju sebagai garda depan oleh Romo Sandyawan.

Pengalaman lainnya, ketika naik bis, tidak ada penumpang yang berani duduk di dekatnya. Tapi di sisi lain, ia kerap diincar Buser atau tim buru sergap polisi.

Begitu juga ketika ia sedang jalani pendidikan Novisat di Parapat, Medan, selama satu tahun. Setelah itu, pendidikan filsafat di Pematang Siantar, Medan, selama lima tahun. Ia tinggal di asrama selama jalani pendidikan.

Di Sumatera, ada anggapan umum, orang bertato dianggap preman.

Suatu ketika ia menuju kota, ada keperluan. Saat hendak kembali ke asrama, ia kehabisan uang. Ia cari akal. Apa boleh buat, ia simpan dulu kalung rosarionya, dan memasukannya ke kantong celana. Lalu, ia membuka dua kancing bajunya, sehingga tatonya terlihat.

Kebetulan, bangunan asrama berada dekat dengan jalur angkutan. Sehingga begitu turun, ia bisa mengambil uang di asrama. Saat itu, angkutan menggunakan colt pick up, Mitsubishi Colt 300.

Setelah angkutan sampai di dekat asrama, Bruder Step bicara pada kernetnya, “Tunggu sebentar, saya ambil uang di asrama.”

Tapi, sang kernet malah tidak mau, dan langsung minta supir untuk tancap gas. Meninggalkan tempat itu.□

Foto-foto by Muhlis Suhaeri

Baca Selengkapnya...

Monday, December 1, 2008

Mengenalkan Realitas

Muhlis Suhaeri
Borneo Tribune, Pontianak

Si Budi kecil kurus menggigil
Menahan dingin dengan jas hujan
Di suatu sore Tugu Pancoran
Tunggu pembeli jajakan koran

Anak sekecil itu berkelahi dengan waktu
Demi satu impian yang kerap ganggu tidurmu.....

Setiap mendengar lagu Sore Tugu Pancoran dari Iwan Fals, aku selalu teringat pada si kecil yang sedang bermain di rumah. Lagu itu bercerita tentang si Budi, anak kecil yang harus berjualan koran, untuk membiayai hidup dan sekolahnya. Budi selalu ngetem di sekitar Tugu Pancoran, Jakarta.


Sebagai orang tua yang sedang memiliki anak kecil, setiap mendengar lagu itu, selalu membuat hatiku serasa dikoyak-koyak. Kenapa harus ada anak kecil berkeliaran di jalan-jalan, untuk mencari sesuap nasi. Padahal, seumuran dia harus bersekolah dan menikmati masa kecil bersama teman-temannya. Pada dunianya.

Namun, inilah realitas. Apapun bentuk dan wujudnya, realitas memang cenderung ekstrem. Ia punya dua sisi yang seolah bisa saling memotong. Berseberangan. Tapi selalu duduk dan berdiri sejajar.

Ada kebahagiaan, tentu ada duka. Ada persahabatan, pasti ada penghianatan. Ada penghargaan, mungkin cacian.

Semua bentuk atau kata sifat itu, selalu melekat. Meski saling bersimpangan realitasnya, tapi ia selalu digunakan sebagai satu kata, untuk menemukan suku kata lainnya. Aneh memang. Begitulah realitas.

Karenanya, aku selalu ingin mengenalkan sebuah realitas pada anak-anakku kelak, sebagai sesuatu yang harus ditelaah. Dikenal. Didekati. Agar, ia tak trauma ketika mengalami suatu realitas yang membahayakan. Atau, ia tak lupa diri, ketika mendapatkan suatu kesuksesan. Aku akan selalu mengajarkannya, kembali ke Titik Nol. Kembali ke asal. Sehingga, ia tak perlu sombong dengan prestasi yang telah diraih.

Aku juga akan mengajak anak-anakku, untuk jalan-jalan ke berbagai lorong yang kotor dan menjijikkan. Agar, ia tahu sebuah realitas kekumuhan di kotanya. Atau, mengajaknya makan di Warung Tegal (Warteg) atau warung emperan. Agar, ia tahu masyarakat kecil yang berada di sekitarnya. Tapi, dia juga akan aku ajak untuk makan di restoran paling mahal sekalipun, agar ia tak minder dan rendah diri dalam bergaul. Juga, mengenalkan sebuah dunia lain.

O...O...ternyata, anak-anakku masih kecil. Ah, rasanya sudah tak sabar untuk melakukannya.□

Edisi cetak ada di Borneo Tribune 1 Desember 2008


Baca Selengkapnya...