Saturday, February 1, 2003

Keluarga Jagal

Hidup di antara darah dan daging dalam mata rantai tak terpisahkan

Oleh: Muhlis Suhaeri


LELAKI ITU membersihkan pisau yang telah basah oleh darah. Dia memasukkan pisau kecil itu ke sarungnya. Disekanya keringat yang mulai membasahi tubuh. Matanya nanar melihat sekeliling. Hanya gumpalan dan potongan daging yang berserak. Lantai memerah, penuh genangan darah.

Dengan pisau kecilnya, dia kembali merobek, membelah, dan memotong daging menjadi beberapa potongan. Kapak diayunkan untuk membelah tulang. Lalu, potongan daging besar dipanggulnya menuju sebuah timbangan. Daging dikaitkan. Mantri daging mencatat dan memberikan stempel pada daging yang telah ditimbang. Mobil telah menunggu, siap membawa daging ke seluruh pelosok kota.

Dia Bonin, biasa dipanggil Udin. Usianya lebih dari separuh abad. Ada rasa ngeri ketika kali pertama melihatnya. Tatapan matanya dingin. Cambang dan kumis membubuhi wajahnya yang bulat. Tinggi badannya sekitar 160 cm. Badannya kekar. Lengannya besar, bahunya lebar. Sesekali tawanya berderai.


Sore itu, di bawah rimbun pohon bambu yang memayungi rumahnya, kami bercakap. Udin duduk bersila. Sebatang rokok kretek dinyalakannya. Asap membumbung dan berkisaran di wajahnya.

“Saya kerja di pejagalan sapi sejak tahun 1963,” ujarnya.

Udin seorang jagal sapi di Rumah Pernotongan Hewan (RPH) Pancoran Mas, Depok. Pekerjaan itu dilakoninya sejak dia meninggalkan bangku Sekolah Rakyat (SR) Babakan, Parung, Bogor. Tak pernah terbersit di pikirannya untuk menjagal. Tadinya, dia ingin memanggul senjata, menjadi seorang serdadu. Ada rasa bangga dan gagah. Tapi nasib menentukan lain. Ketika itu, umurnya belum cukup untuk mendaftar.

Pergilah dia ke Jakarta untuk mengadu nasib. Rumah Pak Amat, pamannya, menjadi tujuannya. Di sini dia membantu pekerjaan pamannya yang membuka sebuah kantin di depan RPH Klender. Kantin itu menyediakan makanan bagi pemotong daging dan karyawan RPH. Dari sinilah dia mulai bergaul dengan para jagal sapi, yang mendorongnya bekerja di RPH.

Pada awalnya ada rasa ngeri dan jijik ketika pertama bekerja di pejagalan. Lumuran gajih, kotoran, dan darah sapi membuat Udin ingin muntah. Tapi, lama-lama dia terbiasa.

Udin menangani jeroan sapi. Usus, babat, dan lainnya dia bersihkan. Setelah mampu, dia mulai menguliti sapi. Hingga akhirnya dia belajar membelah sapi menjadi dua bagian dengan kampak. Sapi yang telah terbelah dua dipotong lagi menjadi empat bagian. Pekerjaan ini tidak mudah, dan tidak semua orang mampu mengerjakan.

"Kita harus tahu sela-sela tulang," ujar Udin.

Udin juga belajar membuka kepala sapi. Pekerjaan ini dilakukan dengan kampak. Otak, lidah, mata, dan segala yang ada di kepala sapi, memisah dari kulit dan tulang. Andai caranya tidak benar, isi kepala bisa berantakan. Ada teknik tertentu, yakni harus menyesuaikan dengan urat di kepala sapi.

Sekitar 1968, Udin mulai menyembelih sapi. Di RPH, ini bukan pekerjaan khusus. Siapa pun bisa melakukan, asalkan punya keberanian. “Kalau memotong urat leher harus sekali tarikan, dan tenggorokan sapi putus,” ujarnya.

Bila tidak, sapi menjadi kaget dan mengamuk, dan ini berbahaya bagi jagal. Bila pisau masih di tengah leher sapi, maka tangan jagal yang terkena pisau. Tenggorokan yang telah terputus mesti dibelah lagi urat nadinya untuk mengalirkan darah di tubuh sapi. Bila darah tidak mengalir, sapi bisa saja bangun lagi dan mengamuk -meski tenggorokannya telah putus.

Udin bekerja di RPH Klender hingga 1973. Dia pindah ke Pulogadung, dan kemudian Cakung. Sewaktu di Cakung inilah isu tentang pemotongan hewan tidak memakai bacaan bismillah muncul. Alasannya: pakai mesin. Masalah itu cukup menghebohkan. Pemasukan RPH sempat menurun drastis. Sebenarnya penyembelihan tetap dilakukan jagal dengan pisau. Setelah sapi dipotong, proses selanjutnya menggunakan mesin.

Udin sempat mencoba jualan daging ke pasar. Dia mengambil daging dari bosnya tanpa perlu keluar uang dulu. Hasilnya lumayan. Tapi suatu ketika, dia ditipu pedagang sapi yang menjadi mitranya. Uang sebesar Rp 11 juta lenyap. Seluruh barang dan perabotan di rumah terpaksa dia jual.

Udin pun kembali menekuni dunia penjagalan. Kebetulan ada seorang kenalan menawarkan kerja di RPH Depok. Udin bekerja di sana hingga sekarang.

ADA EMPAT bandar sapi di RPH Depok. Kepada bandar sapi inilah jagal menyandarkan tenaganya. Tanpa ikatan, para jagal ini bekerja secara lepas. Jarang ada Bandar memunyai karyawan tetap yang dibayar bulanan, kecuali di Lippo Karawaci, Tangerang.

“Modal di pejagalan hanya tenaga. Selama tenaga masih ada, maka akan terpakai,” ujar Udin.

Udin mendapat upah Rp 40 ribu per ekor untuk sapi Australia dan Rp 35 ribu untuk sapi Bali dan Nusa Tenggara Barat (NTB). Uang itu masih harus dibagi anggota kelompoknya, yang berjumlah tujuh orang. Dalam sehari mereka bisa memotong tujuh sampai sepuluh ekor sapi.

Pekerjaan ini rawan kecelakaan. Lengah sedikit badan bisa celaka. “Saya tidak bisa menghitung lagi kecelakaan yang disebabkan pisau,” ujar Udin sambil memperlihatkan beberapa luka di tangannya. Jari kelingking sebelah kanannya mati urat. Tulang siku kanannya menonjol karena dagingnya terkelupas.

“Daripada kena tulang, lebih baik kena pisau,” ujarnya. Kena tulang bisa infeksi. Tulang yang dibelah dengan kapak atau pisau biasanya menyisakan sudut-sudut tertentu yang runcing, dan ini berbahaya.

Bahaya tak kalah seramnya datang dari sapi. Sapi Australia berbahaya karena suka menendang. Sebelum disembelih, sapi mesti diikat tali pada kaki dan lehernya. Orang harus berjongkok untuk mengikatkan tali. Saat kaki sapi diikat dengan tambang, kaki sapi biasanya menendang. Tak jarang paha, kepala, dan anggota tubuh sendiri kena sasaran. Sudah puluhan kali Udin ditendang sapi. Tapi dia lebih beruntung. Temannya, Aripin, tertendang sapi Australia tepat di ulu hatinya hingga meninggal dunia.

Sapi di RPH Depok didatangkan dari penggemukan sapi di Lampung, Bojonegoro, dan Bali. Bandar sapi memi­liki hubungan langsung dengan pemasok sapi. Ada dua perusahaan besar yang memasok Bandar sapi: PT Santori dan Indo Jaya. Untuk sapi Bali atau sapi NTB, Bandar sapi langsung berhubungan dengan pengumpul sapi di Bojonegoro dan Bali.

RPH merupakan tempat pertemuan Bandar sapi dan pedagang daging. Pedagang daging membeli sapi hidup dari Bandar sapi dengan harga per kilogram, misalnya Rp 10 ribu/kg. Berat seekor sapi mencapai 400-500 kg. Biasanya pedagang langsung memotongkan sapinya ke jagal, yang notabene anak buah Bandar sapi. Seluruh biaya dibebankan kepada pedagang. Setelah sapi dipotong, pedagang akan membawa dagingnya ke pasar. Daging itu bisa langsung dijual ke konsumen, atau dibagikan ke pedagang lebih kecil, yang biasa disebut anak pedagang.

“Jadi hubungan kerja itu unik! Jagal sapi adalah anak buah Bandar sapi, tapi yang membayar pedagang daging,” ujar Faisal Sagala, mantri hewan yang mengepalai RPH Depok.

Dari situ Bandar sapi untung. Dihitung-hitung bisa mencapai Rp 100 ribu per ekor. Bayangkan kalau dia bisa menjual sapi sampai 10 ekor per hari. “Itu di atas kertas. Padahal kenyataannya tidak seperti itu,” ujar Faisal.

Seringkali uang tersendat di pedagang daging, dan sulit ditagih. Kalaupun mau membayar, mencicil sedikit-­sedikit, padahal uang harus berputar. Tak heran jika di RPH Depok ada kandang sapi dipindahtangankan, karena Bandar sapi bangkrut.

Begitu pun yang terjadi pada juragan daging. Risikonya sama. Tapi bisnis daging sapi tetap menjanjikan. Memang keuntungan sedikit, tapi perputarannya cukup tinggi. Belum lagi keuntungan dari kulit dan jeroan.

“Memang, daripada kita menerima gaji lebih baik dagang,” ujar Enung Nurjali, lelaki paruh baya yang meneku­ni jual-beli daging sejak 1978. Kini, dia menempati kios daging di pasar Kemiri, Depok.

Di pasar Kemiri ada sekitar 100 pedagang daging. Persaingan ketat. Apalagi kalau ada hari-hari khusus, seper­ti Idul Fitri. Saat itu banyak pedagang dadakan. Tinggal bagaimana pedagang menjaga usahanya agar tetap lancar. Kuncinya, “Pertama, me-manage keuangan. Kedua, harus didukung oleh garis bawah, anak pedagang. Kalau anak pedagang bagus, otomatis akan bagus.”

Enung melakukan berbagai cara untuk mengikat anak pedagang. Dia acap memberi hadiah. Selain itu, dia selalu memberikan harga yang baik. “Dalam bisnis ini, kebanyakan modal kepercayaan saja,” ujar Enung.

Begitulah mala rantai yang tak terpisahkan dalam distribusi daging sapi. Ada pemasok sapi, bandar sapi, pedagang daging, anak pedagang daging, jagal, dan RPH.


NAMIEM MERASA hidup sebagai istri jagal susah. Rumah tak punya. Penghasilan pas-pasan. Terkadang dia men­geluh dengan sikap suaminya yang tak pernah membawa pulang daging dari pejagalan. Kalaupun membawa pulang, bukan daging tapi gajih yang tidak bisa dijual mahal.
"Saya sih bisa mark up, tapi kita kan tidak kerja untuk satu atau dua hari,” ujar Namiem menirukan ucapan suaminya.

Pendidikan anak-anaknya juga tak terpenuhi dengan baik. Namiem dan suaminya hanya mampu menyeko­lahkan anak-anak mereka hingga sekolah menengah per­tama (SMP), beberapa di antaranya tidak sampai tamat.

Namiem, perempuan asal Kebumen, dinikahi Udin pada 1971. Dari perkawinan itu mereka dikaruniai tujuh anak: empat perempuan, tiga lelaki. Seorang anak lelakinya meninggal. Anak lelaki nomor empat mengikuti jejak bapaknya. Muhammad Nuh (21) namanya, biasa dipanggil Mat Nuh.

Kini, dia bekerja di pejagalan Ciputat. Sang ibu hanya bisa menasehati, “Lebih baik mencari kerja lain, ikut menyupir atau apa, dan jangan mengharapkan kerja di pejagalan.”

Udin sendiri hanya bisa pasrah, “Mungkin, saat ini dia hanya bisa menjadi kuli. Semoga, dia bisa belajar dan men­jadi juragan sapi atau punya usaha sendiri kelak.”

Saat kutemui, Mat Nuh baru pulang dari pejagalan. Tangannya penuh goresan luka. Mat Nuh mengatakan tidak ingin menjagal. Sama seperti bapaknya, dia bercita-cita jadi serdadu. Tetapi orang tuanya tak mampu membiaya sekolahnya.

Awalnya Mat Nuh bekerja di kandang. Tugasnya memberi makan sapi dan membersihkan kandang. Terkadang dia harus mencari pakan sapi, jerami kering, hingga ke Subang dan Kerawang. Hingga sekarang dia bekerja di pejagalan hampir empat tahun lamanya. Penghasilannya bisa untuk memban­tu ekonomi keluarga. Tiap hari dia bisa memberikan kepada ibunya uang belanja Rp 10 ribu.

Tetapi kondisi keluarga Udin tidak juga membaik. Apalagi kini pendapatan Udin lagi seret, pejagalan lagi sepi. Tempat pejagalan sudah bertebaran di mana-mana. Dalam sehari dia hanya bisa mendapatkan uang Rp 35 ribu.

Hidup bersama jagal sapi masih dijalaninya. Acap ada perasaan tertentu yang dirasakan Namiem. Bila suaminya marah, Namiem akan diam saja. Dia selalu ingat, suaminya bekerja di pejagalan dan biasa membawa pisau atau benda tajam lain.
“Jadi, ada rasa takut juga,” ujar Namiem.


KANDANG SAPI itu terletak di samping RPH. Ada empat blok kandang. Tiap blok milik seorang bandar sapi. Ada jalur khusus yang menghubungkan tiap kandang ke pejagalan. Tiap kandang ada orang yang bertugas mengurus sapi -biasa disebut tukang kandang. Dia bertugas memberi makan, merawat, dan membersihkan kandang.

Uniknya, meski menempati tanah RPH, bandar sapi tidak membayar uang sewa ke RPH. Pendapatan RPH murni dari retribusi pemotongan saja. “Mungkin, bandar sapi punya sejarah tersendiri dengan membuat kandang sendiri saat pertama kali RPH ini didirikan,” ujar Faisal.

Sapi yang masuk ke RPH harus memiliki surat keterangan sehat dari tempat sapi itu berasal. Bila tidak ada, sapi akan diperiksa apakah layak potong. Ini untuk menghindari penyakit.

Penyakit cacing hati umum ditemukan pada sapi. Biasanya sapi terlihat kurus, tapi dagingnya masih dapat dimakan -tinggal membuang hatinya. Parasit sudah jarang. Penyakit menular seperti Anthrax tidak pernah masuk ke RPH Depok.

Biasanya sapi didatangkan dari tempat penggemukan dengan truk-truk. Selama perjalanan, setiap pengirim membawa pengawal yang bertugas merawat dan memberi makan sapi. Pengiriman sapi biasanya dilakukan malam hari. Begitu sampai di Jakarta, sapi langsung diperiksa suratjalannya. Bila tidak ada masalah, sapi langsung dimasukkan ke kandang. Bila sapi stres, biasanya sering mengamuk, sapi harus segera dipotong hari itu juga. Bila tidak, berat badan sapi akan terus susut. “Air di dalam tubuh sapilama-lama akan habis, karena sering kencing,” ujar Faisal.

Ada ciri dan karakteristik tertentu pada sapi. Sapi Bali memiliki tanduk panjang, berat antara 150-200 kg. Sapi Kupang mirip sapi Bali, tapi lebih kecil. Beratnya sekitar 100-120 kg. Biasanya ada tali pada leher danhidungnya karena sapi piaraan. Kedua sapi ini tidak galak waktu dipotong, sehingga relatif lebih mudah sewaktu persiapan pemotongan. Cara menjatuhkannya lebih gampang dan tidak perlu dimasukkan ke kotak khusus; Cuma dituntun saja. Daging di leher sapi Bali dan Kupang lebih tebal, sekitar 5 cm. Dagingnya merah agak kehitam-hitaman. Harganya lebih mahal dari daging sapi Australia.

Daging sapi lokal lebih enak dan gurih. “Mungkin, karena makanannya alami, dari rumput hijau,” ujar Udin.

Sapi Australia biasanya tidak bertanduk. Cara memeliharanya dibiarkan di alam bebas. Lehernya tidak diberi tambang. Hidung sapi tidak pernah dicocok dan diberi tali. Kondisi ini membuat sapi galak. Sapi Autralia berat­nya antara 300-500 kg. Makanannya rumput kering dan ampas tahu. Sapi ini kalau dikuliti lebih lunak karena banyak lemak. Sewaktu dipotong, lemak dan daging di lehernya malah lebih tipis, sekitar 1 cm, jadi enak waktu memotongnya. Daging sapi Australia merah agak kepucatan.

Sapi Australia memerlukan cara khusus sebelum dipo­tong. Ada jalur dari kandang ke pemotongan. Jalur itu terbuat dari pipa besi dan bambu-bambu bulat besar. Lebarnya sekitar 50-70 cm, tingginya 170-200 cm, dan bermuara ke kotak besi. Ukurannya pas dengan badan sapi, baik tinggi maupun lebarnya. Kotak itu dari pipa besi ukuran 5 inci, dan dilapisi lempengan besi yang tebalnya sekitar 3-5 mm. Lempengan ini berfungsi melindungi jagal dari terjangan sapi. Di kotak ini, kaki dan leper sapi dijerat dengan tali. Untuk selanjutnya, dijatuhkan dan disembelih.

Sapi yang disembelih akan berbeda saat menjadi daging. Sapi yang berperut gemuk, berkulit tebal, karkasnya (tulang) tidak sampai 50%. Ada yang cuma 47%, atau malah 45%. Sapi yang berperut kecil akan mencapai 50%. Misalnya, berat sapi hidup saat ditimbang 500 kg. Maka, saat disembelih dan menjadi tulang dan daging, jumlahnya harus 50% dari 500 kg, atau 250 kg. “Kalau tidak begitu, pedagang akan rugi,” ujar Udin. Bila dipisahkan lagi antara daging dan tulang, berat tulang bisa mencapai 40 kg.

Sapi yang telah dipotong, bagian kepala, kulit, jeroan, dan lemak menjadi milik pedagang daging, dan itu tidak perlu ditimbang. Yang ditimbang adalah daging dan karkas. Karkas sapi Bali Rp 26 ribu/kg, saat Lebaran Rp 29 ribu/kg. Karkas sapi Australia Rp 24 ribu/kg, saat Lebaran Rp 26 ribu/kg. Terkadang ada hati sapi yang rusak. Hati sapi ini harus dibuang, karena tidak dapat dimakan. Tentu saja itu merugikan pedagang. Bila Bata hati sapi beratnya antara 2-3 kg, dan harganya Rp 25 ribu/kg, maka tinggal mengalikan saja.

Menurut Enung, pada hari raya, biasanya harga da­ging sapi Bali dan sapi Australia disamakan. Bukankah, harga karkas antara sapi Bali dan sapi Australia berbeda? Apakah pedagang tidak rugi? “Sapi Australia tulangnya besar. Sapi Bali dan Kupang tulangnya kecil, dagingnya juga lebih padat,” ujar Faisal. Jadi, selisih harga jual akan sama nantinya.

Penjagalan masih menyisakan berbagai persoalan. Sapi biasanya stress sebelum dipotong. Karenanya harus diikat, dibanting, dan dijatuhkan. Ini tentu saja berakibat pada kualitas daging. Daging sapi menjadi keras dan liat. Dulu ada sistem yang lebih hewani. Caranya? Menembak sapi di bagian kepalanya dengan obat bius. RPH Cakung pernah mempraktikkan cara ini. Tapi, biayanya terlalu mahal, sehingga tidak dilakukan lagi. “Kita sering menegur bila ada jagal yang kasar dengan sapi,” ujar Faisal.

Persoalan lain berhubungan dengan bau. Belum ada tempat khusus bagi pengolahan limbah. Fasilitas penjagalan juga perlu ditata dengan apik.


DIPERLIHATKANNYA PISAU kecil itu. Tak lagi mengilat. Gagang pisau yang terbuat dari kayu jati itu, bahkan mulai lusuh karena lemak dan darah. Pisau itu buatan tukang besi. Bahannya dari gergaji besi. Cara membuatnya sederhana saja. Pisau yang akan dibuat digambar ke gergaji besi. Lalu, mengikir dan mengerindanya. Setelah itu, menghaluskan dengan asahan biasa. Pisau itu harganya Rp 25 ribu.

Pisau potong asli mahal harganya. Pisau yang bagus merk Garpu, buatan Jerman. Pisau itu ada nomornya. Nomor satu sampai tujuh. Pemberian nomor berdasarkan panjang dan lebar pisau. Makin besar angka makin kecil dan pendek. Nomor tujuh harganya sekitar Rp 175 ribu, panjang pisau ini sekitar 15 cm. Nomor satu panjangnya 20 cm, dan harganya sekitar Rp 250 ribu. Dari segi pegangan dan kekuatan pisau, nomor satu lebih enak; lebih panjang, tebal, dan lebar pisaunya.

Tapi, “Enggak bakal kebeli,” kata Udin sembari tertawa.

Diselipkannya pilau kecil itu di pinggang. Alat pengasah menggantung dan bergerak bebas di pinggang sebelah kiri. Dia mengganti pakaian yang dikenakannya dengan pakaian kerja. Sebuah baju lusuh mulai menempel di kulitnya. Celana pendek penuh bercak membungkus bagian tubuh bawahnya. Sebuah peci bulat membungkus rambutnya. Ikat pinggang tebal, berdiameter 5 cm, membelit perutnya. Sabuk itu berguna bila dia mengangkat beban berat.

Pakaian kerja itu biasanya ditaruh dekat tempat pejagalan. Jarang dicuci. Paling seminggu sekali. Bahkan ada yang tidak pernah dicuci sama sekali. RPH sebenarnya punya standar kebersihan. Soalnya, pekerjaan itu berhubungan dengan makanan. “Seharusnya, sewaktu memotong daging harus memakai baju bersih,” ujar Faisal.

Kebutuhan air juga sering tak terpenuhi. Misalnya, RPH membutuhkan seribu liter air untuk satu ekor sapi. Air itu untuk membersihkan jerohan, usus, daging, lantai, tembok, dan sebagainya. Tahap akhir, perjalanan daging ke pasar, tak kalah tragis. Daging dimuat di bak mobil terbuka. Debu dan kotoran akan menempel ke daging. Masih untung kalau sopir menutup bak mobil dengan kain terpal.

“Mungkin, kalau orang bule tahu cara memotong sapi di Indonesia, mereka tidak akan mau makan daging lagi,” ujar Faisal.

Malam itu, kegiatan pemotongan melebihi hari biasa. Orang harus antri. Di tempat lain, orang menggiring sapi dari jalur. Di sisi lain, orang membelah dan mengampak sapi menjadi dua. Kegiatan ini cukup memerlukan tenaga. Yang melakukan pekerjaan ini biasanya anak muda. Orang sudah uzur mendapat tugas menarik rantai, bila ada sapi yang akan dinaikkan dengan alat katrol dari besi.

Saat memotong, Udin selalu membaca bismillah dan Allah Akbar. Tak berapa lama, lantai telah memerah. Beberapa kali jagal lain menyiram lantai dengan air. Kehatian-hatian masih diperlukan. Sapi yang telah disembelih masih mampu menendangkan kakinya. Bahkan meski sapi telah dikulili serta dipotong leher dan kakinya sebatas dengkul. “Justru gerakan terakhir itulah yang biasanya paling keras,” ujar Lani, salah seorang jagal sapi. Lani pernah mengalaminya. Pipi dan mata kirinya lebam. Bahkan matanya rusak, dan berbayang dua bila melihat suatu obyek.

Gerakan itu dinamakan rigormortis, istilah untuk kerja otot dari lentur ke kaku. "Karena proses cara menjagalnya kencang dan keras, sehingga rigormortis juga kencang,” ujar Faisal, “Mungkin, energi itu masih ada di dalam otot sapi yang telah dipotong.”

Sebenarnya peristiwa ini dapat dihindari. Caranya dengan membiarkan sapi yang telah dipotong untuk beberapa lama. Tapi, kerja di pejagalan berburu dengan waktu, dan cara itu tidak bisa ditempuh.

Setelah selesai, daging diletakkan di mobil. Manteri hewan memeriksa daging yang keluar dan memberinya cap. Stempel itu menggunakan tinta khusus dan tidak dapat dihapus dari daging. Lalu, selesai sudah semua pekerjaan.

Udin mulai membersihkan badan. Meski badannya masih berkeringat, dia mandi. Tak peduli biang keringat mengerubuti tubuhnya. “Supaya bau lemak dan darah cepat hilang, harus menggunakan air hangat,” ujarnya.

Dia mulai menggenakan celana pendeknya, lalu beranjak ke warung di depan pejagalan. Jagal-jagal lain sedang makan mie rebus, nasi goreng, atau sekadar minum kopi sembari mengobrol. Salah seorang mulai membagi hasil kerja. Wajah-wajah lelah itu kelihatan kembali sumringah. Apalagi dengan sebagian kantung plastik yang akan mereka bawa pulang.

Hari mulai beranjak pagi, dan Udin pun mengayunkan langkahnya pulang.***

Edisi cetak ada di majalah Pantau, edisi Februari 2003

Foto Lukas B. Wijanarko

Baca Selengkapnya...