Thursday, August 1, 2002

Spread Your Wing and Fly Away

Oleh: Muhlis Suhaeri

Aria Kusumadewa dari anak jalanan jadi sutradara alternatif.

SUATU sore di kawasan Taman Ismail Marzuki, Jakarta Pusat. Di antara rindang pohon dalam rembang cahaya dan sepoi angin, tampak tiga orang tengah berbincang sambil menikmati penganan kecil di pelataran warung empek-empek. Wajah salah seorang di antara mereka pernah muncul dalam sebuah iklan televisi. Ia juga cukup punya nama di dunia film. Penampilannya sederhana. Rambutnya ikal, hidung bangir, tatap matanya tajam dengan guratan dan kerutan di sekitarnya.


Aria Kusumadewa sangat akrab dengan lingkungan di sini. Ia sempat kuliah dan lulus dari Institut Kesenian Jakarta. Aria lulus saat kondisi perfilman di Indonesia mengalami krisis. Ada pengalaman pahit ketika ia masih belajar di sana. Tugas akhirnya ditolak dosen pembimbing, karena dianggap tak sesuai dengan teori. Saat itu ia membuat film berjudul Pelacur di Malam Lebaran. Ia bahkan menulis sendiri skenarionya.

“Seorang perempuan sudah mulai menua dan guratan keriput mulai kelihatan di sana-sini. Tepekur sendiri suatu malam. Hatinya mulai gelisah dengan proses yang ia jalani. Terbersit kesadaran malam itu. Suara bedug dari masjid sebelah rumah mengetuk-ngetuk jendela hati dan nuraninya. Malam itu malam lebaran. Ia ingin membuat suatu pilihan di malam sakral itu. Kembali ke jalan Tuhan atau dia selalu takut dengan masa lalunya. Suasana perempuan yang sedang sholat Idul Fitri di pelataran parkir timur Senayan yang luas akan membentuk suatu konfigurasi. Latar yang putih dari orang yang sedang bersujud pada Tuhannya, dan keinginan untuk kembali ke jalan yang benar, itulah yang ingin diparalelkan. Tapi, ketika keinginan itu belum muncul, perempuan itu memutuskan bunuh diri.”

Walaupun cuma berdurasi delapan menit, film itu telah menghabiskan seluruh tabungan Aria, sebesar Rp 8 juta. Ini jumlah yang tak sedikit pada awal 1990-an, karena ia menggunakan seluloid. Aria sempat menangis dan kecewa. “Saya menganggap, hanya di kampuslah kita bisa bereksperimen dengan ide kita. Ternyata, sejak di kampus pun kita sudah mendapatkan tekanan dalam hal ide,“ katanya.


SEHABIS gerimis di pelataran Gelanggang Remaja Bulungan, kawasan Blok M, Jakarta Selatan. Seorang lelaki melambaikan tangan. Ia mengenakan kaos oblong dan beralas kaki sandal jepit putih, bersih. Rambutnya yang semula panjang dan ikal kini pendek dan lurus.

Rambut yang diluruskan itu membuat setiap orang yang kenal dekat dengannya merasa asing. “Sebenarnya gue pingin gundul, tapi orang-orang yang menyayangi gue, pingin rambut gue dibikin eksperimen dan inilah hasilnya."

Ia menghampiri seorang kawan yang telah menunggunya. Di antara segarnya udara dan hiruk-pikuk kesibukan sore itu, mereka saling menyapa dan berbincang.

Aria berencana membuat film baru, berjudul Novel Tanpa Huruf R. Ia antusias bercerita. Ada tekanan dalam setiap kata dengan irama mengalir deras. Ada semangat. Gaya bicaranya penuh percaya diri. Ia bercerita dengan rinci, seolah berada dan menjadi bagian cerita itu sendiri. Tapi, ia kemudian berhenti dan menarik napas.

“Cuma gue sedang kesulitan mencari pemeran utama laki-laki?” lanjutnya.
“Memangnya kenapa?” tanyaku.
“Karena dalam film ini, sang pemain utama punya kebiasaan telanjang dan beronani. Tentunya adegan itu tidak kita tampilkan secara vulgar,” katanya.

Ia sudah melakukan riset dan melihat beberapa tempat untuk lokasi pembuatan filmnya. Ia tak akan membuat pernyataan-pernyataan dalam filmnya, tapi pertanyaan-pertanyaan.

Telepon selulernya berbunyi. Aria merogoh ke dalam kaos oblongnya. Telepon dipegang. Tapi, ia malah menjauhkan telepon untuk membaca pesan pada layar. Ternyata, matanya sudah plus dua. “Karena aku biasa mengedit film, itu mungkin penyebabnya.”

Pesan datang dari Lola Amaria, aktris muda Indonesia yang mulai naik daun. Ia tengah dalam perjalanan menuju Jakarta dari Cirebon dengan kereta api. Lola di Cirebon untuk launching film terbarunya, Ca Bau Kan. Lola jadi pemeran utama wanita dalam film yang disutradarai Nia Dinata itu.

Hajatan besar tampaknya baru saja selesai. Setiap orang yang kami temui menyapa Aria dengan ramah, menyalaminya, dan menanyakan kabarnya. Dari tukang parkir sampai seniman, menyambut hangat. Inilah lingkungan yang membuat lelaki ini merasa hidup dan damai.

“Lingkungan itulah yang bisa meningkatkan adrenalin saya dan membuat saya merasa bisa berkreasi,” katanya. Menurut Aria, sutradara yang baik tak hanya bekerja dengan pikiran tapi juga naluri. Kadang-kadang dalam membuat film, ia merasa trance, karena, “Saya sedang mencari titik untuk berkomunikasi dengan yang di atas.”

Aria bertutur bahwa dalam proses kreatifnya, ia merasa masih sangat tradisional, “Apa yang saya lihat, yang saya rasakan dan saya amati, kemudian akan saya terjemahkan dalam media yang saya punya, yaitu film.”

Karya film yang baik adalah karya yang mampu mencerminkan ketidaksempurnaan manusia. Ia sepakat dengan pendapat ini. Perbincangan kami mengalir, dari masalah perkawanan sampai masalah kesenian. Ia menyesalkan tempatnya dulu, Komunitas Gardu, yang kini harus dirobohkan karena sudah tak layak pakai. Teman-temannya tak bisa berkumpul lagi di sana. Ia merasa bersalah pada mereka. Setelah film Beth tak ada lagi kegiatan di situ.

Di tengah perbincangan, tiba-tiba sebuah taksi biru muda masuk Gelanggang Remaja. Seorang wanita muda keluar dari taksi. Rambutnya yang pendek diikat. Ia memakai jins dan kaos hitam. Walau tanpa riasan, ia tetap cantik, alami.

Cewek itu Lola Amaria. Aria langsung menyalaminya. Mereka berpelukan. Hangat. Aria kemudian mengenalkan Lola padaku. Bila melihat keakraban mereka, orang tentu akan berasumsi mereka pacaran.

“Kami cuma dekat saja,” kata Lola.
Kami bertiga meninggalkan Bulungan dengan Peugeot warna merah hati.
“Ini mobil Lola. Tadi saya pinjam,” kata Aria sambil duduk di belakang kemudi.

Suasana jalan lumayan sepi. Mobil melaju ke arah Jakarta Selatan. Ketika aku tanya pendapat Lola tentang Aria, Lola tertawa dan berkata, “Masak ngomongin orang, dan orangnya ada di samping kita?” Ia tertawa lagi.

Aria punya kehidupan yang tidak teratur dan tidak bisa diatur hidupnya. Ia lebih sering menggunakan feeling. Mendengar hal itu, Aria langsung menyambar, “Habis pakai logika, meleset terus.”

Sering Lola merasa jengkel ketika mereka janjian, misalnya. Tujuan sudah disepakati. Waktu keberangkatan juga sudah ditentukan. Tiba-tiba, ketika mau berangkat, Aria bisa saja membatalkan janji itu dengan alasan sedang tidak mood.

Tapi, jika hal itu berhubungan dengan pekerjaan, Aria sangat disiplin dan tepat waktu. Syarat bekerja dengan Aria adalah sabar dan satu irama. Saat syuting bisa saja Aria berubah pikiran dan mengubah adegan, melenceng dari naskah. Sebagai pemain tentu akan kebingungan. Repotnya Aria tidak bisa menjelaskan alasan di balik perubahan adegan atau lokasi syuting ini.

“Setelah kita tahu, oh, maksudnya ini,” kata Lola, tertawa.

Memang, teks bagi Aria hanyalah pegangan. Selebihnya, proses kreatif dan tafsir yang berjalan. Makanya ia tak pernah puas dengan apa yang dibuat orang lain. Ini dibenarkan Lulu Ratna, kawan dan rekan kerjanya dalam pemutaran film Beth. Kekuatan Aria terletak pada konsep ruang.

Dalam film Beth ada beberapa adegan yang tak ada dalam skenario. Ketika Aria melihat Bucek Depp, pemeran pria film itu, main skateboard terlintas ide menarik di benaknya. Ia lalu membuat adegan Bucek dan Ine Febrianti, yang memerankan tokoh Beth, berpelukan dan melayang di atas papan beroda itu, dalam gerakan lambat, rambut panjang tergerai, indah, dan romantis.

Lola juga sering menjadi tumpahan kemarahan Aria. Kejengkelan Aria pada orang lain tak jarang tercurah pada Lola. Tapi, Lola bisa paham.

“Mungkin, tidak ada orang yang diajak curhat,“ ujar Lola, sambil menggeserkan badannya.

Mobil berhenti di sebuah rumah bercat putih dengan pohon mangga di depannya. Pekarangan rumah lumayan luas. Beberapa kursi panjang dari bambu menghias teras muka.
“Kita sudah sampai,” kata Aria.

Inilah tempat tinggalnya sekarang. Rumah ini terdiri dari beberapa kamar. Aria menempati sebuah kamar di bagian belakang rumah, berukuran tak lebih dari 3x3 meter persegi. Ia harus membayar uang sewanya tiap bulan.

“Inilah ruangan saya,” kata Aria.

Ada nada tulus dalam suaranya saat mempersilahkan aku masuk.
Sebuah ambin kecil, pas untuk satu orang, menempel pada sisi dinding di sudut ruangan. Seperangkat komputer dan printer. Televisi. Tape kompo kecil. Semua tertata rapi. Sebuah lampu menyala dengan cahaya yang tak memendar, tapi tertumpu di satu sisi, menimbulkan kesan artistik.

Poster-poster filmnya juga menghiasi dinding berwarna putih itu. Ada selembar kertas yang dipasang terbalik. Ketika aku amati, ternyata itu sertifikat penghargaan untuk film Beth.

"Kok, dipasang terbalik?

“Gue nggak membutuhkan itu. Kalau mau memberi penghargaan, mendingan yang kongkrit aja,” jawabnya, enteng.

“Yang kongkrit itu seperti apa?” tanyaku.
“Misalnya, memberi uang untuk modal membuat film, itu jauh lebih kongkrit, ” jawabnya. Aria selalu kesulitan dalam mendanai film-filmnya. Mungkin, orang takut menanamkan uang mereka untuk pembuatan film yang ia sutradarai. Ada yang menganggap film Aria terlalu alternatif dan tak melihat selera pasar, tak berdaya jual.

Aria menyanggah, “Sinetron itulah yang terlalu alternatif. Masak mau tidur saja harus berdandan menor dan memakai sanggul gede? Itu ‘kan terlalu alternatif dan tak sesuai dengan realitas. Saya percaya bahwa persepsi penonton tidak tunggal. Selera yang ada di masyarakat itu masing-masing ada pasarnya.”

Aria juga tak suka publikasi. Dua filmnya, Bingkisan Untuk Presiden dan Beth, yang mendapat penghargaan dalam sebuah festival film independen di Rotterdam, Belanda, tak pernah dia kabarkan pada wartawan. Penghargaan, menurutnya, hanya membuat orang jadi sombong. Padahal, seorang seniman harus berani kembali ke titik nol.

Sebuah foto kuno menghiasi kamar itu. Foto orangtua Aria.

“Lihat, ibu saya cantik ‘kan?” katanya.

Seorang perempuan memakai kebaya dengan sorot mata tajam terekam di kertas foto. Cantik. Aria kerap merindukannya. Tapi, perempuan ini telah diambil yang Maha Kuasa.

Aku jadi teringat satu adegan film Novel Tanpa Huruf R yang pernah Aria ceritakan padaku.Beberapa anak kecil berlompatan ke laut dari sebuah kapal penyeberangan yang sedang bersandar. Mereka menyelam dan memburu recehan logam yang dilemparkan penumpang ke air. Gesit sekali gerakan mereka.

Salah seorang dari mereka, yang bernama Drum, tak ikut berebut. Ia melompat ke air dengan tangan menggenggam setangkai mawar merah. Ia ingin mempersembahkan kuntum mawar itu kepada seorang ibu, yang ia percaya bersemayam di bawah sana, oleh suatu peristiwa.


ARIA terlahir dan tumbuh di sebuah keluarga besar. Ia menyelesaikan sekolah dasar sampai sekolah menengah atasnya di Lampung. Ia anak kelima dari sembilan bersaudara pasangan M. Kusumadewa, lelaki kelahiran Surabaya, dan Muhibbah, perempuan dari Palembang. Keluarga ini sangat taat dalam menjalankan syari’at Islam. Mereka semua pandai membaca Alqur’an dan khatam berkali-kali.

“Ada rasa bangga, karena setiap khatam Alqur’an, kami akan disembelihkan kambing,” kata Aria.

Latar belakang keluarga itulah yang sangat berpengaruh dalam proses kreatifnya. Aria pernah menjalani kehidupan pesantren selama beberapa tahun. Walau akhirnya ia tak betah dan memilih kabur dari sana.

“Bayangkan saja, umur segitu, di mana usia lagi senang-senangnya main layangan, kumpul dengan keluarga, ingin melihat cewek cantik, bahkan kalau bisa menciumnya. Tapi di pesantren? Saya harus bangun subuh, mengaji terus, dan mengaji ini menjadi suatu rutinitas yang makin lama, makin menakutkan saya,” tutur Aria.

Ia tak hanya kabur dari pesantren, juga dari rumah, pada usia belia. “Kelas dua SMP,” kata Aria, dengan mata menerawang.

Ia mulai hidup dari satu keluarga ke keluarga lain yang mau menampung hidup dan menyekolahkannya. Saat itu ia merasa hidupnya mengalir begitu saja, “Hidup di jalanan, dipukuli orang, punya pacar cantik, di sekolah tidak terlalu bodoh, tapi juga tidak terlalu cerdas.”

Hobinya waktu kecil adalah membaca komik. Tapi, komik dulu tak seperti komik sekarang, yang serba grafis dan bertumpu pada teknologi komputer, katanya. Cerita-cerita silat menjadi tema paling laris saat itu. Tokoh-tokoh komik yang terkenal antara lain, Bangau Samparan dan Si Buta dari Gua Hantu. Kelak kegemaran Aria membaca komik tadi membawa hikmah pada keterlibatannya di film. Ia baru menyadarinya sekarang.

“Di dalam komik ada semacam editingnya, time shot.”

Usai sekolah menengah atas, Aria menyeberang ke tanah Jawa, langsung ke Ibu kota, Jakarta. Berbagai peristiwa ia alami di kota ini, juga menemukan teman sejati. Salah seorang di antaranya adalah Aman Sugandhi, orang yang disebutnya “bapak.” Aman memanggil Aria “Ujang.” Ujang berasal dari kata Bujang. Ini panggilan dalam bahasa daerah Aria untuk anak laki-laki. Hanya dua orang yang memanggilnya dengan nama itu. Ibunya dan Aman.

Pertemuan Aman dan Aria terjadi kebetulan pada tahun 1980-an. Waktu itu Aria sedang mengamen di Taman Ismail Marzuki dengan perut keroncongan. Aman kuliah di Institut Kesenian Jakarta dan sedang nongkrong bersama kawan-kawannya di sana. Begitu mendengar suara Aria, ia langsung tertarik.

“Suara anak itu bagus,” kenang Aman.

Aman lalu menawarkan makan pada Aria dan Aria tak menolaknya. Setelah itu mereka mulai akrab. Aria juga bergaul dengan seniman yang sering nongkrong di situ dan menyerap pengetahuan dari mereka sampai ia tertarik untuk kuliah. Aman mendukung niat tersebut. Aria pun masuk Institut Kesenian Jakarta, mengambil jurusan sinematografi.

Di mata kawan-kawannya, Aria dikenal sederhana, lugu, jujur dan ngomong apa adanya. Pergulatan hidup di Jakarta membuat ia banyak melihat dan menghadapi bermacam hal, lalu menyerapkan dengan baik. Babak demi babak tertanam erat dalam benak dan pikirannya.

“Film saya selalu menampilkan segalanya sesuai dengan realitas yang ada.”

Saat masih tinggal di belakang pasar burung di Jalan Pramuka, Jakarta Timur, ia mengenal seorang pelacur. Perempuan itu rupanya mulai sadar dan terlihat rajin mengerjakan sholat. Tapi, suatu hari ia ditemukan mati bersimbah darah. Lingkungannya gempar. Kenangan Aria terhadap kejadian ini berjejak pada filmnya, Pelacur di Malam Lebaran.


SORE itu diskusi film tengah berlangsung di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Indonesia. Orang-orang datang ke aula. Bangku mulai terisi oleh yang hadir. Empat orang duduk berjajar di depan hadirin. Mereka adalah Garin Nugroho, Rudi Soedjarwo, Hari Dagoe, dan Aria Kusumadewa. Keempatnya sutradara film.

Seorang peserta menanyakan motivasi Aria dalam membuat film. Aria menjawab bahwa dalam hidupnya tak ada sesuatu yang istimewa, semuanya mengalir apa adanya, dan mungkin hal itulah yang membuat dia lebih leluasa berkarya dari awal. Pengalaman hidup itulah kekuatan bagi proses kreatifnya.

Membuat film, merupakan kenikmatan, katanya, “Jangan-jangan, membuat film itu suatu hobi, karena bila itu dikerjakan dengan senang hati, akan mendapatkan hasil yang baik.” Aria ingin dalam proses berkeseniannya, ia tampil sebagai manusia yang bebas dan merdeka. Tak terikat aturan yang baku dan kaku.

Salah seorang mahasiswa komunikasi yang ikut seminar mengatakan jawaban Aria jujur-jujur saja, tak sediplomatis sutradara papan atas Garin Nugroho, misalnya. Kesan ini bertolak belakang saat orang menonton film-filmnya. Film Aria selalu membuat orang berpikir dan mengira sang sutradara pastilah tipe orang yang serius, dengan segala filosofi yang tertuang ke dalam layar.

Memang, dalam proses berkarya, perjalanan Aria tidaklah mulus. Film pertama Aria selepas dari kampus adalah Senyum yang Terampas. Film ini diproduksi tahun 1990, tidak bergaung sama sekali, dan boleh dikata, tak laku. Tapi, itu tak membuatnya patah arang.

Pada 1993, ia membuat film dokumenter berjudul Laskar Putri Indonesia dengan produser Garin Nugroho. Tahun 1996, ia membuat film lagi dengan judul Si Luet, untuk stasiun televisi Anteve. Film ini pun belum bisa mengangkat nama sang sutradara. Pada tahun yang sama, ia kembali membuat film untuk stasiun televisi tersebut, untuk tayangan “Oh Mama, Oh Papa.” Ada satu naskah yang rupanya tak dilirik sutradara lain.

Padahal, menurut Aria, dalam naskah itu ada persoalan menarik, yaitu masalah gender. Dalam masyarakat patriarki seperti di Indonesia, kesetaraan bukan isu populer. Aria kemudian menuangkannya dalam film Aku Perempuan dan Laki-Laki Itu. Aria menemui banyak kesulitan dalam mengolah karyanya ini. Ia kurang menguasai problem gender saat itu. Ia mencoba mengatasinya, bergaul dan berdiskusi dengan para aktivis gender. Banyak ikon dalam film ini. Aria melontarkan berbagai pertanyaan didalamnya.

Kenapa ada perempuan? Kenapa juga harus ada laki-laki? Kenapa harus ada tatanan yang dipertajam antara laki-laki dan perempuan? Dewi Selebriti, sinetron yang dibuat Aria pada 1997, telah mengangkat nama dan citranya di dunia penyutradaraan.

Padahal, selama satu setengah tahun film tersebut tersimpan dalam gudang stasiun televisi Indosiar. Krisis ekonomi yang berdampak pada matinya sejumlah rumah produksi membuat Indosiar terpaksa membongkar gudang mereka dan menyiarkan sinetron 26 episode tersebut. Dewi Selebriti sempat jadi salah satu sinetron favorit pemirsa saat itu. Tapi, Aria justru tak bersenang hati. Ia merasa telah menyutradarai karya yang hanya berorientasi pasar.

“Inilah karya pertama dan terakhir saya dalam dunia sinetron,” ikrarnya.

Pada 1999 Aria membuat film berjudul Bingkisan untuk Presiden. Film ini mengalami nasib serupa Dewi Selebriti, mendekam dalam gudang, kali ini milik stasiun RCTI, tanpa alasan jelas. Aria kemudian dituduh mengajarkan cara memakai narkotik dalam film tersebut. Ia juga dianggap sebagai bekas pecandu yang memperagakan pengalaman dalam karyanya. Padahal, ia tak bermaksud buruk.

Ia justru ingin memberi pesan pada pemirsa, betapa berbahayanya pengaruh obat keras. Akhirnya film itu ditayangkan RCTI pada hari Sumpah Pemuda, 28 Oktober 2001, setelah disunting habis-habisan. Pengalaman buruk dengan beberapa televisi swasta itulah yang membuat Aria, dalam sebuah happening art di Bulungan, memecahkan dan menghancurkan televisi. Ini hanya simbol perlawanan, bukan sikap anti teknologi.

“Saya menganggap, ruang saya di televisi telah mati,” katanya.

“Aku tidak mau menjual mimpi, apalagi membodohkan masyarakat.”

Kalau boleh jujur, harus ia katakan, bahwa film tidak bisa menghidupi dirinya. Bahkan, uangnya habis hanya untuk membuat film. Dalam proses pembuatan Beth, dia harus menjual mobilnya. Kekurangannya ditanggung bersama oleh Lola Amaria, Ine Febrianti, Nurul Arifin, Bucek Depp, dan kawan lain.


Beth yang diproduksi tahun 2000 ini pun tak bernasib baik di pasaran. Film tersebut ditolak pihak 21, jaringan bisnis pemutaran film terbesar di Indonesia. Aria tak menyerah. Bersama teman-temannya, ia melakukan road show, menyambangi satu per satu kampus yang ada di seluruh Jawa. Beth diputar di 26 kampus dan sukses. Karcis selalu habis dalam setiap pertunjukan.

Ia merasa memperoleh hikmah dari putar film keliling itu. Ia bisa berinteraksi, berdiskusi dengan penonton, dan mendapatkan kritik maupun saran untuk karyanya. Pada pemutaran Beth di salah satu kampus di Malang, Jawa Timur, ia dan Ine Febrianti kena damprat seorang mahasiswa yang menonton, “Kenapa hanya demi peran dan atas nama estetika, Ine harus makan sepiring dengan anjing?”

Aria sampai merujuk isi kitab suci untuk menjawabnya. Anjing, katanya, salah satu binatang yang tercatat dalam Alqur’an, selain semut, lebah, sapi dan sebagainya. Bahkan dalam Surat Alkahfi (gua), ada cerita tentang seekor anjing yang setia menunggui majikannya yang masuk dan tertidur dalam gua selama 350 tahun. Begitu sang majikan bangun, ia mendapati bangkai binatang itu teronggok di mulut gua.

“Itulah suatu bukti bahwa anjing dalam sejarah kebudayaan manusia sudah sedemikian dekatnya sejak dulu. Kalau dimakan memang haram hukumnya, “ kata Aria dengan nada datar.

Beth berkisah tentang pasien-pasien dalam rumah sakit jiwa. Para pemain dalam film ini tak dibayar. Bahkan, mereka harus patungan mengeluarkan uang dalam proses produksinya. Mengapa mereka mau?

“Saya percaya dengan Aria. Kalau dia bikin sesuatu, ia bikin dengan nyawanya,” kata Ine Febrianti.

Ine mengenal Aria sejak 1996, saat pembuatan film pendek Si Luet. Aria adalah tipe yang keras, kalau sudah berhubungan dengan profesinya. Ia tak boleh diganggu gugat, tak bisa dipengaruhi siapa-siapa.

Ada sifat unik yang selalu dikenal Ine dalam diri orang ini, “Aria itu gradakan, liar, tidak lazim, dan tidak biasa.”

“Dia itu, orangnya spontan, atos, dan absurd,” ujar Ine yang sempat terlibat dalam tiga film Aria, yaitu di Si Luet, Dewi Selebriti, dan Beth, sembari tertawa lepas.


SUATU petang pertengahan Mei lalu, cuaca Jakarta cerah. Gedung Galeri Nasional Jakarta, bangunan kuno berarsitektur kolonial itu, mulai didatangi pengunjung. Pelukis Hanafi menggelar pameran lukisan selama beberapa hari. Berbagai acara kesenian dan workshop digelar di sana, dari musik sampai film.

Tepat pukul 19.00 pemutaran film Beth dimulai. Bangku penuh terisi. Yang tak kebagian tempat nekad duduk di lantai. Setelah pemutaran film akan ada diskusi. Lantaran jumlah penonton yang membludak, panitia memutar film itu sekali lagi. Bagi yang sudah menonton, waktu jeda diisi dengan acara berpantun yang dilakukan spontan oleh seorang pria berpostur pendek dan berkepala plontos.

Dengan jenaka ia memamerkan kebolehannya di hadapan banyak orang. Penonton memberi semangat, agar ia terus berpantun. Seorang pria di antara penonton yang duduk di lantai ikut berteriak memberi semangat, “Terus...terus.”

Kakinya ditekuk sampai dagunya menyentuh lutut. Celana jinsnya biru. Sepatu kanvasnya abu-abu. Di sampingnya seorang perempuan duduk menemani. Si perempuan tampak gelisah dan diam saja sedari tadi. Mereka berbincang sebentar, lalu sama-sama bangkit dan meninggalkan gedung. Perempuan itu melangkah ke arah sedan warna merah hati dan si pria mengantar sampai pintu mobil. Drummm. mobil melaju dan pria itu melambaikan tangan.

Kini ia kembali dalam kerumunan orang. Ada yang menegurnya, “Hai, apa kabar Mas Aria?” Seorang wanita berambut agak ikal datang menghampiri. Ia selalu membawa buku agenda. Gaya bicaranya santai, tapi meyakinkan. Ia berbisik pada Aria. Dialah yang mengagendakan semua pemutaran film Beth dan menjalin kontak dengan pihak penyelenggara.

Lulu Ratna, nama cewek gesit itu. Lulu sangat enjoy kerja bareng Aria. Satu hal yang membuat Lulu selalu betah bareng Aria adalah sifat low profile-nya.

“Aria sangat mementingkan suatu karya,” katanya.

“Saya biasa kerja pakai nalar dan perencanaan, sedangkan Aria kerja pakai feeling.”

Tapi, itulah yang membuat mereka saling mengisi. Pintu gedung pertunjukan dibuka, tanda pemutaran film sudah rampung. Salah seorang yang keluar dari ruangan itu adalah Oppie Andaresta dan pasangannya, Kurt Keler.

“Dua puluh menit pertama biasa, sebentar lagi pasti gokil,” kata Oppie, mengomentari film Aria.

Aku meninggalkan gedung itu bersama Aria dan Lulu. Kami mencegat taksi. Mobil melaju dan perbincangan pun berlanjut. Aria kembali teringat teman-temannya semasa di Komunitas Gardu.

Ia bercerita, bagaimana Saut Sitompul menulis serta membaca puisi dan yang lain memaknai. Kemudian ada Didi Hasyim, melakukan monolog, sedang yang lain nongkrong sambil mendengarkan. Proses itulah yang menurut Aria sangat nikmat.

“Kekuatan Aria adalah kemampuannya menciptakan komunitas,” kata Garin Nugroho, “Ia juga pribadi yang tidak ingin didominasi oleh siapa pun. Walaupun begitu, dia punya sifat support kepada kawan.”

Ketika pertanyaan beralih ke film Aria, Garin berkata; “Filmnya adalah ekspresi yang terjadi pada dirinya. Dan selalu dalam posisi perlawanan. Salah satu film Aria, yang berjudul Aku Perempuan dan Laki-Laki itu, terasa sekali unsur perlawanannya.”

Tak terasa taksi telah sampai di perempatan jalan, di samping pertokoan mewah Blok M Plaza. Aku dan Aria turun di situ, sementara Lulu melanjutkan perjalanan ke arah Warung Buncit. Malam itu ramai sekali, maklum malam Minggu. Sampai tengah malam, suasana tetap hiruk-pikuk.

Kami berbincang tentang kawasan itu dan kehidupannya selama bertahun-tahun. Ia bercerita tentang proses kreatif salah satu filmnya, Bingkisan untuk Presiden, yang dimulai di situ. Suatu ketika pembicaraan mengarah ke urusan keluarga.

“Sampai sekarang, kalau mencium bau Rhemason atau minyak angin, saya akan menghindar,” katanya. Bahkan ketika dia berada dalam kendaraan umum, seperti bus kota, bila mencium bau itu, maka Aria akan turun.

“Saya jadi teringat ketika anak sedang sakit,” katanya, dengan pandangan menerawang jauh,

“Mungkin, itu rasa kangen dan rindu pada keluarga dan dua anak saya,” lanjutnya, lirih, lalu menenggak teh botol yang tinggal separo. Aria berpisah dari Mari Kondo, istrinya, setelah 14 tahun berumah tangga.

Mereka mempunyai dua anak. Putra sulung mereka, Mario Maralari sudah duduk di kelas satu sekolah menengah atas. Yang bungsu bernama Matahari Merah. Lola Amaria, sebagaimana ditulis oleh media, dikaitkan dengan perpisahan ini. Lola disebut sebagai pihak ketiga. Tapi, Lola membantah.

Ia bertemu Mari hanya sekali, “Waktu syuting film Beth di Bogor.” Ia baru dekat dengan Aria setelah perceraian itu. Aria juga menganggap berita media ikut memperburuk hubungannya dengan Mari. Tapi, sejak awal cinta mereka sudah mendapat tentangan dari orangtua Mari. Aria anak jalanan, sedang Mari berasal dari keluarga mapan.

Walau demikian, selalu ada ruang untuk berbagi. Aria dan kedua anaknya sering berlibur bersama. Ia mengajak mereka memancing dan dekat dengan alam. Ia juga tetap berhubungan baik dengan mantan istrinya. Mario menyebut Aria sebagai sosok yang teguh mempertahankan prinsip yang dianggapnya benar.

Adakah keinginan melihat orangtuanya bersatu kembali? Mario menarik napas panjang, lalu berkata, “Dengan jujur aku katakan, Mario memang sayang sama keduanya, tapi sebagai bocah kecil,” katanya. Ia juga lelah kalau setiap hari harus melihat kedua orangtuanya bertengkar.

“Kalau memang cara itu yang terbaik, ya, sudah,” katanya. Dulu, ketika masih bersama, mereka hanya bisa membayangkan apa itu popularitas, status sosial dan kebanggaan diri. Kini, ketika itu semua hadir, keduanya tak bersatu lagi.

Di mata Aria Kusumadewa selalu tersimpan kerinduan pada orang-orang yang dicintainya, pada ibunya, pada keluarganya yang terpisah. Tapi, ia tetaplah orang dengan jiwa yang bebas. Udara mulai berembun, tapi sinar merkuri dari lampu jalan menyapu gelap malam itu. Kami memutuskan berpisah.

Melihat dia, aku teringat sepotong syair dari Queen, grup musik legendaris yang ia suka.

Spread your wing and fly away
Fly away far away….
because you are free man….**

Edisi cetak ada di majalah Pantau, edisi Agustus 2001

Baca Selengkapnya...