Saturday, November 28, 2009

Menelusuri Tionghoa Perintis di Kalbar

Muhlis Suhaeri
Borneo Tribune, Pontianak
Tak banyak buku yang membedah dan menelusuri, sejauhmana peran masyarakat Tionghoa dalam sejarah perkembangan sosial, budaya dan ekonomi di Kalbar. Dari buku inilah, sejarah dan peranan itu terpapar dengan baik.

Buku ini berjudul “Goldiggers, Farmers and Traders in the ”Chinese Districts” of West Kalimantan. Lalu diterjemahkan dan diterbitkan Yayasan Nabil (Nation Building), Jakarta dengan judul, “Penambang Emas, Petani, dan Pedagang di ‘Distrik Tionghoa’ Kalimantan Barat”. Buku ini ditulis oleh Mary Somers Heidhues.

Mary kelahiran Philadelphia, Amerika Serikat (1936). Ia lulusan Trinity College, Washington DC, 1954-1958. Pascasarjana sarjana diselesaikan di Cornell University, New York, 1958-1964. Gelar Doktor diperolehnya di Cornell University, New York, 1965.


Mary banyak menghabiskan waktunya di Indonesia, untuk meneliti Tionghoa peranakan. Buku “Penambang Emas, Petani, dan Pedagang di ‘Distrik Tionghoa’ Kalimantan Barat”, merupakan penelitiannya selama 10 tahun di Kalbar.

Selain menulis tentang orang Tionghoa di Kalbar, Mary juga melakukan penelitian di Bangka. Penelitiannya di Bangka selama 7 tahun, diterbitkan dengan judul “Bangka Tin and Mentok Peppers (1992).

Titik tolak dari penelitian buku ini adalah, kurangnya informasi dan beberapa kesalahan informasi mengenai, pusat berkumpulnya minoritas penting di Indonesia. Juga, berusaha menggali catatan sejarah yang bisa saja hilang dengan segera.

Dari judulnya saja, kita sudah bisa membayangkan, apa kira-kira isi dari buku ini. Buku bercerita tentang kedatangan awal komunitas Tionghoa di Kalbar. Tepatnya di sebuah distrik Tionghoa. Kenapa dinamakan distrik Tionghoa? Karena sebagian besar wilayah itu, menjadi tempat tinggal bagi komunitas warga Tionghoa di Kalbar.

Alasan penelitian dilakukan di Kalbar, sebab orang Tionghoa di Kalbar, merupakan sebuah kelompok Tionghoa yang unik di antara minoritas Tionghoa Indonesia. Dalam gambaran umum masyarakat Indonesia tentang orang Tionghoa, biasanya muncul dengan gambaran orang yang kaya, pengusaha dan berhasil. Mereka biasanya menguasai berbagai bidang ekonomi.

Namun, gambaran itu akan serta merta hilang, ketika kita melihat sosok dan gambaran tentang warga Tionghoa di Kalbar. Mereka menempati beragam lapangan pekerjaan. Mulai dari strata rendah hingga tinggi. Tionghoa di Kalbar, bergerak di sektor mulai dari perdagangan kecil, pemilik toko, petani dan nelayan. Tak jarang dari komunitas ini hidupnya miskin dan sulit. Selain itu, mereka juga masih menggunakan bahasa Ibu hingga sekarang, dalam kehidupan sehari-hari.

Migrasi atau perpindahan pertama orang Tionghoa di Kalbar, sulit diketahui secara pasti. Namun, sejarah keberadaan mereka, berisi kisah dan upaya berbagai masyarakat asli dan pemerintah kolonial di wilayah Kalbar, untuk menindas dan menguasai mereka. Repotnya lagi, penguasaan itu seringkali menggunakan kekerasan.

Sebelum abad ke 13, pengunjung dan pedagang dari Tiongkok sudah mendatangi pulau Borneo, untuk melakukan perdagangan. Wilayah Kalbar yang berada di laut China Selatan, juga merupakan lintasan perdagangan internasional, dari dan menuju India. Karenanya, tak heran bila banyak armada dagang yang melewati atau singgah di daerah ini.

Pada masa ini, orang Tionghoa belum banyak yang menetap. Dalam kontak perdagangan itu, barang dagangan dari Borneo yang diekspor biasanya terdiri dari hasil hutan dan laut, emas dan intan. Lalu, barang itu ditukar dengan garam, beras, dan barang kebutuhan lainnya dari Tiongkok.

Orang Tionghoa mulai menetap di wilayah Kalbar, dalam jumlah besar sekitar pertengahan abad ke 18. Migrasi orang Tionghoa menempati wilayah yang disebut Distrik Tionghoa. Daerah ini meliputi sebelah Utara Pontianak, sepanjang pesisir hingga ke Sambas dan perbatasan Sarawak. Wilayah tersebut meliputi lembah-lembah sungai yang subur. Tak hanya di sepanjang pesisir, tapi mencakup wilayah hingga puluhan kilometer ke pedalaman. Dalam istilah administrasi saat ini, Distrik Tionghoa mencakup wilayah Kota Pontianak, sebagian Kabupaten Pontianak, dan sebagian Kabupaten Sambas. Sebagian besar yang menghuni Distrik Tionghoa merupakan orang Hakka.

Migrasi orang Tionghoa di Kalbar, dilakukan secara swakarsa dan menggunakan jaringan mereka sendiri. Mereka diorganisir oleh sesamanya. Dan, hampir semua pendatang Tionghoa adalah calon buruh. Alasannya, mereka berhutang untuk membiayai perjalanan yang dilakukan.

Kondisi yang sama juga terjadi pada para tenaga kerja Indonesia (TKI), sekarang ini. Mereka terjerat hutang, dan harus membayar uang pada para penyalur tenaga kerja atau agen yang memberangkatkan mereka. Uang dipotong dari gaji yang mereka terima saat sudah bekerja sebagai TKI.

Kedatangan awal orang Tionghoa di Kalbar, juga didorong pihak kerajaan Sambas. Pada awalnya, kerajaan turut serta mendatangkan para pekerja ini, karena kebutuhan pertambangan yang mereka miliki. Namun, pihak kerajaan juga memberlakukan aturan-aturan yang menjerat. Misalnya, pajak bagi kedatangan dan kepulangan orang Tionghoa. Kerajaan juga melarang orang Tionghoa membuka lahan pertanian. Tujuannya, agar pihak kerajaan bisa tetap memenuhi kebutuhan pangan para penambang ini. Dan, harga yang ditetapkan bagi kebutuhan tersebut, cukup tinggi. Meski begitu, persediaan barang kerap tak mencukupi.

Sebagian besar orang Tionghoa di Kalbar, datang dari provinsi Guangdong di Tiongkok bagian selatan. Mereka berbahasa Hakka, Teochiu, Kanton, Hainan, dan lainnya. Walaupun berasal dari satu wilayah, mereka tidak saling memahami bahasa yang digunakan. Meski terlihat homogen, namun keterpisahan diantara mereka begitu besar.

Pascamigrasi tersebut, ada dua kelompok suku besar muncul. Yaitu, Teochiu atau Hoklo dan Hakka. Orang Teochiu lebih banyak berkumpul di perkotaan dan mengandalkan diri dari perdagangan. Orang Hakka bekerja di pertambangan dan pertanian. Dalam perkembangannya, kemudian menjadi pedagang kecil di pedalaman. Karenanya, orang Hakka biasa disebut sebagai para perintis. Daratan luas Borneo tepat bagi sifat dan karakter orang Hakka, saat itu.

Diantara komunitas Tionghoa lainnya, perempuan Hakka lebih gigih dalam bekerja. Mereka juga lebih bebas memilih pekerjaan, dan mandiri sifatnya. Mereka terbiasa bekerja keras di ladang.

Tak heran bila dalam berbagai alasan kawin campuran antara warga Taiwan dengan perempuan di bekas Distrik Tionghoa sekarang ini, hal itu jadi salah satu alasan. Bahwa, perempuan Hakka rajin bekerja, sehingga disukai keluarga Taiwan. Meskipun ada banyak alasan lain, kenapa pria Taiwan kawin dengan perempuan Hakka di Singkawang. Misalnya, biaya kawin lebih murah, alasan satu leluhur, dan lainnya.

Pada masa awal ini, ada tiga kelompok komunitas Tionghoa muncul, dibedakan dari tempat tinggal dan mata pencahariannya. Kelompok pertama, terdiri dari para penambang emas. Sebagian besar mereka bujangan. Biasanya tinggal di asrama pertambangan. Biasanya imigran dan penduduk sementara. Kelompok kedua, orang Tionghoa yang mata pencariannya terkait dengan kongsi pertambangan, namun bukan sebagai penambang. Mereka bekerja sebagai petani atau pedagang kecil. Tinggal di pasar-pasar kecil dan melayani kebutuhan komunitas tambang. Biasanya penduduk kelahiran setempat atau perkawinan campuran atau bekas penambang. Kelompok ketiga, penghuni perkotaan, pedagang, tukang dan buruh.

Pada awal kedatangan, orang Tionghoa lebih banyak bergerak di sektor pertambangan emas. Karena tingginya harga kebutuhan pokok yang diterapkan pihak kerajaan Sambas, mereka juga memenuhi kebutuhan hidupnya dengan bertani.

Sebagai petani, orang Tionghoa dan Dayak tidak bersaing memperebutkan tanah. Biasanya orang Dayak bertani di tanah lebih tinggi, kering, dan berbukit-bukit. Sebab, daerah itu lebih cocok untuk berladang. Orang Tionghoa menyukai dataran rendah dengan banyak pengairan untuk bersawah.

Dalam perkembangannya, kedua sistem itu berubah seiring berjalannya waktu. Beberapa orang Dayak beralih ke tanah basah. Demikian juga orang Tionghoa. Dengan pengenalan terhadap tanaman niaga, seperti karet dan lada, orang Tionghoa menggunakan dataran tinggi. Pada abad ke 20, kondisi tanah mulai berkurang. Kondisi itu membuat persaingan antara dua kelompok etnis tersebut juga meningkat.

Dalam perkembangannya, orang Tionghoa juga mengisi berbagai sektor ekonomi dan perdangangan. Para petani dan pedagang Tionghoa punya peran utama di Kalbar. Mereka menyumbang berbagai ilmu pengetahuan dan pengenalan, terhadap berbagai jenis tanaman baru, dan penggunaannya bagi petani setempat.

Masyarakat di Kalbar, terdiri dari tiga kelompok etnis utama. Biasa disebut Tiga Pilar, yaitu, Dayak, Melayu, dan Tionghoa. Hingga saat ini, ciri etnisitas yang berhubungan dengan sektor ekonomi tertentu atau spesialisasi ekonomi, memperkuat identitas dan membuat perbedaan diantara kelompok etnis menjadi lebih kuat.

Dalam bidang ekonomi, ada sesuatu yang unik dan khas dari Tionghoa di Kalbar. Sejak pra-kolonial hingga sekarang, mereka berorientasi keluar dan tidak terikat dengan Jawa, yang menjadi pusat pemerintahan dan ekonomi. Orientasi ekspor, tapi lebih cenderung pada penyelundupan. Kecenderungan ekonomi lebih terhubung dengan Singapura, Sarawak, dan lainnya. Sifat orientasi ekonomi keluar ini, jadi salah satu penyebab terjadinya konflik yang terus berulang dengan pemerintah pusat.

Pada masa awal kehidupan di Kalbar, orang Tionghoa mengusahakan pertambangan emas. Kehidupan pertambangan ini bisa diselenggarakan dengan baik, karena orang Tionghoa tidak memiliki gelar secara turun temurun. Kondisi itu membuat mereka setara, satu dengan lainnya. Sehingga lebih egaliter.

Pemimpin biasanya dipilih berdasarkan kekuatan fisik dan kemampuan organisasi. Status sosial biasanya tak lepas dari unsur kekayaan. Bahkan, pada abad ke-20, ketika pendidikan sudah berkembang pesat, kekayaan tetap jadi penentu terpenting bagi kepemimpinan komunitas. Walaupun, pendidikan juga dihargai.

Sebagai penambang emas, orang Tionghoa bersaing dengan orang Melayu dan Dayak. Dua suku ini mengerjalan penambangan lebih awal. Namun, metode yang digunakan orang Tionghoa lebih efisien. Teknologi pertambangan dan organisasi pekerja, menghasilkan emas lebih banyak dari penambangan yang menggunaan metode tidak beraturan. Penambang lokal biasanya bekerja sebagai penambang, ketika kerja-kerja pertanian, penangkapan ikan, perburuan, dan pengumpulan hasil hutan, tidak mereka lakukan.

Di pertambangan, kemampuan orang Tionghoa disatukan dalam berbagai pekerjaan, melalui sebuah organisasi tambang atau kongsi. Mereka mandiri dan memenuhi berbagai keperluannya sendiri. Sangking kuatnya, pemerintah kolonial Belanda, juga khawatir dengan keberadaan organisasi ini. Para penambang ini relatif merdeka hidupnya.

Ada beberapa alasan, kenapa para penambang bisa hidup merdeka. Kondisi alam yang luas, membuat mereka lebih bisa mendayagunakan sumber daya alam yang ada. Sifat dari kekuasaan kerajaan Melayu, kekuatannya terpusat dan lemah di pinggiran. Tak ada penguasaan wilayah. Yang ada hanya penguasaan orang-orang. Sementara, orang sifatnya dinamis dan bisa pindah ke mana saja dan kapan saja. Hal paling penting, kenapa orang Tionghoa memperoleh kemerdekaannya, karena mereka mendayagunakan organisasi- organisasi yang kuat dan relatif stabil, yaitu kongsi.

Tak heran bila sejarawan Onghokham dalam tulisannya, “The Chinese of West Kalimantan” menulis, di seluruh kepulauan Indonesia, orang Tionghoa Kalbar kemungkinan besar, merupakan satu-satunya pendatang Tionghoa yang untuk berpuluh-puluh tahun, bebas membentuk lembaga-lembaga sosial, politik, dan budaya mereka sendiri, juga lembaga lainnya. Mereka relatif bebas dari segala pengaruh luar, seperti dari negara kolonial yang kuat dengan kebijakan-kebijakan sentralitisnya.

Dalam komunitas tambang abad ke 19, biasanya para penambang merupakan bujangan. Karenanya, mereka menikahi penduduk lokal, terutama Dayak. Para istri ini diintegrasikan ke dalam masyarakat Tionghoa. Mereka mengenakan pakaian, dan belajar budaya, serta bahasa suaminya. Namun, ketika komunitas-komunitas itu sudah menetap, dan generasi perempuan sudah lahir, pernikahan antara laki-laki Tionghoa dengan perempuan Dayak, jarang terjadi.

Pada masa awal kehidupan orang Tionghoa di Kalbar, tidak bisa dipisahkan dengan kongsi. Pada abad ke 19, ada tiga kongsi besar di Kalbar. Pertama, Fosjoen di Monterado. Kedua, Lanfang di Mandor. Ketiga, Samtiaokieo di Sambas. Selain itu, masih ada kongsi-kongsi kecil yang hidup dengan mandiri. Bila diperlukan, kongsi ini juga melebur dan bergabung dengan kongsi yang lebih besar membentuk sebuah federasi. Baik kerajaan pribumi maupun kekuasaan kolonial, tidak memiliki organisasi, infrastruktur dan kekuasaan yang sebanding dengan federasi ini.

Kongsi menjadi pusat kegiatan. Tak hanya pertambangan. Kongsi punya struktur. Kepemimpinan dilakukan dengan pemilihan, dan dilakukan secara teratur. Para pimpinan kongsi menyelesaikan tindakan kriminal dan perdata. Menjaga hukuman badan. Mempersiapkan angkatan bersenjata. Mengembangkan jalur hubungan komunikasi darat. Memacu perdagangan, perniagaan, dan industri. Memungut pajak dan cukai. Mendirikan sekolah. Bahkan, mencetak uang sendiri. Selain itu, juga menyelenggarakan upacara keagamaan, untuk menjaga solidaritas dan kesejahteraan umum.

Tak heran bila, keberadaan kongsi yang merdeka dan kuat tersebut, membuat penguasa kolonial berang. Belanda menganggap, organisasi Tionghoa teleh merebut kekuasaan, atas berbagai hal yang tidak boleh menjadi hak mereka. Termasuk dalam hal kepemilikan tanah.

Konflik para kongsi tak hanya dengan kolonial, tapi juga antar kongsi. Permasalahan mendasar dari pertambangan adalah, persaingan mendapatkan sumber daya, lokasi emas, dan persediaan air yang semakin sedikit dan langka.

Terkurasnya kandungan emas di wilayah pertambangan yang dimiliki, membuat mereka harus mencari wilayah baru. Karenanya, satu-satunya alternatif adalah, memperluas wilayah pertambanga. Namun, alternatif ini mengakibatkan ketegangan dengan kongsi lainnya, atau dengan orang Dayak dan Melayu, yang juga mengerjakan lokasi pertambangan, lebih jauh ke pedalaman.

Karenanya, konflik-konflik yang terjadi antara orang Tionghoa dengan keompok lain, tidak selalu tergantung pada garis etnis. Orang Melayu dan Dayak, dapat menjadi sekutu atau musuh bagi orang Tionghoa.

Sejarah komunitas Tionghoa di Kalbar, juga ditandai dengan Perang Kongsi. Ini perang antara kongsi dan pemerintah kolonial. Perang ini mengacu pada tiga periode peperangan. Yaitu, 1822-1824. Kedua, 1850-1854. Ketiga, 1884-1885. Bahkan, sepanjang 1818 hingga 1849, meski kondisinya damai, tapi penuh dengan pergolakan. Perang kongsi berakhir pada 12 Agustus 1885. Ada empat pemberontak tertangkap di Mandor. Lalu, keempatnya dihukum mati.

Salah satu penyebab Perang Kongsi, karena residen Belanda saat itu, Kater, mengusir Kwan Ya dan Lo Fong Pak ke tempat lain, dan mengambil alih kepemimpinan atas thang.

Perang Kongsi melahirkan persekutuan etnis dan politik yang komplek. Karenanya, Perang Kongsi tidak bisa disebut sebagai perang perlawanan orang Tionghoa melawan kolonialisme Belanda. Sebab, beberapa orang dari Kongsi Thaikong, musuh paling terkenal dari kolonial, memohon damai dan minta bantuan kepada Belanda.

Salah satu kunci kemenangan Belanda dalam peperangan ini, kemampuan angkatan laut Belanda dengan kapal uapnya, memblokade jalur laut. Terutama ketika perang di Monterado. Sehingga angkatan laut Belanda, bisa memutus jalur perbekalan kaum pemberontak. Seperti, beras, garam, candu dan amunisi. Singapura merupakan salah satu pelabuhan yang menjadi pusat dari distribusi jalur perdagangan saat itu.

Peristiwa besar lainnya, yang menandai sejarah orang Tionghoa di Kalbar, terusirnya orang Tionghoa secara besar-besaran dari kantong-kantong Distrik Tionghoa pada 1967. Hasutan dari pihak militer mulai memberikan pengaruh, mengibarkan balas dendam orang Dayak. Kampanye itu segera saja menjadi perburuan umum terhadap seluruh orang Tionghoa. Bahkan, para pedagang dan petani yang telah hidup damai berdampingan dengan orang Dayak dari generasi ke generasi pu, tidak terhindarkan dari serangan ini.

Buku ini memberikan banyak informasi menarik, mengenai sejarah awal kedatangan orang Tionghoa di Kalbar. Latar belakang munculnya konflik, menjadi bahan kajian menarik, untuk mengambil benang merah dari berbagai rentetan peristiwa sejarah mengenai konflik yang pernah terjadi pada masa lalu, dan sekarang.

Rasanya, tak berlebihan bila buku ini menjadi bacaan penting bagi para akademisi, mahasiswa, dan berbagai pihak yang ingin memahami, berbagai permasalahan yang ada di Kalbar, dulu dan sekarang.

Salah satu kelemahan dari buku ini, terjemahannya masih terlihat kaku, seperti halnya bahasa-bahasa buku penelitian. Namun, hal itu tertutup dengan banyaknya informasi penting, mengenai sejarah peranakan Tionghoa di Kalbar. Apalagi, Kalbar merupakan salah satu daerah dengan populasi masyarakat Tionghoa cukup besar. Dan, munculnya keterbukaan politik, menempatkan orang Tionghoa dari Hakka dalam pucuk pimpinan pemerintahan di Kalbar. Christiandy Sanjaya sebagai Wakil Gubernur di Kalbar. Serta, Hasan Karman sebagai Walikota Singkawang.


Buku:

Penulis : Mary Somers Heidhues
Judul : Penambang Emas, Petani dan Pedagang di “Distrik Tionghoa”
di Kalimantan Barat, Indonesia
Penerbit : Southeast Asia Program Publication, Cornell University
di Ithaca, New York, 2002
Edisi terjemahan : Yayasan Nabil, 2008
Penerjemah : Asep Salmin, Suma Mihardja dkk.
Penyunting dan desain : Suma Mihardja
Catalog : xxv + 361 hal: 18 cm x 25 cm


Edisi cetak ada di Borneo Tribune 29 November 2009

Baca Selengkapnya...

Tuesday, November 17, 2009

Pentingnya Pembangunan Jalan

Muhlis Suhaeri
Borneo Tribune, Pontianak
Dalam sejarah perkembangan dan peradaban manusia, selalu diwarnai dengan upaya memperpendek waktu dan ruang. Karena itulah, berbagai rekayasa, karya, dan upaya dilakukan, untuk mencipta dan menemukan suatu alat atau teknologi, untuk menjangkau dan memperpendek waktu dan ruang tersebut.

Salah satu upaya dengan membuat jalan, jembatan, dan infrastruktur lainnya.

Dengan jalan, manusia bisa melakukan berbagai aktivitas dan kegiatan. Jalan memegang peranan penting bagi kehidupan manusia. Jalan merupakan urat nadi bagi kehidupan.


Ini bisa dimaklumi, sebab tanpa ada jalan, proses distribusi barang dan jasa akan sulit dilakukan. Dengan jalan yang baik, membuat jalur distribusi menjadi lancar. Selain itu, jalan yang baik akan mempermudah kegiatan ekonomi, sosial, budaya, dan lainnya.

Dalam berbagai pembangunan yang dilakukan, keberadaan jalan dengan sendirinya akan menghidupkan berbagai aktivitas ekonomi daerah, yang menjadi jalur perlintasan tersebut. Jalan membuka peluang bagi kemajuan dan tumbuhnya berbagai kegiatan.

Kalbar dengan wilayah yang cukup luas, sangat terkendala dalam menjangkau wilayahnya. Salah satu penyebabnya adalah, jalan yang tak dibuat dengan baik. Apalagi dengan kondisi tanah gambut yang ada, membuat kondisi jalan tak bisa bertahan lama.

Mudahnya jalan menjadi rusak, memang tak sepenuhnya karena faktor alam. Ada berbagai ulah manusia, dalam proses makin rusaknya jalan ini. Biaya pembangunan jalan yang semestinya dipergunakan untuk pembangunan, banyak yang menguap karena mental para birokrat yang masih “menyunat” biaya tersebut.

Akibatnya, hasil pembangunan jalan tidak sesuai dengan biaya yang dikeluarkan. Ini tentu saja merugikan kepentingan masyarakat yang setiap hari menggunakan jalan tersebut. Juga merugikan Negara.

Dalam hal ini, semua harus mengawasi dan melihat proses dari pembangunan yang dilakukan, apakah sudah sesuai dengan prosedur dan spesifikasi yang tertulis dalam total anggaran yang ada.

Setelah pembangunan jalan terwujud, pemeliharaan juga mesti dilakukan semua pihak, tak hanya pemerintah. Yang tak kalah penting, mental masyarakat juga harus siap dengan adanya jalan yang sudah jadi. Sehingga, jalan yang sudah baik, tak dikeruk lagi agar orang bisa mendapatkan uang, dari mengutip mereka yang melewati jalan tersebut.

Kondisi itu memprihatinkan semua pihak. Ditengah upaya membuka keterisoliran suatu wilayah, ada oknum yang memanfaatkan kondisi itu, dengan cara merusak jalan. Karenanya, perlu pembinaan wilayah dan ketegasan dari aparat, untuk mengamankan infrastruktur yang sudah ada.

Edisi cetak ada di Borneo Tribune 19 Agustus 2009

Baca Selengkapnya...

Monday, November 2, 2009

Ferri Penyeberangan Kapuas

Muhlis Suhaeri
Borneo Tribune, Pontianak

Sungai Kapuas adalah nadi
yang membawa hidup bagi jantung Borneo.
Segala yang hidup seakan tak lepas dari alirannya.

Kapuas memberi hidup bagi semua yang hidup.
Bahkan, tetap menyemai bagi yang telah mati.
Sebab, dari alirannya semua bakal menyemai kehidupan itu sendiri.


Kapuas menghidupkan ekonomi, membentuk kultur sosial,
dan menghidupkan berbagai religi.
Memberikan ruang bagi mereka yang ingin menjalani hidup.

Kapuas selalu diarungi.
Memberi mantra bagi siapa saja yang melewati,
Untuk selalu kembali dan mengarunginya.

Begitu juga bagi kapal ferri penyeberangan,
Yang seolah tak pernah lelah, menempelkan lambungnya
pada Sungai bernama Kapuas…

Foto dan Teks: Muhlis Suhaeri

Edisi cetak ada di Borneo Tribune, 30 Agustus 2009


Baca Selengkapnya...

Sunday, November 1, 2009

Ta-thung: Ironi Manusia Pilihan Dewa

Oleh: Muhlis Suhaeri
Mereka manusia pilihan Dewa, yang diberi “mandat” menyunggi nasib manusia. Mereka punya kemampuan mengobati, mengusir roh jahat, dan kebal terhadap berbagai senjata tajam. Namun, kalau pun bisa memilih, sebenarnya mereka tak ingin punya kemampuan dan dipilih para Dewa, demi keistimewaan-keistimewaan itu. Manusia istimewa itu, ta-thung, namanya.


Keluarga Ta-thung
MATA BONG Khin Dyung (56 tahun) terlihat menerawang. Ia seakan sedang menatap dan menimbang garis nasib yang diembannya kini. Bong bekerja sebagai tukang gigi di Singkawang. Dia tak begitu kesulitan dengan pekerjaan yang dijalani. Namun, ada satu kemampuan istimewa yang tak sembarang dimiliki orang, yang harus selalu dijaganya. Agar kemampuan itu, “tak memakan diri sendiri” karena perbuatan tak bijak yang dilakukannya.


Bong memiliki kemampuan sebagai ta-thung sejak berusia tujuh tahun. Waktu itu, ia bekerja di pangkalan Saga Tani Singkawang. Kerja di toko yang menjual beraneka ragam sembako atau kelontong. Warung itu melayani berbagai keperluan karyawan yang bekerja menoreh karet.

Suatu saat dia jatuh sakit. Seperti penyakit malaria. Badan rasanya panas dingin. Demam. Terutama pada malam hari. Ia tak sanggup mengerjakan sesuatu. Tapi, pada siang hari, dia masih bisa kerja. Kondisi itu berlangsung hingga 49 hari. Oleh pemilik toko, dia dibawa ke dokter dan sin she atau dukun tradisional masyarakat Tionghoa.

Pertama kali dibawa ke dokter, sakitnya tidak sembuh juga. Dalam sakitnya, Bong mengigau. Sakitnya akan sembuh dengan sendirinya. Tunggu waktu. “Sembuhnya sudah penetapan,” kata Bong.

Setelah sembuh, dia merasa ketakutan dan tidak ingin kerja lagi di tempat itu. Ia merantau ke Batu Ampar, Kubu Raya. Ia bekerja di sektor kayu. Namun, dia merasa badan tetap tak enak. Ia merasa ada yang mengikuti.

“Ke mana-mana diikuti. Merasa dikejar-kejar terus,” kata Bong.

Ia ingin melepaskan diri, agar yang “ikut” tersebut, bisa lepas. Tapi tak bisa dilakukan, karena ia punya kerja benar.

Bong mengobati orang sejak umur 10 tahun. Fungsinya hanya sebagai perantara. Suatu saat ada orang sakit. Dia membantu orang itu dengan ramuan dedaunan. “Kita tak tahu daun apa. Kita cari di hutan,” kata Bong.

Bong membuat resep dengan bahasa Mandarin. Padahal, dia tak pernah sekolah atau belajar bahasa Mandarin. Setelah kemasukan roh, dia bisa bahasa Mandarin. Roh itulah yang menuntunnya untuk membuat obat-obatan dari dedaunan.

Setelah tenang dan merasa ada yang istimewa dalam dirinya, dia baru merasa yakin. Bahwa, dia punya kemampuan. Saat ada yang sakit, segera dibantu.

Dewa yang mengikuti dirinya bernama Chau Liu Nyian Shai, Dewa Langit. Ini orang sakti. Dia panglima perang dari sebuah kerajaan di China daratan dan pandai mengobati orang sakit. Orang sakti atau panglima, setelah mati biasanya disebut Dewa.

Bong punya 13 anak. Meski punya banyak anak, setiap ada kesulitan apapun, ada saja jalan keluarnya. Belum pernah ada anaknya sakit parah, sehingga harus mendapatkan perawatan khusus.

Ada lima anaknya jadi ta-thung. Saat ditanya anaknya yang ke berapa punya kemampuan ta-thung, dia menjawab, “Sebentar, ya, lihat KK dulu.”

Sangking banyaknya anak, dia sendiri lupa anaknya yang nomor berapa, punya kemampuan sebagai ta-thung.

Setelah mengambil kartu keluarga (KK), dia menyebutkan satu persatu anaknya yang punya kemampuan sebagai ta-thung. Anak keempat, Steven Wong. Nama dewanya Nam Hoi Thung Jie. Anak kelima, Pin-Pin Chong. Nama dewanya Chiang Hoi Thung Jie. Anak ketujuh, Antoni Bong. Nama dewanya Sui Kheu Pak Kung. Anak kesebelas, Henri Frans Wong. Nama dewanya tak tetap. Tapi, biasanya Chiau Shan Pak Kung.

Bicara mengenai ta-thung, terkadang bicara mengenai sesuatu di luar jangkauan kesadaran manusia. Misalnya saja, kenapa kemampuan ta-thung bisa menurun pada anak. Biasanya ada jodohnya. Namun, ada juga yang tak bisa menurun pada keluarga.

Bong punya banyak jimat untuk menurunkan kemampuan ta-thung pada anaknya. Tapi ia tak mau menurunkan. Paling membina anak supaya menjalankan sesuatu atau berbuat baik.

Dalam satu pertemuan, Antoni Bong sebenarnya merasa takut menjadi ta-thung. Ia menjadi ta-thung sejak 2003. Saat dia bimbang dan ragu, orang tuanya memberikan keyakinan. Bahwa, semuanya akan baik dan menjaga diri dari masalah apa saja.

Hingga sekarang, ia tak pernah diganggu orang. “Yang kita harap, Tuhan masih sayang sama kita. Jadi, kita tidak usah takut,” kata Antoni.

Sama seperti orang tuanya, saat pertama kali menjadi ta-thung, ia alami banyak hal. Kepala pusing. Badan terasa berat untuk bergerak. Capek. Tak bisa lakukan apa-apa. Menjadi ta-thung di luar kesadarannya. “Kita dalam keadaan tidak sadar,” kata Antoni.

Antoni dalam kesehariannya, ikut membantu orang tuanya.

Menurut Bong, ta-thung harus punya hati baik. Tak boleh menipu orang. Kalau berbuat jahat, bisa membahayakan diri sendiri. “Bagi yang berilmu, kalau kita sadis, ‘dia’ lebih sadis,” katanya.

Dia dalam hal ini adalah, Dewa yang mengikuti para ta-thung. Orang juga menyebut guru, atau arwah leluhur.

Untuk mencapai jalan kebenaran dan kebaikan, butuh waktu lama belajarnya. Kalau berbuat jahat, belajarnya 3-4 hari saja. Begitu kata Bong. “Karena belum apa-apa sudah mau menipu, maka ilmu makin ganas. Kalau ikuti jalan baik, akan baik,” kata Bong.

Ta-thung ada yang hitam dan putih. Membina ta-thung supaya baik, butuh waktu satu hingga dua tahun. Ta-thung bila punya pikiran jahat, cepat reaksinya. Tapi, tetap ada hukum karmanya. Bong selalu memberikan saran, supaya anaknya mengikuti jalan yang baik.

Kalau ada perintah untuk bertapa, ta-thung tak perlu membantah. Begitu juga dengan pantangan, jangan sampai dilaksanakan. Kenapa banyak ta-thung bermasalah? Misalnya tak punya anak, karena yang “di atas” punya mata.

Menurut Bong, ta-thung tak bisa dijadikan mata pencaharian. Kemampuan itu untuk masyarakat yang minta bantuan. Karenanya, ta-thung harus punya mata pencarian tetap.

Bong kerja sebagai tukang gigi. Kalau ada yang minta berobat dan bantuan, ia akan melaksanakan tugas itu. Di luar itu, dia akan bekerja sebagai tukang membuat gigi.

Dalam berbagai kesempatan khusus, seperti pembukaan Klenteng, Cap Go Meh, Imlek atau tradisi lainnya, ta-thung memiliki peran penting.

Untuk melaksanakan tugasnya, ta-thung harus menyesuaikan dengan Dewa yang mengikutinya. Pakaian disesuaikan dengan karakter dan sifat dari sang Dewa. Pakaian membuat sendiri atau pesan. Bong dan masing-masing anaknya punya dua pasang pakaian.

Seragam dibuat dari lokal dan luar. Harganya beragam. Misalnya, bila pakaian dipesan dari Thailand, harganya sekitar Rp 1,6 juta. Dari Singapura Rp 3 juta. Dari Tiongkok seharga Rp 9 juta.

Namun, pakaian Steven dipesan dari Singapura, harga sepasang Rp 9 juta. Warna pakaian merah dengan motif naga dan bordir. Pakaian Pin-Pin dari Tiongkok. Satu pasang seharga Rp 9 juta. Ada tiga set. Baju itu dipakai selamanya.

Bong pernah alami pengalaman yang membuatnya nyaris bangkrut. Pada 25 September 2008, ia diminta warga di Kepulauan Natuna, Riau, meresmikan sebuah Pekong atau Klenteng.

Klenteng memiliki peran sangat penting dalam budaya dan masyarakat Tionghoa. Sebab, ketika mereka tinggal atau mendirikan suatu rumah atau perkampungan, Pekong sebagai tempat beribadat bagi warga, harus ada di sana.

“Apa yang bisa dilakukan untuk Pekong, itu akan dilakukan,” kata Bong.

Namun, musibah menimpa tanpa disangka. Perahu yang membawa mereka terbakar. Pakaian dan barang yang dibawa ikut terbakar di dalam kapal. Pakaian seragam, tandu, gendang, obat ramuan, ikut terbakar. Kerugian diperkirakan sekitar Rp 90 juta.

Pemilik kapal tak mau ganti. Masyarakat yang mengundangnya bersedia mengganti. Namun, Bong tak mau. Kalau masyarakat yang ganti, sampai 10 keturunan, akan dicaci maki. Dia konsultasi dengan pemilik kapal, tapi tak ada jawaban. Akhirnya, Bong membuat pakaian baru.

Meski memiliki kemampuan istimewa, tapi Bong tidak pernah merasa sebagai manusia istimewa. Kalau merasa sebagai manusia istimewa, sama saja merasa sebagai yang “Di atas”.

Jadi, sebagai manusia, ia tidak merasa ada yang istimewa. Ia menganggap biasa saja. Kalau merasa istimewa, akan membuat seseorang menjadi sombong.

“Kita tidak memikirkan. Bukan kita yang bantu orang. Kita cuma sebagai pelaksana,” kata Bong, “Tuhan berkuasa yang bantu.”

Bong merupakan salah satu contoh dari keluarga yang menjadi ta-thung secara turun temurun. Tak hanya keluarga Bong, Chie Lie Na atau Lina (40 tahun), juga contoh keluarga ta-thung.

Sejak umur 35, ia menjadi ta-thung. Keturunan dari kakek ke bapak ke anak. Lina keempat dari tujuh bersaudara. Empat orang saudaranya menjadi ta-thung. Namun, ada satu yang sudah meninggal, sehingga tinggal tiga orang.

Anak nomor dua, Chie Jun Nam biasa dipanggil Ahmad. Dewanya bernama Malin Ciong Kiun. Anak nomor empat, Lina. Anak nomor lima, Chie Jun On alias Budi. Dewanya bernama, Ng Fong Thai Chie. Anak nomor enam, Chie Jun Fo alias Rudi. Dewanya bernama Thai Fut Shin. Ayah Lina bernama Chie Chiung Fu atau Ali. Kakeknya bernama, Chie Jin Tong. Biasa dipanggil Holian atau Alian Chiton. Dia perantauan langsung dari Tiongkok. Nama dewanya, Chee Thian Thai Sien atau Sun Go Kong. Kitab Sun Go Kong bernama Tung Su. Ketika berubah wujud menjadi monyet kecil, dan bisa masuk ke ruang kecil.

Kini, Lina tinggal di Jakarta. Di ibu kota, dia menjadi tabib. Kemampuannya bisa menyembuhkan orang kerasukan, meningkatkan usaha, dan lainnya. Namun, kebanyakan yang datang orang sakit. Misalnya, ada gangguan, masuk angin jahat, dan lainnya.

Kemampuan yang dimiliki tidak untuk mengganggu orang. Kalau orang dalam kesusahan, ia akan menyembuhkannya. Ta-thung tidak pernah minta bayaran khusus, ketika mengobati seseorang. Suka rela saja.

Ia mengobati orang di rumahnya. “Kalau ada guru ikut, kapanpun guru datang harus pulang. Memanggilnya harus di rumah. Untuk mengobati orang harus di Toa Pekong,” kata Lina. Untuk memanggil guru, harus dipanggil dari lima penjuru.

Lina punya tiga anak. Paling besar kelas 3 SMA. Dia tidak berharap anaknya jadi ta-thung. “Mudah-mudahan jangan. Ikut boleh, tapi jangan masuk,” kata Lina.

Anaknya kenal dengan dunia ta-thung. Lina pernah mengajak anaknya. Anak paling kecil, sering diajak sehingga tidak takut.

Menurutnya, pengalaman berkesan sebagai ta-thung, kalau bisa menyembuhkan orang sakit. Begitu juga kalau ada anak yang sakit.

Lina juga punya kemampuan kebal terhadap senjata tajam. Kalau sudah kemasukan ruh Dewa, ia bisa duduk di atas pedang yang bentuknya serupa bunga teratai. Ia pengikut dari Dewi Kwan Im atau Dewi Welas Asih. Dewi ini selalu menggunakan simbol bunga teratai.

Sebagai ta-thung karena faktor keturunan dan pengikut Dewi Kwan Im, Lina pantang makan daging. Sebab, Dewi Kwan Im tidak boleh makan binatang hidup. Lina harus vegetarian. Tidak boleh makan daging sapi, ayam, serta babi.

Dewa dari kakek, tidak boleh makan daging monyet, anjing, kucing, kura-kura dan ular.
Sebab, dewa yang mengikut adalah Sun Go Kong dari bangsa kera.

***

MENURUT XF ASALI, pengarang buku Aneka Budaya Tionghoa, ta-thung berasal dari dua suku kata. Tha: pukul. Thung: orangnya. Tak sembarang orang bisa menjadi ta-thung. Kemampuan itu bisa dimiliki melalui keturunan atau peristiwa tertentu. Misalnya, selepas sakit. Kemampuan jadi ta-thung juga bisa dipelajari melalui tuntunan seorang suhu atau guru. Ta-thung untuk menolong orang lain, bukan mencari kekayaan.

Kalau kemampuan menjadi ta-thung muncul dengan sendirinya pada seseorang, maka ruh Dewa atau arwah leluhur bisa dibawa ke mana-mana. Bahkan, bila orang itu pindah ke lain pulau atau negara. Ia masih bisa memanggil ruh untuk datang.

Ta-thung paling banyak terdapat di Singkawang. Namun, banyak juga yang tinggal di Pontianak, dan daerah sekitarnya.

Lo Chin Hin (45 tahun), ta-thung dari Siantan, Pontianak. Ia pertama kali kemasukan ruh arwah leluhur, ketika usianya 25 tahun. Ruh yang masuk bernama Sak Bong Kung. Dalam bahasa dialek China Kek, nama itu berarti Batu Raja Dewa. Karena itulah, ia membangun Klenteng dengan nama tersebut di depan rumahnya.

Tahun 2000, Lo Chin Hin membangun tangga setinggi delapan meter. Bangunan itu dibangun atas permintaan ruh yang ada pada dirinya. Bangunan itu berupa tangga dan undakan dari besi baja setajam pisau. Setiap undakan diberi pisau.

Pada perayaan dan acara tertentu, Lo Chin Hin akan menari, menaiki dan menuruni undakan itu. Sambil beratraksi, ia mencucuk pipinya dengan tembaga sepanjang setengah meter sebesar paku. Kenapa tembaga? Sebab, bekas luka tidak mengalami infeksi. Luka menutup sendiri, setelah diberi abu hio atau setanggi.

Cap Go Meh atau hari ke 15 Imlek, merupakan hari besar bagi para ta-thung. Ia akan meramaikan acara itu. Datangnya ruh leluhur ke raga, bisa 2-3 kali secara bergantian. Kedatangan itu ditandai dengan permintaan dari ta-thung untuk mengganti baju. Warna baju itu merah, putih dan hitam. Baju merah yang datang ruh dari leluhur atau Dewa dari Tiongkok. Bila warna hitam, biasanya yang datang Datuk dari orang Dayak.

Masuknya ruh ke raga ditandai dengan berbagai macam hal. Salah satunya, dengan muntahnya sang ta-thung. Ketika arwah leluhur masuk pada raganya, harus ada orang yang sanggup menerjemahkan apa permintaannya. Karenanya, harus ada yang selalu menjaga ta-thung, ketika ia sedang trance.

Lo Chin Hin selalu ditemani Fut Men, 34 tahun, ketika sedang kerasukan ruh. Fut Men kebetulan menantunya sendiri. Dialah pemandu atau penerjemah, bila arwah minta sesuatu. Bahasa yang dipergunakan adalah bahasa China, Khek Kuno. Bahasa itu beda dengan bahasa Khek yang biasa dipakai sekarang ini.

Menurut Fut Men, tradisi ta-thung di negeri China sudah tidak ada. Ta-thung di Kalbar merupakan perpaduan antara tradisi masyarakat Tionghoa dan Dayak. Tak heran jika pada perayaan Cap Go Meh, ada juga orang Dayak menjadi ta-thung.

Lo Chin Hin punya 6 anak. Namun, belum ada satu pun anaknya memiliki dan bisa mewarisi kemampuannya sebagai ta-thung.

Seperti juga Lo Chin Hin, Acai (24 tahun) menjadi ta-thung bukan karena garis keturunan. Ia tinggal di Singkawang. Postur tubuhnya kurus dengan tinggi sekira 170 cm. Acai kurang lancar berbahasa Indonesia.

Ia jadi ta-thung sejak usia 11 tahun. Bila biasanya ta-thung ada pantangan makan sesuatu, ia tidak punya pantangan makan apapun.

Acai biasa memakai pakaian hijau, saat menjadi ta-thung. Ia kerasukan ruh salah satu arwah leluhur. Namanya sama dengan nama salah satu Dewa. Namun, ia sendiri tidak tahu nama Dewa itu. Ketika ia hendak memanggil arwah leluhur masuk ke raganya, ia mesti dipandu sang suhu. Acai banyak belajar dari gurunya, untuk menjadi ta-thung.

Lalu, apa pendapatnya terhadap kemampuan dan kesaktiannya?
“Jadi ta-thung biasa saja,” kata lelaki dengan rambut sebahu ini.

***

PADA SEBUAH gang di belakang bangunan bioskop bercorak Art Deco yang dibangun pada 1957 di Kota Singkawang, terdapat sebuah Pekong kecil. Di sana, ada seorang ta-thung bernama Tjhan Hian Bun (67 tahun). Dia biasa dipanggil Ahian.

Ia menjadi ta-thung sejak umur 24 tahun. Arwah leluhur atau dewanya bernama Bun Bu Ciong Kiun, panglima perang atau jenderal. Dewa ini punya kemampuan menyembuhkan orang sakit. Tergantung orang yang datang dan kondisi pasien. Misalnya, anak kecil sering kaget karena kemasukan ruh, kena ilmu atau disantet orang.

Ia punya tujuh orang anak. Namun, tak ada yang jadi ta-thung. Menurutnya, ta-thung tak bisa disembuhkan. Ruh dewa yang sudah masuk ke tubuh seseorang, akan terus ikut. Menjadi ta-thung bukan kehendak sendiri. Kemampuan itu ditunjuk sendiri oleh para dewa.

Masuknya arwah Dewa susah diperkirakan. “Kalau orang tak mau atau menghindar jadi ta-thung, bisa gila atau sakit,” katanya.

Selama menjadi ta-thung, beberapa kali orang menguji kesaktiannya. Ada orang kirim ilmu untuk diadu. Bentuknya seperti santet. Orang mengirim ilmu berbentuk ular, jarum, dan lainnya. Namun belum sempat masuk sudah ditangkis. Tak tahu siapa yang kirim. Rasanya seperti orang tidur, badan panas atau meriang. Peristiwa itu berlangsung sekitar satu jam. Kejadian berlangsung belasan kali.

Ta-thung memiliki aura dan energi positif. Kalau ke mana-mana, orang yang melihatnya langsung baik. Apalagi kalau ta-thung ketemu sesama ta-thung. Begitu ketemu di jalan, langsung tahu bahwa orang itu punya ilmu. Seperti magnet yang saling ketemu. Ada energi. Ada getaran.

Meski begitu, dia tidak berharap anaknya jadi ta-thung. “Usaha seperti ini hanya secukupnya saja. Bukan untuk cari kekayaan. Orang tua ingin anaknya maju, karena kehidupan ta-thung pas-pasan,” kata Tjhan Hian Bun. Namun, ia merasa cukup hidupnya. Bisa makan dan mencukupi kebutuhan hidupnya.

Ta-thung bukan sesuatu yang dibanggakan. Kemampuan itu hanya pemberian. Kecuali, kemampuan itu diperoleh dengan mempelajari suatu ilmu.

Uniknya, meski ta-thung merupakan tradisi orang Tionghoa, kemampuan sebagai ta-thung juga bisa dimiliki orang Melayu, Dayak dan lainnya. Pada perayaan Cap Go Meh, mereka ikut pawai dan meramaikan. Ta-thung muncul dan ikut meramaikan festival. Tujuannya, mengusir ruh jahat, sehingga tahun depan bisa hidup lebih baik. Ini semacam tolak balak. Bagi orang Taoisme, ini adalah suatu keyakinan. Bagi orang Tionghoa yang sudah memeluk agama Kristen, misalnya, ini dianggap seni saja.

Menurut kepercayaan masyarakat Tionghoa, ketika ta-thung berkeliling kota pada perayaan Cap Go Meh, ia dipercaya dapat membersihkan kota dari berbagai unsur ruh jahat. Dengan hilangnya ruh jahat, kehidupan menjadi tenang dan tentram.

Menjelang perayaan Cap Go Meh, ta-thung biasanya melakukan puasa dulu. Puasa dari segala perbuatan berbau kotor. Puasa dilakukan 3-7 hari. Intinya, puasa untuk keselamatan dan kesejahteraan.

“Orang yang berilmu ikut merayakan Cap Go Meh sebagai ucapan selamat,” katanya.

Ia berharap pada pemerintah, tradisi itu diteruskan. Zaman Presiden Suharto, tradisi itu ditiadakan. Padahal, itu suatu agama dan adat istiadat. Tradisi itu gabungan dari Tao, Konghucu, dan Buddha (Darma). “Seharusnya ta-thung terus diadakan dan dimeriahkan,” katanya.

Di lingkungan keluarga dan lingkungan sosial lainnya, ta-thung disegani masyarakat. Tapi juga bukan sesuatu yang dianggap istimewa oleh keluarganya.

Keponakan Tjhan, Melson (29 tahun) menyatakan, “Dibilang bangga, ya, iya. Dibilang tidak, ya, tidak. Tapi kalau ada keperluan, tidak datang ke orang lain.”

Melson lahir di Singkawang. Sekarang tinggal dan hidup di Jakarta. Saat acara Cap Go Meh, dia pulang ke Singkawang. Ia jadi penerjemah pamannya, ketika sedang kemasukan ruh Dewa. Segala apa yang diminta dan dibicarakan, harus diterjemahkan.

Meski demikian, ia tak ingin jadi ta-thung. “Tak terpikirkan jadi seorang ta-thung,” katanya.
Ta-thung memang identik dengan kehidupan apa adanya. Tak bisa bergerak lebih luas, dalam mengembangkan berbagai usaha atau pekerjaan. Sekedar cukup untuk hidup.

***

MALAM ITU, saya seperti berada di dunia lain. Seluruh ruangan dipenuhi oleh bunyi-bunyian. Saling menyahut. Bunyi gendang besar bersahutan dengan simbal yang ditabuh secara terus menerus oleh anak-anak kecil. Mereka memang bertugas membunyikan alat musik tersebut.

Asap tebal membumbung dan berpendar ke segenap celah ruangan, dari dua kaleng berisi dupa dan kemenyan. Kaleng itu diputar-putar. Asap semakin mengepul keluar dari kaleng. Asap seakan membekap setiap jiwa di ruangan itu. Menenggelamkannya pada suasana magis dan dramatik.

Pada sebuah altar, seorang pemuda bertubuh subur, seperti termenung dan menunggu sesuatu. Sekujur tubuhnya telah diberi kerincingan, lonceng, dan pakaian khas, seorang Datuk. Di bagian kepalanya, terselip bulu burung enggang. Ini burung khas endemik di Pulau Kalimantan. Burung suci bagi orang Dayak.

Lelaki itu bernama Darmanto alias Afu (30). Sedari tadi, ia selalu menguap. Bukan sembarang menguap. Itu pertanda Dewa bakal masuk ke tubuh lelaki Tionghoa ini.

Tak berapa lama, anjing di belakang rumah melolong dengan pelan. Entah kebetulan atau tidak, melolongnya anjing bisa dilihat sebagai sebuah pertanda, ada sesuatu yang datang. Panca indera pendengaran anjing, lebih kuat dari pendengaran manusia. Anjing punya indera sensitif terhadap suara, temperatur, perubahan suhu, getaran, aktivitas elektrostatis dan kimia, serta medan magnet dan medan listrik.

Bersamaan dengan itu, tubuh Afu terjengkang ke belakang. Mendadak seperti orang pingsan. “Pas mau masuk, badan seperti tertimpa batu dari punggung. Setelah itu tak sadar diri, seperti orang tidur,” kata Afu.

Kemenyan berfungsi menguatkan ilmunya. Tambah semangat. Kalau gurunya datuk –orang Jawa, pakai kemenyan. Kalau gurunya Tionghoa, tak pakai kemenyan.

Datuknya bernama Kinsan dari Jawa. Guru yang lain bernama Bu Mian Ciong Kiun.
Yang masuk ke tubuh Afu bernama Gum Chit Sian Bong, dan punya kemampuan sebagai tabib.

Afu jadi ta-thung sejak umur 18 tahun. Ketika itu, ia berdiri di depan pintu rumah. Tiba-tiba ada bayangan terbang. Ada ruh yang masuk ke tubuhnya. Dia langsung bengong. Tubuhnya terasa demam, seperti orang tak sadar.

Sejak kemasukan ruh, ia tak bisa konsentrasi saat guru menerangkan di depan kelas. Afu sering melamun dan bengong hingga setahun lamanya. Sehingga, mau tak mau ia berhenti sekolah. Setelah membuat Pekong, ia langsung sembuh total.

Afu tak banyak bicara. Bahasa Indonesianya kurang lancar. Ia selalu ditemani sang mertua, Fifi (43). Mertua ini yang menterjemahkan apa kemauan Afu saat kemasukan ruh.

Seperti juga para ta-thung maupun anggota keluarganya, seandainya boleh memilih, Fifi tak ingin Afu jadi ta-thung. “Apa boleh buat, sudah kemasukan. Bukan kemauan,” kata Fifi.

Mula-mula ia tidak ingin punya menantu ta-thung. “Jadi ta-thung tak bisa kerja apa-apa. Harus pulang,” kata Fifi.

Afu tak bisa keluar kota. Ia selalu berada di Singkawang. Afu pernah ke Taiwan. Namun, ia merasa tidak tenang. Ia selalu ingin balik ke Singkawang.

Saat anaknya hendak menikah dengan Afu, Fifi tak bisa menolaknya. “Kalau memang jodohnya, orang tua tak bisa menghalangi,” kata Fifi.

Fifi merasa menantunya membawa hoki atau keberuntungan. Afu membuka tempat biliar. Tiap hari dapat hoki.

Fifi selalu menjaga Afu ketika menantunya ini melakukan atraksi. Fifi selalu pakai helm saat upacara berlangsung. Di dalam helm itu ada jimat dari singsang supaya tidak kemasukan. “Karena saya dari dulu selalu urusi itu, maka harus jaga-jaga,” kata Fifi.

Setiap ta-thung punya hari tertentu untuk memperingati hari jadinya. Ulang tahun itu biasanya permintaan dari ruh atau Dewa yang mengikuti. Afu memperingati ulang tahun gurunya pada tanggal 9 bulan Imlek.

Banyak hal yang harus disiapkan untuk itu. Ada tebor, bir, kue bulan, tebu, limau dan lainnya. Semua memiliki makna. Tebu bentuknya beruas-ruas seperti tangga. Maknanya, pekerjaan atau usaha juga bertingkat sampai ujung. Kue bulan adalah kue ulang tahun. Limau supaya bisa membawa hoki. Bir untuk menjamu tamu-tamu guru.

Setiap ulang tahun butuh dana sekitar Rp 3-4 juta. Uang itu dipergunakan untuk memberi angpao pada setiap orang yang membantu. Namun, biasanya dalam kegiatan itu, banyak orang yang pernah ditolong dan disembuhkan Afu, turut membantu. Dalam berbagai ritual dan kegiatan, Afu dibantu pengusaha pakan ternak. Pengusaha ini merasa “dibantu” oleh Afu dalam berusaha.

Saat menjadi ta-thung, Afu menggunakan dua tandu. Pada ujungnya dipasang dua tiang untuk pegangan. Tandu hitam pada sebelah kanan ada pedang besar. Pada sebelah kiri ada tombak besar dengan bentuk setengah bulan. Tandu merah, ada tombak dan bulan sabit di sebelah kanan. Bagian bawah tandu diberi baja setajam pisau. Di atas baja tajam itulah, Afu berdiri tanpa alas kaki dan menggoyang-goyangkan tandu ke depan dan belakang, samping kiri dan kanan.

Afu pernah terluka dalam atraksinya. Luka itu seperti disilet pisau di bagian bawah kakinya. Ketika itu, dia belum punya tandu sendiri. Masih ikut tandu orang. Kini, selama punya tandu sendiri, ia tak pernah alami luka. Tandu itu berwarna merah dan hitam. Untuk membuatnya butuh dana sekitar Rp 3 juta setiap tandunya.

Meski kebal senjata tajam, atraksi para ta-thung tetap saja mengkhawatirkan orang-orang terdekatnya. Siau Ling (24), istri Afu juga merasa khawatir bila Afu melakukan atraksinya.

“Ada perasaan takut juga, kalau Afu luka,” kata Siau Ling.

Dari perkawinan itu, lahir dua anak. Satu lelaki dan perempuan. Lelaki bernama Yung-yung (6). Perempuan bernama Cia-Cia (2). Kedua anak itu belum terlihat ada bakat ta-thung.

Siau Ling berharap dan menurut saja pada garis nasib yang telah ditentukan. Namun, kalau boleh memilih, dia tak ingin anak jadi ta-thung. “Tak bisa ke manapun,” katanya.

Meski ruh para Dewa bisa dipanggil kapanpun, namun tak pernah muncul saat di kamar ketika keduanya sedang berduaan.

Ta-thung harus saling menjaga dan menolong, saat kemasukan ruh. Karenanya, orang yang tidak berkepentingan saat ta-thung kerasukan, jangan berdiri di jalur perjalanan ta-thung. Bisa kena marah atau dikejar. Ketika selesai melakukan atraksi, tubuh Afu lelah sekali. Kepala juga masih terasa puyeng.

Begitulah kehidupan dan kisah para ta-thung. Meski memiliki kemampuan istimewa, sebagian besar ta-thung yang ditemui, tidak ingin keluarganya menjadi ta-thung. Meskipun para Dewa atau leluhur yang memilihnya. Inilah sebuah ironi di balik kehidupan para ta-thung atau manusia sakti itu.


Edisi cetak ada di Majalah Suara Baru, edisi November 2009

Baca Selengkapnya...