Thursday, August 26, 2010

Pelajaran Mahal Sekarung Sawit

Oleh: Muhlis Suhaeri
Tiga warga Sanggau ditahan dan diperkarakan karena mengambil sawit seharga Rp 60 ribu. PTPN XIII bersikukuh hanya memberikan pelajaran.

PT Perkebunan Nusantara (Persero) XIII memperkarakan pencuri brondolan sawit di Blok 107 Kebun Inti PTPN XIII Parindu, Sanggau, Kalimantan Barat. Tiga warga tertangkap tangan membawa 60 kilogram brondolan sawit. Harga sekilogram brondolan sawit Rp 1.000 hingga Rp 1.500.

Tiga warga yang ditangkap adalah Yulita Linda (27), Agung (27), dan Norweti (30). Linda dan Agung merupakan suami-istri. Mereka ditahan di Mapolsek Tayan Hulu, Sosok, Sanggau, 14 hingga 17 Mei 2010.

Kejadian berawal pada 14 Mei. Ketika itu Linda berembuk dengan suaminya untuk membayar uang SPP anak mereka. Sudah setahun ini anak mereka menunggak uang SPP. Mereka juga harus membayar uang seragam sekolah Rp 480 ribu.

Saat itu datang Norweti. Ia mengajak Linda mencari buah sawit di kebun milik PTPN XIII. Agung melarang istrinya ikut. “Perbuatan itu bisa dianggap mencuri,” kata Agung. Agung berangkat ke kebun miliknya sambil memberikan uang Rp 15 ribu untuk biaya mencicil uang SPP anak mereka.

Sawit Busuk
Linda dan Norweti berangkat menuju kebun milik PTPN XIII. Selama dua jam, dari pukul 14.00 hingga 16.00, keduanya mengumpulkan sekitar 60 kilogram sawit. “Kami mengambil buah yang jatuh dari pohon dan tak diangkut. Kami kumpulkan dan masukkan karung,” kata Linda.

Buah sawit itu sudah busuk. Buah yang sudah jatuh diperkirakan tidak dipakai PTPN XIII lagi. “Saya yakin ini tidak dibawa dan tidak dibutuhkan perusahaan,” kata Norweti.

Karena tak sanggup membawa sendiri, Linda memberi tahu Agung melalui SMS. Dia meminta suaminya datang untuk membawa dua karung berisi sawit. “Saya baru saja operasi sesar. Jadi, tak sanggup bawa karung itu,” kata Linda.

Agung datang mengendarai sepeda motor dan mengangkut dua karung sawit tersebut di bagian depan motor. Di perjalanan, ia bertemu Razak, satpam PTPN XIII, Segianto, polisi Tayan Hulu, dan Asman, anggota TNI. Ketiga orang itu baru saja menonton pertandingan sepak bola di Sanjan Emberas.

Razak curiga melihat karung di sepeda motor Agung. Ia minta Agung ke kantor satpam PTPN XIII. Setelah diperiksa dan kedapatan membawa sawit, Agung dibawa ke Polsek Tayan Hulu. Dari pemeriksaan, Agung mengakui membawa dua karung berisi buah sawit tersebut. Polisi mengenakan Pasal 363 dan 362 KUHP, pencurian yang dilakukan secara bersama. Ancaman hukumannya selama-lamanya 7 tahun penjara.

Agung menyatakan hanya membawa sawit itu. Kemudian polisi memanggil Linda dan Norweti. Polisi menahan Agung. Linda dan Norweti diperbolehkan pulang. Keduanya diminta membuat surat pernyataan tak melakukan perbuatan itu lagi. Namun, karena khawatir dengan kondisi suaminya, Linda minta ditahan juga.

Linda meminta Norweti membawakan pakaian dan kedua anaknya. Sebab, dia tak membawa pakaian, dan anaknya tak ada yang menjaga. “Anak di rumah tak ada yang mengasuh. Jadi, dibawa ke kantor polisi juga,” kata Linda.

Polisi menahan Agung di sel tahanan. Linda dan dua anaknya di ruangan Polsek Tayan Hulu. Di kantor polisi, mereka tidur beralas tikar. Hari pertama, kondisi kedua anak itu baik saja. Hari kedua, anak-anak mulai rewel dan menangis. Hari ketiga, dua anak itu mulai sakit. Akhirnya, polisi memberikan penangguhan penahanan.

Jalur Hukum
Mereka dibebaskan dengan syarat wajib lapor setiap Senin. Pihak PTPN XIII bersikukuh melanjutkan kasus ini ke pengadilan. Berkas sudah dikirim ke kejaksaan.

Anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) Daerah Pemilihan (Dapil) Kalimantan Barat, Erma Suryani Ranik mengatakan, seharusnya kasus ini dihentikan. Sebab, dampak dari kasus tersebut tidak hanya terhadap orangtua, tetapi juga terhadap anak-anaknya. “Anak akan mengalami trauma. Banyak efek timbul dengan kasus tersebut. Terutama pada psikologi anak.”

Erma meminta kasus ini dihentikan dan selesai secara kekeluargaan. Erma secara resmi akan mengirim surat kepada Kementerian BUMN agar Direksi PTPN XIII diganti. “Sebab, mereka telah melakukan tindakan sewenang-wenang,” katanya. Erma bersama anggota DPD lainnya berjanji mengawal kasus ini.

Hairiah, anggota DPD dari Kalimantan Barat, menyatakan penyesalan atas sikap Direksi PTPN XIII. Menurut dia, apa yang dilakukan warga merupakan bentuk dari tidak terpenuhinya kebutuhan mendasar warga. “Seharunya PTPN mengembangkan CSR bagi warga yang berada di sekitarnya,” kata Hairiah. Corporate Social Responsibility merupakan bentuk dari tanggung jawab sosial perusahaan terhadap warga di sekitarnya.

SD Hasugian, Manager Kebun Inti, Kembayan, Sanggau, menyatakan selama ini sudah sering terjadi pencurian buah sawit. “Sudah terlalu banyak yang diselesaikan secara kekeluargaan.”

Menurut Hasugian, sebagai pegawai BUMN yang diberi mandat pemerintah, dia harus melakukan penanganan. Kalau dia memberikan toleransi terhadap pencurian, orang yang sudah pernah dipenjara atau sedang menjalani proses pemeriksaan, akan protes. “Ini efek domino yang akan terjadi. Orang akan mempertanyakan hal itu.”

Hasugian memberikan data, pada tahun 2008 ada sekitar 1.000 ton buah tandan segar (BTS) hilang. Jumlah itu nilainya setara dengan Rp 1,2 miliar. Pada 2009 buah sawit yang hilang berkurang menjadi ratusan ton saja. Pada 2010, dari Januari hingga Agustus, ada sekitar 16 kasus pencurian. “Jumlah yang dicuri biasanya lebih besar, karena tidak ketahuan,” katanya.

Hasugian mengatakan, manajemen PTPN XIII terpaksa menempuh jalur hukum karena ingin memberikan edukasi atau pendidikan kepada warga. Sebab, selama ini yang sudah dilakukan, setiap ada masalah selalu dilakukan penyelesaian secara adat. “Ketika hukum adat sudah dilakukan, dan mereka melakukan lagi, cara hukum positif yang kita lakukan.”

Selaku badan usaha milik negara (BUMN) yang menangani 4.300 hektare kebun inti dan 5.000 hektare kebun plasma, Hasugian mempunyai kewajiban meningkatkan hasil kebun. Salah satu cara yang dilakukan adalah mengurangi pencurian sawit dan memangkas tengkulak sawit hasil warga.

Pembelaan
Erma Suryani Ranik mengatakan, bila PTPN XIII ingin menjadikan hal itu sebagai bentuk pembelajaran, sangat mengkhawatirkan. “Sangat tidak masuk akal, untuk membuat efek jera dengan uang Rp 60 ribu,” katanya.

Erma akan menyiapkan tujuh pengacara untuk melakukan pembelaan. Salah satu pengacara, Marselina, menyatakan dalam penanganan kasus hukum ada aspek keadilan. Tidak hanya menegakkan hukum. “Biaya yang akan dikeluarkan untuk sidang tidak sebanding dengan harga sawit yang diambil,” katanya.

P Girsang, General Manager Distrik Kalimantan Barat II, mengaku prihatin atas apa yang terjadi. Menurut dia, PTPN XIII sudah melakukan berbagai pemberdayaan pada masyarakat yang hidup dan tinggal di sekitar kebun. Warga diberi berbagai pekerjaan semisal memberi pupuk dan memelihara tanaman . “Intinya, kalau warga mau bekerja, tidak akan kelaparan,” katanya.

Repotnya, warga di sekitar kebun PTPN XIII tidak mau bekerja sebagai petani kebun. “Setiap hari kami malah mendatangkan puluhan truk pekerja dari luar daerah. Sebab, warga di sini sudah tak mau bekerja seperti itu lagi,” kata Girsang.

Pencurian yang terjadi biasanya dilakukan orang yang sudah tidak mempunyai kebun plasma. Dan, brondolan yang jatuh dari pohon merupakan sawit paling bermutu. Sebab, kandungan minyaknya mencapai 40 persen. Buah tandan segar hanya memiliki kandungan minyak 20 persen hingga 22 persen.

PTPN XIII sudah menggelontorkan dana Corporate Social Responsibility Rp 32 miliar untuk memberdayakan warga. Dana itu diberikan selama tahun 1998 - 2010 untuk semua daerah di Kalimantan.

Humas PTPN XIII, Subardi, menyatakan kewajiban PTPN XIII sebatas melaporkan kepada yang berwajib, sekecil apa pun permasalahan yang menyangkut kasus hukum. Masalah pencurian brondolan kelapa sawit sudah di ranah hukum. Dia meminta semua menyerahkan penanganan kasus ini kepada aparat hukum. “Mari kita belajar menghargai hak-hak orang lain. Jangan hanya menonjolkan hak sendiri,” kata Subardi.

Sebab, hidup memang seperti itu. Katanya. (*)
Dimuat di Voice of Human Right (VHR)

Baca Selengkapnya...