Wednesday, December 28, 2005

PLN....OH......PLN

Oleh: Muhlis Suhaeri

Listrik sebagai salah satu energi, memegang peranan penting dalam kehidupan manusia. Apa kehidupan manusia yang tak terkait olehnya?

Mau masak, orang tinggal memencet rice cooker. Dan jadilah nasi. Mau mencuci, tinggal memasukkan pakaian ke mesin cuci. Ingin menyaksikan perkembangan dunia, tinggal menonton layar televisi. Secara garis besar, segala peralatan dan kebutuhan manusia, tidak bisa dipisahkan dengan energi listrik. Hal itu tidak dapat dibantah lagi.


Menurut Michael Parfit, Energi Masa depan, NGI, dalam sehari konsumsi energi dunia mencapai 320 miliar kilowatt-jam (kWh). Para ilmuwan memperkirakan, dalam abad mendatang, jumlah konsumsi dunia itu meningkat tiga kali lipat—960 miliar kWh. Pasalnya, dengan bertambahnya jumlah manusia, kebutuhan akan energi juga semakin besar. Dan kemampuan manusia untuk mendapatkan energi ada batasnya.

Untuk menghasilkan energi listrik, manusia memanfaatkan bahan tambang dan minyak bumi. Maka muncullah pembangkit listrik yang digerakkan bahan bakar solar, batu bara dan gas bumi. Karena bahan tambang dan minyak bumi ada batasnya, manusia mencari alternatif lain.

Lalu, muncullah teknologi listrik yang menggunakan energi alam seperti air, angin, dan tenaga panas surya. Di beberapa negara seperti Denmark dan Jerman, energi angin dan panas surya, menjadi tenaga alternatif yang sangat menguntungkan. Indonesia belum banyak menerapkan teknologi ini. Mungkin, karena teknologinya yang belum berkembang di sini. Atau, masih mahal dari segi ongkos produksinya.

Maka, jadilah kita sebagai bangsa, yang selalu tergantung pada cadangan bahan bakar minyak bumi. Padahal, dalam beberapa puluh tahun ke depan, diperkirakan cadangan minyak bumi dunia akan segera habis. Kondisi makin parah dengan terjadinya krisis multi-dimensi, yang dialami Indonesia sejak 1997. Krisis ekonomi berakibat pada beban puncak yang dialami negara dalam hal penyediaan energi listrik, dalam hal ini Perusahaan Listrik Negara (PLN), sebagai salah satu penyelenggara dan pemasok listrik.

Repotnya lagi, sebagian besar instalasi penghasil listrik di Indoensia, masih bersumber pada bahan baku minyak bumi. Padahal, minyak bumi merupakan bagian terbesar dari komponen HPP (Harga Pokok Penyediaan) listrik, sebesar 45%. HPP lainnya adalah pemeliharaan mesin, gaji pegawai, administrasi, biaya penyusutan dan lainnya.

Naiknya harga minyak mentah dunia, membuat pasokan bahan bakar juga tersendat. Tak heran jika kesulitan penyediaan bahan bakar yang dialami Indonesia sekarang ini, berimbas pada penyediaan energi listrik yang dihasilkan. Kuota pasokan bahan bakar untuk pembangkit PLN pun dijatah.

Penjatahan ini tentu saja terkait dengan masalah subsidi dari pemerintah dan APBN. Contohnya, PLN di Pontianak. Menurut Ir. Adang Sudrajat, Kepala PLN Cabang Pontianak, supaya listrik bisa menyala selama satu tahun, membutuhkan BBM sekitar Rp 190.138.986 liter. Kenyataannya, dalam kontrak pengadaan BBM, PLN Pontianak cuma mendapat Rp 175.908.000 liter.

Supaya kota Pontianak dapat menikmati listrik selama satu tahun penuh, maka PLN Pontianak mengadakan pemadaman bergilir. Hal itu terpaksa ditempuh, supaya Pontianak tidak padam total pada akhir tahun. Kebijakan itu tentu saja membuat berbagai pihak menjadi berang dan marah. Bagaimana tidak, segala kegiatan kantor, perdagangan, perekonomian, kesehatan dan aktifitas lainnya, jadi terganggu dengan matinya listrik. Berapa kerugian yang harus ditanggung konsumen dalam hal ini?

Apa yang dilontarkan konsumen memang benar adanya. Tapi, konsumen juga patut melihat, dalam menyediakan pasokan energi, PLN mengalami berbagai masalah. Kendala dan permasalahan itulah, yang mesti dilihat dan harus ditangani secara bersama. Betapa tidak, permasalahan itu juga terkait dengan prilaku masyarakat. Misalnya, masyarakat sering menunggak iuran PLN.

Faktanya, konsumen listrik di Pontianak yang berjumlah 150.000 pelanggan --rumah tangga 60%--, merupakan daerah yang tinggi tunggakan listriknya. Padahal, untuk memproduksi listrik saja, PLN Pontianak masih nombok alias merugi. Bayangkan, untuk 1 kilowatt-jam (kWh), PLN mengeluarkan biaya Rp 1.135/kWh. Sementara itu, PLN menjual pada masyarakat sebesar Rp 600/kWh. Berapa kerugian yang diderita PLN perkilowattnya? Berapa kerugian perhari, sampai setahunnya? Hasilnya cukup lumayan.

Pada tahun 2004, PLN menjual listrik sebesar 533 juta kWh. Artinya, pada tahun 2004, PLN merugi sekitar Rp 285 miliar. Untuk tahun 2005, dengan harga jual Rp 615/kWh, dan perkiraan menjual listrik sebesar 551 juta kWh, PLN akan merugi sekitar 382 milyar. Dengan naiknya BBM mulai Oktober 2005, biaya produksi mencapai Rp 2600 per-kVh. Yang dibayar masyarakat sekitar Rp 600/kVh. Kalau listrik rumah tangga malah dibawah Rp 500/kVh. Untunglah, kalau memang bisa dibilang untung, PLN Pontianak masih disubsidi pemerintah pusat.

Hal lain yang tak kalah berbahayanya bagi kelangsungan PLN Pontianak, tradisi masyarakat di Kalimantan Barat, khususnya Pontianak. Mereka bermain layang-layang dengan mengikatkan kawat di ujung benang. Pemasangan kawat bertujuan, ketika bertarung dengan layangan lain, mereka akan menang. Namun, hal berbahaya seketika muncul, ketika layangan itu putus, atau mengenai jaringan kawat dan instalasi PLN. Instalasi PLN ada yang terlindung dengan isolasi dan ada yang tak terlindung. Meski kabel PLN terlindung dengan isolasi, induksi yang terjadi akan merusak isolasi dan memutuskan jaringan.

Biaya menyambung jaringan kabel yang rusak cukup lumayan. PLN harus menyambung jaringan dengan joint sleeve. Sekali pemasangan joint sleeve beserta ongkos perbaikan sekitar Rp 250 ribu. Padahal, putusnya jaringan listrik di Pontianak mencapai ratusan kasus perbulannya. Data terputusnya jaringan listrik karena layang-layang pada 2004, sebagai berikut; pada Januari ada 371 kasus, Februari 299, Maret 393, April 531, Mei 501. Pada tahun 2005, Januari 299, Februari 393.

Data ini memang tidak lengkap selama setahun. Tapi, cukup lumayan untuk menggambarkan kasus yang terjadi. Dan berapa besar biaya yang harus dikeluarkan PLN Pontianak, untuk memperbaiki jaringannya. Angka itu hanya untuk perbaikan jaringan yang putus. Kalau mengenai travo, dan menyebabkannya meledak, harga satu travo puluhan hingga ratusan juta. Satu contoh saja, travo 100 kVa, harganya Rp 100 juta.

Untuk menanggulangi masalah layang-layang, PLN Pontianak bekerja sama dengan pemerintah Kota Pontianak. Melalui Surat Keputusan (SK) Wali Kota, keluarlah Peraturan Daerah (Perda) nomor 3 tahun 2004, tentang Ketertiban Umum. Pada pasal 22, terdapat larangan bermain layang-layang di sembarang tempat. Hukuman bagi yang melanggar adalah kurungan penjara 6 bulan, atau denda sebesar Rp 6 juta. Nyatanya, Perda ini tidak cukup efektif dan membuat jera. Buktinya? Angka kerusakan jaringan listrik di PLN Pontianak masih tinggi, kan?

Lalu, bagaimana bila tidak ada musim layang-layang seperti sekarang ini. Toh, tetap ada pemadaman listrik bergilir. Kabar terbaru menyebutkan, empat pembangkit PLTD mengalami kerusakan. Tiga pembangkit di Siantan dan satu di Sungai Raya. Hal itu membuat daya mampu PLN turunnya cukup jauh. Kalau normal kemampuannya 126 kWh, sekarang ini hanya 94 kWh.

Makanya, sekarang ini kalau malam ada pemadaman sekitar 15 mega, dan kalau siang hingga 30 mega. Untuk memperbaiki mesin pembangkit telah didatangkan ahlinya. Mesin rusak karena ada yang patah kipasnya, maka harus diganti. Yang agak berat adalah mesin kepuntir karena seringnya mesin mendapat gangguan dari luar. Mesin yang RPM-nya besar tiba-tiba berhenti, sehingga mesin menjadi kepuntir.

Dengan matinya listrik membuat usaha dan bisnis menjadi terganggu. Banyak orang yang dirugikan. Bagaimana reaksi PLN, bila ada masyarakat yang merasa dirugikan dan melakukan class action? ”Tak masalah. Tapi, masyarakat harus tahu, bahwa mesin rusak tidak kita rencanakan. Kedua, mesin rusak penyebabnya dari luar,” kata Adang Sudrajat, kepala PLN Pontianak.

Mengenai kemungkinan digantinya mesin pembangkit, Adang merasa senang sekali bila Pemda Kota Pontianak bisa membantu melakukan itu. Namun, sewaktu PLN minta saran mengenai subsidi untuk BBM di PLN, sebesar 60 milyar, Pemda tidak sanggup. Apalagi untuk peremajaan mesin yang harga satu mesinnya dapat mencapai ratusan milyar.

Sisi Lain Sering Matinya Listrik
Anton, 31 tahun, seorang pengelola dan pemilik sebuah warnet. Dengan sering matinya listrik di Pontianak, tentu berimbas pada warnet yang dia kelola. Setiap mati lampu, dia harus menyalakan genset yang ada di rukonya. Genset itu lumayan besar menghasilkan pasokan listriknya. Untuk menyalakan genset, dia harus mengengkolnya. Butuh tenaga lumayan untuk melakukannya.

Karenanya, dia harus selalu siap, bila sewaktu-waktu listrik mati. Akibatnya, Anton tidak bisa kemana-mana. Perlu sekitar 5 menit lebih untuk mengganti sistem listrik ke sistem diesel. Bagaimana dengan komputer yang ada di warnetnya? Tidakkah, dengan sering matinya listrik, berakibat pada hard disk komputer?

Dia menggunakan sistem UPS, untuk mengantisipasi bila mati lampu. UPS semacam alat yang akan bisa menyimpan data, dan membuat komputer tetap menyala untuk beberapa lama, meski sedang mati listrik. Bila tidak, tentu puluhan hard disk komputer yang ada di warnetnya, akan cepat jebol. Dalam sehari, jaringan listrik di warnetnya bisa mati lampu sekitar 4-5 kali. Bayangkan, betapa repotnya bila harus selalu mengengkol genset dan menyalakannya. Yang lebih memprihatinkan adalah, matinya listrik terkadang berlangsung hingga sore hari. Karenanya, dia harus mengeluarkan biaya lumayan besar untuk membeli solar bagi gensetnya.

Ketika dia memberikan keluhan dan menelpon ke PLN, jawaban yang didapat selalu sama. Lama-lama, dia tak pernah melakukan keluhan lagi pada PLN. Apakah PLN pernah memberikan suatu pernyataan dan penjelasan tentang hak-hak seorang pelanggan?
“Yang kita tahu, setiap bulan kita harus membayar iuran. Lain tidak,” jawab alumni mahasiswa ekonomi Tri Sakti, Jakarta, ini. Dalam sebulan, Anton membayar listrik hingga satu jutaan.


Dengan sering matinya lsitrik, membawa dampak lain bagi bisnis penjualan mesin genset. Hal itu dibenarkan Akim, salah seorang pelaku bisnis di Kapuas Besar, Pontianak. Menurut Akim, genset yang paling laku adalah genset yang sanggup menghasilkan daya 1000-1100 watt. “Pembelinya yang paling banyak adalah pengguna rumah tangga. Orang yang tidak puas dengan pelayanan PLN, tentu akan membeli genset untuk penerangan,” kata Akim.

Kekuatan sebuah genset ditandai dengan satuan HP (Horse Power). Artinya, satu HP setara dengan seekor tenaga kuda. Kekuatan genset mulai dari 2-30 HP. Untuk satu rumah saja, Anda bisa menggunakan genset berkekuatan 2 HP. Untuk toko, genset berkekuatan 6,5 HP, sudah cukup untuk menerangi toko Anda. Harga sebuah genset memang tergantung mereknya. Pasaran untuk 1000 watt, berkisar Rp 400 ribu. Untuk 1100 watt, harga seputar Rp 600 ribu.

Genset yang baik kualitasnya, bisa dilihat dari beberapa hal. Misalnya, tarikan suara dan kehalusan suara mesin yang terdengar. Mesin yang baik, halus suaranya. Getarannya juga halus. Sementara ini, merek terkenal seperti Yamaha, Honda dan Yanmar, masih mendominasi penjualan genset. Banyak juga merk lain dari China masuk, seperti Tian Li.

Daya tahan genset paling banter sekitar 3-4 tahun. Toko tidak memberikan sebuah garansi bagi merek yang mereka jual. Garansi biasanya langsung diberikan oleh pabrik. Konsumsi bahan bakar genset, adalah solar bercampur oli. Bila genset kekurangan oli, tentu akan membuat mesin menjadi panas. Campuran yang bagus antara solar dan oli, 1 liter solar harus dicampur dengan 10 mili oli. Lama penyalaan genset ini biasanya 6 jam. Untuk genset yang menghasilkan tenaga lebih dari 1000 watt, biasanya ada pasokan oli tersendiri dalam sebuah kotak. Genset ini sanggup menyala nonstop selama 12 jam.

Nah, bila Anda merasa kurang puas dengan pelayanan PLN, minimal ada dua cara yang bisa dilakukan. Datang ke PLN melaporkan keluhan yang ada, atau datang ke toko genset.

Silahkan memilih...........***

Foto by Lukas B. Wijanarko, "Saksi Bisu."
Edisi Cetak, minggu keempat Desember 2005, Matra Bisnis

Baca Selengkapnya...

Friday, December 16, 2005

Ikan Kok Makan Ikan

Oleh: Muhlis Suhaeri


Anda tentu tahu bunyi sebuah iklan, yang dimainkan bintang cilik, Joshua. Jeruk kok minum jeruk? Iklan itu seolah menjadi ikon. Bilan seseorang menyimpang dan merugikan temannya, akan disindir dengan bunyi iklan itu. Namun, tahukah Anda, ikan memangsa ikan? Nah, jawabnya ada di tulisan ini.


Ikan itu bentuknya lonjong dengan beberapa strip dan tanda pada tubuhnya. Ukurannya lumayan besar. Ikan ini merupakan jenis ikan air tawar, dan hidup di sepanjang aliran sungai Kapuas. Namanya, ikan toman (Channa micropeltes).


Ikan toman sejenis dengan ikan gabus. Coraknya hampir sama. Bila corak ikan gabus ada warna hitam dan putih, corak ikan toman ada warna kemerahan pada tubuhnya. Jenis ikan ini kanibal, karena memangsa ikan lainnya. Terkadang, ikan ini juga memangsa anaknya sendiri.

Cara hidup ikan ini bergerombol. Jika sudah bergerombol, jumlahnya dapat mencapai ratusan ekor. Toman berenang dalam satu rombongan besar. Dalam satu kelompok, ada dua induk menjadi pemandu bagi rombongan. Toman biasanya berenang ke arah hulu sungai.

Nah, pada saat bergerombol itulah, orang akan menangkap ikan ini dengan menebar jala. Setelah tertangkap, ikan ukuran besar dan kecil akan dipisahkan. Orang akan menempatkan ikan di keramba sesuai dengan ukurannya. Bila tidak, ikan besar bakal memangsa kecil.

Cara berkembangbiak ikan toman dengan bertelur. Sekali bertelur, jumlahnya mencapai ratusan ekor. Toman termasuk jenis ikan permukaan. Artinya, ikan selalu berenang di atas permukaan air. Karenanya, ikan akan lebih mudah hidup, ketika ada air mengalir.

Habitat air tawar merupakan lahan ideal bagi jenis ikan toman. Tak heran jika di sepanjang sungai Kapuas, orang akan membuat keramba bagi pengembangan ikan ini. Dengan luas keramba lima meter persegi, jumlah ikan di dalamnya bisa mencapai ratusan hingga ribuan ekor. Yang pasti ikan ini harus terus begerak, supaya cepat besar.

Untuk membuat satu keramba, butuh dana sekitar Rp 1,5 juta. Keramba itu terbuat dari kayu, drum, dan lainnya. Ukurannya beragam. Ada keramba berukuran panjang 4, lebar 2, dan tinggi 2 meter. Pada keramba, orang memasang batang penyangga. Drum berfungsi membuat keramba tetap terapung. Minimal ada dua drum. Satu drum harganya Rp 150 ribu.

Uniknya keramba ini, bila air pasang, keramba akan ditarik ke pinggir sungai. Bila air sungai surut, keramba akan dibawa ke tengah sungai. Keramba diikat dengan tali agar tidak hanyut terbawa arus.

Makanan ikan toman biasanya ikan-ikan kecil. Seperti, bilis, nuayang, bauk, dan lainnya. Penduduk memperoleh ikan kecil ketika menebar jala. Ikan kecil dianggap tidak ada nilai ekonomisnya. Makanya, dibuat makanan ikan toman. Harga ikan kecil perkilo, Rp 200-500 rupiah. Butuh waktu sekitar setahun, membuat ikan tumbuh dewasa. Ikan dewasa dapat mencapai ukuran 30 cm, dan mencapai 1-2 kg.

“Ikan toman dari kecil hingga dewasa, butuh pakan ikan kecil sekitar 80 kg, satu ekornya. Saya pernah memelihara ikan toman,” kata Ade Abdul Azis. Tak heran jika pertumbuhan ikan kecil, jadi tersedot untuk makanan ikan toman.

Hemmm. Satu ekor ikan dengan berat 1-2 kg, butuh pakan ikan sebesar 80 kg?
Selain menggangu pertumbuhan ikan, bukankah ini sebuah kerugian? Lalu, mengapa masyarakat masih memelihara ikan toman di keramba?

“Masyarakat tidak punya pilihan lain, sehingga tetap memelihara ikan toman,” jawab Azis.

Menurut Azis, dari segi pemeliharaan, ikan toman kerjanya cukup praktis. Ikan toman termasuk jenis ikan tahan terhadap berbagai jenis hama. Kalau sudah berumur 3 bulan, ikan tahan terhadap berbagai jenis penyakit. Kebal terhadap musim pasang atau kemarau.

Pemasaran ikan toman masih di sekitar Kalbar. Harga ikan perkilo sekitar Rp 10-12 ribu. Toman harganya relatif rendah, sehingga masyarakat bisa mengkonsumsinya. Menurut Aspanwani, seorang nelayan di danau Sentarum, kalau ikan toman diasinkan dan kepalanya dibuang, harganya bisa mencapai Rp 15 ribu.

Melihat permasalahan ini, bagaimana upaya pemerintah untuk mengatasinya?

“Toman merupakan budaya masyarakat Kalbar. Namanya budaya, tentu tidak bisa langsung dibabat begitu saja,” kata Ir. Anang Ikhsan Nafiri, dari Dinas Kelautan dan Perikanan, Bidang Perikanan Budidaya di Pontianak.

Nah, ada beberapa cara untuk mengatasinya. Pertama, masyarakat harus diberi alternatif memelihara ikan lain. Seperti pemijahan ikan jelawat, patin, semah dan lainnya. Ikan-ikan itu mempunyai nilai ekonomis cukup tinggi. Bahkan, hanya Kalbar yang sanggup memijahkan ikan jelawat.

Tak heran, jika banyak orang dari seluruh Indonesia, belajar ke Kalbar. Mengenai pemijahan ikan semah, belum dikuasai teknologinya. Ikan patin kurang laku di Pontianak, sehingga tidak dibudidayakan. Tapi, di daerah lain cukup diminati. Kedua, masyarakat dipersilahkan memelihara ikan toman, tapi pakannya harus diganti. Misalnya, dengan ulat pelepah dan batang kelapa sawit.

Teknologi deseminasi ulat sudah bisa dilakukan. Namun, masalah pokok dan menjadi kekhawatiran adalah, kalau ulat itu dikembangkan, nanti malah tidak bisa dikendalikan pertumbuhannya. Seperti terjadi pada keong mas. Keong mas bagus untuk perikanan. Tapi, kalau tidak terkendali pertumbuhannya, akan menganggu pertanian. Perkembangannya cukup cepat.

Pada dasarnya, kalau orang masih mempertahankan suatu komoditas, tentu komoditas itu masih mempunyai nilai ekonomis bagi masyarakat. Kalau pun nilai ekonomis itu dianggap dapat menganggu suatu ekosistem lebih besar, tentu saja harus ada sosialisasi di masyarakat. Lalu, mencari cara bersama terhadap permasalahan itu, dan bagaimana memecahkannya.

“Makanya, saya meminta pada pemerintah, untuk turut campur atau intervensi dalam masalah ini. Agar jelas penanganannya,” kata Azis.***
Foto by Muhlis Suhaeri, "Keramba Ikan Toman di Nanga Suhaid."
Edisi Cetak, minggu kedua, Desember 2005, Matra Bisnis


Baca Selengkapnya...

Wednesday, December 14, 2005

Menangkar Ikan Silok

Oleh: Muhlis Suhaeri

Menurut para ahli, ikan arwana tergolong sebagai ikan purba. Hal itu ditunjukkan dengan ditemukannya beberapa fosil ikan arwana. Fosil itu diperkirakan berumur 10-60 juta tahun. Arwana ada di Brasil, Australia, Mesir, Indonesia, Malaysia, Afika, dan lainnya. Penyebaran arwana, diduga bersamaan dengan evolusi bumi.

Orang memberi banyak nama pada arwana. Ada yang memberi nama arowana, ikan naga, silok, kaleso, kalikasi, peyang, tengkuso, dan tangkaleso.

Menurut Apin, di daratan China, orang memberi nama jin lung yu. Nama itu mempunyai arti ikan naga emas. Karena sisiknya dianggap mirip sisik naga (liong). Tak itu saja, arwana juga dianggap sebagai ikan dengan kekuatan khusus, karena dapat memberi keberuntungan dan kekuatan magis bagi pemiliknya. Karenanya, baju perang para panglima perang dan kaisar China, bermotifkan sisik arwana.


Ikan arwana banyak jenisnya. Ada arwana super red, golden red, malaysian gold, silver, Irian, black brasil, african boytongued dan araipama gigas. Warna dan sisik arwana itulah, digunakan untuk memberi nama jenis arwana. Berbagai jenis arwana itu, panjang tubuhnya berfariasi antara 30-90 cm. Bahkan, arwana jenis araipama gigas, bila hidup di alam, bisa mencapai panjang 4-6 meter.

Jenis paling bagus dan digemari adalah arwana super red. Arwana ini memiliki sisik menyala dan agak kekuningan. Di daratan China dan Jepang, arwana super red dianggap sebagai lambang keperkasaan, karena warna sisiknya merah menyala. Jenis arwana ini banyak hidup di Kapuas Hulu, Kalbar. Sungainya masih bagus dan bersih airnya, sehingga ikan itu cocok hidup di sana.

Sampai sekarang pun, orang percaya bahwa arwana merupakan ikan pembawa keberuntungan, melancarkan rejeki, penolak bala, memberi pertanda dan peruntungan, dan lainnya. Begitulah, legenda yang melingkupinya.

Padahal, pada era 1980-an, arwana adalah ikan biasa dan dikonsumi karena dagingnya lezat. Seorang teman, A. Alexander Mering, pernah bercerita, ketika beranjak dewasa, dia sering mengkonsumsi ikan ini. Ikan itu didapat dari perairan air tawar dekat rumahnya di Kecamatan Ketungau Tengah, Sintang.

Ciri dari ikan arwana sangat spesifik. Mulut lebar dengan rahang cukup kokoh. Bentuknya pipih dengan deretan sisik pada sekujur tubuhnya. Ada sungut pada ujung mulut, berfungsi sebagai sensor dan meraba mangsa di air. Arwana juga jenis ikan peloncat. Di alam bebas, arwana sanggup meloncat untuk memangsa serangga di tanaman dekat tempatnya hidup. Arwana biasanya hidup di air berarus tenang atau rawa.

Kondisi alam seperti itu, membuat penampilan arwana tenang dan anggun. Namun, arwana juga bisa bersikap agresif, begitu ada mangsa di dekatnya. Kondisi lahan gambut memberi pengaruh baik, bagi perkembangan warna sisik ikan arwana.

Salah satu daerah paling bagus bagi perkembangan ikan arwana, ada di Kapuas Hulu. Dengan rawa gambut dan aliran tenang sungainya, cocok sekali bagi habitat ikan ini. Pada akhirnya, jenis ikan ini juga ditangkarkan. Di Nanga Suhaid, banyak terdapat tempat penangkaran.

Salah seorang pemilik penangkaran itu bernama H. Gusti Mustofa, 56 tahun. Dia menangkarkan arwana sejak tahun 1993. Hasilnya sangat menjanjikan. Pada tahun 2004, dengan panjang 10 cm, harganya mencapai Rp 4 juta perekor. Namun, pada tahun 2005, harga menurun karena sudah banyak orang memeliharanya. Dengan ukuran 10 cm, ikan itu “cuma” berharga Rp 3,5 juta.

Mustofa mulanya pedagang ikan hias. Pada tahun 1980-an, ikan arwana harganya mulai menjanjikan dan naik terus. Melihat orang di Pontianak sudah bisa membudidayakan arwana, dia mulai tertarik melakukannya. Modal awal memulai usaha ini, tergantung dari kondisinya. Mustofa memulai usaha dengan modal awal hingga Rp 300 juta. Dia menggunakan modal itu, untuk membeli benih ikan, menyediakan tanah dan lahan, membayar karyawan dan lainnya.

Orang mendapatkan bibit ikan dari alam. Dalam penangkaran, yang dijual bukan induknya, tapi anakannya. Usaha itu memberi dampak cukup bagus bagi masyarakat.
Sekarang ini orang bergandengan tangan membuat penangkaran. Mereka melepas puluhan ekor induk arwana di kolam alam. Hasil anaknya baru dibagi bersama.

Kalau dalam aquarium, modal awal sekitar Rp 3 juta. Modal itu untuk membeli arwana berukuran 10 cm. Dalam aquarium berukuran setengah kali dua meteran, jumlah arwana sekitar 6-10 ekor. Dalam setahun, arwana bisa mencapai ukuran 40 cm. Lalu, ikan dijual dengan harga Rp 9 juta. Ikan itu dibeli kembali oleh pengusaha untuk induk. Setelah arwana berumur 4-5 tahun, baru bisa beranak.

Merawat arwana perlu ketekunan. Bila arwana masih kecil dan hidup di aquarium, airnya harus diganti terus setiap hari. Selain bersih, ikan harus diberi makan dengan berbagai serangga dan anak ikan. Kalau sudah berukuran 30 cm, arwana bisa diberi makan anak kodok. Makanan itu didapat dari alam. Ada yang mensuplainya.

Di Nanga Suhaid, orang paling banyak memelihara arwana jenis super red. Kini, jenis arwana itu sulit ditemukan di alam. Mustofa membeli bibit dari sesama penangkar, dan mengembangkannya. Untuk menangkarkan arwana, perlu kondisi khusus. Kondisi itu harus mendekati kondisi habitat aslinya di alam. Kalau terlalu banyak hujan, tidak bagus buat arwana, karena suhunya menjadi dingin. Kondisi ini bisa membuat ikan gagal bertelur. Kalau terlalu banyak panas juga begitu. Yang paling bagus, kalau cuacanya sedang. Untuk membuat suhu dengan alam tidak bisa memang. Kecuali di aquarium ada pemanasnya (heater).

Kalau di kolam terbuka, harus dicari sumber air bersih. Air dibendung. Setelah itu, baru mengalirkan ke kolam. Cuaca akan menghangatkan air. Pemeliharaan arwana di alam, tidak bisa dipisahkan dengan tersedianya sumber mata air. Kualitas air di Nanga Suhaid cukup bagus. Keasamannya antara 5,5-7 pH. Dengan temperatur seperti itu, layak bagi kehidupan dan menetasnya ikan. Panen ikan paling bagus pada tahun 2003-2004. Ketika itu tidak terlalu panas dan tidak terlalu hujan.

Dengan panjang kolam 50 meter, lebar 15 meter, dan kedalaman 2 meter, jumlah ideal bagi penangkaran arwana, sebanyak 50 ekor induk. Dalam penangkaran, ikan ini akan mencari pasangannya. Setelah dapat, ikan akan terus beriringan dan berenang bersama. “Yang paling menarik ikan ini untuk ikan hias adalah, karena ikan ini setia. Berduaan terus,” kata Mustofa, ayah dengan 8 anak ini.

Mustofa mempekerjakan 9 orang. Mereka bertugas menjaga kolam, memberi makan, dan pemeliharaan. Cara memberi makan dalam sehari memang berfariasi. Bila telah dewasa, makanannya berasal dari kodok beku. Dalam sebulan, dia mendatangkan 200 kg kodok beku dari Pontianak. Kodok itu harganya Rp 9 ribu perkilonya. Supaya ikan warnanya bagus, harus diberi pakan alami, seperti lipan/lipas. Supaya warna merahnya semakin bagus. Pakan alami biasanya mengandung pigmen warna, juga berfungsi mengganti sel dan energi.

Pekerja paling banyak adalah menjaga ikan. Ikan bernilai ekonomi tinggi, tentu banyak orang mengincarnya. Namun, dia merasa bersyukur. Semenjak menangkarkan arwana, tidak pernah mendapatkan pencurian pada ikannya.

Dalam masalah pendapatan, ada faktor keberuntungan juga. Namanya juga ikan. Dalam setahun, biasanya panen dua kali. Pemasarannya ke Pontianak. Hanya perusahaan itu, punya ijin dalam masalah penangkaran.

Masalah permodalan masih menjadi kendala. Selama ini, belum ada bank memberikan kredit padanya. Dia pernah mengajukan kredit ke bank. Tapi, ijinnya susah dan banyak birokrasi. Berbagai macam syarat harus dilengkapi.

Bagi Mustofa, kendala utama di penangkaran adalah masalah perijinan. Dana untuk mengurus ijin, sebenarnya tidak seberapa. Tapi, kenyataan di lapangan, jumlahnya lumayan besar. Dia berharap, pemerintah mempermudah perijinan. Menurutnya, para penangkar sebenarnya mau, kalau dikenakan retribusi pajak untuk daerah. Masyarakat tidak terlalu pelit melakukan itu. Selama ini memang belum ada pajak atau apa. “Kalau bisa, dipermudahlah. Jangan sampai diganggu. Ini tentu saja akan menambah pendapatan daerah,” kata Mustofa.

Masalah perijinan memang menyangkut lintas sektoral. Perlu kerja sama semua pihak. “Dalam masalah perijinan, pemerintah kayaknya belum serius dalam memberikan ijin bagi pengusaha,” tutur Anang.

Arwana merupakan jenis ikan dilindungi. Karena arwana merupakan satwa langka, maka menjadi kewenangan balai Konservasi Sumber Daya Alam (KSDA). Dan ini juga menjadi wacana bagi orang perikanan. Sekarang yang menjadi masalah adalah, orang tidak boleh mengekspor hasil tangkapan dari alam langsung, biasa disebut F1. Namun, kenyataannya ikan arwana telah ditangkarkan, biasa disebut F2. Hasil penangkaran itulah yang dieksport. Sehingga F2 bukanlah satwa langka lagi. Tapi, merupakan hasil budidaya ikan. “Kalau F2 sudah bisa diekspor, karena dianggap sudah merupakan hasil perikanan, maka kita akan membuatkan aturannya,” kata Anang.

Namanya hasil budidaya, tentu sama dengan hasil budidaya ikan lainnya. Dan karena F2 adalah merupakan hasil budidaya, artinya tidak menguras dari perairan. Lebih bagus lagi, bila memperdagangakan F2, dan sebagian lagi menangkarkannya. Hal itu tentu saja, lebih membantu dalam rangka perlindungan hewan langka.

“Ini masih kita bicarakan lintas sektoral lagi. Sehingga masalah perijinan juga masih menjadi kendala. Bukannya kita tidak memberi ijin, karena ini sifatnya lintas sektoral,” tutur Anang.

Ya, begitulah kendala dalam sektor ini. Padahal, bila hal ini dilakukan kordinasi dengan baik, tentunya arwana menjadi aset bagus bagi perekonomian Kalbar. Dan sanggup memberikan kontribusi bagi masyarakat dan pendapatan Pemda.***

Foto by Muhlis Suhaeri, "Penangkar Arwana di Nanga Suhaid."
Edisi Cetak, minggu kedua, Desember 2005, Matra Bisnis

Baca Selengkapnya...

Pasar, Yang Hilang dan Tercerabut

Oleh: Muhlis Suhaeri

Jarum jam seolah tak berputar di sini. Semua terasa lenggang. Sepi. Bagai tak ada kehidupan. Itulah gambaran dasar kondisi pasar dan perekonomian di Lanjak, Kecamatan Batang Lupar, Kabupaten Kapuas Hulu.

Kondisi itu tak serta merta terjadi. Tentu ada sebab musababnya. Salah satu penyebabnya, tidak ada lagi kegiatan kayu di sana. Pemerintah melarang semua bentuk pengiriman kayu. Dengan adanya peraturan itu, berimbas pada semua segi kehidupan masyarakatnya. Tak heran jika gelondongan kayu berserakan di jalan dan perairan dekat danau Sentarum. Kayu itu telah terlanjur ditebang, namun tidak bisa dijual. Sehingga mangkir dan teronggok di sana.


Tak adanya aktifitas kayu, membuat berbagai sektor ekonomi terkena imbas. Salah satu contoh, seorang pemilik warung bakso di Lanjak. Warung baksonya cukup sederhana, tapi terlihat bersih dan rapi. Wati, 24 tahun, mengemukakan, “Sebelum kayu dilarang, saya bisa dapat uang Rp 400 ribu. Sekarang, Rp 100 ribu sehari saja, susah sekali.”

Ketika kegiatan kayu masih aktif, pembeli sudah menggedor warungnya pada pukul 4 pagi. Langganannya para pekerja kayu. Mereka butuh sarapan. Atau, sekedar menyrutup kopi sebelum beranjak kerja. Ketika itu, kegiatan di pagi buta sudah menjadi suatu hal biasa di sana. Orang berlalu lalang dengan ritme kerja dan aktifitasnya. Denyut dan aktifitas ekonomi begitu terasa. Wati kewalahan melayani dan menyediakan berbagai kebutuhan pekerja.

Kini, warungnya baru buka pukul 9 pagi. Sesiang itu, dia belum membuatkan kopi atau makanan bagi siapa pun. Tak heran jika sedari tadi, dia mondar-mandir membersihkan meja atau mengelap gelas di kedainya. “Banyak pekerja sudah pulang ke tempat asalnya,” kata Wati.

Lain halnya dengan H. Heri. Pemilik warung kelontong itu lebih parah kondisinya. Hilangnya aktifitas perkayuan, tak hanya membuat warungnya sepi. Tapi juga berimbas pada tunggakan bos pekerja dan belum terbayar. Bos pekerja merupakan orang mengkordinir para pekerja. Dan orang inilah yang mencari segala kebutuhan bagi pekerja.

Dia kerja sama dengan sebuah toko kebutuhan pokok. Segala kebutuhan dibeli untuk persediaan selama beberapa hari. Kebiasaan di sana, para bos pekerja biasanya menghutang dulu. Setelah dapat uang, segala hutang itu bakalan dilunasi. Sudah ada kesepakatan dan saling percaya pada keduanya. Namun, banyak juga pekerja membeli secara kontan. Cash and carry. Ada uang ada barang.

Biasanya pekerja membeli berbagai kebutuhan seperti, sabun, shampo, mie instan, kecap dan berbagai kebutuhan lainnya. Pokoknya kebutuhan 9 kebutuhan pokok. Bila sebelum kayu dilarang, dia bisa mendapatkan uang Rp 1,5-2 juta sehari. Sekarang untuk mendapatkan uang Rp 500 ribu, susah. “Payah sekarang,” ujarnya, seolah mengeluh.

Segala barang dagangan yang terjajar dan terpampang di toko kelontongnya, kebanyakan produksi, Malaysia. Dia tak menampik hal itu. Bahkan, mobil double cabin yang banyak bersliweran di sana, juga pakai nomor mobil Malaysia. Apa mau dikata, mau mendatangkan barang dari Pontianak?

Dengan kondisi jalan hancur sedemikian rupa, tentu berimbas pada besarnya biaya angkutan. Beban itu tentu saja berimbas pada besarnya harga barang. Dan masyarakat pula yang menanggungnya. “Lagi-lagi, masyarakat terkena efek dari itu semua,” ungkapnya, seolah berdiplomasi.

Dia sadar, kegiatan kayu memang dilarang. Namun, karena tidak ada pilihan, orang mau tak mau melakukan itu. Bukankah, kebutuhan perut harus tetap terpenuhi, kalau tidak ingin tergolek dan terkapar kelaparan? Peribahasa Inggris bilang; stomach doesn’t wait.

Hal senada diungkapkan pengusaha angkutan sungai dan danau, Agus. Matinya aktifitas kayu, sangat berimbas pada jumlah penumpang angkutan penyeberangan. Penumpang turun hingga 50 persen, katanya.

Sektor penginapan terkena imbas pula. Banyak dari losmen dan penginapan di sana tak terisi tamu. Para pekerja umumnya transit dulu di sana, sebelum melanjutkan perjalanan ke daerah asal. Pekerja biasanya berasal dari Sambas, Jawa, dan Bugis, Bagaimana mau menginap, tak ada pekerjaan di sana.

Yang lebih beruntung adalah sektor perikanan. Beberapa orang membawa hasil perikanannya ke Lubuk Antu, Malaysia. Ikan Jelawat cukup baik harganya di Malaysia. Bila di Lanjak harganya Rp 30-50 ribu, sekali menyeberang ke negara tetangga, ikan itu bisa mencapai harga Rp 500 ribu perkilonya.

Pemerintah Malaysia malah memberi kemudahan mereka untuk masuk dan tinggal di sana selama sebulanan. Cuma, harus membayar uang sekitar 10 ringgit, sebagai uang visa. Tak perlu paspor dan segala tetek bengek lainnya.

Yah......Lagi-lagi, pemerintah kalah set dalam menfasilitasi warganya.***

Foto by Muhlis Suhaeri, "Menunggu Penumpang."
Edisi Cetak, minggu kedua, Desember 2005, Matra Bisnis

Baca Selengkapnya...

Menapak Jejak Menggapai Puncak

Oleh: Muhlis Suhaeri

Sosoknya sederhana. Dibalik keserderhanaan itu, tersimpan suatu karakter. Gigih dan tegar. Gigih mencapai tujuan. Tegar menghadapi masalah. Itulah gambaran seorang Wakil Gubernur Kalbar, LH. Kadir.

Seorang anak paruh baya berjalan kaki dengan beban. Langkahnya mengikuti deretan rombongan. Jumlahnya mencapai 50-60 orang. Setiap pundak, terkait pikulan berisi 50 kg berbagai macam bahan. Ada lada, karet, tembakau, kopi dan hasil bumi lainnya. Mereka menyusuri jalan kampung. Pada sebuah tempat, rombongan berhenti. Kepala rombongan mengutus seorang untuk melihat, apakah polisi masih terjaga? Bila polisi sudah tidur, rombongan kembali jalan mencapai tujuan.


Tak terasa, perjalanan telah mencapai hari keempat. Rombongan menurunkan dan menjual seluruh dagangan. Dan si anak tersenyum bangga. Kerja kerasnya membuahkan hasil. Dia mendapat hak sepenuhnya, atas penjualan 25 kg lada putih yang dia pikul. Lada putih 1 ringgit 50 sen perkati. Satu kati setara dengan 6,25 ons. Lumayan, bisa sebagai tambahan biaya sekolah.

Itulah gambar masa kecil LH Kadir. Ketika liburan kelas 4, 5, dan 6 SD. Dia selalu mengikuti pamannya ke Lubuk Antu, Engkelili dan Semanggang (sekarang bernama Sriaman), Serawak, Malaysia. Kalau libur sekolah, dia sering bolak balik ke sana. Mereka berjalan kaki dari Benua Martinus. Jarak Benua Martinus menuju Lubuk Antu sekitar 103 km. Pulang dari Malaysia, mereka membawa barang kebutuhan sehari-hari.

Pamannya bernama Abang Mungkan, seorang pedagang hasil bumi. LH Kadir hanya tahu, apa yang mereka lakukan itu disebut smokel. Dalam bahasa sekarang, kegiatan itu berarti penyelundupan. LH Kadir tidak tahu, kalau tindakan itu illegal. Namanya juga masih kecil. Polisi akan menangkap dan menyita barang, kalau memergoki rombongan. Karenanya, untuk menghindari polisi, mereka harus menunggu polisi tertidur. Setelah itu, barulah rombongan lewat.

Suatu ketika polisi belum tertidur, ketika rombongan hendak melintas. Terpaksalah mereka bersembunyi di hutan. Karena tidak tahu, LH Kadir tidur saja di sana. Mereka memintanya tidur di bagian tengah rombongan. Setelah melanjutkan perjalanan, dia diberitahu. Tempat yang baru saja ditiduri, adalah sebuah.......pendam, atau kuburan.


LAURENTIUS HERMAN Kadir terlahir dari pasangan Paulus Banda dan Maria Pikai. Darah suku Kantuk Melaban, mengalir dalam dirinya. Keluarganya petani kecil ladang berpindah. Dia lahir tanggal 28 Mei 1941, di Sungai Utik, Temeru, Kemacatan Embaloh Hulu, Kapuas Hulu. Kadir mempunyai dua saudara. Kakaknya bernama Silvester Lanik, dan adik bernama Florentius Karya.

Waktu itu masih setengah nomaden. Dia pernah tiga kali pindah kampung. Setelah tinggal di Sungai Utik, keluarganya pindah ke Sengkuang Kuning. Dia mulai sekolah di sana. Setelah itu, keluarganya pindah ke Keling Semulung.

Keluarganya termasuk orang sekolahan. Ayah dan semua lelaki keluarga besarnya bisa menulis. Di tempatnya tinggal, ada program pemberantasan buta huruf. Seorang guru keliling, datang ke berbagai kampung, mengajari orang menulis. Namun, semua bibi tak bisa menulis. Neneknya sedikit bisa menulis. Dia seorang tumenggung.

Kadir pertama kali sekolah umur 9 tahun. Dia terlambat sekolah. Ketika itu, syarat sekolah ada tiga. Pertama, harus bisa berenang. Kedua, sanggup mendayung sampan. Ketiga, dapat memasak sendiri. Jadi, ada syarat tersendiri. Biasanya, anak umur 9 tahun sudah sanggup melakukan ketiga syarat itu. Sekolahnya berjarak dua hari dengan mendayung sampan dari rumah. Terpaksalah, dia dan abangnya menginap di sekolah. Sekolah itu merupakan Sekolah Rakyat Negeri 3 tahun di Nanga Embaloh.

Kenapa 3 tahun? Karena lamanya sekolah 3 tahun.

SD Negeri 6 tahun hanya ada di Putussibau. Yang ketika itu masih kawedanan, dan termasuk Kabupaten Sintang. Kebetulan setelah lulus sekolah, ada misi Katolik membuka tiga SD 6 tahun. Sebuah SD subsidi. SD 6 tahun biasa juga disebut SD Sambungan. Karena awalnya mulai kelas 4, 5 dan 6. SD disediakan bagi siswa SD 3 tahun, yang ingin melanjutkan sekolah. Misi Katolik membuka sekolah SD 6 tahun di Benua Martinus, Bika, dan Sejiram.

Kadir sekolah di Benua Martinus. Sekolah itu jaraknya dua hari dari rumahnya. Selama tiga tahun, dia tinggal di rumah orang Tionghoa. Namanya Lo Then Loi. Dia membantu segala macam pekerjaan rumah. Pagi sekali dia bangun. Lalu, menyapu, mengepel, dan mencuci peralatan makan semalam. Setelah itu, berangkat sekolah dengan menyeberang pakai sampan. Pulang sekolah pukul 13.15. Selepas sekolah, ada pekerjaan menunggu. Kalau tidak membelah kayu, ya, mencari kayu bakar. Atau, mencari keladi hutan bagi makanan babi. Dia merebus keladi itu dan memotongnya. Masyarakat menyebut makanan ternak itu selimpat.

Selain itu, dia juga biasa menjala ikan, pasang bubu, pukat, jermal, menuba, serta memancing ikan piyayik. Ikan piyayik bentuknya seperti ular. Kulitnya biasa dibawa ke Malaysia. Menjerat biawak di hutan dan menangkap buaya di sungai atau rawa, juga menjadi bagian dari hidupnya. Pamannya membawa kulit biawak dan buaya ke Malaysia. Dengan paman inilah, dia sering berpetualang menangkap buaya.

Cara menangkap buaya ada dua. Dengan alir atau pancing dan menyuluh. Jenis pancing buaya bermacam ragam. Ada namanya kaungkana, penantan, sekang, dan rabai. Umpannya dari daging biawak atau ikan. Menyuluk buaya adalah menyenter buaya dan menangkapnya dengan tempelung, sejenis tombak dengan mata cabang. Supaya cepat binasa, buaya musti dipukul di bagian dapur (ubun-ubun). Buaya ada dua jenis. Buaya ikan dan rabin. Yang berbahaya adalah buaya rabin. Buaya ini ganas dan suka memangsa manusia. Jenisnya ada dua, merkatak dan kenyulung.

Ada satu peristiwa tak terlupakan hingga kini. Syarat lulus kelas 6 SD, harus mengikuti ujian di SD Putussibau. Semua peserta lulus ujian. Setelah ujian, pulang dan menginap di lanting Atjhai. Pukul 6 pagi, dia telah bangun dan mandi di sekitar lanting. Di sekitar lanting ada 5 orang. Dua perempuan pemilik rumah sedang memasak. Dua temannya SD sedang membelah kayu. Satu lagi, anak pemilik rumah dan masih tidur.

Saat hendak mengosok gigi, Kadir melihat seseorang mendayung sampan mendekati lanting. Dia merasa curiga dengan gelagat orang ini. Benar saja. Begitu selesai mengikat sampan di lanting, orang itu langsung mengambil mandau. Orang pertama mendapat serangan adalah dirinya. Mandau meluncur menebas kepala. Secara reflek, dia mundur ke belakang, sehingga terhindar dari malapetaka. Kadir tidak sadar melakukan gerakan itu. Yang dia tahu, suara mandau berdesing di atas kepala.

Karena tak mengenai sasaran, orang itu langsung menyerang, Vitalis Nyenyek, yang sedang membelah kayu. Teman itu tidak sadar dan dia masih sempat bicara, “Eh, kalau main-main itu jangan sekeras itu.” Mereka memang biasa bergurau. Sebuah sabetan berikutnya, mengarah ke punggung. Nyenyek memegang pundaknya. Tangannya kena sabetan mandau hingga hampir putus. Setelah itu, penyerang menghantam perempuan di sebelahnya. Keduanya lari dan terjun ke sungai. Pas mengejar perempuan, penyerang melihat Antonius Tajak, terbaring tidur.

Penyerang langsung menghantam Antonius. Mandau mengenai kepalanya. Mendengar suara gaduh, orang tua Antonius langsung mendatangi. Dengan tangan kosong, dia merebut mandau. Dia termasuk pendekar. Mandau berhasil direbut dan penyerang dihantam dengan Mandau. Penyerang tewas seketika dengan kepala hampir terkelupas separuhnya. Tajak dibawa ke rumah sakit, tapi meninggal di sana.

Ketika SMP, Kadir masuk SMP Misi di Putussibau. Dia tinggal di asrama. Di sana ada asrama putri juga. Pembinanya seorang pastur bernama pastur Chlot dari Belanda. Dia dari Societat Maria Momfortan (SMM).

Selepas SMP, dia sekolah di SMEA Pontianaik dan tinggal di asrama Kinibalu. Selesai SMEA berhenti beberapa bulan, dia masuk ke AMN (Akademi Militer Nasional). Berat badannya cuma 42 kg. Padahal minimal harus 45 kg. Setelah itu mendaftar di KDC (Kursus Dinas C), semacam Pamong Praja. KDC selama 3 semester. Begitu selesai, dia diangkat menjadi pegawai dan ditempatkan di Putussibau.

Pada 1 September 1965, dia melanjutkan sekolah di APDN, dan tamat tahun 1968. Selesai pendidikan kembali ke Kapuas Hulu, dan memegang jabatan sebagai Kepala Pemerintahan Bagian Sosial dan Politik. Tahun 1971, dia pindah ke Pontianak.

Kadir menikah tahun 1970. Istrinya bernama Margaretta Maria. Ketika Kadir tamat KDC, Margaretta masih SMP. Selepas tamat SMA, dia langsung melamarnya. Yang menarik dari istri, selain orangnya cantik, juga cerdas. Sejak kelas 5 SD, selalu menjadi juara kelas.

Dari perkawinan itu lahir tiga anak. Semuanya lelaki. Mereka adalah, Alexander, Yan Fransf, dan David Riyan. Cara mendidik anak, dia tidak mendidik mereka dengan cara mengekang terlalu berlebihan. Juga tidak mau mendidik dengan cara sebebas-bebasnya. Anak perlu dihargai, walau pun mereka masih kecil. Seorang anak akan diajak berkomunikasi. Misalnya, ketika akan membeli sesuatu. Si anak juga diminta pendapatnya. Anak tentu saja merasa dihargai. Kalau anak ingin ingin membeli sesuatu, dia tidak langsung mengiyakan kemauan anak. Tapi, berkata ke anak, dia musti menabung dulu. Kalau hari minggu, anak dibiasakan pergi ke gereja berbarengan. Yang utama dalam mendidik anak, jangan memarahi di depan kawannya. Cara menegur anak jangan dengan marah.

Begitu anak lahir, dia menabungkan anak Rp 5 ribu sebulan. Jadi, ketika mereka kuliah, mereka kuliah dengan uang itu. Cukup tidak cukup, ya harus dengan uang itu. Untuk kontrak dan lainnya, Kadir yang bayar. Dan dia merasa bersyukur, karena anaknya tidak terlibat berbagai macam kegiatan, seperti judi, narkoba dan lainnya.

Selama berkarir di pemerintahan, Kadir pernah menjabat sebagai Pengawasan Pemerintahan, Inspektur Bidang Pembangunan, Kepala Biro Pemerintahan Desa, Kepala Biro Pemerintahan Umum. Dia pensiun sebagai Asisten 1 Sekda, pada tahun 2001. Ketika ada pemilihan gubernur tahun 2002, Usman Jafar menggandengnya sebagai wakil. Dia terpilih dan menduduki Wakil Gubernur Kalbar, hingga sekarang.

Apa rahasia dalam menjalankan tugasnya?

“Ada dua syarat sebagai pemimpin,” katanya. Syarat pertama, harus dapat menyelesaikan masalahnya sendiri. Bila ada masalah, dia tak mau mengadu pada siapa saja tentang keadaannya. Dia menyerahkan semua itu pada Tuhan. Kedua, seorang pemimpin harus bisa mengayomi. Jadi, bisa memberikan kesejukan.

Kalau ada masalah terlalu berat, dia menyerahkannya kepada Tuhan dan memanjatkan do’a. Contohnya, sewaktunya istrinya meninggal. Seorang pemimpin, tidak boleh menunjukkan perasaan sedih di depan keluarga dan masyarakat. Kadir masih sempat memberikan sambutan, ketika jenasah dimasukkan peti. Dia tidak mau mewakilkan pada orang lain. Pada saat pemakaman juga memberikan sambutan.

“Dan, mungkin ini memang ajaran dari keluarga saya. Kita tidak boleh terlalu hanyut oleh permasalahan seperti itu,” tuturnya. Seorang pemimpin harus berani menghadapi sesuatu. Walau pun itu sedih. Hal itu merupakan kekuatan mental, bahwa seorang pemimpin harus punya karakter dan tidak boleh cengeng. Dia merasa, nilai-nilai pada dirinya didapat dari keluarga. Keluarganya pengurus adat dan membina orang banyak. Tata nilai di keluarga begitu kental.

Dia merasa ada dua orang paling berjasa dalam karirnya. Orang itu adalah Drs. H. Soenirman Broto Sandjoyo, Kepala Inspektorat Propinsi, dan H. Soedjiman (Gubernur Kalbar). Soenirman berasal dari Prambanan, Yokyakarta. Cara diplomasinya tinggi sekali. Dia cukup banyak merubah karakter Kadir. Soenirman membuatnya bisa berdiplomasi. Ya, maklum saja, karena orang Kalimantan temperamennya tinggi.

Soenirman sabar sekali. Kalau ada waktu senggang, dia selalu memanggil dan mengajaknya bicara. Dari segi pergaulan, mengatasi masalah, dan diplomasi, dua orang itu sangat mempengaruhi Kadir. Dia merasa, Soenirman mengorbitkannya menjadi sekretaris Golkar Kalbar dari tahun 1979-1984. Selama dua kali masa jabatannya, Soenirman pernah sekitar 60 kali, mengajak Kadir berkeliling. Seakan-akan ingin mempromosikannya. Hal itulah yang membuatnya lebih mengenal masyarakat, dan masyarakat juga mengenalnya.

Ada satu hal bisa menggambarkan kesabaran Soenirman. Diserang bagaimana pun, dia tidak mau membalas. Kesabarannya begitu kuat. Dia tidak mau bereaksi dan memperlihatkan sikap permusuhan. Akhirnya, orang itu mental sendiri. Sekarang ini, Soenirman sudah meninggal. Jabatan terakhirnya sebagai Inspektur Jenderal Dalam Negeri. Kadir tidak akan pernah melupakannya.

“Saya bisa seperti sekarang, karena beliau itulah. Jadi, yang banyak membentuk saya adalah orang Yokya. Walau pun, saya tidak bisa seperti orang Yokya. Tidak bisa halus, dan sewaktu-waktu muncul aslinya,” kata Kadir.

Memiliki banyak teman merupakan sesuatu paling berharga dalam dirinya. Tidak hanya kelompok tertentu, tapi juga teman dari berbagai suku bangsa. Dia merasa, apa yang dicapai sekarang, tidak bisa dilepaskan dari karunia Tuhan, dan harus mensyukurinya. Kadir selalu bersyukur atas nikmat.

Kedepannya, dia ingin melaksanakan tugas dengan sebaik-baiknya. Kalau melakukannya dengan baik, Tuhan akan memberikan pekerjaan lain, dan lebih bagus. “Begitu saja saya, tidak ada ambisi tertentu,” katanya mengakhiri pembicaraan.***

Foto by Lukas B. Wijanarko, "LH Kadir."
Edisi Cetak, minggu kedua, Desember 2005, Matra Bisnis

Baca Selengkapnya...

Sepenggal Nyawa Pada Madu Alam

Oleh: Muhlis Suhaeri

Tahukah Anda, apa yang kita konsumsi sehari-hari, terkadang berasal dari suatu usaha dan taruhan nyawa, untuk mendapatkannya. Salah satu contoh, memperoleh madu alami. Untuk mendapatkannya, perlu ketrampilan, keahlian dan nyali khusus.

Bila Anda datang ke danau Sentarum, sempatkan mampir ke Pulau Tekenang. Di sana pemandangannya sungguh indah. Kombinasi bukit dan danau air tawar, memberi corak tersendiri pada alam. Deretan tumbuhan berjajar dan menapaki sebuah bukit di sana.


Pada sebuah bukit inilah, ada dua pohon besar. Tinggi pohon mencapai 200-300 meter dengan diameter sekitar 3-4 meter. Masyarakat menyebut pohon itu sebagai pohon lalao. Apa istimewanya pohon ini? Pohon lalao bukan sembarang pohon. Kepemilikannya, ada pada keturunan raja Selimbau. Salah satu keturunannya bernama Ade Ahmad. Dia bekerja sebagai nelayan. Di pohon lalao itulah, setiap setahun sekali, ratusan kilogram madu dapat diunduh atau dipanen. Hanya keluarga keturunan raja, boleh mengambil madu itu.

Madu biasanya panen pada bulan Januari dan Februari. Munculnya madu bisa dilihat dari adanya beberapa bunga, seperti, bunga putat, bunga kayu taun, dan bunga kayu masung. “Kalau bunga-bunga itu tak jadi, madu biasanya juga tak jadi,” kata Aspanwani, salah seorang penduduk di pulau Tekenang.

Cara mengambil madu di pohon lalao, musti dipanjat. Namun, tidak semua orang berani memanjatnya. Dulu ada satu orang di kampung itu, sanggup memanjat dan memanen madu. Sekarang tak ada lagi. Bila ingin memanen madu, keluarga Ade Ahmad harus mencari pemanjat dari kampung lain. Mereka berembug sesama keluarga untuk mencari pemanjat.

Cara memanen madu menggunakan sengkidau, tebauk dan tempayan. Sengkidau berupa kayu sebentuk dayung. Panjangnya sekitar 50-70 cm dengan lebar 5-7 cm. Ujungnya dibuat lebih lebar. Ukurannya sekitar 10 cm. Sengkidau berfungsi sebagai alat mengambil madu. Tebauk berupa akar-akaran. Fungsinya, menggusir lebah dari sarangnya. Tempayan merupakan alat untuk menampung madu. Kalau tak ada tempayan, bisa juga menggunakan blek kopi (tempat kopi dari lembaran logam dan berbentuk kotak), galon dan lainnya. Untuk memanjat pohon digunakan sebuah tali yang disambung satu dengan lainnya. Istilahnya tali panjat.

Mengambil madu dilakukan pada malam hari. Tujuannya, supaya lebah tidak menyengat. Biasanya mengambil pada pukul 6 sore hingga pukul 4 subuh. Bila tidak selesai malam itu, akan dilanjutkan malam berikutnya.

Ada ritual khusus ketika orang ingin mengambil madu di pohon lalao. Sebelum memanjat pohon, mantra-mantra dipanjatkan. Lafalnya seperti jampi-jampi atau nyanyian. Di bawah pohon itulah, mantra dilantunkan.

Setelah upacara kecil selesai, pemanjat akan segera naik ke atas pohon. Selama naik dan mendekati sarang, pemanen akan selalu melantunkan mantra. Fungsinya, supaya lebah tidak menyengat dan menyerang. Mantra juga berfungsi mengusir segala hantu atau roh jahat lainnya.

Setelah di atas, pemanen menyalakan gulungan akar dengan api. Kepulan asap didekatkan pada sarang lebah. Dengan cara itu, lebah bakal menyingkir dari sarangnya. Setelah lebah lari dari sarangnya, tempat untuk menampung madu diletakkan di bawah sarang. Setelah itu, pemanen akan mencocok sarang lebah dengan sengkidau. Madu yang tercocok akan jatuh ke dalam tempat penampungan.

Meski pada satu pohon, sarang lebah terpencar satu dengan lainnya. Satu pohon ada sekitar 40-50 sarang lebah. Sekali panen bisa menghasilkan sekitar 100 kg. Harga madu sekilonya Rp 25 ribu. Sistem pembagian madu dengan cara bagi hasil. Pemanen mendapat 60 persen dan pemilik pohon 40 persen. Memanjat resikonya besar, sehingga pembagiannya juga besar. Tapi, biasanya pemanen ada dua orang. Sehingga hasil pemanen juga dibagi dua.

Masyarakat di danau Sentarum juga membudidayakan madu. Caranya, mereka meletakkan kayu melintang pada dua dahan pohon. Di kayu itulah lebah akan menempatkan sarangnya. Cara budi daya itu biasa disebut dengan tikung. Tempat kayu hinggap dan meletakkan madunya disebut dengan repak.

Biasanya satu kepala keluarga (KK), membuat 30-40 tikung. Batang kayu untuk membuat tikung, biasanya dari kayu tembesu. Setelah satu tahun, barulah ada hasilnya. Satu pohon bisa menghasilkan 5 kg madu. Tikung biasa disebut dengan nama singkap. Satu pohon hanya satu tempat atau satu singkap.

Karena setiap orang punya tikung, mereka menandai tikung atau singkap dengan cara memberi tanda tertentu. Bisa berupa cat, atau tanda lainnya. Ada tanda runcing, bundar, persegi dan lainnya.

Cara mengambil tikung juga sama. Perlu dua orang untuk memanen madu. Satu orang memanjat pohon, dan satunya menunggu di perahu. Orang di perahu bertugas mengusir tawon, supaya tidak berada di perahu. Kalau tidak begitu, lebah akan tetap tinggal di perahu.

Setelah terkumpul, madu segera disaring. Caranya, meletakkan kain kasa di atas ember. Lalu, meletakkan sarang madu di kain kasa. Madu dengan sendirinya akan meleleh dan tertampung di ember.

Dulu, orang memeras madu sekalian dengan sarangnya. Hasilnya kurang bagus. Terbawanya tahi dan sarang lebah, membuat kualitas madu kurang bagus. Warna madu juga tidak bisa bening dan bagus. Masyarakat menjual sebagian besar madu yang dihasilkan. Kalau pun dikonsumsi di rumah, hanya sebotol saja.

Lalu, bagaimana mengetahui madu itu asli atau tidak. Ada beberapa cara mengetesnya. Menurut Aspanwani, salah satu cara dengan meneteskan madu pada kertas pembungkus batang rokok. Bila kertas tidak koyak, berarti madu asli. Cara lain dengan memasukkan sebutir beras ke madu. Kalau beras berbuih, berarti madu itu asli. Madu bila dikocok dan tidak berbusa, juga bisa menunjukkan sebagai madu asli. Madu asli bisa juga dibuktikan dengan meletakkan madu di tempat terbuka. Bila ada semut datang mengerubung, berarti madu itu tidak asli.

Apa khasiat yang terkandung dalam madu?

Menurut Muslimtechnologist, seperti ditulis pada koran Republika menyebutkan, madu mempunyai beberapa khasiat. Pertama, madu digunakan sebagai zat anti bakteri dan jamur. Madu dapat menghambat pertumbuhan bakteri Staphylococcus aureus, patogen tertentu, serta jamur, semisal Candida albicans. Kedua, madu digunakan sebagai antimencret.

Dengan konsentrasi hingga 40 persen, madu memberikan efek bakterial yang akan menghambat laju sejumlah bakteri yang menyebabkan mencret serta disentri, seperti Salmonella, Shigella, enteropatogenik E coli, dan Vibrio cholera. Ketiga, madu dapat digunakan sebagai penyembuh luka dan anti-inflammatory (luka bakar). Keempat, madu dapat digunakan sebagai zat antitusif dan ekspektoran.

Madu yang diandalkan sebagai obat batuk ini terkait dengan kemampuannya untuk mencairkan dahak dan melegakan tenggorokan. Kelima, madu sebagai sumber nutrisi. Madu tak terkontaminasi sangat sehat, makanan yang alami, dan mengandung banyak energi. Karena mengandung karbohidrat, protein, lipid, enzim dan vitamin. Satu sendok madu mengandung 60 kalori, serta mengandung 11 gram karbohidrat, 1 mg kalsium, 0,2 mg zat besi, 0,1 mg vitamin B dan 1 mg vitamin C.

Khasiat dan kegunaan madu, juga termaktub dalam Al-qur’an, surat An-Nahl, ayat 68-69, yang mempunyai arti, Dan Tuhanmu mewahyukan kepada lebah: “Buatlah sarang-sarang di bukit-bukit, di pohon-pohon kayu, dan di tempat-tempat yang dibikin manusia, kemudian makanlah dari tiap-tiap (macam) buah-buahan dan tempuhlah jalan Tuhanmu yang telah dimudahkan (bagimu).”

Dari perut lebah itu keluar minuman (madu) yang bermacam-macam warnanya, di dalamnya terdapat obat yang menyembuhkan bagi manusia. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda (kebesaran Tuhan) bagi orang-orang yang memikirkan.

Nah, karena mempunyai multi fungsi itulah, orang sejak jaman dulu telah menggunakan madu untuk berbagai obat dan menyembuhkan beragam penyakit. Tak heran jika madu telah akrab di kalangan masyarakat dan peradaban kuno, seperti pada bangsa Mesir, Assyria, Cina, Yunani dan Romawi kuno.

Maka, jangan menunggu. Bila Anda ingin sehat, salah satu cara dengan mengkonsumsi madu setiap hari.***

Foto by Muhlis Suhaeri, "Danau Sentarum."
Edisi Cetak, minggu kedua, Desember 2005, Matra Bisnis

Baca Selengkapnya...

Bidai, Produk Kerajinan Indonesia dengan Stempel Malaysia

Oleh: Muhlis Suhaeri

“Kenapa kita ini mau dijajah Malaysia?” kata perempuan itu, “padahal, kalau kita dibina pemerintah, hasil kerajinan ini akan bisa dijual.”

Ada nada gugatan pada kalimat yang ia lontarkan. Apa yang diungkapkan perempuan itu, cukup beralasan dan sangat manusiawi. Bagaimana tidak? Harapan untuk mendapat binaan dan uluran tangan dari pemerintah, tidak kunjung tiba. Akhirnya, ia terpaksa menjual produk kerajinan yang dihasilkan ke negara tetangga, Malaysia. Apa yang dialami perempuan itu, juga dialami sebagian besar pengrajin di sana.


Perempuan itu bernama Kayen, 41 tahun. Ia seorang pengrajin Bidai di dusun Pereges, desa Seluas, kecamatan Seluas, kabupaten Bengkayang. Bidai merupakan tikar terbuat dari rotan. Untuk membuat motif, diberi selingan dengan kulit pohon Kapoa. Kayen baru menganyam Bidai sekitar 9 bulan. Sebelumnya, ia menjadi pembantu rumah tangga di Malaysia. Jarak dari Seluas ke ibukota Pontianak sekitar 300 km.

Kini, setiap minggu ia harus membawa satu hingga tiga Bidai ke pasar Serikin, Malaysia. Jarak dari Seluas ke Serikin sekitar 22 km. Untuk ongkos ke pasar Serikin, ia harus menyewa mobil secara patungan 5-6 orang. Karenanya, setiap orang harus membayar Rp 10 ribu. Bila tidak ada mobil sewaan, ia harus rela merogoh uang 20 ringgit, atau sekitar Rp 50 ribu. Satu ringgit setara dengan Rp 2.260. Itu ongkos sekali jalan untuk membayar ojek sepeda motor.

Di Pasar Serikin, Kayen menggelar dagangannya di emperan jalan. Ia biasa menjual dagangannya seharga 85 ringgit. Harga itu untuk Bidai berukuran 5x7 feet. Bila ia menggunakan halaman rumah orang, orang itu akan meminta uang sewa bagi dagangan yang ia jajakan. Bila hari menjelang siang, ia akan menurunkan harga dagangannya. Kalau tidak, berarti ia akan membawa dagangannya kembali ke Seluas. Dan itu sama artinya dengan kerugian.

Terpaksalah, ia menjual dagangannya dengan harga yang tidak semestinya. Bila ada yang menawar 70-75 ringgit akan ia lepas dagangannya. Yang lebih membuat Kayen mangkel dan jengkel, Bidai yang dibeli dengan harga murah dari pengrajin Indoensia, akan diberi label dan merk Malaysia. Dengan menambah bordiran pada pinggirnya, Bidai itu akan dijual ke Singapura, atau Kuala Lumpur seharga 300 ringgit. Bahkan, Bidai itu juga dikirim ke Bali, Australia dan China.

Orang Dayak sudah lama menggunakan tikar dari rotan ini. Mereka menggunakannya untuk menjemur padi. Hal itu sudah dilakukan secara turun temurun. Di Malaysia, tikar model ini ada juga. Yang membuat orang Dayak Bidayu. Namun, mereka lebih senang membeli, karena harganya lebih murah dari pada membuat sendiri.

Ukuran Bidai bervariasi, 2x4, 2x3, 3x4, 4x6, 5x7, 6x9, 7x8, 7x9,, 7x10, 7x12. Yang sering dipesan adalah ukuran 5x7, 6x9, 7x8, 7x10. Dan ukuran yang jarang dipesan 7x9. Bidai biasanya diukur dengan satuan foot/feet. Satu feet sama dengan 30, 47 cm.

Proses untuk membuat selembar Bidai cukup rumit. Rotan yang ada harus dibelah menjadi beberapa bagian. Setelah rotan terbelah, dihaluskan dengan meraut daging rotan.
Meraut satu ikat rotan upahnya Rp 20 ribu. Setelah rotan tipis, pinggir rotan dihaluskan. Proses itu namanya jangat. Bahkan untuk membuat motif yang berfariasi di tikar, ada rotan yang sengaja diolah untuk membuat rotan itu berwarna hitam.

Caranya, rotan itu dimasak dengan api yang cukup kuat selama satu hari. Dalam air yang mendidih itu dimasukkan pewarna alami, berupa daun jengkol, kulit dan daun rambutan, dan serbuk gergaji kayu. Setelah direbus, rotan akan direndam lagi dalam lumpur selama seminggu. Hasilnya, akan didapatkan rotan yang warnanya hitam.

Kulit kayu Kapoa diambil dengan menebang pohonnya. Pohon itu berdiameter 10-15 cm dan tingginya sekitar 5-7 meter. Pohon itu dipotong pada batang paling bawah. Setelah ditebang, pohon diambil kulitnya. Pohon yang ditebang, akan tumbuh lagi dengan sendirinya. Setelah 1-2 tahun, pohon itu baru bisa diambil kulitnya lagi. Kulit pohon yang sudah dikelupas dipisahkan lagi dari kulit luar pohon. Setelah itu kulit dijemur dan dihaluskan dengan cara memukul–mukul kulit dengan palu dari kayu, yang bentuknya lebar.

Awal mula Bidai menjadi barang dagangan ke Malaysia, ketika seorang penduduk dari Seluas membawa Bidai ke Serikin. Ia menjual tikar itu di sana. Peristiwa itu sekitar tahun 1980-an. Karena laku, orang lain melakukan hal yang sama dan menjual ke Malaysia.

Dulu pekerjaan itu yang mengerjakan perempuan. Lelaki banyak yang bekerja pada PT. Jamaker (Jaya Maha Kersa). Itu sebuah perusahaan perkayuan, dan beroperasi di Seluas dari 1976-1996. Sekarang ini, sebagian besar masyarakat di Seluas, menggantungkan hidupnya dengan menganyam Bidai.

Menurut Hamdani, 34 tahun, ketua pengurus Koperasi Pengrajin Bidai di Seluas, bahan rotan didatangkan dari Kalimantan Tengah, Darit (kabupaten Landak) dan Tohok. Dalam dua hari, ia biasa mendatangkan 1 truk berisi 300 ikat rotan. Satu ikat berisi 500 rotan yang sudah dibelah. Jenis rotan yang ia gunakan adalah Saga Mas. Warna kulitnya agak mengkilap.

Hamdani mempunyai seorang ayah dari Bugis, beribu Tionghoa dan kawin dengan perempuan Dayak Bekatik. Pertama kali jualan Bidai, juga dengan menjadi pengecer di pasar Serikin. Sebuah pengalaman yang ia petik ketika berdagang dengan orang Malaysia adalah, mengenai ketepatan waktu. Kalau sudah janji harus tepat waktu. Misalnya, janji pukul 10, maka harus datang pukul 10. Kalau datangnya telat, misalnya pukul 12, maka orang itu tidak akan mau mengambil pesanannya. Sampai besok pun kalau ketemu lagi, mereka tidak akan mau mengambil barang darinya.

Sistem perdagangan yang ia lakukan, ada uang ada barang. Cash and carry. Barang yang diserahkan akan langsung dibayar. Ia tidak mau mengantar barang itu ke Kuching, atau kota lainnya di Malaysia. Khawatir setelah sampai di sana, barang akan dikatakan jelek atau apa, sehingga ia bisa merugi. Memang, untuk mendapatkan harga lebih murah, orang Malaysia sering mengakali dengan mengatakan barang yang dibawa kualitasnya jelek.

Karena sering jualan itulah, akhirnya ada yang menampung barang di Malaysia. Sekarang ini, Hamdani memimpin Koperasi Wahana Cipta Karya.Yang membawahi para pengrajin Bidai di kecamatan Seluas, Bengkayang. Ia dan koperasinya sering kewalahan mendapatkan pesanan. Bahkan di Sariaman, Malaysia, ia mendapatkan pesanan 500 buah perminggunya, tapi tidak bisa dipenuhi. Anggotanya yang aktif di koperasi ada 7-8 orang. Kemampuan produksi dalam seminggunya sekitar 30 lembar. Itupun kalau ada bahan. Yang agak susah adalah kayu Kapoa (kayu Pudu). Tali kayu Kapoa yang bagus dari Sebujit Kecamatan Jagoi Babang.

Koperasi bermula pada bulan Agustus 2002. Ketika itu Dinas Kehutanan memberikan bantuan dana Rp 15 juta. Salah satu syarat untuk mendapatkan dana itu, harus ada koperasi terlebih dahulu. Maka terbentuklah koperasi dengan 23 anggota. Mereka membelikan uang Rp 15 juta untuk bahan dan rotan. Setiap anggota mendapat Rp 350 ribu. Pada saat anggota menyetorkan hasil kerajinan, uangnya dipotong untuk mengembalikan cicilan. Dari 23 orang anggota, kini tinggal belasan orang saja. Uangnya juga menyangkut di beberapa anggota lainnya.

Modal awal untuk membuat satu Bidai sekitar Rp 65 ribu. Itu untuk ukuran 5x7 feet. Tali pohon Kapoa, Rp 10 ribu/kg. Untuk membuat satu tikar butuh 3 kg kulit Kapoa. Untuk menjangat upahnya Rp 5 ribu /ikat. Upah menganyam Rp 60 ribu. Kalau yang sudah lihai, dalam satu-dua hari, Bidai sudah selesai.

Harga Bidai jatuh menjelang hari raya Lebaran, Natal dan Imlek. Bidai di Malaysia biasanya juga dipakai untuk dinding, dek dan lantai.

Hal yang dirasakan sama antara Kayen dan Hamdani adalah, tidak adanya perhatian pemerintah pada mereka. “Belum pernah ada pembinaan dari pemerintah kabupaten dalam bentuk pelatihan atau uang,” kata Hamdani. Padahal, ia ingin sekali ikut pelatihan atau studi banding ke lain daerah dalam hal tanam rotan atau pemasaran Bidai. Dengan cara itu, ia ingin mengembangkan hasil kerajinan itu.

Melihat kenyataan itu, Kepala Dinas Deperindag, Kalbar, Dra. Ida Kartini, Msi, memberikan tanggapan, “Pengusaha kita yang harusnya jeli. Kenapa pengusaha Malaysia bisa, kita tidak bisa?”

Pengrajin ini memang butuh arahan dan informasi. Deperindag juga sudah pernah mengadakan dialog dengan Kadin, peluang usaha apa yang bisa dilakukan. Pemda kabupaten inilah yang harus lebih responsif dalam melihat hal ini. Kemudian propinsi akan berkordinasi dengan pemerintah pusat. Melihat hal ini, Deperindag propinsi akan berkordinasi dengan Deperindag kabupaten, dan merekalah yang akan menunjuk pengrajin itu untuk datang ke propinsi.

Dengan terbatasnya dana yang ada, agenda yang ada di pemerintah tidak sepenuhnya bisa dilakukan. Karena itulah, pengrajin harus juga aktif dan mengungkapkan permasalahan mereka apa. Harus ada mitra dengan pengusaha, dan tidak mungkin jalan sendiri.

“Kalau tidak ya, buat tertulis saja, bahwa dia punya perkumpulan dan surat itu dikirimkan ke Deperindag kabupaten dengan tembusan ke Deperindag propinsi,” tutur Ida. Dari sanalah, Deperindag akan membuat program sesuai dengan kebutuhan daerah. Kalau pemerintah tidak dapat informasi, tentu kita tidak tahu apa yang menjadi kebutuhan daerah.***

Foto by Muhlis Suhaeri, "Perajin Bidai."
Edisi Cetak, minggu kedua, Desember 2005, Matra Bisnis

Baca Selengkapnya...

Wednesday, December 7, 2005

Melintas Alam Liar Danau Sentarum di Kalbar

Oleh: Muhlis Suhaeri

Suara mesin menderu. Kami berburu melawan waktu. Bagai sebuah pertandingan, kami seolah saling kejar, sikut dan menjatuhkan. Tak ada yang mengalah. Memperebutkan satu piala: kami harus segera sampai tujuan.

Sore yang indah bagi sebuah perjalanan. Langit cerah terlihat pada semua bidang. Hanya sepetak awan mengantung pada sebelah sisi cakrawala. Menyisakan gumpalan-gumpalan awan berjajar dan tak teratur. Terlihat bagai cabikan daging yang melepuh termakan waktu. Pucat dan kuyu.


Pada sebuah tepian sungai Nanga Suhaid, serombongan perahu cepat speed boat bersandar di dermaga. Masyarakat sekitar biasa menyebut perahu cepat ini dengan sebutan speed. Perahu ini dari serat fiber glas dengan mesin 40 pk. Cukup untuk menampung lima orang. Ukuran perahu selebar satu setengah dan panjang empat meteran. Tinggi perahu dari permukaan air sekitar setengah meter. Warna cat perahu berwarna-warni. Kontras dengan pemandangan alam sekitar, yang hijau menghampar. Riak dan gelombang sungai, membuat perahu bergoyang. Laksana boneka kecil sedang ditimang dalam momongan.

Hari itu kami menuju Lanjak. Perjalanan ini merupakan rangkaian dari kunjungan kerja Wakil Gubernur LH. Kadir ke beberapa wilayah di Kabupaten Kapuas Hulu. Sebelumnya, kami melakukan perjalanan dengan mobil dari Pontianak menuju Sejiram, Kecamatan Seberuang, Kapuas Hulu.

Dari arah Sintang menuju Sejiram, sebagian besar jalan hancur. Di Sejiram rombongan menginap. Paginya, ada pertemuan dengan berbagai elemen masyarakat. Wakil Gubernur menyerahkan sumbangan bibit karet dan sumbangan untuk gereja di Sejiram. Gereja Santo Fidelis di Sejiram merupakan gereja tertua di Kalbar. Ordo Fratrum Minorum Capucinorum, Ofm Cap, Kongregasi Imam Katolik dari Belanda, membangun gereja pada tahun 1890. Seiring dengan masuknya agama Kristen di Kalbar. Sekarang ini, pemerintah telah menetapkan gereja sebagai peninggalan bersejarah dan dilindungi.

Dari Sejiram, rombongan melanjutkan perjalanan menuju Kecamatan Nanga Suhaid. Di Nanga Suhaid rombongan berhenti dan mengadakan tatap muka dengan masyarakat. Dari sinilah, rombongan melanjutkan perjalanan menuju Lanjak. Hancurnya infrastruktur jalan, membuat rombongan menggunakan perahu cepat. Perjalanan dengan perahu lebih efisien dan menghemat waktu. Bayangkan! Bila melalui jalan darat, kita harus meluangkan waktu sekitar 8-9 jam. Dengan perahu cepat, hanya butuh waktu sekitar satu setengah jam saja.

Lanjak merupakan satu wilayah di Kecamatan Batang Lupar, Kapuas Hulu. Kami berlima dalam perahu. Dini Hariyanto, Yunus, Budi, Susano, dan aku sendiri. Tiga orang pertama adalah pegawai Pemda Kapuas Hulu, bagian protokoler dan Polisi Pamong Praja. Nama keempat merupakan supir perahu, atau biasa disebut motoris. Dini seorang yang aktif dan banyak bercerita. Yunus dan Budi lebih banyak diam. Dini mampu menyemarakkan suasana. Dini duduk di depan bareng Susano.

Kami bercanda sepanjang perjalanan. Suara musik dari seperangkat tape recorder, juga menyemarakkan suasana. Meski lagu house music yang diperdengarkan tak karuan juntrungnya, namun cukuplah menemani selama perjalanan.

Perjalanan ini membuat adrenalin yang ada di tubuhku seakan bergolak. Sebuah perjalanan yang kunanti. Menjelajah alam liar. Penuh tantangan dan petualangan. Belasan perahu telah berangkat duluan. Kami perahu terakhir. Ketika pertama kali gas ditarik, Dini, Yunus dan Susano mencondongkan badannya ke depan. Cara itu dilakukan, agar moncong perahu tidak naik ke atas. Deru suara mesin membelah air danau. Menyisakan buih dan cipratan pada buritan perahu.

Selama menit-menit pertama, perahu melaju dengan kecepatan sedang. Menerobos permukaan sungai Kapuas yang airnya sedang pasang. Susano melakukan gerakan memutar dan menghindar, bila dilihatnya ada gelondongan dan serpihan kayu menghadang. Perahu wana merah dengan tulisan New River itu, seolah menari-nari di atas air. Kami yang ada di perahu makin duduk merapat, menikmati hempasan demi hempasan.

Pemandangan sungai Kapuas sungguh elok. Deretan tetumbuhan hutan tropis berjajar di sepanjang sisi sungai. Bentangan air sungai Kapuas berwarna hijau agak kecoklatan memisahkan deretan itu. Sungguh perpaduan fantastik dan eksotik. Aku yakin, andai pelukis Van Gogh masih hidup, dia akan menyapukan kuas dan mendokumentasikan keindahannya. Setara dengan rona keindahan lukisan Sun Flowers-nya.

Perahu melaju dengan kecepatan sekitar 40 perjam. Kami melewati aliran sungai Kapuas. Sekitar 30 menit berlalu, perahu mulai memasuki wilayah danau. Luas danau Sentarum sekitar 80 ribu hektar tahun 1992. Data terakhir, danau ini seluas 90 ribu hektar. Rencananya, pemerintah akan memperluas area danau hingga 132 ribu hektar.

Sangking luasnya, tepian danau seakan tak terlihat. Deretan bebukitan yang mengitari danau, hanya menyembulkan seujung garis putih saja. Beberapa kali, perahu menerobos celah tumbuhan danau. Tujuannya, untuk memangkas dan memperpendek jarak tempuh. Tentu saja perahu harus mengendorkan lajunya, bila melewati celah itu. Bila tidak, siap-siap saja dahan atau ranting akan menggores tubuh.

Lebih fatal lagi, perahu akan menabrak pohon. Meski sudah melewati daerah ini puluhan kali, orang bisa saja tersesat dan berputar-putar pada daerah yang sama. Penanda jalur perjalanan sedikit sekali jumlahnya. Seorang motoris hanya mengandalkan pengalaman dan daya ingatnya, bila berhadapan dengan jalur ini. Biasanya, deretan bukit dan pohon dijadikan sebagai tanda, di mana perahu harus berbelok dan mengarah.

Langit mulai berubah. Mendung mulai memayungi area danau. Awan hitam merata pada semua sisi. Tak lama, gerimis mulai turun. Kami menarik terpal warna hijau di buritan perahu. Segera saja, terpal dengan batangan besi itu, memayungi badan perahu. Ombak di danau mulai terasa. Menggoyangkan perahu berukuran kecil itu. Perahu mengurangi laju dan mulai berjalan pelan.

Motoris melongokkan kepala keluar. Dia mencari celah dan memecah ombak, agar perahu tidak terhempas. Sebuah kerja penuh perhitungan dan pengalaman tersendiri. Tinggi ombak memang tidak seberapa. Antara puncak tertinggi dan terendahnya, sekitar 30-40 cm. Namun, bila tidak cukup hati-hati, ombak sanggup menggulingkan perahu.

Bila sedang berhadapan dengan kondisi alam seperti ini, setegar apa pun seseorang, nyali bisa ciut juga. Ya, perasaan itu manusiawi sifatnya. Bagaimana dengan orang yang sudah terbiasa melintas di danau?

“Ada perasaan takut juga sih,” kata Susano.

Perahu tetap melaju meski terjadi hujan dan gelombang. Tak ada pilihan lagi. Mau ke tepi juga jauh. Satu-satunya pilihan, perahu mesti berjalan pelan menembus ombak. Setelah sekitar 15 menit diterpa hujan dan gelombang danau, cuaca mulai mereda. Kami langsung menyingkapkan terpal. Gas perahu ditarik. Dan suara mesin kembali memecah keheningan danau air tawar terlengkap speciesnya di dunia ini.

Menurut data di Suaka Margasatwa Danau Sentarum, ada sekitar 207 jenis flora yang tercatat di Sentarum. Ada sekitar 120 jenis ikan. Jenis ikan itu antara lain, arwana Sclerophages formosus, belida Chitala lopis, toman Channa micropeltes, betutu Oxyeleotris marmorata, jelawat Leptobarbus hoevenii, ulanguli Botia macracanthus, dan lainnya.

Berbagai jenis fauna yang populasinya tinggal sedikit dan terancam punah, juga ada di sini. Fauna itu adalah, burung rangkong (Nasalis larvatus), orangutan (Pongo pygmaeus), buaya muara Crocodylus porosus, buaya sinyulong Tomistoma schlegelli, buaya siam Crocodylus siamensisi, macan dahan Neofelis nebulosa, ruai Argusianus argus, bangau susu Ciconia starmii, dan lainnya. Kabarnya, ada 12-16 jenis species yang belum ada nama latinnya.

Pemerintah pusat menetapkan danau Sentarum sebagai suaka margasatwa melalui Surat Keputusan Menteri Pertanian Nomor 757/Kpts-II/Um/10/1982 tanggal 12 Oktober 1982.
Danau ini menawarkan banyak hal. Selain potensi ikan air tawar berlimpah jumlahnya, danau juga menyediakan berbagai potensi. Ada pulau Putri Melayu dan Tekenang. Pulau ini akan dijadikan obyek wisata alam. Ada potensi ilmiah yang bisa dijadikan berbagai obyek penelitian. Karenanya, pemerintah Kabupaten Kapuas Hulu, mencanangkan wilayah ini sebagai obyek ecotourism.

Tak heran jika di pulau Tekenang, ada pusat penelitian dan kantor suaka marga satwa. Danau Sentarum merupakan danau air tawar cukup unik. Bila musim hujan, area danau akan tergenang. Air danau berwarna merah agak kehitaman. Warna itu muncul karena hutan gambut di sekitarnya.

Danau Sentarum merupakan penyeimbang debit air di sungai Kapuas. Bila air sungai mulai menurun, maka air danau mengalir menuju sungai Kapuas. Kondisi itulah yang membuat debit sungai air Kapuas cenderung normal. Bila musim kemarau, permukaan danau akan kering di beberapa bagian. Pada saat itulah, ikan dalam jumlah ribuan ton, akan mengumpul pada beberapa sisi danau.

Pada beberapa bagian danau, terlihat pohon hitam melepuh. Area itu bekas terbakar pada musim kemarau. Menyisakan batang pohon yang memancang. Pemandangan ini memberi warna tersendiri pada kondisi danau.

Setelah melintas alam liar danau Sentarum hingga satu setengah jam, kami sampai Lanjak. Di sepanjang pinggiran danau, deretan kayu terapung di air dan terikat satu dengan lainnya. Sebagian telah terangkat ke darat dan tertata dengan rapi. Namun, banyak juga yang teronggok di sepanjang jalan.

Kayu itu memang dihanyutkan ke sekitar Lanjak. Kayu berasal dari berbagai wilayah di sekitar danau. Biasanya, kayu yang sudah berada di sekitar Lanjak, akan diangkut dengan jalan darat menuju perbatasan. Setelah itu akan dibawa ke Malaysia. Dengan dilarangnya masyarakat melakukan penebangan liar, nasib kayu itu juga tak tentu arah. Senasib dengan kondisi masyarakat sekitar. Yang juga terpuruk kehidupannya.

Begitulah perjalananku hari itu. Melintasi sungai dan danau air tawar, memberi pengalaman tersendiri bagi kehidupanku. Betapa potensi alam nan luas dan menghampar, masih menyisakan sebuah tanda tanya.

Akankah, potensi itu dibiarkan sedemikian rupa dan tak tersentuh? Atau, dia akan dipoles, bak layaknya seorang penari? Yang akan berlenggak-lenggok mengitari arena, dan membuat siapa pun mata memandangnya, akan terbelalak dan terpana dibuatnya?

Tentunya, hal itu menjadi tanggung jawab kita bersama. Nah, kalau Anda mau mencoba dan berpetualang alam liar, silahkan datang ke sana. Dijamin, Anda tak akan pernah menyesal.***

Foto by Muhlis Suhaeri, "Siap-siap."

Edisi cetak, minggu pertama, Desember 2005, Matra Bisnis

Foto Muhlis Suhaeri

Baca Selengkapnya...

Sunday, November 27, 2005

Mengolah Limbah, Menuai Rupiah

Oleh: Muhlis Suhaeri

Siapa bilang barang limbah tak ada nilainya? Mau tahu buktinya, lihat saja penuturan pengrajin mebel kayu, yang menggunakan semua bahan bakunya dari limbah pabrik kayu. Apa yang dia lakukan, menghasilkan sebuah karya cukup menarik ‘tuk dinikmati semua kalangan. Ya, semua yang dikerjakannya, berawal dari limbah dan berujung pada rupiah.


Awalnya pada tahun 1980-an. Ketika itu, Kota Pontianak dibanjiri kursi tamu dan kursi makan dari Singapura. Kursi itu sederhana saja bentuknya. Sebuah kursi yang sanggup membuat enam orang duduk dalam satu ruang dan waktu. Kursi itu bernama kursi tamu 321. Maksudnya, kursi panjang untuk tiga orang. Kursi agak pendek untuk dua orang. Dan satu kursi buat satu orang. Tentu saja ditambah dengan satu meja.


Kursi itu seluruh bahannya dari kayu. Pada setiap bilah kayunya, dibaut dan direkatkan dengan mur. Hasilnya, sebuah kursi yang kuat sekali. Untuk kursi makan, biasanya terdiri dari satu meja makan dengan enam kursi. Kursi itu rangkanya dari besi bulat, dan tempat duduknya dari kayu. Ketika itu, hanya orang kaya saja bisa menikmati kursi itu.

Lalu, muncul pertanyaan dalam benak Khou Yak Hau, biasa dipanggil Ayak, 53 tahun. “Apa tidak mungkin, kursi yang begitu sederhana, masyarakat Pontianak tidak membuatnya?”

Berawal dari pemikiran itulah, dia mulai mengasah kemampuannya. Alhasil, barang yang dibuatnya, dapat dinikmati semua kalangan. Orang miskin pun dapat menjajal dan memajang barang itu di rumah. Barang yang dibuat menyebar seantero wilayah. Bahkan, kursi tamu dan kursi makan itu sempat dibawa juga ke Singkawang dan Pemangkat. Oleh pedagang yang ada di sana, barang dibawa ke Batam melalui pedagang antarpulau.

Nah, terpenuhinya kursi di Pontianak dan Batam, membuat pabrik kursi yang ada di Singapura tutup. Pabrik yang ada di Singapura, ternyata dibuat untuk pemasaran Pontianak dan Batam. Ketika orang Pontianak sanggup membuat kursi, pabrik mereka tutup, karena harga produksinya lebih mahal dari kursi buatan Pontianak.

Akhirnya, orang pada ikut-ikutan membuat kursi. Padahal, mereka tidak punya pengalaman dan hanya punya modal saja. Hal itulah yang membuat pasaran kursi menjadi hancur. Apa pasal? Mereka hanya mengejar penjualan saja dan mutu tidak memperhatikan kualitas. Rangka kursi yang seharusnya dilas mengeliling, cuma dilas sedikit saja. Kursi yang seharusnya menggunakan besi tebal diberi besi kecil dan tipis, sehingga kursi cepat rusak. Orang tidak mau lagi memakai kursi ini.

Sekarang ini, minat orang pada kursi kayu ini mulai tumbuh lagi. Hal itu bisa dilihat pada penjualannya yang semakin meningkat. Meski penjualan kursi tidak dapat diperkirakan jumlahnya perbulan, tapi ada musim tertentu yang bisa menjelaskannya. Sebut saja pada saat Lebaran, Natal dan Imlek.

Pada hari besar itulah, orang butuh meja dan kursi untuk menyemarakkan suasana rumahnya. Contoh saja kursi yang diproduksi Ayak. Pada awal bulan puasa hingga menjelang Lebaran, ada sekitar 200 pasang kursi tamu 321 yang laku terjual. Ketika Imlek, kursi tamu Ayak laku hingga seratusan pasang. Ini untuk satu pengrajin saja. Sementara, di Pontianak ada sekitar 20 pengrajin kursi yang sama. Hitung sajalah, berapa kira-kira penjualan kursi ini.

Kenapa orang memakai kursi ini, alasannya sederhana saja. Kalau orang pakai kursi busa, kemampuan busa hanya lima hingga enam tahun saja. Dan untuk membeli kursi itu, karena harganya yang cukup mahal, orang harus menabung dulu agar bisa membelinya. Lain halnya dengan kursi kayu ini. Cukup dengan uang Rp 650 ribu, Anda bisa membawa pulang satu set kursi tamu 321. Kursi makan dijual dengan harga Rp 60 ribu perkursi. Anda bisa mencari kursi ini di sebagian besar toko mebel.

Setelah Lebaran, Natal dan Imlek, pengrajin akan membuat berbagai macam barang, sehingga produksinya tidak berhenti. Barang seperti kursi kantor, kursi bakso, rak handuk, rak TV, tempat kordin dan lainnya, produksinya akan lebih ditingkatkan. Bahkan, anak tangga juga dibuat.

Model kursi itu sederhana saja. Untuk pasaran di Pontianak, yang penting adalah harganya murah. Karena kalau barang banyak modelnya, jatuhnya malah mahal. “Simpel saja. Bagaimana caranya enak kerja dan cepat. Sehingga kita bisa menjual dengan harga murah. Yang bisa murah itu kalau kerjanya cepat,” kata Ayak.

Produksi harus ada target setiap harinya. Untuk kursi tamu, targetnya 6 set kursi sehari. Sekarang ini, hasil produksinya masih dibawah 10 set. Kursi makan, diatas 6 set atau 100 kursi perhari. Kalau dibawah angka itu, akan rugi. Di lahannya seluar sekitar 3000 meter, Ayak sanggup mempekerjakan 34 orang. Bahkan pernah hingga 43 pekerja.

Sistem kerja gajinya harian. Bagi pekerja baru, gajinya mulai dari Rp 10-12 ribu. Ada juga pekerja borongan. Tukang las, paling tidak bisa mendapatkan uang Rp 80 ribu perhari. Jam kerja mulai pukul 7. Pada pukul 9.00-9.30, karyawan mendapatkan rehat sambil menyerutup secangkir kopi. Pukul 11.00-12.00, waktunya istirahat makan siang. Kerja mulai lagi pada 12.00-16.00.

Besi untuk membuat kerangka kursi makan didatangkan dari Jakarta. Besi itu biasa disebut star bults. Perbatang harganya Rp 30 ribu. Satu batangnya sepanjang 6 meter. Satu kursi makan butuh sekitar 3,5 meter besi. Ukuran besinya 7/8. Artinya, ketebalannya dibawah 1 inchi. Satu inchi sama dengan 2,2 cm. Ketebalan besi ada yang 0,8 mili hingga 1 inchi.

Bahan baku diperoleh dari kayu pabrik yang sudah tak terpakai. Harga perkubik Rp 500 ribu. Sebelum membeli barang akan dilihat dulu, berapa persen bahan itu yang kira-kira masih bisa dipakai. Cara pembelian bahan baku juga bisa dilakukan dengan memborongnya. Pihak pabrik biasanya setuju saja, karena kalau pun tidak dibeli, barang itu akan dibuang juga. Harga kayu setiap truk Rp 1-2 juta. Satu truk biasanya berisi 4-5 kubik. Pada hari biasa, dalam satu minggu membeli bahan baku sekitar satu truk. Pada hari Lebaran, Imlek, bisa mencapai dua truk. Kadang kondisi kayu terlalu rusak dan ukurannya pendek. Maka, kayu itu akan dibeli lebih murah.

Tunggul kayu yang sudah puluhan tahun dibuang, juga akan digunakan. Caranya, tunggul itu dibelah dengan mesin chainsaw. Meski bagian luar kayu sudah rusak, tapi dalamnya masih bagus. Dan bagian tengah kayu itulah yang diolah. Kayu yang biasa dipakai adalah tembesu (bedaru), bengkirai, meranti dan lainnya. Banyak jenis kayu bisa dipakai. Tinggal pilih sesuai dengan keinginan.

“Saya memanfaatkan kayu-kayu yang sudah tak terpakai untuk dikumpulkan, ini merupakan limbah semua kayunya, dan tidak ada yang kita beli itu dari kayu empat meter yang masih bagus,” tutur Ayak.


Profil, Ayak

Namanya Ayak. Guratan-guratan garis menanda jelas pada wajahnya. Sekali melihat, orang akan langsung dapat melihat karakternya. Keras dan tegas. Ketertarikan Ayak pada dunia mebel dan industri kerajinan, tak muncul begitu saja. Sedari kecil dia sudah terbiasa mendengar suara mesin.

Dulu, bapaknya seorang pengusana tahu. Dan dia suka sekali dengan kerajinan tangan. Sayangnya, dia tidak pernah kerja di sebuah perusahaan besar, sehingga tidak punya pengalaman lain dalam bekerja. Meski begitu, semua model mebel yang ada di perusahaannya, dia kreasi dan ciptakan sendiri.

Sebelumnya, dia membuka toko bangunan pada tahun 1997. Mulai tahun 2004, dia beralih membuat kursi, karena toko bangunan banyak saingan.

Dalam menjalankan bisnisnya, Ayak mempunyai tiga pedoman. Pertama, harus tegas dalam kerja. Dia mengarahkan anak buahnya sesuai dengan apa yang harus dikerjakan. Kedua, cara kerja jangan buang waktu dan bercanda. Area kerja berhubungan dengan mesin, maka orang harus berhati-hati. Semua mesin ada putarannya. Salah sedikit saja dalam bekerja, bisa membahayakan jiwa.

Cara bekerja dan menangani mesin juga harus benar. Misalnya, ketika karyawan sedang mengebor atau memotong. Pekerja harus tahu di mana harus berdiri, sehingga tidak membahayakan jiwanya. Pekerja juga mesti tahu, kapan harus memakai sarung tangan dan kapan tidak. Untuk pekerjaan yang mengebor, tidak boleh pakai sarung tangan. Karena begitu terserempet mata bor, tangan yang menggunakan sarung tangan juga akan tertarik, sehingga tangan ikut terkena mesin bor. Tapi, untuk pekerjaan yang memegang kayu, dan kalau tidak pakai sarung tangan akan membuat tangan lecet, ya harus pakai sarung tangan. Ketiga, barang harus kuat. Untuk membuat barang yang kuat, tentu harus tahu teknik dan cara pembuatan yang baik.

Selain itu, kerja harus kompak dan saling tukar pikiran dengan pekerja. Cara pandang pekerja juga harus dimengerti. Dalam menangani karyawan, memang ada aturan ketat dalam peraturan, sehingga mereka mengerti dan kerja betul. Tidak boleh main kasar dengan pekerja tentunya. Masalah etos kerja, Ayak menilai pekerja di sebagian besar wilayah ini, masih tertinggal. Dia mengaku belum pernah keluar negeri. Namun, dia bisa menilai ketertinggalan itu dari banyak hal. Bisa dari pengusaha, pekerja, atau kurangnya perhatian dari pemerintah.

Suatu ketika datang tamu dari Taiwan. Orang itu berkeliling ke beberapa perusahaan yang sama di Pontianak. Setelah itu, dia lihat perusahaan Ayak. Menurut orang Taiwan, yang tidak sembarangan membuang bahan hanya di perusahaannya. Cara mendidik anak buah juga baik. Tapi, dibandingkan dengan cara kerja orang Taiwan, masih jauh. Mereka lebih rajin dan betul-betul kerja.

Kesulitan apa yang ditemui dalam menjalankan perusahaannya?

Kesulitan yang dialami adalah masalah modal. Modal yang ada tidak sesuai dengan usaha. Namun, masalah utama yang ada di Pontianak, adalah masalah harga. Barang yang murah itulah, yang biasanya laku di Pontianak. Supaya barang harganya murah, produksinya harus cepat, supaya menekan ongkos produksi. Kalau tidak, dia akan merugi. Karenanya, dia mengkhususkan diri, pada barang murah dan sederhana. Jadi, barang itu dapat dipakai di rumah, kantor, atau menaruhnya di teras bisa.

Hal lain adalah masalah investasi mesin. Karena yang utama alat harus lengkap. Untuk mesin saja menghabiskan uang Rp 600 juta. Ada mesin gesek, ketam, pemotong, bubut, genset, bor, spindel (membuat bentuk kayu sesuai dengan yang diinginkan). Belum lagi membeli pisau bagi mesinnya. Satu pisau ada yang harganya ratusan ribu hingga jutaan rupiah. Bahkan, ada pisau yang satu set harganya mencapai Rp 5 juta.

Jadi, untuk membeli pisau saja, bisa membeli satu mobil Kijang. Semua itu dilakukan, juga demi kegemarannya membuat kerajinan tangan. Dia pernah meminjam uang dari bank untuk usahanya. Uang itu dia belikan alat-alat. Akhirnya, modal malah tersedot semua ke investasi mesin, dan untuk menjalankan produksi payah.

Meski Ayak telah membuka usaha dan menciptakan lapangan kerja, namun pemerintah belum punya perhatian pada apa yang dilakukannya. Hal sederhana yang bisa dilihat adalah, tidak adanya perhatian dalam bentuk penyuluhan. Atau, kerja sama untuk perbaikan mutu produksi. Malahan, yang datang dari pemerintah adalah orang yang menanyakan masalah perijinan. Orang itu datang dan mengajukan diri untuk mengurus masalah perijinan.

“Masalah ijin dan membayar pajak memang menjadi kewajiban kita. Tapi, kalau ijinnya sampai tinggi sekali, dan tidak sesuai dengan yang sebenarnya, pengusaha tentu keberatan,” katanya.

Apalagi ditengah naiknya BBM seperti sekarang ini. Semua orang mengalami kesulitan. Begitu juga dengan dirinya. Dia ingin melihat negara ini maju, karenanya semua yang sifatnya membangun dan usaha, seharusnya dibantu dengan baik.

Apa yang dialami Ayak, adalah potret buram penanganan masalah pembangunan di negeri ini. Hal itu tentu tidak dialaminya sendiri, tapi juga orang lain. Bila hal itu terus dibiarkan, apa yang akan terjadi kedepannya. Tentunya, iklim investasi dan bisnis akan sulit berkembang di Kalbar khususnya, dan Indonesia pada umumnya.

Padahal, negara kita butuh sosok-sosok yang sanggup mendongkrak perekonomian seperti Khou Yak Hau, atau Ayak........***




Foto by Lukas B. Wijanarko, "Ruang Pamaer."
Edisi Cetak, minggu ketiga November 2005, Matra Bisnis

Baca Selengkapnya...

Monday, November 21, 2005

Mendulang Uang dari Bisnis Dodol

Oleh: Muhlis Suhaeri

Setiap yang berjiwa, tentu membawa ruh dan makna. Setiap yang tercipta, tentu ada guna dan faedahnya. Begitulah. Alam memberi banyak limpahan pada bumi untuk memunculkan beraneka tetumbuhan dan hewan. Tinggal, bagaimana manusia memanfaatkan dan mengolahnya.


Salah satu contoh adalah lidah buaya. Siapa yang tak kenal tumbuhan satu ini?

Berdasarkan penelitian, tumbuhan ini mempunyai banyak manfaat dan berguna bagi kesehatan. Dan ini pun sudah terbukti dengan munculnya berbagai produk kosmetik, atau obat-obatan yang berbahan baku tumbuhan ini. Diolah menjadi produk apa pun, lidah buaya berguna bagi kesehatan. Salah satunya adalah dodol dan kerupuk lidah buaya. Nah, bagaimana orang melirik peluang itu? Marilah kita lihat bersama.


“Peluang bisnis ini tergantung orang punya niat,” begitulah penuturan Yuliana (59 tahun). Dalam bisnis ini, semua bahan pertumbuhannya bagus. Lidah buaya berguna bagi kesehatan. Dan untuk mendapatkan bahan ini tidak susah, karena di Kalbar banyak.

Lidah buaya banyak dibuat untuk berbagai panganan, dodol, sirup dan lainnya. Untuk mendapatkannya, biasanya dari petani yang langsung mengirim ke perusahaan. Dalam seminggu yang dibutuhkan sekitar 3-5 keranjang lidah buaya. Satu keranjang berisi 100 kg lidah buaya segar. Harga lidah buaya perkilo Rp 750. Lidah buaya itu untuk dodol dan kerupuk lidah buaya. Dia juga membuat dodol dari buah nangka dan nenas.

Usaha membuat dodol dirintis sekitar tahun 2000. Namun, untuk kerupuk lidah buaya baru sekitar 4 bulan. Dalam satu bulan, produksi dodol lidah buaya sekitar 200 kg. Dodol nanas sekitar 30-50 kg. Dodol dijual perkilo dengan harga Rp 35 ribu. Dodol nanas produksinya kecil, karena orang Kalbar kurang begitu mengenal nanas.

Untuk membuat kerupuk lidah buaya, harus mencampurnya dengan tepung tapioka. Untuk 35 kg lidah buaya, harus mencampurnya dengan 20 kg tepung tapioka. Dari adonan itu akan didapat 20 kg kerupuk lidah buaya. Setiap 200 gram kerupuk dijual seharga Rp 9.000. Itu untuk harga toko. Kalau dijual langsung ke orang, akan dipatok dengan harga, Rp 12.500.

Yang unik adalah proses menemukan resep kerupuk lidah buaya. Yuliana mencari dan mencoba sendiri. Dia membaca buku, lalu mencobanya langsung. Selama tiga bulan melakukan percobaan itu. Tentunya, butuh dana lumayan besar, tenaga dan pikiran untuk melakukannya.

Pertama kali mencoba, dia mendapatkan kerupuk yang tidak bisa mengembang. Coba lagi, kerupuknya hangus. Coba lagi, kerupuknya berwarna kuning, putih dan sebagainya. Sampai akhinya, dia mendapatkan sebuah komposisi yang dirasa tepat untuk sebuah kerupuk. Semua hasil uji coba itu disimpannya di rumah. “Untuk kenang-kenangan,” ucapnya sembari tersenyum.

Dia tidak terlalu ekspansif dalam membuat pemasaran dodolnya. Pemasaran masih di seputar Kalbar. Dia masih menggantungkan pada tenaga pemasaran. Kebanyakan orang juga datang ke dia, dan membawa produksinya ke berbagai daerah di Indonesia.

Bahkan, produksinya dibawa pengusaha hingga Singapura dan Australia. Kapasitas produksinya tergantung pemasaran dan permintaan. Inginnya tentu saja, usaha itu terus berkembang, sehingga dapat menambah alat-alat dan jumlah karyawan. Sekarang ini jumlah karyawannya ada 5 orang.

Kendala utama yang dihadapi dalam bisnis ini, terutama masalah kemasan dan pemasarannya. Untuk menembus sulitnya pemasaran, dia pernah mengikuti beberapa kali pameran industri kecil. Dalam masalah kemasan produksinya, dia harus memesannya ke Jakarta.

Di Pontianak tidak ada mesinnya. Perusahaan dari Jakarta itu yang menawarkan desain padanya. Dan inilah kesulitannya. Cara mendapatkan kemasan, butuh waktu 3 bulan sebelumnya. Yuliana yakin dengan produk lidah buaya yang dihasilkan. Bila produk itu dikemas kurang bagus, tentu saja akan mengurangi nilai dari produk itu sendiri.

Sampai saat ini, pemerintah daerah belum memberikan alternatif atas kesulitan yang dihadapi. Dia sudah memberikan saran pada pemerintah, agar bisa diberikan bantuan dalam masalah pengemasan produknya. Kalaupun tidak secara langsung, dapat dilakukan secara tidak langsung. Misalnya, membuat pelatihan atau mendatangkan ahli. Yang dapat memberikan arahan dan langkah yang baik, bagi kelangsungan pengusaha industri kecil seperti dirinya.

Mengenai permasalahan yang dihadapi pengusaha kecil seperti Yuliana, Dirjen Industri Kecil dan Menengah, Sakri Widhianto, memberikan pendapatnya. “Di sini orangnya sangat dinamis dan aktif. Mengenai kurang kemasan dan pelatihan, banyak kesempatan yang dapat kita bantu. Supaya mereka juga bisa menjual barang itu ke luar dan tidak hanya di sini.”

Kalau sifatnya sudah pakai mesin, terpaksa harus membeli mesinnya. Tapi, kalau membuatnya tidak terlalu banyak, akan dibuat sendiri. Dirjen memuji produk lidah buaya yang dianggapnya sudah bagus, dan sudah massal produksinya.

Bagaimana dengan sarana dan prasarana air bersih? Sebuah industri tidak terlepas dari kebutuhan yang satu ini. Dengan tidak dapat digunakannya air tanah untuk prose produksi, tentu sebuah kesulitan tersendiri. Agaknya, dia sudah mengantisipasi hal itu. Di rumahnya, dia sudah membuat dua tandon air. Masing-masing bak besar itu sanggup menampung air hujan 40 kubik. Total jenderal, dia mempunyai cadangan 80 kubik air.

Hemmm.....Kalau pun tidak hujan 3 bulan, proses produksi masih bisa berlangsung. Seandainya dua tandon itu tidak mencukupi, dia akan membeli air dari mobil tangki. Tapi, dia tidak tahu berapa harganya. “Karena kita memang tidak pernah menggunakannya,” jawab Yuliana.

Sampai sekarang, konsumen produknya adalah bandar udara di Pontianak dan toko kue. Produk itu belum masuk ke berbagai hotel berbintang. Karena memang tidak tahu bagaimana cara masuk ke sana. Kalau ada yang memberikan peluang?

“Tentu saja mau,” jawabnya dengan sumringah.”***

Foto by Lukas B. Wijanarko, "Bertani."
Edisi Cetak, minggu ketiga, November 2005, Matra Bisnis

Baca Selengkapnya...