Wednesday, December 14, 2005

Pasar, Yang Hilang dan Tercerabut

Oleh: Muhlis Suhaeri

Jarum jam seolah tak berputar di sini. Semua terasa lenggang. Sepi. Bagai tak ada kehidupan. Itulah gambaran dasar kondisi pasar dan perekonomian di Lanjak, Kecamatan Batang Lupar, Kabupaten Kapuas Hulu.

Kondisi itu tak serta merta terjadi. Tentu ada sebab musababnya. Salah satu penyebabnya, tidak ada lagi kegiatan kayu di sana. Pemerintah melarang semua bentuk pengiriman kayu. Dengan adanya peraturan itu, berimbas pada semua segi kehidupan masyarakatnya. Tak heran jika gelondongan kayu berserakan di jalan dan perairan dekat danau Sentarum. Kayu itu telah terlanjur ditebang, namun tidak bisa dijual. Sehingga mangkir dan teronggok di sana.


Tak adanya aktifitas kayu, membuat berbagai sektor ekonomi terkena imbas. Salah satu contoh, seorang pemilik warung bakso di Lanjak. Warung baksonya cukup sederhana, tapi terlihat bersih dan rapi. Wati, 24 tahun, mengemukakan, “Sebelum kayu dilarang, saya bisa dapat uang Rp 400 ribu. Sekarang, Rp 100 ribu sehari saja, susah sekali.”

Ketika kegiatan kayu masih aktif, pembeli sudah menggedor warungnya pada pukul 4 pagi. Langganannya para pekerja kayu. Mereka butuh sarapan. Atau, sekedar menyrutup kopi sebelum beranjak kerja. Ketika itu, kegiatan di pagi buta sudah menjadi suatu hal biasa di sana. Orang berlalu lalang dengan ritme kerja dan aktifitasnya. Denyut dan aktifitas ekonomi begitu terasa. Wati kewalahan melayani dan menyediakan berbagai kebutuhan pekerja.

Kini, warungnya baru buka pukul 9 pagi. Sesiang itu, dia belum membuatkan kopi atau makanan bagi siapa pun. Tak heran jika sedari tadi, dia mondar-mandir membersihkan meja atau mengelap gelas di kedainya. “Banyak pekerja sudah pulang ke tempat asalnya,” kata Wati.

Lain halnya dengan H. Heri. Pemilik warung kelontong itu lebih parah kondisinya. Hilangnya aktifitas perkayuan, tak hanya membuat warungnya sepi. Tapi juga berimbas pada tunggakan bos pekerja dan belum terbayar. Bos pekerja merupakan orang mengkordinir para pekerja. Dan orang inilah yang mencari segala kebutuhan bagi pekerja.

Dia kerja sama dengan sebuah toko kebutuhan pokok. Segala kebutuhan dibeli untuk persediaan selama beberapa hari. Kebiasaan di sana, para bos pekerja biasanya menghutang dulu. Setelah dapat uang, segala hutang itu bakalan dilunasi. Sudah ada kesepakatan dan saling percaya pada keduanya. Namun, banyak juga pekerja membeli secara kontan. Cash and carry. Ada uang ada barang.

Biasanya pekerja membeli berbagai kebutuhan seperti, sabun, shampo, mie instan, kecap dan berbagai kebutuhan lainnya. Pokoknya kebutuhan 9 kebutuhan pokok. Bila sebelum kayu dilarang, dia bisa mendapatkan uang Rp 1,5-2 juta sehari. Sekarang untuk mendapatkan uang Rp 500 ribu, susah. “Payah sekarang,” ujarnya, seolah mengeluh.

Segala barang dagangan yang terjajar dan terpampang di toko kelontongnya, kebanyakan produksi, Malaysia. Dia tak menampik hal itu. Bahkan, mobil double cabin yang banyak bersliweran di sana, juga pakai nomor mobil Malaysia. Apa mau dikata, mau mendatangkan barang dari Pontianak?

Dengan kondisi jalan hancur sedemikian rupa, tentu berimbas pada besarnya biaya angkutan. Beban itu tentu saja berimbas pada besarnya harga barang. Dan masyarakat pula yang menanggungnya. “Lagi-lagi, masyarakat terkena efek dari itu semua,” ungkapnya, seolah berdiplomasi.

Dia sadar, kegiatan kayu memang dilarang. Namun, karena tidak ada pilihan, orang mau tak mau melakukan itu. Bukankah, kebutuhan perut harus tetap terpenuhi, kalau tidak ingin tergolek dan terkapar kelaparan? Peribahasa Inggris bilang; stomach doesn’t wait.

Hal senada diungkapkan pengusaha angkutan sungai dan danau, Agus. Matinya aktifitas kayu, sangat berimbas pada jumlah penumpang angkutan penyeberangan. Penumpang turun hingga 50 persen, katanya.

Sektor penginapan terkena imbas pula. Banyak dari losmen dan penginapan di sana tak terisi tamu. Para pekerja umumnya transit dulu di sana, sebelum melanjutkan perjalanan ke daerah asal. Pekerja biasanya berasal dari Sambas, Jawa, dan Bugis, Bagaimana mau menginap, tak ada pekerjaan di sana.

Yang lebih beruntung adalah sektor perikanan. Beberapa orang membawa hasil perikanannya ke Lubuk Antu, Malaysia. Ikan Jelawat cukup baik harganya di Malaysia. Bila di Lanjak harganya Rp 30-50 ribu, sekali menyeberang ke negara tetangga, ikan itu bisa mencapai harga Rp 500 ribu perkilonya.

Pemerintah Malaysia malah memberi kemudahan mereka untuk masuk dan tinggal di sana selama sebulanan. Cuma, harus membayar uang sekitar 10 ringgit, sebagai uang visa. Tak perlu paspor dan segala tetek bengek lainnya.

Yah......Lagi-lagi, pemerintah kalah set dalam menfasilitasi warganya.***

Foto by Muhlis Suhaeri, "Menunggu Penumpang."
Edisi Cetak, minggu kedua, Desember 2005, Matra Bisnis

No comments :