Oleh: Muhlis Suhaeri
Anda tentu tahu bunyi sebuah iklan, yang dimainkan bintang cilik, Joshua. Jeruk kok minum jeruk? Iklan itu seolah menjadi ikon. Bilan seseorang menyimpang dan merugikan temannya, akan disindir dengan bunyi iklan itu. Namun, tahukah Anda, ikan memangsa ikan? Nah, jawabnya ada di tulisan ini.
Ikan itu bentuknya lonjong dengan beberapa strip dan tanda pada tubuhnya. Ukurannya lumayan besar. Ikan ini merupakan jenis ikan air tawar, dan hidup di sepanjang aliran sungai Kapuas. Namanya, ikan toman (Channa micropeltes).
Ikan toman sejenis dengan ikan gabus. Coraknya hampir sama. Bila corak ikan gabus ada warna hitam dan putih, corak ikan toman ada warna kemerahan pada tubuhnya. Jenis ikan ini kanibal, karena memangsa ikan lainnya. Terkadang, ikan ini juga memangsa anaknya sendiri.
Cara hidup ikan ini bergerombol. Jika sudah bergerombol, jumlahnya dapat mencapai ratusan ekor. Toman berenang dalam satu rombongan besar. Dalam satu kelompok, ada dua induk menjadi pemandu bagi rombongan. Toman biasanya berenang ke arah hulu sungai.
Nah, pada saat bergerombol itulah, orang akan menangkap ikan ini dengan menebar jala. Setelah tertangkap, ikan ukuran besar dan kecil akan dipisahkan. Orang akan menempatkan ikan di keramba sesuai dengan ukurannya. Bila tidak, ikan besar bakal memangsa kecil.
Cara berkembangbiak ikan toman dengan bertelur. Sekali bertelur, jumlahnya mencapai ratusan ekor. Toman termasuk jenis ikan permukaan. Artinya, ikan selalu berenang di atas permukaan air. Karenanya, ikan akan lebih mudah hidup, ketika ada air mengalir.
Habitat air tawar merupakan lahan ideal bagi jenis ikan toman. Tak heran jika di sepanjang sungai Kapuas, orang akan membuat keramba bagi pengembangan ikan ini. Dengan luas keramba lima meter persegi, jumlah ikan di dalamnya bisa mencapai ratusan hingga ribuan ekor. Yang pasti ikan ini harus terus begerak, supaya cepat besar.
Untuk membuat satu keramba, butuh dana sekitar Rp 1,5 juta. Keramba itu terbuat dari kayu, drum, dan lainnya. Ukurannya beragam. Ada keramba berukuran panjang 4, lebar 2, dan tinggi 2 meter. Pada keramba, orang memasang batang penyangga. Drum berfungsi membuat keramba tetap terapung. Minimal ada dua drum. Satu drum harganya Rp 150 ribu.
Uniknya keramba ini, bila air pasang, keramba akan ditarik ke pinggir sungai. Bila air sungai surut, keramba akan dibawa ke tengah sungai. Keramba diikat dengan tali agar tidak hanyut terbawa arus.
Makanan ikan toman biasanya ikan-ikan kecil. Seperti, bilis, nuayang, bauk, dan lainnya. Penduduk memperoleh ikan kecil ketika menebar jala. Ikan kecil dianggap tidak ada nilai ekonomisnya. Makanya, dibuat makanan ikan toman. Harga ikan kecil perkilo, Rp 200-500 rupiah. Butuh waktu sekitar setahun, membuat ikan tumbuh dewasa. Ikan dewasa dapat mencapai ukuran 30 cm, dan mencapai 1-2 kg.
“Ikan toman dari kecil hingga dewasa, butuh pakan ikan kecil sekitar 80 kg, satu ekornya. Saya pernah memelihara ikan toman,” kata Ade Abdul Azis. Tak heran jika pertumbuhan ikan kecil, jadi tersedot untuk makanan ikan toman.
Hemmm. Satu ekor ikan dengan berat 1-2 kg, butuh pakan ikan sebesar 80 kg?
Selain menggangu pertumbuhan ikan, bukankah ini sebuah kerugian? Lalu, mengapa masyarakat masih memelihara ikan toman di keramba?
“Masyarakat tidak punya pilihan lain, sehingga tetap memelihara ikan toman,” jawab Azis.
Menurut Azis, dari segi pemeliharaan, ikan toman kerjanya cukup praktis. Ikan toman termasuk jenis ikan tahan terhadap berbagai jenis hama. Kalau sudah berumur 3 bulan, ikan tahan terhadap berbagai jenis penyakit. Kebal terhadap musim pasang atau kemarau.
Pemasaran ikan toman masih di sekitar Kalbar. Harga ikan perkilo sekitar Rp 10-12 ribu. Toman harganya relatif rendah, sehingga masyarakat bisa mengkonsumsinya. Menurut Aspanwani, seorang nelayan di danau Sentarum, kalau ikan toman diasinkan dan kepalanya dibuang, harganya bisa mencapai Rp 15 ribu.
Melihat permasalahan ini, bagaimana upaya pemerintah untuk mengatasinya?
“Toman merupakan budaya masyarakat Kalbar. Namanya budaya, tentu tidak bisa langsung dibabat begitu saja,” kata Ir. Anang Ikhsan Nafiri, dari Dinas Kelautan dan Perikanan, Bidang Perikanan Budidaya di Pontianak.
Nah, ada beberapa cara untuk mengatasinya. Pertama, masyarakat harus diberi alternatif memelihara ikan lain. Seperti pemijahan ikan jelawat, patin, semah dan lainnya. Ikan-ikan itu mempunyai nilai ekonomis cukup tinggi. Bahkan, hanya Kalbar yang sanggup memijahkan ikan jelawat.
Tak heran, jika banyak orang dari seluruh Indonesia, belajar ke Kalbar. Mengenai pemijahan ikan semah, belum dikuasai teknologinya. Ikan patin kurang laku di Pontianak, sehingga tidak dibudidayakan. Tapi, di daerah lain cukup diminati. Kedua, masyarakat dipersilahkan memelihara ikan toman, tapi pakannya harus diganti. Misalnya, dengan ulat pelepah dan batang kelapa sawit.
Teknologi deseminasi ulat sudah bisa dilakukan. Namun, masalah pokok dan menjadi kekhawatiran adalah, kalau ulat itu dikembangkan, nanti malah tidak bisa dikendalikan pertumbuhannya. Seperti terjadi pada keong mas. Keong mas bagus untuk perikanan. Tapi, kalau tidak terkendali pertumbuhannya, akan menganggu pertanian. Perkembangannya cukup cepat.
Pada dasarnya, kalau orang masih mempertahankan suatu komoditas, tentu komoditas itu masih mempunyai nilai ekonomis bagi masyarakat. Kalau pun nilai ekonomis itu dianggap dapat menganggu suatu ekosistem lebih besar, tentu saja harus ada sosialisasi di masyarakat. Lalu, mencari cara bersama terhadap permasalahan itu, dan bagaimana memecahkannya.
“Makanya, saya meminta pada pemerintah, untuk turut campur atau intervensi dalam masalah ini. Agar jelas penanganannya,” kata Azis.***
Anda tentu tahu bunyi sebuah iklan, yang dimainkan bintang cilik, Joshua. Jeruk kok minum jeruk? Iklan itu seolah menjadi ikon. Bilan seseorang menyimpang dan merugikan temannya, akan disindir dengan bunyi iklan itu. Namun, tahukah Anda, ikan memangsa ikan? Nah, jawabnya ada di tulisan ini.
Ikan itu bentuknya lonjong dengan beberapa strip dan tanda pada tubuhnya. Ukurannya lumayan besar. Ikan ini merupakan jenis ikan air tawar, dan hidup di sepanjang aliran sungai Kapuas. Namanya, ikan toman (Channa micropeltes).
Ikan toman sejenis dengan ikan gabus. Coraknya hampir sama. Bila corak ikan gabus ada warna hitam dan putih, corak ikan toman ada warna kemerahan pada tubuhnya. Jenis ikan ini kanibal, karena memangsa ikan lainnya. Terkadang, ikan ini juga memangsa anaknya sendiri.
Cara hidup ikan ini bergerombol. Jika sudah bergerombol, jumlahnya dapat mencapai ratusan ekor. Toman berenang dalam satu rombongan besar. Dalam satu kelompok, ada dua induk menjadi pemandu bagi rombongan. Toman biasanya berenang ke arah hulu sungai.
Nah, pada saat bergerombol itulah, orang akan menangkap ikan ini dengan menebar jala. Setelah tertangkap, ikan ukuran besar dan kecil akan dipisahkan. Orang akan menempatkan ikan di keramba sesuai dengan ukurannya. Bila tidak, ikan besar bakal memangsa kecil.
Cara berkembangbiak ikan toman dengan bertelur. Sekali bertelur, jumlahnya mencapai ratusan ekor. Toman termasuk jenis ikan permukaan. Artinya, ikan selalu berenang di atas permukaan air. Karenanya, ikan akan lebih mudah hidup, ketika ada air mengalir.
Habitat air tawar merupakan lahan ideal bagi jenis ikan toman. Tak heran jika di sepanjang sungai Kapuas, orang akan membuat keramba bagi pengembangan ikan ini. Dengan luas keramba lima meter persegi, jumlah ikan di dalamnya bisa mencapai ratusan hingga ribuan ekor. Yang pasti ikan ini harus terus begerak, supaya cepat besar.
Untuk membuat satu keramba, butuh dana sekitar Rp 1,5 juta. Keramba itu terbuat dari kayu, drum, dan lainnya. Ukurannya beragam. Ada keramba berukuran panjang 4, lebar 2, dan tinggi 2 meter. Pada keramba, orang memasang batang penyangga. Drum berfungsi membuat keramba tetap terapung. Minimal ada dua drum. Satu drum harganya Rp 150 ribu.
Uniknya keramba ini, bila air pasang, keramba akan ditarik ke pinggir sungai. Bila air sungai surut, keramba akan dibawa ke tengah sungai. Keramba diikat dengan tali agar tidak hanyut terbawa arus.
Makanan ikan toman biasanya ikan-ikan kecil. Seperti, bilis, nuayang, bauk, dan lainnya. Penduduk memperoleh ikan kecil ketika menebar jala. Ikan kecil dianggap tidak ada nilai ekonomisnya. Makanya, dibuat makanan ikan toman. Harga ikan kecil perkilo, Rp 200-500 rupiah. Butuh waktu sekitar setahun, membuat ikan tumbuh dewasa. Ikan dewasa dapat mencapai ukuran 30 cm, dan mencapai 1-2 kg.
“Ikan toman dari kecil hingga dewasa, butuh pakan ikan kecil sekitar 80 kg, satu ekornya. Saya pernah memelihara ikan toman,” kata Ade Abdul Azis. Tak heran jika pertumbuhan ikan kecil, jadi tersedot untuk makanan ikan toman.
Hemmm. Satu ekor ikan dengan berat 1-2 kg, butuh pakan ikan sebesar 80 kg?
Selain menggangu pertumbuhan ikan, bukankah ini sebuah kerugian? Lalu, mengapa masyarakat masih memelihara ikan toman di keramba?
“Masyarakat tidak punya pilihan lain, sehingga tetap memelihara ikan toman,” jawab Azis.
Menurut Azis, dari segi pemeliharaan, ikan toman kerjanya cukup praktis. Ikan toman termasuk jenis ikan tahan terhadap berbagai jenis hama. Kalau sudah berumur 3 bulan, ikan tahan terhadap berbagai jenis penyakit. Kebal terhadap musim pasang atau kemarau.
Pemasaran ikan toman masih di sekitar Kalbar. Harga ikan perkilo sekitar Rp 10-12 ribu. Toman harganya relatif rendah, sehingga masyarakat bisa mengkonsumsinya. Menurut Aspanwani, seorang nelayan di danau Sentarum, kalau ikan toman diasinkan dan kepalanya dibuang, harganya bisa mencapai Rp 15 ribu.
Melihat permasalahan ini, bagaimana upaya pemerintah untuk mengatasinya?
“Toman merupakan budaya masyarakat Kalbar. Namanya budaya, tentu tidak bisa langsung dibabat begitu saja,” kata Ir. Anang Ikhsan Nafiri, dari Dinas Kelautan dan Perikanan, Bidang Perikanan Budidaya di Pontianak.
Nah, ada beberapa cara untuk mengatasinya. Pertama, masyarakat harus diberi alternatif memelihara ikan lain. Seperti pemijahan ikan jelawat, patin, semah dan lainnya. Ikan-ikan itu mempunyai nilai ekonomis cukup tinggi. Bahkan, hanya Kalbar yang sanggup memijahkan ikan jelawat.
Tak heran, jika banyak orang dari seluruh Indonesia, belajar ke Kalbar. Mengenai pemijahan ikan semah, belum dikuasai teknologinya. Ikan patin kurang laku di Pontianak, sehingga tidak dibudidayakan. Tapi, di daerah lain cukup diminati. Kedua, masyarakat dipersilahkan memelihara ikan toman, tapi pakannya harus diganti. Misalnya, dengan ulat pelepah dan batang kelapa sawit.
Teknologi deseminasi ulat sudah bisa dilakukan. Namun, masalah pokok dan menjadi kekhawatiran adalah, kalau ulat itu dikembangkan, nanti malah tidak bisa dikendalikan pertumbuhannya. Seperti terjadi pada keong mas. Keong mas bagus untuk perikanan. Tapi, kalau tidak terkendali pertumbuhannya, akan menganggu pertanian. Perkembangannya cukup cepat.
Pada dasarnya, kalau orang masih mempertahankan suatu komoditas, tentu komoditas itu masih mempunyai nilai ekonomis bagi masyarakat. Kalau pun nilai ekonomis itu dianggap dapat menganggu suatu ekosistem lebih besar, tentu saja harus ada sosialisasi di masyarakat. Lalu, mencari cara bersama terhadap permasalahan itu, dan bagaimana memecahkannya.
“Makanya, saya meminta pada pemerintah, untuk turut campur atau intervensi dalam masalah ini. Agar jelas penanganannya,” kata Azis.***
Foto by Muhlis Suhaeri, "Keramba Ikan Toman di Nanga Suhaid."
Edisi Cetak, minggu kedua, Desember 2005, Matra Bisnis
Edisi Cetak, minggu kedua, Desember 2005, Matra Bisnis
No comments :
Post a Comment