Oleh: Muhlis Suhaeri
Sosoknya sederhana. Dibalik keserderhanaan itu, tersimpan suatu karakter. Gigih dan tegar. Gigih mencapai tujuan. Tegar menghadapi masalah. Itulah gambaran seorang Wakil Gubernur Kalbar, LH. Kadir.
Seorang anak paruh baya berjalan kaki dengan beban. Langkahnya mengikuti deretan rombongan. Jumlahnya mencapai 50-60 orang. Setiap pundak, terkait pikulan berisi 50 kg berbagai macam bahan. Ada lada, karet, tembakau, kopi dan hasil bumi lainnya. Mereka menyusuri jalan kampung. Pada sebuah tempat, rombongan berhenti. Kepala rombongan mengutus seorang untuk melihat, apakah polisi masih terjaga? Bila polisi sudah tidur, rombongan kembali jalan mencapai tujuan.
Tak terasa, perjalanan telah mencapai hari keempat. Rombongan menurunkan dan menjual seluruh dagangan. Dan si anak tersenyum bangga. Kerja kerasnya membuahkan hasil. Dia mendapat hak sepenuhnya, atas penjualan 25 kg lada putih yang dia pikul. Lada putih 1 ringgit 50 sen perkati. Satu kati setara dengan 6,25 ons. Lumayan, bisa sebagai tambahan biaya sekolah.
Itulah gambar masa kecil LH Kadir. Ketika liburan kelas 4, 5, dan 6 SD. Dia selalu mengikuti pamannya ke Lubuk Antu, Engkelili dan Semanggang (sekarang bernama Sriaman), Serawak, Malaysia. Kalau libur sekolah, dia sering bolak balik ke sana. Mereka berjalan kaki dari Benua Martinus. Jarak Benua Martinus menuju Lubuk Antu sekitar 103 km. Pulang dari Malaysia, mereka membawa barang kebutuhan sehari-hari.
Pamannya bernama Abang Mungkan, seorang pedagang hasil bumi. LH Kadir hanya tahu, apa yang mereka lakukan itu disebut smokel. Dalam bahasa sekarang, kegiatan itu berarti penyelundupan. LH Kadir tidak tahu, kalau tindakan itu illegal. Namanya juga masih kecil. Polisi akan menangkap dan menyita barang, kalau memergoki rombongan. Karenanya, untuk menghindari polisi, mereka harus menunggu polisi tertidur. Setelah itu, barulah rombongan lewat.
Suatu ketika polisi belum tertidur, ketika rombongan hendak melintas. Terpaksalah mereka bersembunyi di hutan. Karena tidak tahu, LH Kadir tidur saja di sana. Mereka memintanya tidur di bagian tengah rombongan. Setelah melanjutkan perjalanan, dia diberitahu. Tempat yang baru saja ditiduri, adalah sebuah.......pendam, atau kuburan.
LAURENTIUS HERMAN Kadir terlahir dari pasangan Paulus Banda dan Maria Pikai. Darah suku Kantuk Melaban, mengalir dalam dirinya. Keluarganya petani kecil ladang berpindah. Dia lahir tanggal 28 Mei 1941, di Sungai Utik, Temeru, Kemacatan Embaloh Hulu, Kapuas Hulu. Kadir mempunyai dua saudara. Kakaknya bernama Silvester Lanik, dan adik bernama Florentius Karya.
Waktu itu masih setengah nomaden. Dia pernah tiga kali pindah kampung. Setelah tinggal di Sungai Utik, keluarganya pindah ke Sengkuang Kuning. Dia mulai sekolah di sana. Setelah itu, keluarganya pindah ke Keling Semulung.
Keluarganya termasuk orang sekolahan. Ayah dan semua lelaki keluarga besarnya bisa menulis. Di tempatnya tinggal, ada program pemberantasan buta huruf. Seorang guru keliling, datang ke berbagai kampung, mengajari orang menulis. Namun, semua bibi tak bisa menulis. Neneknya sedikit bisa menulis. Dia seorang tumenggung.
Kadir pertama kali sekolah umur 9 tahun. Dia terlambat sekolah. Ketika itu, syarat sekolah ada tiga. Pertama, harus bisa berenang. Kedua, sanggup mendayung sampan. Ketiga, dapat memasak sendiri. Jadi, ada syarat tersendiri. Biasanya, anak umur 9 tahun sudah sanggup melakukan ketiga syarat itu. Sekolahnya berjarak dua hari dengan mendayung sampan dari rumah. Terpaksalah, dia dan abangnya menginap di sekolah. Sekolah itu merupakan Sekolah Rakyat Negeri 3 tahun di Nanga Embaloh.
Kenapa 3 tahun? Karena lamanya sekolah 3 tahun.
SD Negeri 6 tahun hanya ada di Putussibau. Yang ketika itu masih kawedanan, dan termasuk Kabupaten Sintang. Kebetulan setelah lulus sekolah, ada misi Katolik membuka tiga SD 6 tahun. Sebuah SD subsidi. SD 6 tahun biasa juga disebut SD Sambungan. Karena awalnya mulai kelas 4, 5 dan 6. SD disediakan bagi siswa SD 3 tahun, yang ingin melanjutkan sekolah. Misi Katolik membuka sekolah SD 6 tahun di Benua Martinus, Bika, dan Sejiram.
Kadir sekolah di Benua Martinus. Sekolah itu jaraknya dua hari dari rumahnya. Selama tiga tahun, dia tinggal di rumah orang Tionghoa. Namanya Lo Then Loi. Dia membantu segala macam pekerjaan rumah. Pagi sekali dia bangun. Lalu, menyapu, mengepel, dan mencuci peralatan makan semalam. Setelah itu, berangkat sekolah dengan menyeberang pakai sampan. Pulang sekolah pukul 13.15. Selepas sekolah, ada pekerjaan menunggu. Kalau tidak membelah kayu, ya, mencari kayu bakar. Atau, mencari keladi hutan bagi makanan babi. Dia merebus keladi itu dan memotongnya. Masyarakat menyebut makanan ternak itu selimpat.
Selain itu, dia juga biasa menjala ikan, pasang bubu, pukat, jermal, menuba, serta memancing ikan piyayik. Ikan piyayik bentuknya seperti ular. Kulitnya biasa dibawa ke Malaysia. Menjerat biawak di hutan dan menangkap buaya di sungai atau rawa, juga menjadi bagian dari hidupnya. Pamannya membawa kulit biawak dan buaya ke Malaysia. Dengan paman inilah, dia sering berpetualang menangkap buaya.
Cara menangkap buaya ada dua. Dengan alir atau pancing dan menyuluh. Jenis pancing buaya bermacam ragam. Ada namanya kaungkana, penantan, sekang, dan rabai. Umpannya dari daging biawak atau ikan. Menyuluk buaya adalah menyenter buaya dan menangkapnya dengan tempelung, sejenis tombak dengan mata cabang. Supaya cepat binasa, buaya musti dipukul di bagian dapur (ubun-ubun). Buaya ada dua jenis. Buaya ikan dan rabin. Yang berbahaya adalah buaya rabin. Buaya ini ganas dan suka memangsa manusia. Jenisnya ada dua, merkatak dan kenyulung.
Ada satu peristiwa tak terlupakan hingga kini. Syarat lulus kelas 6 SD, harus mengikuti ujian di SD Putussibau. Semua peserta lulus ujian. Setelah ujian, pulang dan menginap di lanting Atjhai. Pukul 6 pagi, dia telah bangun dan mandi di sekitar lanting. Di sekitar lanting ada 5 orang. Dua perempuan pemilik rumah sedang memasak. Dua temannya SD sedang membelah kayu. Satu lagi, anak pemilik rumah dan masih tidur.
Saat hendak mengosok gigi, Kadir melihat seseorang mendayung sampan mendekati lanting. Dia merasa curiga dengan gelagat orang ini. Benar saja. Begitu selesai mengikat sampan di lanting, orang itu langsung mengambil mandau. Orang pertama mendapat serangan adalah dirinya. Mandau meluncur menebas kepala. Secara reflek, dia mundur ke belakang, sehingga terhindar dari malapetaka. Kadir tidak sadar melakukan gerakan itu. Yang dia tahu, suara mandau berdesing di atas kepala.
Karena tak mengenai sasaran, orang itu langsung menyerang, Vitalis Nyenyek, yang sedang membelah kayu. Teman itu tidak sadar dan dia masih sempat bicara, “Eh, kalau main-main itu jangan sekeras itu.” Mereka memang biasa bergurau. Sebuah sabetan berikutnya, mengarah ke punggung. Nyenyek memegang pundaknya. Tangannya kena sabetan mandau hingga hampir putus. Setelah itu, penyerang menghantam perempuan di sebelahnya. Keduanya lari dan terjun ke sungai. Pas mengejar perempuan, penyerang melihat Antonius Tajak, terbaring tidur.
Penyerang langsung menghantam Antonius. Mandau mengenai kepalanya. Mendengar suara gaduh, orang tua Antonius langsung mendatangi. Dengan tangan kosong, dia merebut mandau. Dia termasuk pendekar. Mandau berhasil direbut dan penyerang dihantam dengan Mandau. Penyerang tewas seketika dengan kepala hampir terkelupas separuhnya. Tajak dibawa ke rumah sakit, tapi meninggal di sana.
Ketika SMP, Kadir masuk SMP Misi di Putussibau. Dia tinggal di asrama. Di sana ada asrama putri juga. Pembinanya seorang pastur bernama pastur Chlot dari Belanda. Dia dari Societat Maria Momfortan (SMM).
Selepas SMP, dia sekolah di SMEA Pontianaik dan tinggal di asrama Kinibalu. Selesai SMEA berhenti beberapa bulan, dia masuk ke AMN (Akademi Militer Nasional). Berat badannya cuma 42 kg. Padahal minimal harus 45 kg. Setelah itu mendaftar di KDC (Kursus Dinas C), semacam Pamong Praja. KDC selama 3 semester. Begitu selesai, dia diangkat menjadi pegawai dan ditempatkan di Putussibau.
Pada 1 September 1965, dia melanjutkan sekolah di APDN, dan tamat tahun 1968. Selesai pendidikan kembali ke Kapuas Hulu, dan memegang jabatan sebagai Kepala Pemerintahan Bagian Sosial dan Politik. Tahun 1971, dia pindah ke Pontianak.
Kadir menikah tahun 1970. Istrinya bernama Margaretta Maria. Ketika Kadir tamat KDC, Margaretta masih SMP. Selepas tamat SMA, dia langsung melamarnya. Yang menarik dari istri, selain orangnya cantik, juga cerdas. Sejak kelas 5 SD, selalu menjadi juara kelas.
Dari perkawinan itu lahir tiga anak. Semuanya lelaki. Mereka adalah, Alexander, Yan Fransf, dan David Riyan. Cara mendidik anak, dia tidak mendidik mereka dengan cara mengekang terlalu berlebihan. Juga tidak mau mendidik dengan cara sebebas-bebasnya. Anak perlu dihargai, walau pun mereka masih kecil. Seorang anak akan diajak berkomunikasi. Misalnya, ketika akan membeli sesuatu. Si anak juga diminta pendapatnya. Anak tentu saja merasa dihargai. Kalau anak ingin ingin membeli sesuatu, dia tidak langsung mengiyakan kemauan anak. Tapi, berkata ke anak, dia musti menabung dulu. Kalau hari minggu, anak dibiasakan pergi ke gereja berbarengan. Yang utama dalam mendidik anak, jangan memarahi di depan kawannya. Cara menegur anak jangan dengan marah.
Begitu anak lahir, dia menabungkan anak Rp 5 ribu sebulan. Jadi, ketika mereka kuliah, mereka kuliah dengan uang itu. Cukup tidak cukup, ya harus dengan uang itu. Untuk kontrak dan lainnya, Kadir yang bayar. Dan dia merasa bersyukur, karena anaknya tidak terlibat berbagai macam kegiatan, seperti judi, narkoba dan lainnya.
Selama berkarir di pemerintahan, Kadir pernah menjabat sebagai Pengawasan Pemerintahan, Inspektur Bidang Pembangunan, Kepala Biro Pemerintahan Desa, Kepala Biro Pemerintahan Umum. Dia pensiun sebagai Asisten 1 Sekda, pada tahun 2001. Ketika ada pemilihan gubernur tahun 2002, Usman Jafar menggandengnya sebagai wakil. Dia terpilih dan menduduki Wakil Gubernur Kalbar, hingga sekarang.
Apa rahasia dalam menjalankan tugasnya?
“Ada dua syarat sebagai pemimpin,” katanya. Syarat pertama, harus dapat menyelesaikan masalahnya sendiri. Bila ada masalah, dia tak mau mengadu pada siapa saja tentang keadaannya. Dia menyerahkan semua itu pada Tuhan. Kedua, seorang pemimpin harus bisa mengayomi. Jadi, bisa memberikan kesejukan.
Kalau ada masalah terlalu berat, dia menyerahkannya kepada Tuhan dan memanjatkan do’a. Contohnya, sewaktunya istrinya meninggal. Seorang pemimpin, tidak boleh menunjukkan perasaan sedih di depan keluarga dan masyarakat. Kadir masih sempat memberikan sambutan, ketika jenasah dimasukkan peti. Dia tidak mau mewakilkan pada orang lain. Pada saat pemakaman juga memberikan sambutan.
“Dan, mungkin ini memang ajaran dari keluarga saya. Kita tidak boleh terlalu hanyut oleh permasalahan seperti itu,” tuturnya. Seorang pemimpin harus berani menghadapi sesuatu. Walau pun itu sedih. Hal itu merupakan kekuatan mental, bahwa seorang pemimpin harus punya karakter dan tidak boleh cengeng. Dia merasa, nilai-nilai pada dirinya didapat dari keluarga. Keluarganya pengurus adat dan membina orang banyak. Tata nilai di keluarga begitu kental.
Dia merasa ada dua orang paling berjasa dalam karirnya. Orang itu adalah Drs. H. Soenirman Broto Sandjoyo, Kepala Inspektorat Propinsi, dan H. Soedjiman (Gubernur Kalbar). Soenirman berasal dari Prambanan, Yokyakarta. Cara diplomasinya tinggi sekali. Dia cukup banyak merubah karakter Kadir. Soenirman membuatnya bisa berdiplomasi. Ya, maklum saja, karena orang Kalimantan temperamennya tinggi.
Soenirman sabar sekali. Kalau ada waktu senggang, dia selalu memanggil dan mengajaknya bicara. Dari segi pergaulan, mengatasi masalah, dan diplomasi, dua orang itu sangat mempengaruhi Kadir. Dia merasa, Soenirman mengorbitkannya menjadi sekretaris Golkar Kalbar dari tahun 1979-1984. Selama dua kali masa jabatannya, Soenirman pernah sekitar 60 kali, mengajak Kadir berkeliling. Seakan-akan ingin mempromosikannya. Hal itulah yang membuatnya lebih mengenal masyarakat, dan masyarakat juga mengenalnya.
Ada satu hal bisa menggambarkan kesabaran Soenirman. Diserang bagaimana pun, dia tidak mau membalas. Kesabarannya begitu kuat. Dia tidak mau bereaksi dan memperlihatkan sikap permusuhan. Akhirnya, orang itu mental sendiri. Sekarang ini, Soenirman sudah meninggal. Jabatan terakhirnya sebagai Inspektur Jenderal Dalam Negeri. Kadir tidak akan pernah melupakannya.
“Saya bisa seperti sekarang, karena beliau itulah. Jadi, yang banyak membentuk saya adalah orang Yokya. Walau pun, saya tidak bisa seperti orang Yokya. Tidak bisa halus, dan sewaktu-waktu muncul aslinya,” kata Kadir.
Memiliki banyak teman merupakan sesuatu paling berharga dalam dirinya. Tidak hanya kelompok tertentu, tapi juga teman dari berbagai suku bangsa. Dia merasa, apa yang dicapai sekarang, tidak bisa dilepaskan dari karunia Tuhan, dan harus mensyukurinya. Kadir selalu bersyukur atas nikmat.
Kedepannya, dia ingin melaksanakan tugas dengan sebaik-baiknya. Kalau melakukannya dengan baik, Tuhan akan memberikan pekerjaan lain, dan lebih bagus. “Begitu saja saya, tidak ada ambisi tertentu,” katanya mengakhiri pembicaraan.***
Foto by Lukas B. Wijanarko, "LH Kadir."
Edisi Cetak, minggu kedua, Desember 2005, Matra Bisnis
Wednesday, December 14, 2005
Menapak Jejak Menggapai Puncak
Subscribe to:
Post Comments
(
Atom
)
No comments :
Post a Comment