Saturday, November 28, 2009

Menelusuri Tionghoa Perintis di Kalbar

Muhlis Suhaeri
Borneo Tribune, Pontianak
Tak banyak buku yang membedah dan menelusuri, sejauhmana peran masyarakat Tionghoa dalam sejarah perkembangan sosial, budaya dan ekonomi di Kalbar. Dari buku inilah, sejarah dan peranan itu terpapar dengan baik.

Buku ini berjudul “Goldiggers, Farmers and Traders in the ”Chinese Districts” of West Kalimantan. Lalu diterjemahkan dan diterbitkan Yayasan Nabil (Nation Building), Jakarta dengan judul, “Penambang Emas, Petani, dan Pedagang di ‘Distrik Tionghoa’ Kalimantan Barat”. Buku ini ditulis oleh Mary Somers Heidhues.

Mary kelahiran Philadelphia, Amerika Serikat (1936). Ia lulusan Trinity College, Washington DC, 1954-1958. Pascasarjana sarjana diselesaikan di Cornell University, New York, 1958-1964. Gelar Doktor diperolehnya di Cornell University, New York, 1965.


Mary banyak menghabiskan waktunya di Indonesia, untuk meneliti Tionghoa peranakan. Buku “Penambang Emas, Petani, dan Pedagang di ‘Distrik Tionghoa’ Kalimantan Barat”, merupakan penelitiannya selama 10 tahun di Kalbar.

Selain menulis tentang orang Tionghoa di Kalbar, Mary juga melakukan penelitian di Bangka. Penelitiannya di Bangka selama 7 tahun, diterbitkan dengan judul “Bangka Tin and Mentok Peppers (1992).

Titik tolak dari penelitian buku ini adalah, kurangnya informasi dan beberapa kesalahan informasi mengenai, pusat berkumpulnya minoritas penting di Indonesia. Juga, berusaha menggali catatan sejarah yang bisa saja hilang dengan segera.

Dari judulnya saja, kita sudah bisa membayangkan, apa kira-kira isi dari buku ini. Buku bercerita tentang kedatangan awal komunitas Tionghoa di Kalbar. Tepatnya di sebuah distrik Tionghoa. Kenapa dinamakan distrik Tionghoa? Karena sebagian besar wilayah itu, menjadi tempat tinggal bagi komunitas warga Tionghoa di Kalbar.

Alasan penelitian dilakukan di Kalbar, sebab orang Tionghoa di Kalbar, merupakan sebuah kelompok Tionghoa yang unik di antara minoritas Tionghoa Indonesia. Dalam gambaran umum masyarakat Indonesia tentang orang Tionghoa, biasanya muncul dengan gambaran orang yang kaya, pengusaha dan berhasil. Mereka biasanya menguasai berbagai bidang ekonomi.

Namun, gambaran itu akan serta merta hilang, ketika kita melihat sosok dan gambaran tentang warga Tionghoa di Kalbar. Mereka menempati beragam lapangan pekerjaan. Mulai dari strata rendah hingga tinggi. Tionghoa di Kalbar, bergerak di sektor mulai dari perdagangan kecil, pemilik toko, petani dan nelayan. Tak jarang dari komunitas ini hidupnya miskin dan sulit. Selain itu, mereka juga masih menggunakan bahasa Ibu hingga sekarang, dalam kehidupan sehari-hari.

Migrasi atau perpindahan pertama orang Tionghoa di Kalbar, sulit diketahui secara pasti. Namun, sejarah keberadaan mereka, berisi kisah dan upaya berbagai masyarakat asli dan pemerintah kolonial di wilayah Kalbar, untuk menindas dan menguasai mereka. Repotnya lagi, penguasaan itu seringkali menggunakan kekerasan.

Sebelum abad ke 13, pengunjung dan pedagang dari Tiongkok sudah mendatangi pulau Borneo, untuk melakukan perdagangan. Wilayah Kalbar yang berada di laut China Selatan, juga merupakan lintasan perdagangan internasional, dari dan menuju India. Karenanya, tak heran bila banyak armada dagang yang melewati atau singgah di daerah ini.

Pada masa ini, orang Tionghoa belum banyak yang menetap. Dalam kontak perdagangan itu, barang dagangan dari Borneo yang diekspor biasanya terdiri dari hasil hutan dan laut, emas dan intan. Lalu, barang itu ditukar dengan garam, beras, dan barang kebutuhan lainnya dari Tiongkok.

Orang Tionghoa mulai menetap di wilayah Kalbar, dalam jumlah besar sekitar pertengahan abad ke 18. Migrasi orang Tionghoa menempati wilayah yang disebut Distrik Tionghoa. Daerah ini meliputi sebelah Utara Pontianak, sepanjang pesisir hingga ke Sambas dan perbatasan Sarawak. Wilayah tersebut meliputi lembah-lembah sungai yang subur. Tak hanya di sepanjang pesisir, tapi mencakup wilayah hingga puluhan kilometer ke pedalaman. Dalam istilah administrasi saat ini, Distrik Tionghoa mencakup wilayah Kota Pontianak, sebagian Kabupaten Pontianak, dan sebagian Kabupaten Sambas. Sebagian besar yang menghuni Distrik Tionghoa merupakan orang Hakka.

Migrasi orang Tionghoa di Kalbar, dilakukan secara swakarsa dan menggunakan jaringan mereka sendiri. Mereka diorganisir oleh sesamanya. Dan, hampir semua pendatang Tionghoa adalah calon buruh. Alasannya, mereka berhutang untuk membiayai perjalanan yang dilakukan.

Kondisi yang sama juga terjadi pada para tenaga kerja Indonesia (TKI), sekarang ini. Mereka terjerat hutang, dan harus membayar uang pada para penyalur tenaga kerja atau agen yang memberangkatkan mereka. Uang dipotong dari gaji yang mereka terima saat sudah bekerja sebagai TKI.

Kedatangan awal orang Tionghoa di Kalbar, juga didorong pihak kerajaan Sambas. Pada awalnya, kerajaan turut serta mendatangkan para pekerja ini, karena kebutuhan pertambangan yang mereka miliki. Namun, pihak kerajaan juga memberlakukan aturan-aturan yang menjerat. Misalnya, pajak bagi kedatangan dan kepulangan orang Tionghoa. Kerajaan juga melarang orang Tionghoa membuka lahan pertanian. Tujuannya, agar pihak kerajaan bisa tetap memenuhi kebutuhan pangan para penambang ini. Dan, harga yang ditetapkan bagi kebutuhan tersebut, cukup tinggi. Meski begitu, persediaan barang kerap tak mencukupi.

Sebagian besar orang Tionghoa di Kalbar, datang dari provinsi Guangdong di Tiongkok bagian selatan. Mereka berbahasa Hakka, Teochiu, Kanton, Hainan, dan lainnya. Walaupun berasal dari satu wilayah, mereka tidak saling memahami bahasa yang digunakan. Meski terlihat homogen, namun keterpisahan diantara mereka begitu besar.

Pascamigrasi tersebut, ada dua kelompok suku besar muncul. Yaitu, Teochiu atau Hoklo dan Hakka. Orang Teochiu lebih banyak berkumpul di perkotaan dan mengandalkan diri dari perdagangan. Orang Hakka bekerja di pertambangan dan pertanian. Dalam perkembangannya, kemudian menjadi pedagang kecil di pedalaman. Karenanya, orang Hakka biasa disebut sebagai para perintis. Daratan luas Borneo tepat bagi sifat dan karakter orang Hakka, saat itu.

Diantara komunitas Tionghoa lainnya, perempuan Hakka lebih gigih dalam bekerja. Mereka juga lebih bebas memilih pekerjaan, dan mandiri sifatnya. Mereka terbiasa bekerja keras di ladang.

Tak heran bila dalam berbagai alasan kawin campuran antara warga Taiwan dengan perempuan di bekas Distrik Tionghoa sekarang ini, hal itu jadi salah satu alasan. Bahwa, perempuan Hakka rajin bekerja, sehingga disukai keluarga Taiwan. Meskipun ada banyak alasan lain, kenapa pria Taiwan kawin dengan perempuan Hakka di Singkawang. Misalnya, biaya kawin lebih murah, alasan satu leluhur, dan lainnya.

Pada masa awal ini, ada tiga kelompok komunitas Tionghoa muncul, dibedakan dari tempat tinggal dan mata pencahariannya. Kelompok pertama, terdiri dari para penambang emas. Sebagian besar mereka bujangan. Biasanya tinggal di asrama pertambangan. Biasanya imigran dan penduduk sementara. Kelompok kedua, orang Tionghoa yang mata pencariannya terkait dengan kongsi pertambangan, namun bukan sebagai penambang. Mereka bekerja sebagai petani atau pedagang kecil. Tinggal di pasar-pasar kecil dan melayani kebutuhan komunitas tambang. Biasanya penduduk kelahiran setempat atau perkawinan campuran atau bekas penambang. Kelompok ketiga, penghuni perkotaan, pedagang, tukang dan buruh.

Pada awal kedatangan, orang Tionghoa lebih banyak bergerak di sektor pertambangan emas. Karena tingginya harga kebutuhan pokok yang diterapkan pihak kerajaan Sambas, mereka juga memenuhi kebutuhan hidupnya dengan bertani.

Sebagai petani, orang Tionghoa dan Dayak tidak bersaing memperebutkan tanah. Biasanya orang Dayak bertani di tanah lebih tinggi, kering, dan berbukit-bukit. Sebab, daerah itu lebih cocok untuk berladang. Orang Tionghoa menyukai dataran rendah dengan banyak pengairan untuk bersawah.

Dalam perkembangannya, kedua sistem itu berubah seiring berjalannya waktu. Beberapa orang Dayak beralih ke tanah basah. Demikian juga orang Tionghoa. Dengan pengenalan terhadap tanaman niaga, seperti karet dan lada, orang Tionghoa menggunakan dataran tinggi. Pada abad ke 20, kondisi tanah mulai berkurang. Kondisi itu membuat persaingan antara dua kelompok etnis tersebut juga meningkat.

Dalam perkembangannya, orang Tionghoa juga mengisi berbagai sektor ekonomi dan perdangangan. Para petani dan pedagang Tionghoa punya peran utama di Kalbar. Mereka menyumbang berbagai ilmu pengetahuan dan pengenalan, terhadap berbagai jenis tanaman baru, dan penggunaannya bagi petani setempat.

Masyarakat di Kalbar, terdiri dari tiga kelompok etnis utama. Biasa disebut Tiga Pilar, yaitu, Dayak, Melayu, dan Tionghoa. Hingga saat ini, ciri etnisitas yang berhubungan dengan sektor ekonomi tertentu atau spesialisasi ekonomi, memperkuat identitas dan membuat perbedaan diantara kelompok etnis menjadi lebih kuat.

Dalam bidang ekonomi, ada sesuatu yang unik dan khas dari Tionghoa di Kalbar. Sejak pra-kolonial hingga sekarang, mereka berorientasi keluar dan tidak terikat dengan Jawa, yang menjadi pusat pemerintahan dan ekonomi. Orientasi ekspor, tapi lebih cenderung pada penyelundupan. Kecenderungan ekonomi lebih terhubung dengan Singapura, Sarawak, dan lainnya. Sifat orientasi ekonomi keluar ini, jadi salah satu penyebab terjadinya konflik yang terus berulang dengan pemerintah pusat.

Pada masa awal kehidupan di Kalbar, orang Tionghoa mengusahakan pertambangan emas. Kehidupan pertambangan ini bisa diselenggarakan dengan baik, karena orang Tionghoa tidak memiliki gelar secara turun temurun. Kondisi itu membuat mereka setara, satu dengan lainnya. Sehingga lebih egaliter.

Pemimpin biasanya dipilih berdasarkan kekuatan fisik dan kemampuan organisasi. Status sosial biasanya tak lepas dari unsur kekayaan. Bahkan, pada abad ke-20, ketika pendidikan sudah berkembang pesat, kekayaan tetap jadi penentu terpenting bagi kepemimpinan komunitas. Walaupun, pendidikan juga dihargai.

Sebagai penambang emas, orang Tionghoa bersaing dengan orang Melayu dan Dayak. Dua suku ini mengerjalan penambangan lebih awal. Namun, metode yang digunakan orang Tionghoa lebih efisien. Teknologi pertambangan dan organisasi pekerja, menghasilkan emas lebih banyak dari penambangan yang menggunaan metode tidak beraturan. Penambang lokal biasanya bekerja sebagai penambang, ketika kerja-kerja pertanian, penangkapan ikan, perburuan, dan pengumpulan hasil hutan, tidak mereka lakukan.

Di pertambangan, kemampuan orang Tionghoa disatukan dalam berbagai pekerjaan, melalui sebuah organisasi tambang atau kongsi. Mereka mandiri dan memenuhi berbagai keperluannya sendiri. Sangking kuatnya, pemerintah kolonial Belanda, juga khawatir dengan keberadaan organisasi ini. Para penambang ini relatif merdeka hidupnya.

Ada beberapa alasan, kenapa para penambang bisa hidup merdeka. Kondisi alam yang luas, membuat mereka lebih bisa mendayagunakan sumber daya alam yang ada. Sifat dari kekuasaan kerajaan Melayu, kekuatannya terpusat dan lemah di pinggiran. Tak ada penguasaan wilayah. Yang ada hanya penguasaan orang-orang. Sementara, orang sifatnya dinamis dan bisa pindah ke mana saja dan kapan saja. Hal paling penting, kenapa orang Tionghoa memperoleh kemerdekaannya, karena mereka mendayagunakan organisasi- organisasi yang kuat dan relatif stabil, yaitu kongsi.

Tak heran bila sejarawan Onghokham dalam tulisannya, “The Chinese of West Kalimantan” menulis, di seluruh kepulauan Indonesia, orang Tionghoa Kalbar kemungkinan besar, merupakan satu-satunya pendatang Tionghoa yang untuk berpuluh-puluh tahun, bebas membentuk lembaga-lembaga sosial, politik, dan budaya mereka sendiri, juga lembaga lainnya. Mereka relatif bebas dari segala pengaruh luar, seperti dari negara kolonial yang kuat dengan kebijakan-kebijakan sentralitisnya.

Dalam komunitas tambang abad ke 19, biasanya para penambang merupakan bujangan. Karenanya, mereka menikahi penduduk lokal, terutama Dayak. Para istri ini diintegrasikan ke dalam masyarakat Tionghoa. Mereka mengenakan pakaian, dan belajar budaya, serta bahasa suaminya. Namun, ketika komunitas-komunitas itu sudah menetap, dan generasi perempuan sudah lahir, pernikahan antara laki-laki Tionghoa dengan perempuan Dayak, jarang terjadi.

Pada masa awal kehidupan orang Tionghoa di Kalbar, tidak bisa dipisahkan dengan kongsi. Pada abad ke 19, ada tiga kongsi besar di Kalbar. Pertama, Fosjoen di Monterado. Kedua, Lanfang di Mandor. Ketiga, Samtiaokieo di Sambas. Selain itu, masih ada kongsi-kongsi kecil yang hidup dengan mandiri. Bila diperlukan, kongsi ini juga melebur dan bergabung dengan kongsi yang lebih besar membentuk sebuah federasi. Baik kerajaan pribumi maupun kekuasaan kolonial, tidak memiliki organisasi, infrastruktur dan kekuasaan yang sebanding dengan federasi ini.

Kongsi menjadi pusat kegiatan. Tak hanya pertambangan. Kongsi punya struktur. Kepemimpinan dilakukan dengan pemilihan, dan dilakukan secara teratur. Para pimpinan kongsi menyelesaikan tindakan kriminal dan perdata. Menjaga hukuman badan. Mempersiapkan angkatan bersenjata. Mengembangkan jalur hubungan komunikasi darat. Memacu perdagangan, perniagaan, dan industri. Memungut pajak dan cukai. Mendirikan sekolah. Bahkan, mencetak uang sendiri. Selain itu, juga menyelenggarakan upacara keagamaan, untuk menjaga solidaritas dan kesejahteraan umum.

Tak heran bila, keberadaan kongsi yang merdeka dan kuat tersebut, membuat penguasa kolonial berang. Belanda menganggap, organisasi Tionghoa teleh merebut kekuasaan, atas berbagai hal yang tidak boleh menjadi hak mereka. Termasuk dalam hal kepemilikan tanah.

Konflik para kongsi tak hanya dengan kolonial, tapi juga antar kongsi. Permasalahan mendasar dari pertambangan adalah, persaingan mendapatkan sumber daya, lokasi emas, dan persediaan air yang semakin sedikit dan langka.

Terkurasnya kandungan emas di wilayah pertambangan yang dimiliki, membuat mereka harus mencari wilayah baru. Karenanya, satu-satunya alternatif adalah, memperluas wilayah pertambanga. Namun, alternatif ini mengakibatkan ketegangan dengan kongsi lainnya, atau dengan orang Dayak dan Melayu, yang juga mengerjakan lokasi pertambangan, lebih jauh ke pedalaman.

Karenanya, konflik-konflik yang terjadi antara orang Tionghoa dengan keompok lain, tidak selalu tergantung pada garis etnis. Orang Melayu dan Dayak, dapat menjadi sekutu atau musuh bagi orang Tionghoa.

Sejarah komunitas Tionghoa di Kalbar, juga ditandai dengan Perang Kongsi. Ini perang antara kongsi dan pemerintah kolonial. Perang ini mengacu pada tiga periode peperangan. Yaitu, 1822-1824. Kedua, 1850-1854. Ketiga, 1884-1885. Bahkan, sepanjang 1818 hingga 1849, meski kondisinya damai, tapi penuh dengan pergolakan. Perang kongsi berakhir pada 12 Agustus 1885. Ada empat pemberontak tertangkap di Mandor. Lalu, keempatnya dihukum mati.

Salah satu penyebab Perang Kongsi, karena residen Belanda saat itu, Kater, mengusir Kwan Ya dan Lo Fong Pak ke tempat lain, dan mengambil alih kepemimpinan atas thang.

Perang Kongsi melahirkan persekutuan etnis dan politik yang komplek. Karenanya, Perang Kongsi tidak bisa disebut sebagai perang perlawanan orang Tionghoa melawan kolonialisme Belanda. Sebab, beberapa orang dari Kongsi Thaikong, musuh paling terkenal dari kolonial, memohon damai dan minta bantuan kepada Belanda.

Salah satu kunci kemenangan Belanda dalam peperangan ini, kemampuan angkatan laut Belanda dengan kapal uapnya, memblokade jalur laut. Terutama ketika perang di Monterado. Sehingga angkatan laut Belanda, bisa memutus jalur perbekalan kaum pemberontak. Seperti, beras, garam, candu dan amunisi. Singapura merupakan salah satu pelabuhan yang menjadi pusat dari distribusi jalur perdagangan saat itu.

Peristiwa besar lainnya, yang menandai sejarah orang Tionghoa di Kalbar, terusirnya orang Tionghoa secara besar-besaran dari kantong-kantong Distrik Tionghoa pada 1967. Hasutan dari pihak militer mulai memberikan pengaruh, mengibarkan balas dendam orang Dayak. Kampanye itu segera saja menjadi perburuan umum terhadap seluruh orang Tionghoa. Bahkan, para pedagang dan petani yang telah hidup damai berdampingan dengan orang Dayak dari generasi ke generasi pu, tidak terhindarkan dari serangan ini.

Buku ini memberikan banyak informasi menarik, mengenai sejarah awal kedatangan orang Tionghoa di Kalbar. Latar belakang munculnya konflik, menjadi bahan kajian menarik, untuk mengambil benang merah dari berbagai rentetan peristiwa sejarah mengenai konflik yang pernah terjadi pada masa lalu, dan sekarang.

Rasanya, tak berlebihan bila buku ini menjadi bacaan penting bagi para akademisi, mahasiswa, dan berbagai pihak yang ingin memahami, berbagai permasalahan yang ada di Kalbar, dulu dan sekarang.

Salah satu kelemahan dari buku ini, terjemahannya masih terlihat kaku, seperti halnya bahasa-bahasa buku penelitian. Namun, hal itu tertutup dengan banyaknya informasi penting, mengenai sejarah peranakan Tionghoa di Kalbar. Apalagi, Kalbar merupakan salah satu daerah dengan populasi masyarakat Tionghoa cukup besar. Dan, munculnya keterbukaan politik, menempatkan orang Tionghoa dari Hakka dalam pucuk pimpinan pemerintahan di Kalbar. Christiandy Sanjaya sebagai Wakil Gubernur di Kalbar. Serta, Hasan Karman sebagai Walikota Singkawang.


Buku:

Penulis : Mary Somers Heidhues
Judul : Penambang Emas, Petani dan Pedagang di “Distrik Tionghoa”
di Kalimantan Barat, Indonesia
Penerbit : Southeast Asia Program Publication, Cornell University
di Ithaca, New York, 2002
Edisi terjemahan : Yayasan Nabil, 2008
Penerjemah : Asep Salmin, Suma Mihardja dkk.
Penyunting dan desain : Suma Mihardja
Catalog : xxv + 361 hal: 18 cm x 25 cm


Edisi cetak ada di Borneo Tribune 29 November 2009

No comments :