Monday, December 1, 2008

Mengenalkan Realitas

Muhlis Suhaeri
Borneo Tribune, Pontianak

Si Budi kecil kurus menggigil
Menahan dingin dengan jas hujan
Di suatu sore Tugu Pancoran
Tunggu pembeli jajakan koran

Anak sekecil itu berkelahi dengan waktu
Demi satu impian yang kerap ganggu tidurmu.....

Setiap mendengar lagu Sore Tugu Pancoran dari Iwan Fals, aku selalu teringat pada si kecil yang sedang bermain di rumah. Lagu itu bercerita tentang si Budi, anak kecil yang harus berjualan koran, untuk membiayai hidup dan sekolahnya. Budi selalu ngetem di sekitar Tugu Pancoran, Jakarta.


Sebagai orang tua yang sedang memiliki anak kecil, setiap mendengar lagu itu, selalu membuat hatiku serasa dikoyak-koyak. Kenapa harus ada anak kecil berkeliaran di jalan-jalan, untuk mencari sesuap nasi. Padahal, seumuran dia harus bersekolah dan menikmati masa kecil bersama teman-temannya. Pada dunianya.

Namun, inilah realitas. Apapun bentuk dan wujudnya, realitas memang cenderung ekstrem. Ia punya dua sisi yang seolah bisa saling memotong. Berseberangan. Tapi selalu duduk dan berdiri sejajar.

Ada kebahagiaan, tentu ada duka. Ada persahabatan, pasti ada penghianatan. Ada penghargaan, mungkin cacian.

Semua bentuk atau kata sifat itu, selalu melekat. Meski saling bersimpangan realitasnya, tapi ia selalu digunakan sebagai satu kata, untuk menemukan suku kata lainnya. Aneh memang. Begitulah realitas.

Karenanya, aku selalu ingin mengenalkan sebuah realitas pada anak-anakku kelak, sebagai sesuatu yang harus ditelaah. Dikenal. Didekati. Agar, ia tak trauma ketika mengalami suatu realitas yang membahayakan. Atau, ia tak lupa diri, ketika mendapatkan suatu kesuksesan. Aku akan selalu mengajarkannya, kembali ke Titik Nol. Kembali ke asal. Sehingga, ia tak perlu sombong dengan prestasi yang telah diraih.

Aku juga akan mengajak anak-anakku, untuk jalan-jalan ke berbagai lorong yang kotor dan menjijikkan. Agar, ia tahu sebuah realitas kekumuhan di kotanya. Atau, mengajaknya makan di Warung Tegal (Warteg) atau warung emperan. Agar, ia tahu masyarakat kecil yang berada di sekitarnya. Tapi, dia juga akan aku ajak untuk makan di restoran paling mahal sekalipun, agar ia tak minder dan rendah diri dalam bergaul. Juga, mengenalkan sebuah dunia lain.

O...O...ternyata, anak-anakku masih kecil. Ah, rasanya sudah tak sabar untuk melakukannya.□

Edisi cetak ada di Borneo Tribune 1 Desember 2008


No comments :