Saturday, December 29, 2007

Perempuan dan Semangat Pembebasan

Muhlis Suhaeri,
Borneo Tribune, Pontianak

Dor…..Dor…..
Blum……….....

Dua tembakan meluncur. Menembus leher dan dada. Suasana langsung berubah gaduh. Orang berlarian menyelamatkan diri. Semua kacau balau.

Ada mobil terbakar. Daging terpanggang. Asap mengepul. Semua campur aduk. Mengepung jiwa-jiwa yang marah dan kalut.

Aku tertegun. Menyaksikan sebuah drama yang begitu memilukan. Dari layar kaca TV 24 inchi di kantor, sebuah pemandangan terhampar. Stasiun televisi Aljazeera menayangkan berita itu. Penembakan dan bom bunuh diri yang ditujukan kepada Benazir Bhutto. Tokoh oposisi utama di Pakistan.



Malam itu, beberapa saluran televisi seperti CNN dan BBC, menayangkan berita itu hingga sekitar satu jam lebih.

Bhutto berada dalam suatu acara kampanye dan iring-iringan, ketika penembak dan pelaku bom bunuh diri itu, melakukan aksi. Dia sempat dibawa ke rumah sakit di Rawalpindhi. Namun, jiwanya tak tertolong.

Pengikutnya langsung bereaksi. Aksi bakar, dan merusak segera terjadi di beberapa wilayah Pakistan. Dunia internasional pun langsung berseru. Mengutuk penembakan dan segala cara dan bentuk kekerasan yang dilakukan.

Bhutto tidak sendiri. Dia adalah ikon. Simbol pembebasan dan demokrasi melawan Jenderal yang tiran, Perves Musharraf. Pengasingan yang dijalaninya selama delapan tahun di Inggris, tak membuatnya gentar menghadapi segala kekerasan yang ditujukan pada dirinya.

Beberapa jam setelah mendarat, dua bom mobil meledak di tengah iring-iringan orang yang menyambutnya. 138 orang meregang nyawa. Ia bergeming. Tak tunduk pada teror.

Aku jadi teringat pembicaraan dengan orang Pakistan. Dia kawin dengan sepupuku. Namanya, Sayid Laiq. Ia berbahasa Postun. Ada tradisi dalam masyarakatnya, “Dalam kondisi apapun, bahkan ketika bahaya mengancam nyawa, kita tidak boleh lari.”

Bhutto telah menghapus stigma di Pakistan. Mungkin juga di negara lain, bahwa sosok perempuan, tidak hanya berfungsi secara domestik atau bekerja di dapur saja. Melayani suami dan mengurus anak saja. Perempuan juga bisa tampil di ranah yang selama ini, menjadi hegemoni dari lelaki. Ranah politik. Ranah yang identik dengan intrik. Sikut-sikutan dan saling ganyang.

Ia telah berhasil menguak tradisi. Membongkar segala kekolotan dan nilai tradisional yang membelenggu kaum perempuan. Dengan kekuatannya yang khas seorang ibu, sosoknya bisa merangkul dan mengayomi semua kekuatan. Tempat berlindung bagi jiwa-jiwa yang resah. Hunian yang aman bagi mereka yang terpinggirkan. Karenanya, kekuatannya itu tak bisa dianggap remeh.

Bhutto juga telah berhasil membongkar tradisi. Dominasi laki-laki terhadap perempuan. Ia membuka mata kaumnya, ketika segregasi antara lelaki dan perempuan masih mendominasi pola kehidupan suatu masyarakat.

Di satu sisi, Bhutto telah berhasil menguak tabu. Namun, pada sisi yang lain, ia menumbuhkan bibit-bibit ekstremisme atas peran yang hilang dari budaya patriarki. Yang selama ini dipegang kaum lelaki. Apalagi bagi mereka yang masih berpikiran kolot. Maka segala cara pun bakal dilakukan, demi meraih superioritas.

Hatiku terasa ngilu. Pada wajah anggun dan berkarisma di layar itu. Sosok pejuang yang menjadikan dirinya martir, bagi sebuah proses demokrasi. Bagi sebuah tatanan nilai baru.

Tak jauh dari Pakistan, sebuah negara tetangga, juga terjadi gejolak serupa. Myanmar, negara dengan tradisi dan kediktatoran militer, melakukan hal sama pada warganya. Segala bentuk pengekangan yang dilakukan serdadu dengan dukungan bedil, membekap negeri tiran ini, puluhan tahun lamanya.

Aung San Suu Kyi, memanggul tanggung jawab dan seruan dari rakyatnya. Dia berdiri lantang melawan segala bentuk tiran. Perempuan yang satu ini, menjadi simbol dan pemersatu bangsa, dalam melawan kediktatoran militer.

Dalam pemilihan umum yang dilakukan, dia memenangkan suara. Namun, militer menolaknya. Malah memenjarakan di rumahnya sendiri. Suu Kyi menjadi tahanan rumah. Untuk segala usaha dan pengorbanan yang dilakukan, dunia menghadiahi perempuan lembut ini dengan hadiah tertinggi. Nobel Perdamaian.

Perjuangan perempuan di belahan bumi lain yang tak kalah heroiknya terjadi di Amerika Latin. Negeri-negeri di Amerika Selatan ini, sebagian besar mengalami kontradiksi dasar dan pertentangan yang jelas. Antara kaum kapitalis yang didukung rejim militer.

Munculnya Melida Anaya Montes dari El Salvador, menjadi ikon dan lambang pejuang kaum perempuan dan simbol pembebasan di Amerika Lain. Ia menemui ajal dan dibunuh teman-temannya sendiri.

Bagaimana dengan perempuan di Indonesia, sekarang ini?

Perempuan di Indonesia tak lebih. Munculnya Megawati, bisa dianggap sebagai awal dan ikon yang bisa mempersatukan dan menjadi simbol pembebasan. Ketika semuanya sudah didapat, dia melupakan semangat pembebasan itu.

Dia malah tenggelam dalam berbagai gelimang yang diperbuat orang di sekitarnya. Tak mengakar pada kaum yang telah memilihnya. Dalam berbagai kebijakan, seringkali tidak populis dan menggunakan naluri keibuannya.

Aceh terus diganyang dengan kebijakan militeristiknya. Kekuatan senjata digunakan untuk menangani negeri Serambi Mekah, tersebut. Hasilnya, Aceh makin bergolak. Operasi militer tak bisa membungkam semangat pembebasan yang dimiliki rakyat Aceh. Sebaliknya, munculnya Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dari militer, malah bisa meredam kemarahan dan ketidakadilan yang dirasakan dengan cara perundingan dan pemberian otonomi diperluas bagi rakyat Aceh.

Gerakan dan semangat pembebasan di Kalbar, agaknya belum menemukan gaungnya. Padahal, isu dan permasalahan perempuan, tak kalah banyaknya dengan isu-isu lain. Seperti, illegal logging, fishing, trading. Isu perempuan tak begitu populer, ketika berlangsung hajatan dan pesta demokrasi, Pilkada. Isu perempuan masih menjadi isu pinggiran. Belum ada perhatian khusus terhadap isu perempuan.

Sejatinya, isu perempuan dan perdagangan anak atau trafiking, masih menjadi kasus yang terjadi hingga kini. Apalagi dengan kondisi Kalbar yang berbatasan langsung dengan Malaysia. Kekerasan dalam rumah tangga, dan penganiayaan terhadap anak, menjadi peristiwa penting dalam berbagai pemberitaan di berbagai media.

Lahirnya UU No. 23 Tahun 2004, tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, seolah tak memberikan jawaban dan penyelesaian terhadap permasalahan yang terjadi.

Dalam berbagai kasus, perempuan yang mengalami KDRT, cenderung menutup diri dan tak mau melaporkan kasus itu ke polisi. Ada tabu dan peristiwa itu dianggap memalukan, bila diketahui oleh masyarakat. Kalaupun melapor, ketika ada proses hukum dilakukan, dan suami bakal ditahan, perempuan malah menarik kasus itu. Alasannya, ia tak siap untuk hidup sendiri. Faktor ketergantungan perempuan secara ekonomi, masih menjadi alasan, penanganan terhadap masalah ini. Dalam hal ini, perempuan kurang mandiri sehingga tidak berani mengambil sikap tegas.

Munculnya kasus ini tak lepas dari budaya patriarki dan bias gender yang terjadi di masyarakat. Data akhir tahun 2006 yang dihimpun Komnas Perempuan, dari 258 lembaga di 32 provinsi di Indonesia mencatat, telah terjadi 22.512 kasus kekerasan terhadap perempuan sepanjang tahun 2006. Dengan beban penanganan 40 - 95 kasus per lembaga, para perempuan pembela HAM yang bekerja pada organisasi penyedia layanan ini membutuhkan dukungan luas agar dapat menjaga keberlanjutan dalam memberikan pelayanan bagi korban.

Kasus KDRT di Kalbar, juga menimpa seorang bocah cilik perempuan bernama Zulkaidah Kurniawati, 7 tahun. Bocah perempuan yang seharusnya mendapat perlindungan dari keluarga ini, malah disiksa dan diperlakukan secara tidak manusiawi. UU KDRT Nomor 23 Tahun 2004 dan Perlindungan Anak Nomor 23 Tahun 2002 menyebutkan, pelaku akan mendapat hukuman maksimal 10 tahun dan minimal 3 tahun.

Isu perempuan dan anak juga masih tak bergeser dengan perdagangan perempuan dan anak. Meski telah keluar UU Nomor 21 Tahun 2007, tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang, permasalahan ini seolah tak berujung pangkal.

Dalam berita Antara (20/8), ketika membuka kegiatan Workshop Regional, “Pembangunan dan Pengelolaan Pusat Pemberdayaan Perempuan” di Yogyakarta, Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan, Meutia Hatta mengatakan, sekarang perempuan menghadapi tantangan baru berupa meningkatnya tindak kekerasan dan perdagangan orang.

Meningkatnya tindak kekerasan dan perdagangan orang lebih banyak dialami oleh perempuan dan anak. Tantangan itu membutuhkan tindakan nyata untuk meningkatkan kualitas perempuan khususnya dalam bidang pendidikan, kesehatan, ekonomi, politik dan perlindungan terhadap hukum. Berkaitan dengan itu, diperlukan suatu lembaga yang dapat mendukung pemberdayaan dan perlindungan bagi perempuan dan anak, seperti pusat pelayanan bagi perempuan dan anak.

Berita Sindikasi Pantau menyebutkan, data dari International Organization for Migration (IOM), ada sekitar 2,4 juta orang, sebagian besar perempuan, dan menangguk sekitar 32 miliar dolar per tahun di seluruh dunia. Ada bermacam bentuk perbudakan buruh di dunia. 85 persen korbannya adalah perempuan dan anak-anak yang terjerat jaringan eksploitasi seks.

Pusat Pengembangan Sumberdaya Wanita (PPSW) Borneo, Rosmaniar, mengatakan, kasus trafiking sebetulnya cukup banyak. Namun, nyaris sulit dibongkar karena berbagai kendala, termasuk dari para penegak hukum yang kesulitan mencari alat bukti atau penyebab lain.

Dijelaskannya, ada juga bentuk lain dari kerja migran, yaitu penari, penghibur, dan pertukaran budaya. Penari, penghibur dan pertukaran budaya ini terutama terjadi di luar negeri. Perempuan dan anak perempuan dijanjikan bekerja sebagai penari duta budaya, penyanyi atau penghibur di negara asing. Saat kedatangannya, banyak dari perempuan ini dipaksa untuk bekerja di industri seks atau pada pekerjaan dengan kondisi mirip perbudakan.

Koordinator Program PPSW Borneo, Reny A. Hidjazie mengatakan, korban trafiking memerlukan pendampingan. Tujuannya, supaya dapat memulihkan kondisi mereka, serta mencegah terjadinya hal-hal yang lebih buruk. Negara bersama organisasi non pemerintah, harus bertanggung jawab melakukan pendampingan korban trafiking. Memberikan pelayanan hukum, dan mengusahakan pemulihan kondisi korban, baik secara fisik, psikologis dan sosial.

Selama ini, penanganan korban trafiking masih dilakukan secara parsial, baik oleh pemerintah, maupun organisasi-organisasi non pemerintah.

“Karena itu diperlukan suatu metode pendampingan korban trafiking yang terpadu dan melibatkan semua unsur yang berkaitan dengan masalah ini,” ujarnya.

Pemerintah, harus melakukan langkah membangun sistem koordinasi dan kerjasama antara pemerintah dan organisasi non pemerintah dalam pendampingan korban trafiking perempuan dan anak. Selain itu, mesti menciptakan mekanisme rehabilitasi dan reintegrasi korban trafiking perempuan dan anak.

Pemerintah mesti meningkatkan pelayanan dan perlindungan terhadap korban trafiking perempuan dan anak. Harus ada suatu cara, bagaimana meningkatkan kesadaran korban untuk menjadi pribadi yang mandiri. Serta meningkatkan pengetahuan dan keterampilan korban, untuk menjalani kehidupan yang wajar sebagai anggota masyarakat.

Hal yang tak kalah penting adalah, mencegah korban tidak kembali mengalami hal yang sama, serta mengurangi terjadinya trafiking.

Isu tak kalah marak adalah masih banyaknya tindak kekerasan yang terjadi terhadap TKW yang bekerja di luar negeri. Berbagai kasus muncul karena adanya eksploitasi tenaga dan terjadinya berbagai kekerasan. Kasus Maria Bonet, dan beberapa TKW yang menjadi korban kekerasan di Malaysia, Saudi Arabia atau lainnya, makin menegaskan, masih minimnya perlindungan terhadap tenaga kerja Indonesia yang bekerja di luar negeri.

Kasus TKW juga muncul seiring dengan munculnya berbagai praktik seks komersial. Dalam berbagai kasus, banyak TKW terpelosok dalam jaring trafiking berkedok pengiriman tenaga kerja ini. Remaja dari berbagai pelosok negeri, tergiur dengan iming-iming gaji dan kerja yang menjanjikan, yang berakhir dengan eksploitasi seks pada mereka.

Masalah kawin pesanan juga masih marak dan terjadi di Kalbar. Praktik yang telah terjadi puluhan tahun lamanya ini, membawa efek dan berbagai masalah, ketika terjadi suatu kasus hukum. Misalnya, ketika mereka mendapat kekerasan rumah tangga, atau mengenai hak kepemilikan anak. Banyak kasus terjadi, mereka harus terpisah dari anak-anak yang mereka miliki, karena hak asuh anak, otomatis berada di pihak lelaki atau pria Taiwan.

Banyak kasus juga terjadi, para pengantin pesanan ini terjebak dalam berbagai praktik prostitusi dan perdagangan seks komersial.

Bila awalnya perkawinan terjadi dengan lelaki Taiwan, sekarang ini kecenderungannya bergeser ke Malaysia. Ketidakberdayaan secara hukum, membuat mereka cenderung diam dan pasrah, ketika mereka mendapatkan kekerasan dari pihak lelaki.

Isu tentang perempuan juga berkisar mengenai kuota pencalonan 30 persen perempuan. Ketentuan pasal 65 ayat 1 UU Pemilu menyebutkan, setiap partai politik peserta pemilu dapat mengajukan calon anggota DPR, DPRD Provinsi dan DPRD kabupaten/kota untuk setiap daerah pemilihan dengan memerhatikan keterwakilan perempuan sekurang-kurangnya 30 persen.

Kenyataannya, masih banyak partai-partai yang belum melakukan hal ini. Malahan, dari data yang dimiliki Cetro, partai yang melakukan hal ini, adalah partai-partai besar yang cenderung mendulang suara dalam pemilu.

Kenyataan yang bisa kita lihat secara kasat mata dalam lembaga legislatif di DPRD Provinsi Kalbar. Dari 55 anggota legislatif itu, jumlah perempuan hanya ada dua orang. Malah, lebih ironis lagi terjadi di DPRD Kota Pontianak. Dari 45 jumlah anggota dewan, tak ada satu pun, perempuan duduk sebagai anggota dewan.

Ternyata, kuota 30 persen, masih sebatas slogan belaka.

Melihat berbagai realitas dan permasalahan perempuan yang masih menumpuk di Kalbar, apakah bakal muncul perempuan-perempuan yang memiliki semangat pembebas dan dapat membela hak-hak mereka yang tertindas?

Jawabnya, ada pada diri perempuan itu sendiri. Sejauhmana perempuan mengorganisir diri dan menjawab berbagai permasalahan yang muncul. Tentunya dengan tekad membebaskan diri dari keterkungkungan adat, tradisi, dan dogma agama.

Siapa berani menjawab tantangan itu? Mari kita tunggu......□

Foto PKpolitics.com

No comments :