Sunday, December 16, 2007

Bahasamu, Harimaumu

Muhlis Suhaeri
Borneo Tribune, Pontianak
Peribahasa di atas terasa seperti berlebihan. Namun, begitulah adanya dengan fungsi bahasa. Bahasa punya banyak fungsi. Bahasa ibarat mata pedang. Ia dapat membunuh, juga dapat memuliakan pemakainya. Tak heran, salah satu sahabat Nabi Muhammad SAW, Sayidina Ali RA pernah berkata, ”Bila kamu tidak ingin terpedaya suatu kaum, kuasailah bahasanya.”

Bahasa adalah identitas. Bahasa menunjukkan suatu bangsa. Betapa pentingnya arti sebuah bahasa itulah, sebuah hajatan berlangsung. Bertempat di Aula Balai Bahasa Kalbar, sebuah seminar bertema Bahasa Dalam Media Massa dilangsungkan, pada Sabtu (15/12).

Ada tujuh organisasi bergabung dalam kegiatan ini. Pusat Studi Bahasa dan Masyarakat Borneo (PSBMB). Balai Bahasa Provinsi Kalbar. Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri STAIN Pontianak. Forum Bahasa Media Massa (FBMB). Asosiasi Bahasa dan Tradisi Daerah (ABSTRAH). Himpunan Pembina Bahasa Indonesia (HPBI). Masyarakat Linguistik Indoensia (MLI) Cabang UNTAN.


Acara ini terdiri dari tiga sesi. Setiap sesi berlangsung selama dua jam. Ada
Sesi pertama terdiri dari Marluwi, dosen STAIN dengan makalah berjudul Bahasa dan Wacana Media: Upaya Memelihara Bahasa Indonesia. Martina, Peneliti Balai Bahasa, makalah Penggunaan Bahasa Inggris dalam Media Cetak. Dewi Juliastuti, peneliti Balai Bahasa, Ambiguitas Berita di Koran. Yeni Yulianti, peneliti Balai Bahasa, Bahasa Sastra dalam Koran. Hardianti, Lembaga Pers Mahasiswa STAIN, Bahasa Sastra dalam Pemberitaan di Media Cetak. Sesi ini dipandu Aris Munandar, dari Media Indonesia, sebagai moderator.

Sesi kedua, sebagai pembicara Ika Nilawati, peneliti Balai Bahasa, Efektivitas Kalimat dalam Media Cetak. Prima Duantika, peneliti Balai Bahasa, Penggunaan Pilihan Kata Di Mana dalam Koran. Irmayani, peneliti Balai Bahasa, Interferensi Bahasa Melayu dalam Surat Kabar. Wahyu Damayanti, Peneliti Balai Bahasa, Interferensi Bahasa Melayu Pontianak terhadap Bahasa Indonesia: Tinjaun Dialog Interaktif di TVRI Kalbar. Dedy Ari Asfar, Peneliti Balai Bahasa, Membina Korpus Data Bahasa Daerah dalam media Cetak: Wahana Memperkaya Bahasa Indonesia. Syarifah Lubna, Peneliti Balai Bahasa, Optimalisasi Perkembangan Bahasa Anak Melalui Media Massa: Suatu Tinjaun Psikolinguistik. Sebagai moderator Hairul Fuad, dari Balai Bahasa.

Sesi ketiga, Nur Iskandar, Borneo Tribune, Berita Kasus Gang 17. Ambaryani, LPM STAIN, Analisis Bahasa Berita dalam Media Cetak. Yusriadi, PSBMB, Etnisitas dan Agama dalam Pemberitaan Media. Sudarsono, Dosen FKIP UNTAN, Kekerasan Bahasa dalam Media Massa. Sebagai moderator Teguh Imam Wibowo dari Perum ANTARA.

Seminar berlangsung dengan semarak. Mesti, jumlah peserta tak terlalu banyak. Hanya ada belasan puluhan peserta. Masing-masing pembicara mengemukakan berbagai pemaparannya tentang bahasa di media.

Bahasa memiliki fungsi yang penting sekali dalam kehidupan manusia. Bahasa merupakan identitas, entitas dan sarana komunikasi. ”Dengan bahasa, interaksi sosial bisa dilakukan,” kata Marluwi.

Penggunaan bahasa Inggris yang sering muncul dalam media massa juga menjadi sorotan. Dari beberapa media yang dijadikan subyek penelitian, masih banyak sekali menampilkan bahasa istilah asing dan bahasa Inggris dalam kalimatnya. Hal ini bisa menimbulkan salah pengertian dan pembaca juga tidak tuntas dalam memahami berita yang dibaca. Ada lubang informasi yang mungkin saja tidak diketahui dalam berita tersebut.

Padahal, menulis dan membuat berita di media massa merupakan komunikasi monologis. Tak ada tanya jawab. Sehingga, dalam membuat berita di media massa, seharusnya jurnalis mesti membuat berita dengan jernih. Baik dari segi bahasa maupun berbagai ungkapan dengan kata serapan yang ada dalam kalimatnya.

Pada prinsipnya, membuat berita harus kembali ke hal yang paling sederhana. Begitu juga dengan pemakaian kalimat yang digunakan, sehingga orang paling awam sekalipun, bisa mengetahuinya.

”Adanya interferensi bahasa asing tersebut, dipandang bisa mengacaukan penggunaan bahasa Indonesia yang sudah ada,” kata Martina.

Selain itu, bahasa yang digunakan dalam media massa harus memiliki makna yang jelas. Informasi apa saja yang ingin disampaikan, harus menggunakan bahasa yang jelas. “Bahasa di media massa harus lugas, dan tidak menimbulkan ambiguitas, sehingga tidak menimbulkan kesalahan makna,” kata Ambarwati.

Lalu, bahasa yang baik dan tidak menimbulkan makna ganda atau ambiguitas dalam media itu, seperti apa?

Dewi Yulistuti memberikan jawabannya, ”Bahasa yang baik ialah, baik dalam diksi dan bahasa yang benar ialah, benar dalam penataan kata-kata dan ucapan.”

Bahasa di media juga harus efektif. Dengan bahasa yang efektif, bakal memudahkan pembaca memahami suatu berita. ”Salah satu unsur kalimat efektif adalah, penghematan yang terdiri atas penghilangan bentuk ganda dan penghematan dalam penggunaan kalimat,” kata Ika Nilawati.

Bahasa sastra dalam media massa juga menjadi sorotan para pembicara. Munculnya media massa elektronik, seperti televisi dan radio, memiliki kelebihan tersendiri terhadap media tulis. Media elektronik lebih cepat dari segi pemberitaan. Tampilannya juga lebih atraktif. Orang bisa menyaksikan suatu kejadian dengan gambar hidup dan lebih menarik. Selain itu, orang tidak perlu bayar untuk mendapatkan informasi dari televisi. Kecuali, televisi kabel tentunya.

Meski begitu, ada satu hal yang dimiliki media cetak. Yang bisa membahas suatu isu dengan lebih mendalam. Inilah kekuatan yang tetap dan terus dipelihara para pengelola media, bertahan dari persaingan.

Hal ini membuat pekerja di media cetak memutar otak dalam menghadapi persaingan dengan media elektronik. Selain dibuat dengan mendalam, informasi yang diberikan juga dengan bahasa semenarik sekali. Bahasa yang enak dibaca, menarik dan tidak membosankan. Bahasa tersebut identik dengan bahasa sebuah karya sastra. Seperti, cerpen atau novel. Namun, tentu saja ada batas yang jelas antara jurnalistik dan sastra. Dalam karya jurnalistik, semua yang ditulis harus berdasarkan fakta. Titik.

”Keluwesan bahasa sastra dapat membuat penulis dapat menyampaikan informasi secara mendetail dan mendalam. Namun, tetap memikat,” kata Yanti.

Untuk mengatasi persaingan, media massa juga memasukkan berbagai karya sastra pada halaman medianya. Meski tidak berdasarkan fakta, karya sastra juga memiliki kekuatan tersendiri. Ketika massa rejim Orde Baru membungkam berbagai media massa, maka kekuatan sastra yang bicara.

”Di balik kerendahan hati sebuah karya sastra, tidak jarang terkandung muatan yang melebihi tamparan dan hujatan,” kata Yeni Yulianti.

Interferensi sebagai akibat dari kontak penggunaan bahasa, juga menjadi sorotan. Masuknya berbagai unsur bahasa daerah dalam pemberitaan media cetak, banyak terjadi dan menimbulkan berbagai kerancuan.

”Apabila surat kabar ingin menggunakan kosakata bahasa daerah, akan lebih baik jika kosakata tersebut dimiringkan,” kata Irmayani.

Interferensi bahasa juga terjadi di media elektronik. Banyak dari pejabat yang ketika berbicara dalam suatu acara resmi, menggunakan bahasa lokal. Misalnya, bahasa Melayu Pontianak. ”Seyogianya interferensi dialek Melayu Pontianak, tidak dilakukan secara berlebihan dalam acara-acara yang bersifat resmi, karena akan menjadi rujukan dan panutan masyarakat awam sebagai bahasa yang baik dan benar,” kata Wahyu Damayanti.

Dedi Ari Aspar membuat catatan lain dalam seminar tersebut. Ia berharap media massa membuat semacam korpus dan memberi ruang pada bahasa daerah di media massa. Ia ingin ada semacam kolom kecil yang menggunakan bahasa daerah. Menurutnya, hal itu penting bagi para peneliti bahasa, seperti dirinya. Atau, bagi para pengajar, sehingga bisa menjadi suatu muatan lokal dalam pendidikan.

”Bahasa daerah bisa memberi khasanah dan memperkaya bahasa Indonesia,” kata Dedi. Ia beranggapan, sekarang ini, fungsi peneliti bahasa, terkadang terjebak pada fungsi menerjemahkan saja. Pelestarian bahasa melalui media massa perlu dilakukan. Hal itu penting, karena menurut catatan PBB, sekarang ini ada 6.000 bahasa di seluruh dunia, hilang setiap harinya.

Pentingnya fungsi bahasa membuat orang harus membiasakan diri berbahasa dengan baik dan benar sejak usia dini. “Untuk bisa berbahasa dengan baik, tentu dibutuhkan rangkaian panjang dan tidak berdiri sendiri,” kata Rudi Maryati.

Dalam hal ini, pendidik memiliki peran sangat penting. Begitu juga dengan peran media pada anak kecil. Karena anak kecil (0-8 tahun) memiliki kemampuan yang kuat dalam menyerap suatu informasi. “Hal ini bisa dilakukan dengan optimalisasi perkembangan bahasa anak melalui media massa,” kata Syarifah Lubna.

Nur Iskandar menyoroti pemberitaan mengenai seringnya konflik di Kalbar. Menurutnya, konflik biasanya berawal dari hal-hal yang kecil, seperti perkelahian atau tindak kriminal. Salah satunya yang baru terjadi di Gang 17, Pontianak. Ketika akan memberitakan kasus ini, “perang” di dapur redaksi juga cukup alot. Ada yang berpendapat berita ini perlu dimuat atau tidak.

Melalui berbagai pertimbangan, pemilihan narasumber. “Akhirnya berita tersebut dimuat dengan selunak mungkin, sehingga tidak membuat provokasi,” kata Nur Iskandar. Prinsip yang dipakai dalam pemberitaan tersebut mengandalkan kesopanan berbahasa.

Yusriadi menyoroti berbagai pemberitaan media mengenai isu etnisitas dan agama di beberapa media lokal. Ia tertarik dengan dua isu tersebut, karena sedari awal, Kalbar dikenal sebagai daerah yang rawan dan memiliki sejarah dalam masalah etnisitas. “Sekarang ini, meski terlihat damai, ada konflik terselubung yang berdasar pada masalah etnisitas dan agama,” kata Yusriadi.

Masalah etnisitas juga bisa dilihat dari makin maraknya berbagai perkumpulan yang membawa isu etnisitas. Semisal, MABM, MABT, MAD, dan lainnya.

Dalam pemilihan bupati Ketapang, isu agama juga muncul dengan ditemukannya selebaran yang menggunakan sentimen agama. Begitu juga dengan di Sintang. Ketika ada penerimaan PNS, isu tentang agama juga muncul. Ada agama tertentu yang minta jatah diterima sebagai PNS.

Dua isu itu pula yang santer dan memenuhi berbagai pemberitaan media massa, ketika Kalbar melangsungkan pemilihan langsung untuk gubernur periode 2008-2013. Dua isu tersebut digunakan untuk mendapatkan dukungan dari pemilih. Program, visi dan misi tidak begitu penting untuk digunakan. “Etnisitas dan agama juga digunakan sebagai bahan untuk menghujat bagi calon dan tim kampanye, dan masyarakat,” kata Yusriadi.

Dalam berbagai pemberitaan yang dilakukan, media memberi porsi cukup besar untuk dua itu tersebut. Antara lain, dukungan yang diberikan satu golongan etnis pada satu kandidat. Dukungan tokoh agama pada satu calon gubernur. Pemberian gelar adat. Penghargaan pada kandidat dari istana. Begitu juga dalam sosialisasi damai yang dilakukan KPUD Kalbar. Simbol etnisitas dan agama muncul dalam acara tersebut. Ada sambutan yang mewakili etnis tertentu.

“Namun, dari berbagai berita mengenai etnisitas dan agama, media memberikan porsi cukup besar untuk berita seruan MUI mendukung salah satu kandidat,” Yusriadi.

Penggunaan bahasa di media massa juga mendapat sorotan tajam dari Sudarsono. Ia beranggapan, kekerasan bisa muncul dari bahasa itu sendiri. Bahasa bisa menimbulkan kekerasan. Kekerasan melalui bahasa, punya efek lebih permanen dari kekerasan tindakan. Kekerasan bahasa terjadi, ketika bahasa itu dikeluarkan. Kekerasan bahasa dari sisi isi, terjadi berdasarkan konteks dan situasi komunikasinya.

Karenanya, seorang filsuf dan tokoh agama seperti Confusius berkata, “Tidak boleh ada kesewenang-wenangan dalam berbahasa.”

Kesewenang-wenangan terhadap bahasa bisa menimbulkan diskursus dalam kekerasan simbolik. Kesombongan dan ketidakpedulian pada situasi yang ada di sekitar, juga suatu bahasa kekerasan. Kekerasan merupakan peringatan dan ancaman dari kekerasan yang lain. Namun, Sudarsono menyayangkan, bahwa pelanggaran terhadap kekerasan bahasa, belum bisa dianggap sebagai delik hukum.

“Sehingga orang yang melakukan pelanggaran dan melakukan kekerasan melalui bahasa, tidak bisa dijerat secara hukum,” kata Sudarsono.□

Edisi cetak ada di Borneo Tribune 16 Desember 2007

Foto Muhlis Suhaeri

No comments :