Saturday, April 1, 2006

Impian Pengantin Pesanan

Pernikahan biasanya memberikan sekantung impian. Namun, mimpi punya dua sudut, indah atau buruk. Di Singkawang sudut-sudut itu menampilkan wajah tertajamnya.

Oleh: Muhlis Suhaeri

Dituliskanya satu persatu nama pada kertas. Bolpoinnya mulai bergetar. Ada tekanan pada huruf yang ia tulis. Deretan kata membentuk suatu kalimat. Cen Seng Fung. Po Chen. Sie Chi. Sejenak, nafasnya mulai tak teratur. Wajah oriental itu, mulai mengeras dan tegang. Mimik dan raut mukanya menyiratkan duka. Luka teramat dalam.

Selepas menulis ketiga nama, wajahnya langsung menunduk. Ia terlihat kuyu dan lunglai. Ekspresinya, seperti orang baru saja mengangkat sebuah beban. Beban teramat berat. Namun, raut wajahnya nampak lebih santai. Ia terlihat pasrah. Pada nasib dan takdir. Yang tak berpihak padanya.


Perempuan itu bernama A Jan. Ia merupakan salah satu amoy --sebutan bagi perempuan Tionghoa-- korban dari pengantin pesanan.

A Jan terlahir pada 7 Desember 1980 di desa Batu Payung, Kecamatan Karimunting, Kabupaten Bengkayang, Kalimantan Barat. Dulunya, daerah itu termasuk wilayah Singkawang. Setelah pemekaran, daerah sepanjang pantai yang berhadapan langsung dengan Laut China Selatan, menjadi bagian dari Kabupaten Bengkayang. Nama Batu Payung berasal dari pulau kecil dan bentuknya menyerupai payung. Pulau itu berupa batuan yang menyembul di atas laut. Sebatang pohon berdiri di antara gerumbul bebatuan.

Bila kita menyambangi daerah itu, akan terlihat pantai dengan hamparan pasir putihnya. Matahari terbenam terlihat sangat indah di sini. Pemandangan itu terlihat kontras sekali dengan lingkungan sekitarnya. Gerumbul semak dan pohon kelapa berpadu dengan rumah sederhana dari papan kayu beratap rumbia atau seng. Jalan menuju perkampungan ini juga apa adanya. Tanah keras bercampur batuan dengan lebar dua meteran.

Sebagian besar masyarakat yang menempati daerah itu adalah etnis Tionghoa. Kebanyakan dari suku Khek. Hanya ada beberapa keluarga Madura. Mata pencaharian masyarakat di pesisir pantai utara Kalimantan Barat itu, memelihara babi. Tak heran, jika kita mendatangi wilayah tersebut, dari jauh sudah tercium aroma kurang sedap dari kotoran babi. Masyarakat juga mencari ikan dengan melaut.

Peralatan mereka sederhana. Perahu kecil dan bagan di tengah laut. Di bagan itulah, mereka memasang jala semalaman. Hasilnya tidak memadai. Biasanya dikonsumsi untuk kebutuhan sendiri. Dulunya, daerah itu pernah berdiri pabrik pengolahan ikan. Namun, perusahaan itu telah tutup. Bekas keberadaan pabrik pengolahan ikan masih terlihat dengan jelas. Dermaga kayu sepanjang puluhan meter menjorok ke laut untuk mengangkut ikan, juga masih terlihat apik dan terpelihara.

A Jan nomor empat dari delapan saudara. Tekanan ekonomi keluarga, membuatnya tak sanggup meneruskan sekolah. Ia hanya sempat mengenyam pendidikan hingga kelas dua SMP. Selepas itu, ia mengadu nasib dan merantau ke Jakarta. A Jan bekerja sebagai penjaga toko. Ia tinggal di Jelambar, Jakarta Barat. Selama setahun, ia bekerja dan tinggal di Jakarta.

Oleh keluarganya, ia dijodohkan dengan pria Taiwan. Bagi masyarakat di daerahnya, menikah dengan pria Taiwan, merupakan hal lumrah. Di sekitar rumahnya, ada 11 orang telah menikah dengan pria Taiwan. Mereka hidup di Taiwan hingga kini.

A Jan menikah pada usia 17 tahun. Pasangannya bernama Cen Seng Fung, 41 tahun. Cen bekerja sebagai pegawai pemerintah, di kantor jawatan listrik. Adalah adik ipar ibu A Jan, yang mengenalkan mereka. Perkawinan dengan pria Taiwan selalu melalui perantara. Seorang perantara bisa dari keluarga sendiri, orang yang sudah nikah dan tinggal di Taiwan, atau para mat comblang atau calo (cangkau).


PENGANTIN PESANAN berawal dari kunjungan Kadin (Kamar Dagang) Taiwan ke Kalimantan Barat pada tahun 1980. Muhibah itu diteruskan dengan mengunjungi kota Singkawang. Jarak Pontianak ke Singkawang sekitar 145 Km, arah utara. “Untuk mempererat hubungan itu, maka dilakukan juga dengan cara pernikahan,” kata Hairiyah, aktivis Perempuan dan Anak, wilayah Kalimantan.

Mereka menganggap pernikahan merupakan salah satu cara, untuk mengikat kembali tali persaudaraan. Masyarakat Singkawang percaya, mereka satu leluhur dengan masyarakat Taiwan. Sama-sama dari China Daratan, Tiongkok.

Pada perkembangannya, pengantin pesanan yang merupakan simbol peningkatan hubungan kekerabatan, dijadikan alat mendapatkan keuntungan oleh sebagian orang. Mereka memanfaatkan rendahnya tingkat pendidikan, sumber pendapatan keluarga, ketidaktahuan hak dan informasi, gaya hidup konsumtif, ketidakadlian gender atau kuatnya budaya patriakhi dalam keluarga dan masyarakat.

“Rendahnya kesadaran terhadap nilai anak, serta faktor-faktor lain yang merupakan titik lemah ketahanan keluarga dan masyarakat, menjadi sasaran para calo mendekati para orang tua untuk merestui menikahkan anaknya,” kata perempuan berjilbab, yang pernah diundang ke Taiwan, untuk melihat permasalahan langsung tentang pengantin pesanan ini.

Ada pola tertentu pada pengantin pesanan. Pada era 1980-an, biasanya si perempuan datang ke Taiwan. Begitu sampai di Taiwan, sudah ada penghubung yang mempertemukan amoy dengan pria Taiwan. Tahun 1990-an, pria Taiwan datang langsung ke Kalbar, untuk mencari perempuan Singkawang. Bahkan, ada yang datang bersama orang tuanya. Tahun 2000-an, perkawinan sudah menjadi ajang bisnis. Dan merupakan salah satu cara, mencari dan menggeruk uang. Banyak kasus, perempuan yang sudah kawin, balik lagi ke Singkawang. Tentunya, setelah mereka mendapatkan berbagai uang dan barang.

Berbagai sebab dan adanya orang yang menggunakan hal itu –calo-- untuk mencari keuntungan bagi dirinya sendiri, membuat praktik pengantin pesanan bisa terjadi. Para calo masuk ke desa miskin di pedalaman. Mereka mencari perempuan usia muda dan hidup miskin. Para calo itu membujuk dan menawarkan menikah dengan warga negara Taiwan. Imbalannya, tentu saja merubah nasib dan mencari kehidupan lebih baik. Mereka juga menawarkan jasa sebagai biro jodoh, dan membuat paket perkawinan. Yang memudahkan calon pengantin melaksanakan perkawinan. Amoy biasanya menuruti segala syarat yang diajukan calo. Terutama dalam pengurusan dokumen dan berbagai surat. Biasanya segala data mengenai usia bakal dimanipulasi. Hal itu dilakukan, karena amoy biasanya masih sangat muda, dan berusia dibawah 18 tahun.

“Peran orang tua sangat penting untuk meluluskan niat para calo,” kata Hairiyah.

Tidak jarang, amoy menolak dijodohkan dengan pengantin pria. Alasannya, pria bakal suaminya jauh lebih tua dari usianya. Ketika amoy tidak mau dijodohkan, orang tua akan memaksanya. Dengan alasan berbakti pada orang tua, dan keinginan keluar dari kemiskinan, akhirnya amoy akan menurut. Bila orang tua setuju, calo akan mengurus semua administrasi yang berhubungan dengan perkawinan, dan persiapan pesta nikahnya. Semua biaya dan keperluan menikah, ditanggung pihak pengantin laki-laki.

Minimnya pendidikan amoy, dan minimnya informasi terhadap calon pengantin pria, merupakan celah bagi masalah ini. Seharusnya, calon pengantin perempuan mendapatkan informasi yang benar. Sehingga bisa menjadi pertimbangan menentukan masa depannya. Menikah dengan siapa pun memang hak seseorang. “Tapi, dia harus mendapatkan informasi yang jelas. Siapa calon pasangannya, bagaimana negara asal pasangannya, dan lainnya,” kata Hairiyah.

Sebelum pernikahan berlangsung, biasanya yang datang fotonya ganteng-ganteng. Begitu acara nikah, ternyata orang tua. Hal itu tentu saja merupakan suatu penipuan. Yang dilakukan para calo. Faktor kemiskinan dan ketidaktahuan inilah, satu celah dan selalu dimanfaatkan calo. Namun, ketika ada masalah dengan perkawinan itu, tidak ada yang bisa dimintai pendapat dan tanggung jawab. Biasanya bila terjadi masalah, amoy tidak tahu haknya dan memilih diam. Tak jarang mereka balik lagi ke Indonesia, dan meninggalkan anak yang dilahirkan. Mereka memilih pisah dan cerai. Alasannya, mereka dieksploitasi secara fisik, psikis dan seksual.

Ada beberapa sebab, mengapa terjadi pengantin pesanan di Kalimantan Barat. Masalah kemiskinan. Wilayah Kalimantan Barat terletak di bagian barat pulau Kalimantan, antara garis 2.08 LU dan 3.05 LS. Luas wilayah mencapai 146.807 Km, atau 7,53 persen dari luas Indonesia. Setara dengan satu setengah pulau Jawa. Kalimantan Barat terdiri dari 10 kabupaten, dan 2 pemerintahan kota. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) Kalimantan Barat pada tahun 2003, jumlah penduduk sebesar 3.947.691 jiwa. Terdiri dari 2.038.471 laki-laki, dan 1.909.220 perempuan. Jumlah penduduk anak, mencapai 33,21 persen dari total penduduknya.

Penyebaran penduduk tidak merata. Kalimantan Barat merupakan propinsi nomor empat termiskin di Indonesia. Berdasarkan data BPS, tingkat kemiskinan cenderung merata di perkotaan dan pedesaan. Jumlah di perkotaan mencapai 15,81 persen dari seluruh penduduk perkotaan. Angka kemiskinan di pedesaan mencapai 14,42 persen. Indek Pembangunan Manusia (IPM) Kalimantan Barat berada pada urutan 27 dari 32 propinsi di Indonesia. Berdasarkan studi yang dilakukan Bappeda tahun 2002, IPM 62,5. Tahun 2004 IPM 65,4. Ukuran IPM adalah rata-rata pendidikan, pendapatan dan derajat kesehatan.

Kemiskinan merupakan penyebab utama pengantin pesanan. Atas nama merubah nasib dan ekonomi keluarga, seorang anak harus “berbakti” pada orang tua dan keluarga besarnya, dan menikah dengan pria Taiwan. Selain itu, keinginan menjalani kehidupan lebih baik, kesempatan ke luar negeri, penampilan lebih baik, pemilikan aset pribadi, tidak ingin menikah dengan pria lokal, dan atas nama cinta. Mereka juga ingin mendapatkan kehidupan lebih baik, dengan memiliki suami yang mencintai dan menghargai.

Masalah ketenagakerjaan. Tingkat pengangguran tinggi dengan angka mencapai 8,80 persen. Berdasarkan data di Dinas Tenaga Kerja dan Kependudukan Propinsi Kalimantan Barat pada tahun 2003, tingkat partisipasi angkatan kerja penduduk pedesaan relatif lebih besar dibandingkan dengan perkotaan. Bila di perkotaan mencapai angka 74,70 persen, maka di pedesaan angkanya mencapai 60,94 persen. Namun, tingkat penggangguran penduduk perkotaan mencapai angka 15,69 persen, dan penduduk pedesaan hanya sebesar 6,66 persen. Hal ini disebabkan, wilayah pedesaan lebih terbuka bagi pekerjaan dari berbagai sektor informal. Atau, sektor yang tidak memerlukan keahlian, maupun pendidikan formal. Sektor informal lebih banyak di pedesaan.

Perkembangan dunia yang begitu cepat, dan tidak diikuti peningkatan dan kemampuan, menyebabkan persaingan tenaga kerja semakin ketat. Ini pula penyebab masalah spesifik di negara berkembang, jumlah buruh besar tetapi kualitas rendah. Globalisasi pada akhirnya, mengakibatkan imigrasi tenaga kerja dari negara miskin ke negara maju.

Masaah pendidikan. Berdasarkan data Dinas Pendidikan (Diknas) Kalimantan Barat pada tahun 2004, terdapat 164.628 masyarakat buta huruf. Jenjang pendidikan masyarakat paling banyak adalah tamatan SLTP. Angkanya mencapai 85,34 persen dari jumlah penduduk. Karenanya, untuk pasar kerja yang memerlukan kualifikasi pendidikan dan keahlian tertentu, mereka tidak bisa tertampung.

Masalah angka kematian ibu. Angka kematian ibu bersalin di Kalimantan Barat sebesar 5,2 per 1000 kelahiran hidup. Faktor penyebabnya, persentase kehamilan tidak dapat diperiksa tenaga medis, kondisi ibu hamil menderita anemia, kekurangan zat besi, dan lainnya.

Masalah persamaan budaya. Masyarakat Tionghoa di Kalimantan Barat, mempunyai persamaan budaya dengan Taiwan. Persamaan budaya konfusianisme, buddisme, dan pemujaan pada leluhur. Faktor itu secara tidak langsung, turut juga menyumbang pernikahan pesanan. Orang beranggapan, menikah dengan pria Taiwan merupakan penyatuan dan pertautan budaya.




MENGAPA PRIA Taiwan memilih amoy sebagai pasangan hidupnya? Orang Taiwan beranggapan, amoy punya tipe setia, rajin dan ulet dalam membina keluarga. Selain itu, menikah dengan amoy jauh lebih murah, dibandingkan menikah dengan perempuan Taiwan. Menikah dengan perempuan Taiwan, harus mempersiapkan rumah, mobil dan berbagai kebutuhan rumah tangga lainnya. “Biaya nikah dengan perempuan Taiwan, bisa untuk mendapatkan 5-6 gadis amoy dari Singkawang,” kata A Nga, seorang pemuda di Singkawang,

Lalu, berapa modal harus disiapkan, untuk mendapatkan amoy? “Dengan modal sekitar Rp 60 juta, pria Taiwan sudah bisa mempersunting amoy,” kata A Nga. Kurs mata uang Taiwan adalah dollar Taiwan. Satu dollar U$ Amerika setara dengan 33 dollar Taiwan.

Uang itu untuk mengurus berbagai surat pernikahan, biaya perjalanan dan penginapan pria Taiwan, selama berada di Indonesia. Pokoknya, pria Taiwan terima beres. Segala macam surat dari RT, kelurahan, paspor, dan seluruh biaya perkawinan dengan uang itu. Bila ditotal semua, biaya mengurus semua keperluan itu sekitar Rp 17-20 juta. “Orang tua si amoy, paling diberi uang cuma Rp 6 jutaan,” kata A Nga. Tak heran, bila dalam masalah pengantin pesanan, orang paling mendapat untung dari praktek ini adalah para calo.

Menikah dengan pria Taiwan, merupakan cara paling mudah mengangkat harkat dan perekonomian keluarga. Kelak setelah menikah, amoy bisa mengirimkan uang pada keluarga besarnya di kampung. Dengan kiriman uang itulah, mereka memperbaiki rumah dan modal usaha.

Sebagai gambaran, menurut salah satu bank di Singkawang, data penerusan transfer dari luar negeri pada tahun 2004 berjumlah Rp 2.433.050.436. Tahun 2005, total transfer meningkat menjadi Rp 3.987.471.804. Jumlah itu untuk satu bank. Sedangkan, di Singkawang ada 5 bank nasional yang melayani jasa perbankan. Memang, tidak semua uang dari Taiwan. “Tapi, jumlah terbesar berasal dari Taiwan,” kata salah satu staf bank tersebut.

Pria Taiwan yang menikah dengan amoy, biasanya dari kalangan menengah kebawah. Bila mereka hidup di perkotaan, biasanya dari kalangan cleaning service, dan lainnya. Dari pedesaan, biasanya petani dan penggarap tanah. Wilayah pantai, biasanya dari kalangan nelayan. Kalaupun dari kalangan pegawai atau pemerintahan, adalah pensiunan dan berumur di atas 40 tahun.

Kawin dengan pria Taiwan memang untung-untungan. Kalau mendapat pria baik, dan benar-benar untuk menikah, maka si amoy akan dapat meningkatkan taraf hidup diri dan keluarganya. Tapi bila tidak beruntung, maka pengalaman buruk berupa pemukulan, atau kekerasan dalam rumah tangga kerap juga terjadi.

Sebagai istri petani, amoy harus merangkap sebagai pekerja pertanian, dan bekerja seharian penuh membantu keluarganya di kebun. Yang lebih parah, bila suaminya bekerja di sektor nelayan. “Bila musim paceklik tiba, dan pria Taiwan tidak mampu membayar uang pinjamannya untuk kawin, maka istrinya akan diberdayakan,” kata Hairiyah. Entah, sebagai PSK atau apa, demi melunasi hutang sang suami. Yang agak beruntung, bila amoy mendapat suami seorang tentara atau pegawai, karena mendapat gaji setiap bulannya.

Selain itu, pengantin pesanan selalu rentan dengan masalah. Mereka mendapatkan status legal yang rendah. Hal ini tentu saja menyulitkan, dan ketidakpastian hak-hak legal. Terpencarnya komunitas amoy, juga mempersulit kordinasi bila ada masalah. Kendala bahasa turut pula menyumbang permasalahan. Banyak dari amoy tidak bisa berbahasa Mandarin. Di Kalimantan Barat, biasanya mereka menggunakan bahasa China dengan dialek Khek, dan Teochiu.

Menurut Kementrian dalam negeri Taiwan dari tahun 1987-2003, ada 240.837 pengantin asing yang masuk ke Taiwan dengan 93 persen pengantin perempuan. Dari Cina Daratan 57,8 persen dan Asia Tenggara 42,2 persen. Dari jumlah itu, pengantin pesanan dari Asia Tenggara, sebanyak 57,5 persen dari Vietnam, 23,2 persen dari Indonesia, 5,3 persen dari Thailand, dan 5,3 persen dari Pilipina. Sisanya dari Korea, dan lainnya.

Perempuan yang kawin dengan pria Taiwan dan anak hasil perkawinan mereka, dianggap sebagai masyarakat kelas dua. Mereka seringkali mendapat diskriminasi di masyarakat Taiwan. Mereka dianggap bisa membuat masalah sosial bagi Taiwan. Karena itulah, pada tahun 2003, pemerintah Taiwan mengeluarkan kuota bagi perkawinan dengan amoy dari Indonesia. Jumlahnya sekitar 2000 orang saja setiap tahunnya. Kuota itu diberlakukan, karena ada kekhawatiran, pernikahan bakal membawa masalah bagi negara Taiwan.

Faktanya, justru posisi perempuan inilah, berada pada titik rawan. Meski sudah melahirkan dan punya anak, sebelum 4 tahun, amoy masih menjadi warga negara asing di Taiwan. Karenanya, mereka rentan dideportasi, bila dianggap melanggar peraturan dan berbuat salah. Ketika mengalami eksploitasi, mereka tidak bisa berbuat apa-apa. Kalaupun lari, mereka harus meninggalkan anak hasil perkawinannya.

Dalam makalahnya berjudul How Taiwan Law Discriminates Against the Newsly-Arrived Female Immigrants, Bruce Liao, seorang asisten profesor dari NCCU Taiwan, menulis, “The main laws governing immigrants’ destiny: the immigraton act, the act governing relations between people of Taiwan area and the mainland area, the act governing the issuance of visas in foreign pasports, the nationality act, the employment service act.

The pre-entry and entry barriers, regardless “the right to live together”. Screening interview mechanism: open-ended standards, hostile and humiliating attitude, awesome discreation. Discriminatory quotas: no exception or preference for family-based immigrants, immigration quotas along the national and regional lines—picking the superior races, quota for immigrationts from mainland China have been enacted and enforced newly-arrived female immigrants in the land of Taiwan.

Unfair causes for deportation; vague and open-ended terms (e.g. national security, public interest, etc.), very trivial matters (e.g. gambling or breach of peace), without taking marriage immigrants’ special status into account, other unfair situations (e.g. catch an infection). Makalah itu disampaikan pada acara International Workshop for Asian NGOs on Female Imigrant and Migrants. Yang berlangsung pada 13-15 Mei 2005, di Chien Tan Overseas Youth Activity Center, Taipe, Taiwan.

Sekarang ini, pemerintah Taiwan melakukan new imigrations. Taiwan memberikan peluang bagi warga negara asing yang menikah dengan pria Taiwan, untuk belajar budaya, bahasa, adat istiadat, di suatu lembaga. Tak heran jika orang dari China Daratan, Vietnam, Indonesia, Pilipina, Thailand, Korea, dan lainnya, mengisi fasilitas itu.

Ada juga satu TV Channel di Taiwan menyediakan layanan hotline. Ketika orang mengalami penganiayaan, dan permasalahan hukum lainnya, dapat menghubungi layanan itu. Kapan saja. Dengan menggunakan berbagai bahasa. Bahkan, ketika mereka di gereja, juga membuat semacam perkumpulan. Mereka belajar kebersamaan. Saling bercerita berbagai pengalaman dan mengatasi permasalahan.


SETELAH MENIKAH, A Jan langsung diboyong ke Taiwan. Mereka tinggal di Chu-Pei City, Hsin-chu, Taiwan. Cen Seng Fung merupakan sulung dari tiga bersaudara. Kedua adiknya perempuan. Ayahnya meninggal sebagai tentara, ketika ia masih kecil. Jadi, sejak kecil Cen diasuh ibunya. Bagi masyarakat Taiwan, seorang ibu, biasanya tinggal bersama keluarga anak lelakinya. Terkadang, ibu punya peran kuat dalam keluarga anaknya. Bahkan, hingga masalah keuangan.

A Jan tidak mau menyebutkan nama mertuanya. Ekspresi wajahnya seketika menjadi takut dan ngeri, ketika diminta menuliskan namanya.

Setahun perkawinan, pasangan itu dikarunia anak. Anak pertama bernama Po Chen. Anak kedua, Sie Chi, lahir pada tahun ketiga perkawinan mereka. Kebahagian perkawinan melingkupi keluarga ini. “Kalau liburan ke mall dan kebun binatang di Taiwan,” kata A Jan.

Lahirnya dua anak, membuat Cen punya perhatian lebih pada istrinya. Hal itu membuat ibunya merasa terabaikan. Si ibu mulai berbuat sesuatu, untuk merebut perhatian anaknya. Ia memberitahu Cen, bahwa A Jan tidak memperbolehkannya menggendong Po Chen dan Sie Chi. Akibat laporan itu, Cen mulai berbuat kasar pada A Jan. Setiap mendengar laporan ibunya, Cen langsung memukul. A Jan tidak melawan atau melaporkan perlakuan itu. Tidak ada kerabat di sana. Selama beberapa tahun, A Jan mengalami kekerasan fisik. Bila awalnya pemukulan menggunakan tangan, Cen juga mulai menggunakan tongkat kayu dan besi. Tak ada yang membela A Jan, ketika terjadi kekerasan. Keluarga atau tetangga, tak peduli. Mereka menganggap itu masalah dalam keluarganya.

Suatu ketika, Cen memukul A Jan dengan tongkat base ball. Perlakuan itu membuat A Jan harus dibawa ke rumah sakit. Lengan kirinya retak. Ia dirawat selama beberapa minggu. Usai perawatan, suaminya mulai bersikap baik. Tapi, hal itu tidak berlangsung lama. Setiap mendapat laporan ibunya, Cen mulai memukul istrinya.

Perlakuan tidak manusiawi terhadap A Jan, membuat jiwanya mulai tergoncang. Perasaan takut menghantuinya setiap saat. Kedatangan suami dari kantor, berarti bakal deraan pukulan ke tubuh. Tekanan psikis itulah, membuat bumi tempat ia berpijak, seakan bergoyang dan runtuh. Akibatnya, setiap perasaan itu hadir, A Jan menjerit dan keluar rumah. Melihat hal itu, Cen langsung menyeret dan membawanya masuk ke rumah.

A Jan mulai dianggap gila. Cen tidak memperbolehkan A Jan mengasuh dua anaknya. Ia sangat terpukul dengan kondisi itu. A Jan mengalami depresi. Suaminya membawa A Jan ke rumah sakit gila. Selama beberapa waktu, ia dirawat di sana. Di rumah sakit inilah, A Jan berbuat nekad. Ia berniat bunuh diri. Dengan sebilah kaca, ia mengiris pergelangan tangan kirinya. Darah berceceran memenuhi ruangan. Namun, A Jan selamat. Sayatan tidak mengenai urat nadinya.

Ironisnya, karena dianggap gila itulah, pihak suami menceraikannya. Ketika dalam perawatan rumah sakit, Cen meminta A Jan membubuhkan tanda tangan pada secarik kertas. Karena tidak tahu, A Jan meneken saja surat itu. Usai perawatan, A Jan dipulangkan ke Indonesia. Pemulangan terjadi pada tahun 2003. Kedua anaknya dirawat pihak suami.

Begitu sampai di Jakarta, A Jan langsung dibawa ke Pontianak. Dari kota katulistiwa, ia diantar ke kampungnya. Selama setahun lebih, A Jan menjalani perawatan. Keluarganya menganggap berbagai roh jahat masuk pada diri A Jan. Karenanya, keluarga membawanya ke berbagai tabib dan dukun China (lauya). Bahkan, A Jan sempat juga dirawat di RS Bodok, atau RS Gila di Singkawang Timur. Selama beberapa waktu, ia menghuni tempat itu. Seorang diri. Tak ada penyelesaian hukum, atas apa yang telah A Jan alami.


MESKI SERING terjadi masalah pada pengantin pesanan, namun masalah itu jarang sekali muncul ke permukaan dan diketahui masyarakat. Ada beberapa faktor kesulitan dalam penanganan masalah pengantin pesanan. Salah satunya, ketertutupan pihak korban dan keluarganya. Mereka beranggapan, masalah itu merupakan aib keluarga. “Karena itu harus ditutupi, dan masyarakat tidak perlu mengetahuinya,” kata Rosita Nengsih, kordinator LBH PEKA Singkawang. Tak heran, bila ada pihak “luar” ingin melakukan advokasi terhadap korban, malah dilarang. Korban dan keluarga besarnya, tidak mau bicara.

Hal ini dibenarkan Maya, pekerja sosial yang sering keluar masuk perkampungan di Singkawang. Ia merasakan, betapa tertutupnya keluarga korban. Yang rata-rata masyarakat Tionghoa. “Padahal, kita mau membantu permasalahannya. Eh, mereka malah tidak mau. Mereka terlalu eksklusif,” kata Maya, setengah jengkel.

Sikap itu tidak serta merta muncul. Tentu ada latar belakangnya. Hari Purwanto menulis dalam bukunya, Orang Cina Khek dari Singkawang, “Perlakuan diskriminatif yang acap dialami orang Cina di Indonesia, bukan semata-mata karena orang Indoensia bersikap rasis atau cemburu terhadap kemajuan ekonomi orang Cina. Bukan itu sebabnya. Seandainya orang Cina memandang mereka sering mendapatkan perlakuan diskriminatif, hendaknya duduk persoalan sebelumnya dikaji. Agaknya jika di antara mereka merasa ada sikap diskriminatif dari Bumiputera, pada hakekatnya juga merupakan sebab dan akibat dari perbuatan mereka sendiri di masa lalu. Sejak dulu orang Cina selalu memiliki orientasi sangat kuat ke negeri leluhurnya. Sikap ini menghalangi mereka untuk berasimilasi dengan warga setempat. Kadang-kadang, chauvinisme di kalangan orang Cina begitu tinggi, sehingga sebagian dari mereka memandang bangsanya lebih bermartabat dari berbagai suku bangsa lain di Indonesia. Chauvinisme ini merupakan hambatan psikologis orang Cina untuk berasimilasi dengan orang Indonesia.

Pada masa penjajahan, Belanda membagi masyarakat menjadi tiga kelas. Pertama, Europeanean (Belanda). Kedua, Vremde Oosterlingen (Cina, Arab, India). Ketiga, Inlander (berbagai suku bangsa Bumiputera). Pada masa pemerintahan Orde Lama, Sukarno, juga membuat kebijakan yang diskriminatif. Sukarno mengeluarkan PP No 10/1959, berupa pelarangan bagi perdagangan kecil eceran yang bersifat asing di luar ibu kota tingkat I dan II. Dengan peraturan ini, masyarakat Tionghoa akhirnya mengumpul di satu wilayah saja.

Bagaimana dengan pemerintahan Orde Baru? Masa ini tak kalah sengitnya. Berbagai perlakuan dan tindakan diskriminatif, termanifestasi dalam berbagai bentuk. Pemberlakuan Surat Bukti Kewarganegaraan Republik Indonesia (SBKRI), bagi masyarakat Tionghoa, merupakan cara dan salah satu bentuk paling diskriminatif yang pernah dilakukan. Atas nama SBKRI, berbagai segi kehidupan, baik secara ekonomis atau politis terpasung. SBKRI juga dilanggengkan oleh kalangan tertentu, untuk mengeruk upeti dan mendapatkan uang. Berbagai pengurusan kartu tanda penduduk (KTP), atau dokumen, selalu dikenakan biaya tinggi bagi masyarakat Tionghoa. Nah, sejarah itulah yang membuat masyarakat jadi menutup diri dan eksklusif.

Selama ini, pemerintah Indonesia tidak menganggap serius permasalahan pengantin pesanan. Penanganannya tidak pernah tuntas. Jaringannya terputus di berbagai tempat. Ada beberapa faktor bisa dilakukan, untuk memangkas masalah pengantin pesanan. Dalam pengurusan dokumen, seperti KTP atau paspor, pihak terkait harusnya lebih jeli. Misalnya, dengan menanyakan orang yang membuat paspor, sudah cukup umur atau belum. Apalagi, bila diketahui akan menikah dengan pria Taiwan.

“Selama ini pihak imigrasi tidak punya gigi. Mereka beranggapan, secara administrasi hal itu sudah dilengkapi. Jadi tidak ada alasan untuk tidak memberikan paspor,” kata Hairiyah.

Selain itu, ada pendapat dari masyarakat, kenapa orang ingin menikah dan mencapai kebahagian, harus dihalangi? Ketika mengurus paspor, orang tua tentu mengetahui. Dan ini sebuah kesepakatan, dan mereka anggap bukan suatu pelanggaran.

Berdasarkan data pihak imigrasi Singkawang, ada kenaikan jumlah perempuan pencari paspor. Ada dua jenis paspor, 24 halaman berlaku 3 tahun, dan 48 halaman berlaku 5 tahun. “Orang yang kawin dengan pria Taiwan, biasanya membuat paspor 48 halaman,” kata petugas, di imigrasi Singkawang. Bila pada tahun 2004, pencari paspor 48 halaman berjumlah 1819. Pada tahun 2005, meningkat menjadi 2999. Namun, jumlah pencari paspor 24 menurun drastis. Jika tahun 2004 berjumlah 9060, tahun 2005 menjadi 964. Begitupun dengan TKW yang mengajukan paspor. Bila pada tahun 2004 berjumlah 1127. Pencari paspor pada tahun 2005, menjadi 109 orang.

Berdasarkan data Pengadilan Negeri Singkawang, dari tahun 1997-2003, ada 170 kasus gugatan perceraian dengan suami dari Taiwan. Pengadilan digelar secara in absensia (perstek)/tanpa kehadiran salah satu pihak. Acara itu disetujui, bila penggugat dapat mengemukakan alasannya secara tepat, dan pihak pengadilan menyetujuinya. Setelah perceraian, untuk mendapatkan hak perwalian dan pengasuhan anak juga terhalang.

Lalu, bagaimana seorang ibu bisa mendapatkan hak asuh bagi anaknya?

M. Akil Mochtar, Wakil Ketua Komisi III DPR RI, ketika ditemui dalam suatu seminar di Pontianak, mengemukakan, “Dalam hal terjadinya perkawinan wanita Indonesia dengan laki-laki asing, berdasarkan hukum Indonesia, maka anak-anak yang lahir dari perkawinan itu ikut kewarganegaraan bapaknya.”

Dalam hal ibu ingin mendapat hak asuh terhadap anak yang masih dibawah umur, hanya mungkin dilakukan gugatan di Pengadilan Negeri di tempat perkawinannya dilakukan dan dicatat. Dan biasanya dilihat, apakah si ibu mempunyai kemampuan, dan penghasilan yang layak, untuk memungkinkan pemeliharaan si anak dalam masa pengasuhan. “Tetapi persoalan hukumnya adalah, si anak itu tetap warga asing dan batas tinggal di Indonesia mempunyai batasan tertentu. Yang jika tidak dipenuhi syarat-syarat hukum sewaktu-waktu bisa dideportasi oleh aparat yang berwenang seperti imigrasi,” kata Akil, yang sedang menyelesaikan pendidikan doktoralnya ini.

Ya, peraturan hukum di Indonesia tidak memberikan ruang bagi perempuan yang menikah dengan warga negara asing, untuk memiliki hak asuh bagi anaknya. Sekalipun, pernikahan itu terjadi di Indonesia. Undang-Undang No. 62 Tahun 1958 menyatakan bahwa perempuan yang menikah dengan orang asing, anak hasil perkawinan tersebut otomatis menjadi warga negara asing. Ketika anak berusia 17 tahun, ia baru dapat memilih kewarganegaraan mana yang diinginkan.

Untuk mengantisipasi terjadinya pelanggaran terhadap hak-hak perempuan dalam perkawinan antarnegara, pada tahun 1997, Forum Keturunan Etnis Tionghoa (FOKET) membuat syarat tambahan. Pendeta menambah syarat, pernikahan dapat dilakukan bila ada lampiran izin dari orang tua/wali kedua belah pihak, untuk mengetahui pernikahan tersebut.

Banyak dari pasangan pengantin pesanan mendapat kebahagian. Tapi, tak sedikit mengalami masalah. Bahkan, ada yang telah meninggal, karena terkena virus HIV/AIDS. Mereka diperdagangkan menjadi PSK, ketika sampai di Taiwan. Ada yang diminta melayani satu keluarga, karena uang untuk mendapatkan amoy diperoleh melalui patungan.

Tak sedikit yang kehilangan jejak, karena tak ada kabar beritanya. Seperti dialami keluarga Gow Sie Lan di Singkawang. Ia kawin dengan pria Taiwan pada tahun 1982. Hingga sekarang, berita tentangnya tidak pernah terdengar. Pihak keluarganya tidak bisa berbuat banyak. Tidak ada uang untuk mencari informasi ke Taiwan.

Tak bisa dipungkiri memang. Pengantin pesanan telah menghadirkan fakta, adanya perdagangan manusia, tapi dibungkus melalui ritual perkawinan. Minimnya informasi awal sebelum perkawinan, membuat berbagai masalah muncul dikemudian hari. Repotnya, angka kasus itu tidak terlihat di permukaan. Keluarga perempuan menutup diri bila ada masalah. Jaringan calo juga tidak bisa mau tanggung jawab, bila ada kasus.

Pada akhirnya, permasalahan pengantin pesanan, seperti fenomena gunung es. Sedikit di permukaan, padahal sebenarnya besar sekali jumlahnya.


KINI, A JAN mulai menapaki hidup baru. Namun, trauma masa lalu dan kerinduan pada dua anak, kerap menyergapnya. Tak banyak yang bisa ia lakukan. Untuk ke Taiwan, tidak mungkin. Biayanya terlalu besar. Padahal, ia ingin sekali menjenguk anaknya. Ia pasrah pada nasib dan kehidupan. Yang mengulung dan merampas haknya, sebagai seorang ibu.

Untuk mengobati rasa rindunya pada sang anak, A Jan kerap duduk menyendiri di dermaga pinggir pantai pada sore hari. Ia duduk berjam-jam di sana, sambil melihat laut lepas. Ia berharap, dua bayangan bocah hadir dari tengah laut. Absurd memang. Tapi, dengan cara itulah, ia bisa mengobati kerinduannya.***


Foto by Lukas B. Wijanarko, "Sembahyang."
Edisi cetak, majalah Play Boy Indonesia, edisi April 2006

1 comment :

noVie. said...

Terlalu miris memang.., tapi setau saya... Bukannya ada LSM yg khusus menangani kasus ini.., bahkan lembaga dunia PBB/Unifem jg sudah sampe ke singkawang...
Apakah sudah ada action ato hanya sekedar wacana untuk mentenarkan LSM dan semua yang seolah peduli tapi gak peduli...?
Saya ikut berduka untuk keadaan ini di hari ibu..., hari ini...
Terimakasih telah menulis ini dan berbagi...