Saturday, February 16, 2008

The Lost Generation (7)

Hidup yang Terampas

Muhlis Suhaeri
Borneo Tribune, Pontianak
Dia bernama Lengken. Usia 68 tahun. Orangnya tinggi besar. Rahangnya kuat dan kokoh. Wajahnya terlihat persegi. Alis matanya tebal. Di bawah alis itu, sepasang sorot mata selalu menatap. Tajam dan menghujam. Tatapannya tak mau lepas dari orang di hadapannya. Sorot mata itu, penuh selidik.

Hari itu, aku bertemu beberapa warga Dusun Molo. Aku bersikap biasa saja, menghadapi situasi seperti itu. Toh, aku tak bermaksud jahat. Aku ulukkan salam dan berjabat tangan. Tangannya lebar dan besar. Kokoh dan kasar telapaknya. Menandakan si empunya pekerja keras dan mengandalkan tenaga, dari dua belah tangan itu.


Aku jelaskan maksud kedatanganku. Arti penting wawancara dengannya. Arti penting tulisan yang sedang disusun, bagi generasi sekarang dan mendatang. Yang pasti, tulisan itu tidak bermaksud membuka luka lama. Menjelekkan seseorang, golongan, atau suatu institusi.

“Tulisan ini hanya sebuah cermin. Supaya generasi mendatang bisa berkaca dari peristiwa yang pernah terjadi,” kataku menjelaskan padanya.

Lengken bicara kepada orang di sekitarnya. Pakai bahasa Dayak. Setelah itu, bicara lagi padaku. Lalu, bicara lagi pakai bahasa Dayak. Kemudian, bicara lagi padaku. Situasi itu berlangsung hingga 15 menit lebih.

Aku bersikap santai saja. Minta izin padanya, menikmati rokok linting tembakau yang sedari tadi dihisapnya. Setelah menjumput tembakau, selembar kertas tipis pun berpindah tangan. Aku melinting dan membuat rokokku sendiri. Hemmm, nikmat juga. Walaupun rasanya agak keras dan menyedak. Sebagian besar orang di dusun ini, membuat rokok dengan cara melinting sendiri.

Kubiarkan ia bercakap dengan orang di samping kiri dan kanannya. Suaranya besar dan berat. Memenuhi seluruh ruangan. Suara itu, seolah saling berebut dengan bunyi hujan, tuk tampil paling jelas dan bisa didengar.

Sejurus kemudian, dia menoleh padaku dan mulai bicara. Aku mendengarkan. Mencatatnya di buku. Merekam dengan tape. Dan mulai bertanya. Lengken tetua kampung di Dusun Molo.

Sebagai mana penduduk di dusun itu, dia juga kebagian tugas membantu tentara, sebagai pengangkut barang. Dia pernah ikut Batalyon 328 dan 330 dari Kujang. Batalyon 328 Kujang II pernah bertugas mengejar dan menangkap DI/TII, Kartosuwiryo.

Ketika bertugas di Bengkayang, pimpinannya bernama Alex. Ada dua Kompi; Kompi A dan C. Satu Kompi berjumlah 100 orang. Kompi A ke Piong San Papan dan Kompi D ke Piong San.

Suatu ketika, Lengken dan Kompi C ke Piong San Papan. Di tengah perjalanan, pasukan bertemu dengan orang Cina. Tentara menginterogasi.
”Mau ke mana?”
“Ke Bengkayang. Ada urusan.”

Setelah digeledah, ditemukan setengah kilogram emas dan uang satu juta. Karena tidak mau mengaku dari mana dan untuk apa, uang dan emas itu, orang Cina itu direndam dalam sungai. Sangking kesalnya, seorang prajurit dari Kompi C berkata padanya.
“Sudahlah begini saja. Kalau kamu tidak mau mengaku, jari tanganmu akan kami potong satu persatu dengan pisau,” kata sang serdadu.

Lalu, salah satu jarinya diletakkan di papan kayu. Pisau sudah ditempelkan di atas tangannya. Serdadu mulai menghitung.

“Ini sebagai penutup. Satu-dua-tiga...”

Ketika mata pisau akan memotong salah satu jari, orang itu bergegas menarik tangannya. Ia menyerah. Lalu, memberitahu keberadaan dan kekuatan pasukan PGRS.
Pasukan PGRS ada 300 orang. Mereka bersembunyi di antara Bubu dan Piong San. Pimpinannya bernama Lo Chong. Dia bersenjata pistol. Wakilnya Heru. Senjatanya Thomson.

Penjagaan markas PGRS ada tiga tempat. Penjaga pertama ada di atas pohon. Jumlahnya dua orang. Penjaga kedua ada di tempat dijaga. Masing-masing dua orang.
Setelah mendengar informasi itu, pasukan siap dalam setengah jam. Pukul 17.30 wib, pasukan berangkat. Sampai di persembunyian PGRS pukul 21.00 wib. Setelah itu langsung terdengar tembakan.

Pasukan PGRS kocar-kacir. Mereka lari menuju Gunung Brambang. Di gunung inilah, banyak kekuatan PGRS berkumpul. Bahkan, ada salah satu panglimanya, Yap Cung Ho.
Untuk melumpuhkan pasukan PGRS, tentara menggunakan penyemprot api. Seluruh area disiram dengan api. Sebelum melakukan, masyarakat diminta pindah terlebih dahulu.

Selain mengajak orang Dayak setempat membantu operasi penumpasan, tentara juga mengajak para sukarelawan dari berbagai macam suku dan etnis di Kalbar. Salah satunya, Bustaman, 73 tahun. Dia kelahiran Roban, Singkawang.

Dia ikut operasi yang dilakukan tentara Kujang. Setiap melakukan operasi, jumlahnya 11 orang atau satu regu. Operasi dilakukan di Matangkuring, Bengkayang. Bersama kelompoknya, dia berangkat dari markas tentara di Samalantan, perbatasan antara Singkawang dan Bengkayang. Dari markas, biasanya jalan kaki dari pinggir jalan raya. Setelah itu, masuk ke hutan dan mencari para gerilyawan.

Bustaman menyandang senjata Thomson. Dia pernah jadi tentara Heiho, zaman Jepang. Seperti juga yang lain, Bustaman membantu operasi tentara dan tidak mendapat gaji. Hanya dapat makan saja. Tentara melakukan operasi pagar betis. Masyarakat diminta membantu. Kondisi saat itu, seolah-olah PGRS-PARAKU terlibat PKI.

Setiap operasi langsung balik ke asrama, hari itu juga. Dia ikut operasi tentara setahun lamanya. Bustaman mengenakan seragam tentara dan makan ransum dari makanan kaleng.

Dalam melakukan pengejaran terhadap para anggota PGRS-PARAKU, berbagai macam pengalaman pernah dialami. Mulai dari konflik bersenjata, hingga menemukan anak di tengah hutan. Setiap melakukan pengejaran, warga sipil seperti dirinya, selalu berada di barisan paling depan. Tentara berada di belakang.

Anggota PGRS punya pos di atas pohon. Pos berfungsi mengintai pasukan atau kedatangan tentara. Tingginya sekitar tiga sambung. Maksudnya, batang kayu yang disambung. Satu sambung sekitar enam meter.

Dalam suatu operasi, dia bersama regunya ketemu pos PGRS-PARAKU di hutan. Pos itu lebarnya sekitar empat kali sepuluh meter. Atapnya dari daun. Sempat terjadi baku tembak. Di pos itu ada sekitar 20 orang. Anggota PGRS-PARAKU banyak menjadi korban.

Selama menyusuri hutan, dia kerap menemukan mayat berserakan di hutan. Jumlahnya banyak sekali. Kalau mereka mau makan, mengalami kesulitan, karena di mana-mana ada lalat. Mayat anggota PGRS-PARAKU dibiarkan saja. Tapi, kalau mayat tentara, akan dibawa pulang dan digotong dengan tandu. Banyak dari mayat, kondisinya rusak dimakan babi hutan. Tulang belulang berserakan di berbagai tempat.

Bustaman pernah membawa tulang dengkul orang yang telah mengering. Tulang itu dibawa pulang, dan diletakkan di pinggir rumahnya.

Suatu hari menjelang maghrib, pasukannya menemukan dua anak. Lelaki dan perempuan. Usianya, delapan dan tujuh tahun. Keduanya keluar dari lubang kayu. Seluruh badan anak tergores duri tanaman hutan. Keduanya dibekali kerak nasi oleh orang tuanya.

Ketika ditemukan, ada anggota pasukan yang berniat menembaknya. Tapi, Bustaman melarang. Dia membawanya ke rumah. Ketika hendak pulang, pasukan ketemu anggota gerombolan PGRS. Bustaman langsung melepas anak itu dari gendongannya. Dia dan pasukannya mengejar anggota PGRS. Yang dikejar tak dapat ditangkap. Anggota PGRS itu berlari dengan cara merunduk seperti babi. Cepat dan gesit. Setelah itu, langsung masuk ke semak-semak hutan.

Setelah tak dapat menangkap anggota gerombolan, Bustaman mencari anak itu lagi. Sang anak ditemukan. Dia langsung membawanya ke rumah. Padahal, Bustaman sudah punya delapan anak.

Ripin, temannya membawa anak lelaki. Bustaman kebagian anak yang perempuan. Dua anak itu tak bisa bicara Indonesia. Dia juga tidak tahu namanya siapa. Akhirnya, Bustaman memberi nama Minah, padanya. Kini, anak asuhnya tinggal di Pontianak.

Bustaman mendapat penghargaan dari pasukan Kujang. Ia ditawari menjadi tentara. Namun, ia tak mengurusnya, sehingga tak bisa menjadi tentara. Uang pensiun pun tak dapat.

Itulah kisah, para penduduk di perbatasan. Tulang dan daging mereka telah melepuh. Layu dan tak lagi bertenaga. Habis energi pada masa muda. Membantu tugas para tentara.(bersambung)□

Edisi cetak ada di Borneo Tribune, 16 Februari 2008
Foto by Sugeng Hendratno, judul, Lengken.

No comments :