“Demonstrasi”
Muhlis Suhaeri
Borneo Tribune, Pontianak
Kalender menunjuk angka, 31 Oktober 1967. Siang itu, suasana perkampungan yang biasanya tenang dan damai, sontak berubah.
Aaauuuu....Aaauuuu...Aaauuuu.
Suara itu riuh terdengar. Saling menyambung dan bersahutan. Memenuhi ruang dan udara perkampungan. Nada suaranya serempak. Terkadang acak. Iramanya bagai lolongan srigala sedang mengejar mangsa.
Suara berasal dari ratusan orang. Kepala mereka diikat kain merah. Ada yang memegang tombak, mandau, dan senjata tajam lainnya. Rombongan itu mendatangi satu persatu rumah. Sesampai di setiap rumah, mereka langsung mengambil berbagai perabot rumah dan barang yang ditinggal pemiliknya. Bila ada yang melawan dan menghalangi, tak segan mereka mengayunkan senjata terhunus itu. Hasilnya, kepala terpisah dari raga.
Dari sebuah tempat yang jauh dari perkampungan, sepasang mata mengawasi peristiwa itu. Bersama keluarganya, ia telah menyingkir terlebih dahulu, sebelum rombongan datang. Apa boleh buat, ia memang harus menyingkir.
Lelaki itu bernama Tyhie Dju Khian. Ia biasa dipanggil Petrus. Orang tuanya bernama Ci Siu Dzie, datang dari Kabupaten Kwantung, Provinsi Ciu Liang, Tiongkok. Ci Siu Dzie mengajar bahasa Mandarin. Ketika datang ke Kalbar, Ci masih bujangan. Setelah itu, dia menikah dengan perempuan Dayak. Keluarga itu beranak pinak di Sebadu.
“Kami kerja apa saja di kampung. Bertani, dagang, dan beternak,” kata Petrus.
Petrus tinggal di dekat Jalan Raya Sebadu, Kecamatan Mandor, Kabupaten Landak. Jaraknya 88 km arah timur Pontianak. Di Kampung Sebadu ada 40 pintu. Orang di kampung itu, rukun dan tidak mau saling mengganggu.
Dia menempati rumah toko di belakang pasar Sebadu. Di depan rumahnya ada jalan masuk ke desa. Pergaulan orang Tionghoa dan Dayak, sangat akrab. Mata pencarian orang Dayak sebagai petani. Orang Tionghoa juga. Di kampung itu, 80 persen petani. Orang Tionghoa 60 persen menjadi petani. Namun, orang Tionghoa ada juga jadi pedagang.
Rumah tinggal mereka berupa rumah toko. Rumah tidak bertingkat. Di kampung itu, dia punya banyak saudara. Sebagian sudah punya rumah sendiri.
Ketika peristiwa itu terjadi, Petrus berusia 27 tahun. Istrinya, Dyong Sin Lan, 27 tahun. Mereka punya dua anak, berusia 5 dan 2 tahun.
“Dulunya, orang tua kami sudah punya oto tiga buah. Mobil itu untuk mengangkut penumpang ke Pontianak,” kata Petrus. Dia menjadi salah satu supirnya. Sejak umur 22 tahun, dia sudah biasa kerja.
Sebelum peristiwa itu terjadi, Petrus sudah diberitahu tetangganya, orang Dayak. Akan ada demonstrasi. Petrus pernah sekolah dan tinggal di Pontianak. Jadi, dia tahu demonstrasi seperti apa. Hanya unjuk rasa. “Tapi, ketika terjadi peristiwa pada kami, ternyata unjuk rasanya tidak sama,” kata Petrus.
Orang yang datang berdemontrasi langsung bongkar pintu, rumah dan sebagainya. Mengambil apa saja yang ada di rumah. Merampas semua harta kekayaan. “Yang menyerang kampung kami, dari kampung lain dan tidak dikenal,” kata Petrus.
Dari jalan depan rumahnya, Petrus bisa melihat orang Dayak turun menuju kampungnya. Jumlahnya ratusan orang. Seorang tetangga dari suku Dayak, bicara padanya, “Kamu masuk saja ke rumah saya. Itu orang-orang mau membongkar rumah yang ada di depan. Mereka dari kampung lain.”
Merasa tak aman lagi, Petrus mengajak keluarganya meninggalkan rumah. Mereka menyusuri jalanan kecil, menuju jalan besar. Jarak puluhan kilo meter. Ia ketemu rombongan pengungsi lain. Mereka menggendong anak kecil, dan menandu orang tua berusia lanjut.
Petrus sempat mengungsi ke gereja Sebadu. Seorang pastur berkebangsaan Amerika menyambutnya. Lelaki itu bernama Goodmen. Ia seorang misionaris di gereja Sebadu. Mereka ditampung selama empat hari di gereja. Di sana ada juga beberapa keluarga mengungsi.
Setelah menginap empat hari empat hari di gereja Sebadu, Petrus diantar Goodmen menuju pasar Senakin. Jarak 18 km. Seorang warga Dayak yang mengenalnya memberi kabar. Ada tiga peristiwa bakal terjadi. Pertama, perampasan. Kedua, pembakaran. Ketiga, pembunuhan. Sesampai di Senakin, ia mendapat kabar, pasar Senakin telah dibakar. Karenanya, ia segera berangkat ke Mandor. Mereka diantar pendeta hingga ke Mandor. Ada bus dari Mandor menuju Pontianak.
Dari Mandor, Petrus sewa mobil angkutan, jenis colt diesel. Begitu menaikkan anak dan istri, tiba-tiba mobil sudah penuh. Banyak orang menumpang. Dia sendiri tidak mendapatkan tempat, dan terpaksa duduk di atap mobil. Ia tidak membawa apa pun, kecuali uang.
Beda halnya dengan penumpang lain. Ada yang bawa ayam, kelapa, padi dan lainnya. Bila ada yang bawa tiga butir kelapa, satu untuk sewa mobil. Begitu juga dengan ayam, padi atau lainnya. Mobil berangkat dari Mandor jam enam sore. Tiba di Pontianak jam 11 malam.
Saat itu, ada juga mobil yang tidak ada sopirnya. Akhirnya, kernet mengemudikan. Kernet belum pandai bawa mobil. Pas di tikungan menurun, mobil menghantam tiang kayu. Dalam kejadian itu, dua orang meninggal dunia.
Ada beberapa daerah yang paling parah terjadi pada peristiwa itu. Mereka tidak tahu, karena penyerangan berlangsung dengan tiba-tiba dan sangat cepat. Seperti terjadi di Menjalin, Tohok, dan Mandor.
Yang paling parah terjadi di Senakin. Korban banyak terjadi di pasar Senakin. Pasar itu dibakar. Penduduk Tionghoa yang sebagian besar tinggal di sekitar pasar Senakin, melakukan perlawanan. Sebagian besar orang Tionghoa dibunuh. Orang Dayak juga banyak di sekitar Senakin. Bahkan, di sebuah sungai kecil, ada banyak mayat. Warna sungai itu merah oleh darah.
Sesampai di Pontianak, Petrus ditampung di sekolah Tionghoa di Siantan. Namanya Sin Hua atau Fajar Harapan. Ia hanya dua hari di penampungan. Setelah itu pindah ke gereja. Banyak juga orang ditampung di gudang karet milik Cu Yu Ming. Karet itu dikeringkan di gudang-gudang itu.
Kebetulan ada pamannya beli rumah di Pontianak. Rumah itu segera ditempati. “Kalau orang yang tidak punya kenalan atau saudara di Pontianak, sangat menderita dan susah,” kata Petrus.
Petrus tak begitu susah di Pontianak. Dia pernah tinggal di Pontianak, ketika remaja. Dia mengenyam pendidikan SMP di Pontianak. Banyak kenalannya di Pontianak. Teman-teman inilah yang banyak membantunya. Selain itu, dia bisa mengemudi, sehingga mudah saja cari kerja. Saat itu, belum banyak orang bisa mengemudi. Petrus juga bisa kerja kantoran. Karenanya, anak-anak langsung bisa sekolah.
Para pengungsi di Pontianak bekerja keras. Pekerjaan apa saja akan dilakukan. Pokoknya kerja keras. Kuli angkut. Tukang sampan. Narik becak dan lainnya. Orang yang tidak ada saudara dan tidak ada kerjaan, banyak jadi pengemis. Pemerintah luar negeri banyak memberi bantuan.
Di sebuah tempat bernama Toho, 75 km arah timur Pontianak, serombongan orang berjalan menyusuri pematang sawah. Mereka berjalan dalam gelap. Menghindari jalan utama. Rombongan terdiri dari kanak, remaja, dan orang tua. Jumlah rombongan ada ratusan orang. Mereka tersebar dalam beberapa kelompok.
Seorang perempuan usia 21 tahun, ikut dalam satu rombongan. Namanya Fung Jin. Ia anak keempat dari sepuluh saudara. Tiga perempuan dan tujuh lelaki. Ia berjalan sambil menggendong adiknya. Fung Jin kelahiran 1948. Semenjak lahir hingga besar, tinggal di TohoKetika peristiwa itu terjadi, ada orang dari kampung lain mendatangi kampungnya. Mereka membawa mandau. Setiap orang mengikat kepalanya dengan kain merah.
Setelah merasa tak aman, keluarganya menuju Mandor. Bila ada anak kecil, mereka digendong keluarganya. Orang sepuh diusung dengan tandu.
Sangking takutnya, ada orang tua membekap anak sendiri hingga meninggal. Anak itu sering menangis. Suara tangis bakal membuat seluruh rombongan terancam keberadaanya.
“Takut sekali. Dan anak itu tidak bisa diam,” kata Fung Jin.
Fung Jin menyaksikan peristiwa itu. Ada juga anak balita ditinggalkan di kampung dan di jalan oleh keluarga pengungsi. Kebanyakan yang ditinggal adalah anak perempuan. Anak lelaki dianggap sebagai penerus marga. Banyak juga perempuan Tionghoa tertangkap orang Dayak. Mereka dijadikan istri. Biasanya orang Dayak tidak menangkap perempuan yang mengendong anak kecil.
Setelah berjalan semalam, mereka tiba di Mandor. Kabar yang mereka terima, Mandor aman. Namun, setiba di Mandor ternyata tidak aman. Mereka meneruskan perjalanan ke Sungai Pinyuh. Dari Sungai Pinyuh, perjalanan dilanjutkan ke Pontianak.
Setelah berjalan sehari-semalam, rombongan pengungsi tiba di Pontianak. Mereka ditampung di sekolah Sin Hua atau Fajar Harapan, Siantan. Di penampungan dapat bantuan makanan, pengobatan, dan lainnya. Ada bantuan dari luar negeri seperti, Taiwan, Singapura, Australia, Amerika, dan lainya.
Di penampungan banyak yang mati. Mereka terkena kolera, demam, dan lainnya. Meski ada pelayanan dokter gratis, namun pada hari tertentu. Pemerintah kurang begitu banyak menangani. Yang banyak membantu Yayasan Tionghoa.
Setelah tinggal beberapa lama di penampungan, Fung Jin dan keluarganya direlokasi di Kalimas, Sungai Kakap, Kabupaten Kubu Raya. Di penampungan hingga ke relokasi, dia ikut dengan orang tua. Di relokasi dapat suami. Setelah tinggal di Kalimas sekitar 14 tahun, ia pindah ke Pontianak.
Di Pontianak, anak-anaknya mulai bangkit. Membuka usaha. Memperbaiki nasib. Dan membuka lembaran hidup baru.(bersambung)□
Edisi cetak ada di Borneo Tribune 20 Februari 2008
Foto Muhlis Suhaeri. Judul, Prosesi.
Wednesday, February 20, 2008
The Lost Generation (11)
Posted by Muhlis Suhaeri at 6:44 AM
Labels: Investigasi
Subscribe to:
Post Comments
(
Atom
)
No comments :
Post a Comment