Tuesday, February 26, 2008

The Lost Generation (17)

Tapol

Muhlis Suhaeri
Borneo Tribune, Pontianak
Dia terlihat menjaga jarak, ketika kami duduk satu meja di ruang tamu. Ruangan itu terlihat sederhana. Hanya ada beberapa kursi plastik. Sebuah bingkai foto Bung Karno, terpasang rapi di tembok.

Suasana menjadi cair, beberapa menit kemudian. Dia sangat berhati-hati bicara. Pengalaman masa lalu, menorehkan trauma.

Namanya A Ming. Wajahnya tirus dan tegas. Ada karakter. Guratan dan kerutan waktu menanda pada kulitnya. Sebuah kaca mata nangkring di hidungnya. A Ming mantan tahanan politik (tapol). Dia dianggap anggota PGRS, dan pernah dipenjara 10 tahun. Tak ada pengadilan resmi bagi dirinya.

A Ming tinggal di Singkawang. Dia termasuk intelektual. Ia fasih berbahasa Indonesia, sejak muda. Artinya, dia mengenyam pendidikan sekolah pada usia muda. Di Singkawang, orang seusianya jarang fasih berbahasa Indonesia. Kalaupun bisa, baru sekarang-sekarang ini.


Dia mengikuti perkembangan dan berita terkini. Saat berbicara tentang Sukarno, dia terlihat antusias sekali. Matanya berbinar.

Kami berbincang beberapa topik. Ketika berbincang mengenai konfrontasi Indonesia dan Malaysia, dia memberikan argumentasinya. Menurutnya, peristiwa itu terjadi, karena Presiden Sukarno berusaha membendung bahaya neo kolonialisme (Nekolim) atau penjajahan gaya baru. Yang dipelopori negara-negara Barat. Seperti, Amerika, Inggris, dan lainnya. Karenanya, Bung Karno berafiliasi ke negara-negara komunis. Maka, dibentuk poros Jakarta-Hanoi-Pyongyang-Beijing.

A Ming lahir dan besar di Sebaluan, Kecamatan Selakau, Kabupaten Sambas. Sebaluan merupakan hulu Sungai Selakau. Di perkampungan itu, ada sekitar 1.000 orang Tionghoa. Di sana juga ada orang Dayak. Mereka hidup berdampingan dan rukun.

Sebaluan sering dilewati rombongan gerilyawan PGRS. Penduduk tak bisa melarang. Mereka juga tidak menganggu penduduk. Di daerah ini, PGRS melakukan infiltrasi. Mereka membaur dengan penduduk yang sebagian besar orang Tionghoa.

Ketika itu, ada Partai Komunis Indonesia (PKI). Banyak juga pengikutnya. Siapa saja anggota PGRS yang masuk ke Indonesia, akan bergabung dengan PKI.

Ketika gejolak sedang terjadi, A Ming berusia 20 tahun. Dia diajak Lo Pan, biasa dipanggil Kakak ketiga. Kakak Pertama adalah Sofyan.

Sebaluan termasuk daerah yang didatangi massa demonstrasi. Rombongan orang Dayak memakai ikat kain merah di kepala. Mereka membawa mandau dan senapan lantak.

“Waktu pengusiran, orang-orang PKI mengajak warga kampung untuk ikut bersama PGRS ke hutan,” kata A Ming.

Hutan tak jauh dari kampung itu. Namun, banyak juga warga memilih mengungsi ke Sambas. Jarak Sambas dan Sebaluan sekitar 70 km.

Mereka yang mengungsi ke hutan beranggapan, kondisi akan kembali normal selama beberapa minggu. Mereka yakin itu. Zaman Jepang juga seperti itu kondisinya. Ketika Jepang datang, mereka menyingkir ke hutan. Setelah 15 hari, dan kondisi dirasa aman, mereka balik ke kampung lagi. Mereka berpikir, paling banter dua minggu bersembunyi di hutan, setelah itu kembali ke kampung lagi. Ternyata, setelah ditunggu beberapa minggu, mereka tidak bisa kembali lagi ke kampung.

A Ming ikut rombongan masuk ke hutan. Dia di hutan selama setahun lebih. Makan apa saja. Banyak juga mendapat makanan dari orang kampung di sekitar hutan.

Pada 1968, tentara Kujang 330 melakukan operasi di sekitar Sambas hingga ke Bengkayang. A Ming ditangkap di Sepang, Kecamatan Lumar, Kabupaten Bengkayang. Sepang sekitar 4 jam berjalan kaki dari Sebaluan.

Dia ketemu patroli tentara yang melakukan operasi pagar betis dan menyisir semua wilayah tersebut. Ketika tertangkap, kondisinya kurus sekali. Dia ditangkap di hutan bersama seorang temannya. Saat ketemu tentara, dia ditanya.

“Kamu anggota PGRS?”
“Ya.”

Kalau tak mengaku, akan dipukul. Karenanya, dia tak mendapat pukulan. Dari Sepang, dia dibawa ke Sebangkau. Setelah itu dibawa ke Selakau. Dari Selakau, dibawa ke Kodim Singkawang. Ketika itu, Kodim berada di Pasiran, Singkawang.

Selesai menjalani interogasi, dia langsung dibawa ke penjara Singkawang. Dari penjara Singkawang, dipindah ke penjara di Sungai Raya, Kabupaten Kubu Raya. Sekitar empat tahun, dia menjalani penjara di Sungai Raya. Dari sini, terus dipindah ke penjara Ketapang, selama enam tahun.

Ketika bertemu dengan Letkol Harsono Subardi, Eks Biro Intel POM Kodam Tanjung Pura, aku bertanya tentang kondisi para Tapol dan kondisi ketika itu.

Harsono adalah orang yang menangani para mantan anggota PGRS-PARAKU. Dia bertugas menginterogasi dan mendapatkan berbagai informasi dari para mantan gerilyawan ini. Tugas Harsono, membantu detasemen dari intelijen Kodam. Tugasnya khusus operasi intelijen saja, dan tidak dalam pertempuran.

Dari beberapa narasumber tentara yang diwawancara, mereka punya satu persepsi sama tentang PGRS-PARAKU. Para gerilyawan ingin menjadikan Kalbar sebagai satu provinsi RRC. Itu menurut satu dokumen yang ditemukan dari penangkapan anggota PGRS-PARAKU. Dalam rangka mencapai tujuan itu, mereka bersatu dengan PKI Gaya Baru yang dipimpin Sofyan.

Ketika tertangkap, anggota PGRS-PARAKU dimasukkan ke camp di Sungai Raya. Jumlahnya ada sekitar 2.000 orang. Diantara yang tertangkap, banyak juga perempuan.
Dalam pemeriksaan, dia melarang TNI menyiksa, memukul dan menggunakan alat listrik, untuk memeriksa tawanan. Sebagian tentara ada yang protes.

“Mereka ini kan komunis?”
“Ada, ndak UU dari pemerintah yang memperbolehkan menyiksa tawanan? Kalau ada, silakan."

Karenanya, Harsono tak memperbolehkan tahanan disiksa. Bahkan, dia pernah diboikot para tentara, supaya tidak melakukan pemeriksaan terhadap tahanan. Ketika pemeriksaan, para tawanan menurut padanya dan tidak melawan.

Kalau memeriksa tawanan perempuan, dilarang pada malam hari. Namun, ada juga tawanan perempuan dilecehkan. Ada Kopral CPM dikeluarkan dari dinas militer, karena melecehkan tawanan atau memerkosa. Ada juga tawanan yang dikawini. Contohnya, tawanan perempuan yang menjadi istri Mayor Romli. Sekarang ini, Romli sudah meninggal. Jabatan terakhir sebagai Wakil Asisten Intel (Waasintel) Kodam XII Tanjungpura. Pangkat terakhir Letnan Kolonel.

Harsono belajar bahasa Tionghoa Khek, kalau memeriksa tawanan. Kosakata yang umum-umum saja dan biasa dipakai. Misalnya, namanya siapa? Rumah di mana? Umur berapa? Sekarang ikut siapa? Namun, terkadang juga ada penerjemah. Yang menjadi penerjemah, biasanya orang Tionghoa yang sekolah di Yayasan Katolik.

Dalam memeriksa tawanan, dia biasa mengajak tawanan bicara sambil minum kopi. Dengan cara lembut dan tanpa kekerasan, para tawanan malah bicara semua tentang PGRS-PARAKU. Siapa saja yang menjadi anggotanya, organisasinya, dan lainnya. Banyak juga anggota PGRS-PARAKU mencoba menyusup ke ABRI. PKI yang dipimpin Sofyan, salah satu tugasnya adalah masuk ke unsur-unsur militer. Ada sebagian tentara yang ikut dan termasuk anggota PKI.

Suatu ketika, Harsono jalan-jalan ke Glodok, Jakarta. Dia dipanggil orang-orang Tionghoa di pertokoan itu.
“Pak Harsono, sini.”
“Maaf, siapa ya?”
“Saya kan, orang camp. Mari kita makan bersama.”

Ketika ditanya tentang peristiwa itu dengan konstelasi politik yang terjadi, Harsono menjawab tidak tahu. “Sebagai tentara CPM, tugas saya mengawasi disiplin para prajurit,” kata Harsono.
Menurutnya, selama mantan gerilyawan PGRS-PARAKU ditahan, pemerintah memperlakukan mereka dengan baik.

A Ming, mengemukakan pengalamannya selama di penjara. Dia memang tak selalu di dalam sel. Bahkan, sering bekerja di kebun atau ladang di sekitar penjara. Dari kerjaan itu, dia mendapat bayaran dari tenaga yang dikeluarkan.

Menjelang akhir pertemuan, aku penasaran dan bertanya padanya.
“Kenapa mau ikut dengan PGRS ke hutan?”
“Karena Sukarno baik dengan orang Tionghoa.”(bersambung)□

Edisi cetak ada di Borneo Tribune, 26 Februari 2008
Foto by Sugeng Hendratno

No comments :