Tuesday, February 19, 2008

The Lost Generation (10)

Mangkok Merah

Muhlis Suhaeri
Borneo Tribune, Pontianak
Selain tentara melakukan provokasi, para pemimpin Dayak menemui J.C. Oevaang Oeray, membicarakan pengusiran orang Tionghoa dari pedalaman Kalbar.

Terjadi pertemuan di Pontianak. Hasil pertemuan diikuti dengan pengumuman di radio, supaya orang Dayak melakukan pengusiran.

Menurut Jamie Davidson dan Kammen, pengumuman melalui radio dilakukan, bersaman dengan dibentuknya Laskar Pangsuma, untuk mengorganisir demonstrasi.

Oevaang menulis surat dan membacakannya sendiri di radio RRI Pontianak, menurut laporan dari PB HAM Kalbar. Pengumuman itu berisi, orang Tionghoa harus meninggalkan wilayahnya dan pindah ke kota kecamatan terdekat.


Pengumuman diikuti surat undangan menghadiri pertemuan pada 11 Oktober 1967. Seluruh Kepala Kampung di Kewedanaan Bengkayang, diminta datang ke Samalantan, untuk pertemuan besar. Pertemuan dihadiri Oevaang dan dijaga ketat Tentara dari Pasukan Kujang 328 dan Batalyon 641. Dalam pertemuan, Oevaang memerintahkan kepada seluruh kepala kampung, bersiap-siap menunggu hari yang disebutnya ”Gerakan Demonstrasi”.

Setelah pertemuan ini, sumber resmi tentara, Sendam, menyebutkan bahwa proses pengusiran terjadi pada 14 Oktober 1967. Saat itu, massa Dayak di Kampung Taum mulai melakukan serangan terhadap orang Tionghoa. Serangan meluas ke Serimbu, Sei Betung, Sebakuan, Selakau, Samelantan, Mempawah Hulu, Menjalin, Mandor dan Capkala, Sungai Raya, Kampung Toho, Sangking, Sei Pinggan di Kecamatan Toho, Kampung Tumang dan sekitarnya, Kampung Menjalin, Kampung Sosok dan kampung-kampung sekitar Ngabang, Kembayan di Kabupaten Sanggau dan lain-lain. Pertemuan Samalantan menandai adanya demontrasi.

Sebagian besar penduduk yang diwawancara, mengemukakan alasan sama ketika ikut demontrasi.

“Siapa yang memerintahkan demontrasi?”
“Oevaang Oeray.”

Menurut buku Sejarah Singkat Perkembangan Pemerintah Daerah Tingkat I Kalbar, Johanes Chrisostomus Oevaang Oeray menjadi Gubernur Kalbar, 1959-1966. Dia satu-satunya orang Dayak, sebelum reformasi yang pernah menjadi gubernur di Kalbar.

Presiden Suharto menuduh Oevaang terlibat kegiatan PKI. Karena tak mau dikatakan PKI, tokoh sentral dan jadi panutan warga Dayak itu, ingin membuktikan dirinya bukan anggota PKI. Oevaang berkata, dia akan menyelesaikan masalah itu dalam waktu tujuh hari. Dalam jangka itu, orang Tionghoa sudah akan pindah dari tempatnya.

Dalam waktu seminggu, orang Tionghoa harus mengungsi dan meninggalkan tempatnya di pedalaman. Selama waktu tujuh hari itulah, sekitar 70 ribu orang Tionghoa meninggalkan rumahnya. Banyak orang jalan kaki dan diangkut kendaraan.

Berdasarkan wawancara dengan masyarakat di Lumar dan Molo, mereka ikut demonstrasi dan mengusir orang Tionghoa, karena ada sembilan orang dibunuh. “Kalau mereka tidak dibunuh, mungkin, orang Dayak tak bertindak,” kata Durani, warga Dusun Sebol, Bengkayang.

Abin, 76 tahun, warga Dusun Molo, ketika peristiwa itu terjadi, tiba-tiba ada seruan melalui Mangkok Merah. Upacara Mangkok Merah dilaksanakan dengan upacara adat, berupa penyembelihan babi dan ayam. Darah hewan tersebut ditaruh dalam satu mangkok kecil. Seperti mangkok sloki. Mangkok harus diedarkan dari kampung ke kampung.

Bagi warga Dayak, Mangkok Merah merupakan ajakan dan memenuhi panggilan perang. Ketika Mangkok Merah sudah berjalan dari kampung ke kampung. Mangkok Merah harus dilanjutkan ke kampung di sebelahnya. Diedarkan secara berantai. Yang mengantar Mangkok Merah biasanya pemuda di daerah tersebut. Orang yang dilewati jalur Mangkok Merah, harus memenuhi panggilan itu.

Namun, Abin maupun Durani, atau penduduk lainnya, tidak tahu dari daerah mana Mangkok Merah berasal. “Tahu-tahu Mangkok Merah sudah beredar,” kata Abin.

Kecamatan Lumar di Bengkayang, termasuk pusat terjadinya peristiwa pengusiran atau ethnic cleansing peristiwa 1967. Ada dua tempat yang dianggap pusat tempat tinggal orang Tionghoa. Namanya Piong San dan Sepang.

Sebagian besar penduduk di Lumar, ikut dalam demontrasi. Mereka ikut demontrasi hingga ke Tebas, Sebakau, dan Semparuh di Sambas.

Aten, warga Lumar menuturkan, sebelum berangkat demonstrasi, mereka mengadakan upacara pelangkah atau upacara adat. Menyembelih anjing dan ayam, sebagai penghormatan dan minta izin ruh leluhur. Setelah melakukan upacara, setiap orang diisi dengan berbagai kesaktian. Juga ada jimat dari taring babi, tanduk rusa, dan lainnya. Jimat berfungsi melindungi tubuh dan kebal dari bacokan senjata tajam atau api.

Ketika semua sudah siap, rombongan berangkat dipimpin seorang panglima. Panglima inilah yang menuntun penduduk, sehingga mereka bisa berjalan cepat.

“Jalan tak terasa. Seperti tidak sadar. Yang terlihat hanya bayangan dan kelebatan pohon di hutan,” kata Aten.

Aten dan penduduk di Lumar, pernah demonstrasi ke Tebas, Sebakau, dan Semparuk, di Sambas. Jumlah mereka mencapi 800-an orang. Bila jalan biasa, jarak Lumar dan Sambas ditempuh dalam waktu 24 jam. Dengan ilmu itu, perjalanan hanya butuh waktu empat jam saja.

Ada tariuh. Teriakan melengking memanggil dan minta bantuan pada arwah leluhur. Upacara untuk mendapatkan kekuatan itu disebut Matok. Efeknya, orang sepuluh akan terlihat seperti seribu orang.

Junaedi, guru SD di Dusun Sebol, Desa Tiga Berkat, Kecamatan Lumar, Kabupaten Bengkayang, menceritakan pengalamannya. Ketika melihat orang demontrasi, dan keliling sambil membawa senjata tajam, dia sempat demam melihatnya. Jatuh Sakit.

Pengikut demontrasi dibuat sistem silang. Misalnya, warga kampung A melakukan aksi di kampung C. Orang kampung B, melakukan aksi di kampung D. Sistem dibuat seperti itu, karena antara orang Dayak dan Tionghoa, sangat dekat dari dulunya.

Dalam sejarah awal masuknya orang Tionghoa ke Kalbar, sebagian besar mereka terdiri dari bujangan. Mereka datang dan bekerja sebagai penambang emas. Generasi awal ini berasimilasi dan menikah dengan perempuan lokal, Dayak, Melayu atau lainnya.

Karenanya, kehidupan antara warga Tionghoa dan etnis lain, Dayak khususnya, sangat akrab. Mereka diikat oleh suatu perkawinan. Penduduk hidup berdampingan. Ketika terjadi pengusiran, warga Tionghoa di perkampungan diberitahu terlebih dulu. Yang melakukan pengusiran dari kampung lain. Awalnya, warga Tionghoa diam saja, ketika barang-barang di rumah diambil. Karena takut dan tidak tahan lagi, mereka menyingkir dan mengungsi.

Orang Dayak datang demonstrasi dengan mengenakan ikat kain merah di kepala. Mereka berteriak dengan lengkingan tinggi, sebelum mendatangi perkampungan. Orang Dayak seperti kerasukan ruh dan trance, sebelum melakukan pengusiran. Kalau ada orang Tionghoa melawan, akan dibunuh.

Ketika terjadi pengusiran terhadap orang Tionghoa di Bengkayang, Letkol Harsono Subardi, Eks Biro Intel POM Kodam Tanjung Pura, menemui beberapa panglima Dayak. Salah satunya, Panglima Sopa di Bengkayang. Dia melarang Panglima Sopa membunuh orang Tionghoa.

“Boleh memanfaatkan barang-barang dan menempati rumah. Tapi jangan membunuh,” kata Harsono.

Membunuh adalah pelanggaran hukum. Warga Tionghoa biasa, tidak tahu menahu tentang PGRS-PARAKU. Dia bertugas di Bengkayang, menentramkan orang Dayak, untuk tidak mengadakan pembunuhan. Orang Dayak tunduk dengan militer. Sehingga dia langsung menemui para panglimanya.

“Kalau tidak akan habis masyarakat Tionghoa di sana,” kata Harsono. Nah, di Pahuman sampai terjadi pembunuhan satu kampung terhadap orang Tionghoa, karena tentara tidak ada yang mengawasi ke sana.

Menurut Pastor Herman, dalam demontrasi orang Dayak memegang teguh pada dua B, Bakar dan Bunuh. Dua hal itu harus dihindari. Namun, satu bulan setelah peristiwa pengungsian, banyak dari pemuda Tionghoa yang masuk ke hutan keluar, untuk mengadakan perlawanan. Hal inilah yang pada akhirnya menimbulkan berbagai pertumpahan dan pembunuhan. Demontrasi dipersiapkan dengan sangat baik, sistematis dan cepat.

Dari penuturan Tyhie Dju Khian atau Petrus yang diperolehnya dari badan dunia yang menangani pengungsi saat itu, tercatat ada sekitar 3.000 orang meninggal dalam pergolakan ini. Sekitar 70 ribu orang mengungsi, meninggalkan tempatnya.

Pemerintah menyebut peristiwa 1967, sebagai Pergolakan Rakyat. Dalam peristiwa itu, terjadi pengusiran warga Tionghoa di sepanjang perbatasan Kalimantan Barat dengan Serawak, Malaysia, oleh masyarakat Dayak.

Selain berbagai penyebab di atas, ada satu cerita yang membuat orang Dayak, ikut melakukan pengusiran terhadap orang Tionghoa. Peristiwa itu disebut dengan Peristiwa Sepasa. Sepasa merupakan daerah di Bengkayang.

Durani, 79 tahun, cerita padaku tentang peristiwa itu. Secara tepatnya, orang tidak tahu, kapan tepatnya peristiwa ini terjadi. Cerita ini dituturkan dari mulut ke mulut oleh orang tua, kepada anak-anak mereka. Cerita Sepasa dianggap sebagai satu alasan, orang Dayak ikut membunuh dan memburu Tionghoa di pedalaman.

Cerita Sepasa merupakan peristiwa pembunuhan yang dilakukan orang Tionghoa, terhadap penduduk Dayak di Kampung Sepasa. Ketika itu, orang Tionghoa dikenal sebagai pemberani. Punya senjata api dan bekerja di sungai-sungai yang penuh dengan butiran emas. Orang Dayak takut bila punya masalah dengan orang Tionghoa. Perkampungan mereka terpisah.

Suatu ketika, orang Tionghoa merasa dilecehkan, karena sumber air yang menjadi sumber penghidupan, ternoda oleh kotoran manusia. Orang Tionghoa beranggapan, orang Dayak pelakukannya. Maka dipanggil semua orang Dayak di Kampung Sepasa, dan dibuatkan pesta. Orang Dayak datang dan tidak merasa curiga. Semua makanan dihidangkan. Babi dipotong sebagai hidangan. Setelah itu, orang Tionghoa menghidangkan minuman arak. Orang Dayak menikmati semua hidangan, dan minum arak sehingga mabuk berat. Usai mabuk dan tak berdaya, orang Tionghoa membunuh semua tamu mereka. Namun, ada satu orang berhasil lolos. Orang ini bercerita pada masyarakat di sekitarnya.

Usai peristiwa itu, orang Dayak tak ada yang berani melawan. Mereka takut dengan berbagai peralatan dan senjata orang Tionghoa. Teknologi dan persenjataan orang Tionghoa lebih unggul. Senapan Lantak dan parang panjang, dibuat orang Dayak, setelah mereka belajar dari orang Tionghoa.

Sehingga ketika ada kesempatan untuk membalas, mereka melakukannya dengan semangat untuk mencari eksistensi diri. Selain itu, peluang ekonomi, harta rampasan, dan kekuasaan.

Dan, setelah orang Tionghoa terusir, terjadi perebutan rumah, tanah, dan berbagai aset lainnya. Kekosongan penduduk ini, diisi etnis lainnya. Sehingga timbul persaingan baru dalam pengelolaan aset, peluang ekonomi, pekerjaan dan lainnya. Semua itu, pada tahap selanjutnya, menjadi salah satu pemicu konflik di Kalbar.

Akibat peristiwa 1967, militer kembali menghidupkan budaya Ngayau atau memotong kepala. Padahal, budaya mengayau sudah berhenti di Kalimantan, pasca pertemuan semua suku Dayak Tumbang Anoi di Kalimantan Tengah, 1894. Prof KMA M. Usop, dalam bukunya berjudul Pakat Dayak menulis, pertemuan itu mengandung nilai-nilai kemanusiaan yang tinggi, yaitu persaudaraan, perdamaian dan kesadaran tertib hukum.

Semua nilai-nilai itu hancur, karena kebutuhan operasi militer dalam rangka penumpasan gerilyawan PGRS-PARAKU.(bersambung)□

Edisi cetak ada di Borneo Tribune, 19 Februari 2008
Foto Muhlis Suhaeri, Judul, Jelang Ritual.

2 comments :

Unknown said...

nah benarkan?..pasti pak uvang sangat takut sekali dituduh PKI, sejarah kan membuktikan bagaimana nasib PKI, malang orang dayak dan tionghoa. lagi-lagi soeharto yang membuat perkara, mungkin itu salah satu dari strategi dia untuk mengacaukan keharmonisan hidup antara orang dayak yang lugu dan orang tionghoa.

salam pak muhlis, kita pernah ketemu di putussibau. waktu itu kesan pertama saya, wah orang ini berantakan, keriting, bau dan kumal katanya baru pulang dari badau.sorry...

Admin said...

Adil ka’talino, bacuramin ka’saruga, basengat ka’Jubata. (Dengan Rahmat Tuhan YME dan dengan berpedoman pada ajaran / kepercayaan, bersikap adil terhadap sesama manusia.)

Kua’-kua’ te’leu mirip ngan tiga tawai, se`lu tawai, se`lu kimet, se`lu atai teleu nyelada dulu ira’ uva’ ka ngenja’at lebu’lu ni, tiga lu tawai lu, ngan lesau ira’ asi’ murip kume` ileu, mpei lu uva’ ja’at kimet ngan senganak lu, selepe`apan. (Marilah kita hidup bersama untuk tujuan mulia. Bersatu hati agar kita bisa bersatu menghadapi orang yang mau merusak kampung kita. Mari berpikir untuk saling mengasihi terutama kepada mereka yang
hidup susah. Jangan kita masing-masing mempunyai pikiran jahat kepada sesama saudara)

Akeu`, Ian Apokayan,.. Mai ngebake`h kelunan e`h sa’at !
Aku, Ian Apokayan,.. Tidak berteman dengan orang-orang yang jahat !

Salam dari Ian Apokayan
Pemuda Dayak Kenyah – Punan
Twitter : @ianapokayan
Email ian.apokayan@gmail.com