Wednesday, February 13, 2008

The Lost Generation (4)

Operasi Tempur

Muhlis Suhaeri
Borneo Tribune, Pontianak
Setelah peristiwa pembobolan gudang senjata di Lanud 2 Singkawang, Bengkayang, dimulai operasi besar-besaran menumpas PGRS-PARAKU.

Sulitnya medan membuat pengiriman perbekalan dan logistik dilakukan dengan berbagai cara. Pengiriman perbekalan dilakukan melalui jalur darat, udara dan air.

Bila medannya sulit, perbekalan dikirim dengan pesawat udara. Caranya, menerjunkan dengan payung udara. Perbekalan juga didatangkan lewat sungai.


Lalu, bagaimanakah cara militer menanggani para gerilyawan ini?

“Dalam operasi militer, ada operasi tempur dan operasi teritorial,” kata Letkol (Pur) H. Zaenal Arifin, eks Komandan Batalyon 402 Sintang. Terakhir, Zaenal adalah pejabat Bupati di Ketapang.

Zaenal pernah melakukan operasi pertempuran Trikora di Irian Jaya dan Permesta di Manado. Di Permesta lebih sulit operasinya, karena para pemberontak dibantu Amerika Serikat. Senjata yang dimiliki Permesta lebih canggih dan modern. Bahkan, Amerika juga mengirim para penerbangnya. Salah satunya yang pesawatnya tertembak di sana. Penerbang pesawat itu bernama Allan Lawrence Pope dan sempat menjadi tawanan pemerintah RI.

Ketika bertugas di Kalbar, Zaenal berpangkat Mayor. Menurutnya, dalam ketentaraan dibagi menjadi beberapa pasukan. Ada regu, terdiri dari 11 orang. Satu Peleton terdiri 26 orang. Satu Kompi terdiri dari 100 orang. Satu Batalyon terdiri dari 500 orang. Sebagai komandan batalyon, ia melatih dan memperbaiki kemampuan batalyon yang dipimpinnya. Setelah itu, mengirimkannya ke daerah perbatasan, untuk menghadapi pemberontakan PGRS-PARAKU. Senjata yang biasa dipakai oleh PGRS-PARAKU adalah lenvit.

Batalyon yang dipimpinnya terdiri dari 3 Kompi Tempur dan 1 Kompi Markas. Markas Kompi ada di Sintang. Kompi A dan Kompi Markas berada di Sintang. Kompi B di Sanggau. Kompi C ada di Nanga Pinoh. Belum ada jalan darat yang memadai. Semua perbekalan dan operasi dilakukan melalui jalur sungai.

Perjalanan dari Sintang ke Sanggau, sekitar 12 jam dengan perahu, karena dari hulu. Kalau dari Sanggau ke Sintang, sekitar 24 jam, karena ke hulu. Dari Sanggau ke Balai Karangan, sekitar 48 jam atau dua hari. Biasanya bermalam di Kembayan.

Masalah transportasi merupakan hambatan bagi tentara, sehingga tidak bisa bergerak cepat. Selain itu, ada sarana komunikasi radio. Setiap kompi ada radio.

Sebagai komandan, dia punya prinsip dasar. Seorang Komandan Batalyon dikatakan komandan, kalau dia punya pasukan cadangan. Misalnya, dalam suatu pertempuran, tiga kompi tidak boleh ditaruh di depan semua. Harus ada satu kompi cadangan di belakang yang langsung dipimpinnya. Bagaimanapun, ada sesuatu yang harus dijaga.

Kondisi medan di sekitar Sambas, Bengkayang hingga Sanggau, berbukit dan hutan lebat. Daerah ini dikuasai oleh PGRS. Kondsi medan di sekitar Lanjak, Benua Martinus hingga Putussibau, hutan lebat dan penuh rawa. Daerah ini dikuasai oleh PARAKU.

Dalam doktrin yang dijalankan, Pertahanan dan Keamanan Rakyat Semesta (Hamkamrata), tentara tidak bisa dipisahkan dari masyarakat. Di mana operasi dilakukan, tentara harus merangkul rakyat. Apalagi, tentara kebanyakan didatangkan dari Jawa. Karena itu, mereka minta bantuan pada masyarakat lokal, daerah mana yang bisa digunakan untuk jalur jalan. Kebetulan wilayah operasi yang dijalankan, sebagian besar terdiri dari orang Dayak. Mereka tahu bahasa Indonesia. Kalaupun tidak mengerti, mereka pakai bahasa isyarat.

Zaenal merasakan kondisi operasi sangat sulit. Apalagi dengan kondisi medan dan peralatan yang terbilang sederhana. Semua itu menjadi kendala tersendiri. Bila daerah itu tak bisa ditembus melalui radio komunikasi, mereka menggunakan surat.

Perjalanan tidak bisa diukur dengan ukuran waktu. Isi surat biasanya suatu informasi kepada kompi terdekat, untuk melaksanakan operasi ke tempat tertentu.

Penduduk dijadikan kurir. Supaya surat sampai dengan cepat, ada tanda tertenti di amplop. Misalnya, ditempelkan daun atap atau daun nipah. Daun nipah biasa digunakan untuk membuat atap rumah. Maksudnya, biar hujan sekali pun, si kurir harus jalan terus. Juga ditempelkan korek api. Api adalah simbol penerangan. Artinya, biar malam, jalan terus.

“Kalau kita menggunakan kurir rakyat biasa, harus ada dua tanda itu diamplop suratnya. Dua tanda itu, berarti kilat khusus,” kata Zaenal.

Misalnya dari Balai Karangan ke Sekajang. Jarak itu butuh waktu satu hari satu malam. Pengiriman surat secara estafet. Masing-masing oleh dua orang.

Pengiriman surat dilakukan karena ada informasi akurat yang harus disampaikan. Surat menggunakan bahasa khusus dan kata sandi, sehingga tidak mudah dibaca orang. Tulisannya sulit dibaca dan dicerna orang lain. Juga pakai nama samaran. Zaenal punya nama samaran, Harum. Ada kesepakatan dengan para kepala komandan Kompi.

Untuk mengangkut perbekalan, biasanya mengupah penduduk setempat. Caranya dengan memberi makan. Kalau tidak bisa melalui air, perbekalan akan dijatuhkan melalui udara. Namun, pengiriman lewat udara, kadang merusak barang yang dikirim. Bila ada barang rusak, dia melaporkan ke markas Kodam XII Tanjungpura. Kodam segera mengganti perbekalan itu. Perbekalan biasanya untuk satu bulan. Dalam sehari, satu prajurit biasanya menghabiskan beras 500 gram. Dalam batalyon ada 500 orang. Tinggal mengalikan saja.

Saat itu perbekalan minim. Peralatan seperti sepatu, kadang tidak pakai alas kaki. Bisa juga cuma pakai sendal jepit. Pergerakan pasukan terkadang harus melewati jalan berlupur setinggi lutut. Sulitnya medan membuat sepatu yang dipakai tertinggal di lumpur.

Persenjataan masih sederhana. Ada beberapa tipe senjata. Bren otomatis, AK-47. LE, atau Sten. Operasi pasukan tidak menggunakan persenjataan berat, seperti meriam. Kondisi medan tidak memungkinkan. Pasukan pakai senapan praktis dan otomatis, sehingga mudah dibawa.

Menurut pengalamannya, tidak ada yang berat-berat sekali. Sebagai komandan, dia di belakang pasukan. Operasi penumpasan berhadapan dengan pasukan kecil. Karenanya, menggunakan pasukan kecil. Yang berat adalah jalan menuju ke tempat operasi. Hutan lebat, bukit dan rawa.
Operasi paling berat di Bungpatung dan Benua Martinus. Bungpatung hutannya lebat. Jalan juga sulit ditembus. Benua Martinus hutan lebat dan berawa.

Ancaman lain adalah malaria. Dia pernah terkena malaria tropika. Pada jam tertentu, kepala rasanya berdenyut keras sekali. Dia pernah membentur-benturkan kepala dengan keras ke tembok, sangking tak kuat menahan rasa denyutnya.

Sebagai Komandan Batalyon, Zaenal melakukan berbagai operasi penumpasan hingga ke Bengkayang. Suatu ketika, pasukannya bergerak dari Balai Karangan ke Bungpatung. Di Bungpatung bergabung dua batalyon. Batalyon 642 Sintang dan Batalyon 641 Singkawang. Dua batalyon itu dibawah komando Zaenal.

Dalam operasi di Gunung Brambang, dua batalyon ini berhasil menembak mati salah satu pemimpin PGRS-PARAKU bernama Yap Chung Ho. Yang merupakan salah satu pimpinan gerilyawan.

Sempat terjadi kontak senjata sebelum ditembak. Pertempuran terjadi pada siang hari. Selesai pertempuran, ada laporan dari anak buah, Yap Chung Ho tertembak. Zaenal segera memberi perintah, untuk membuktikannya. Dari lokasi pertempuran ke tempat Zaenal cukup jauh. Perjalanan sekitar enam jam jalan kaki. Jenasah Yap Chung Ho dibawa ke markasnya. Jenasah sampai pada pukul 19.00 wib.

Bersama jenasah Yap Chung Ho, dibawa juga berbagai dokumen dan barang. Setelah itu, Zaenal minta pada anak buahnya, memasang kaca mata dan pakaian pada sang mayat. Setelah yakin dan sesuai dengan yang ada di foto, Zaenal segera melapor ke Kodam XII Tanjungpura. Selepas itu, Kodam menyiarkannya melalui radio.

Setelah berhasil menangkap Yap Chung Ho, Zaenal diijinkan turun ke Pontianak. Pasukannya diganti dengan pasukan dari batalyon lain. Pergantian pasukan biasanya setiap setahun sekali. Semua pasukan lama akan diganti dengan pasukan yang baru.(bersambung)

Edisi cetak ada di Borneo Tribune tanggal 13 Februari 2008
Foto, Army Mod, Uk

1 comment :

Joko Waluyo said...

Bung Muhlis,
Tulisan anda bagus sekali untuk menambah wawasan saya tentang Kalbar pada umumnya dan Paraku pada khususnya.

salam,
Joko Waluyo