Sunday, February 10, 2008

The Lost Generation (2)

Konfrontasi dengan Malaysia

Muhlis Suhaeri
Borneo Tribune, Pontianak
“Saat itu, RI memang zaman Orde Lama, dan Bung Karno tidak melarang ideologi komunis,” jawab Letkol Harsono Subardi, mantan Biro Intel POM Kodam XII Tanjungpura. PGRS punya koran. Namanya Lae Tung Po. Isinya berbagai tema tentang gerakan PGRS.

Menurut Edward Tenlima, mantan Danlanud Singkawang 2, Bengkayang, banyak sukarelawan datang dari Malaysia, dilatih secara kemiliteran di Sanggau Ledo, Bengkayang. Setelah itu, mereka kembali ke Malaysia melakukan penyusupan. Sukarelawan itu sebagian besar dari Cina Serawak.


PGRS dilatih di tempat rahasia dan jauh dari perkampungan masyarakat. Alasan pemilihan Sanggau Ledo sebagai tempat latihan, daerah itu pusat pemukiman orang Cina. Seperti, di Piong San dan Sepang.

Dengan cara itu, para sukarelawan yang sudah dilatih, lebih mudah mengajak orang Cina di daerah itu, bergabung menjadi sukarelawan dan melawan Malaysia. Daerah itu juga dekat dengan perbatasan Malaysia sebelah barat. Jaraknya sekitar 43 kilometer.

Kedatangan awal para anggota PGRS ke Sanggau Ledo dibenarkan Thong Fuk Long, biasa dipanggil Tomidi. Dia diminta tentara menjadi penerjemah para gerilyawan. Ketika itu, Tomidi menjadi guru bahasa Indonesia di Sanggau Ledo. Kebetulan, dia menguasai bahasa Mandarin, Belanda, dan Khek.

Pada akhir Desember 1963, ada 31 orang dari Serawak, Malaysia datang ke Sanggau Ledo. Mereka para pentolan PGRS. “Kami mendapat persetujuan dari pemerintah RI, untuk memerdekakan Sabah dan Serawak. Pemerintah minta etnis Cina untuk membantu. Kalau bukan etnis Cina, siapa lagi yang bantu,” kata Tomidy menerjemahkan pembicaraan itu.

Tentara malah meminta seorang fotografer mendokumentasikan kegiatan latihan para anggota PGRS-PARAKU.

“Saya tahu tempat latihan mereka, karena saya ikut tentara dan memotret mereka latihan,” kata Bong Bu Tjin.

Setelah dilatih di Indonesia, mereka dikembalikan ke Serawak. Yang ketika itu ingin memerdekakan diri. Bong kadang ke hutan dan mengikuti berbagai operasi yang dilakukan tentara.

Selain di Sanggau Ledo, ada beberapa tempat yang digunakan. Misalnya Singkawang. “Latihan tidak resmi. Tentu saja supaya bisa perang. Latihan itu selama 15 hari. Senjata tidak diberikan Kodam. Senjata juga tidak lengkap. Maksudnya, tidak satu orang pegang satu senjata,” kata Sarwono WHD, eks Waasintel Kodam XII Tanjungpura.

Menurutnya, setengah dari jumlah anggota PGRS-PARAKU hidup sendiri di tengah masyarakat. Diurusi penuh oleh Kodam juga tidak. Setahu dia, yang urus banyak. Salah satunya dari Biro Pusat Intelejen (BPI). Kepala BPI, Dr Soebandrio, Wakil Perdana Menteri I, merangkap Menteri Luar Negeri.

Ya, maklumlah urusan politik, katanya.

Operasi intelejen khusus tidak ada. Kodam hanya memberikan bahan untuk bergerak. Misalnya, wujudnya latihan yang ikut diproses intelejen. Jadi, intelejen tidak bergerak sendiri. Intelejen lebih didominasi BPI. Saat itu, BPI lebih banyak dikuasai PKI. Yang mendirikan barak-barak di sepanjang perbatasan adalah BPI.

“Kalau yang lewat orang PGRS-PARAKU, mereka yang pakai. Kalau tentara Indonesia yang lewat, ya, mereka yang pakai,” kata Sarwono.

Barak itu ada di sepanjang perbatasan Sambas, Bengkayang, Sanggau, Sintang, Putussibau, Benua Martinus, hingga Badau. BPI bergerak sendiri dan tidak mengikutsertakan Kodam. Cuma, Kodam tetap diberitahu. Ketika itu, BPI bermarkas di garasi rumah orang di Jalan Gajah Mada, Pontianak. Tapi, ia lupa alamatnya.

Selain PGRS-PARAKU, Indonesia banyak merekrut sukarelawan. Mereka dilatih di beberapa tempat. Salah satunya ada di Singkawang. Sebagian besar yang mengurus dari BPI. “Kapan masuknya ke Kalbar juga tidak jelas, karena itu urusan Pusat dan bukan Kodam,” kata Sarwono.

Operasi tentara di perbatasan dipimpin Brigjen Supardjo dari Kodam VII Diponegoro, Jawa Tengah. Dia Panglima Komandan Tempur (Pangkopur) di Kalbar, sepanjang perbatasan.

Brigjen Supardjo sering keliling kampung sendirian, tanpa pengawal. Orangnya ramah pada penduduk kampung. Setiap ketemu masyarakat, dia mau menyapa duluan. Orang kampung juga heran. Ini ada jenderal jalan sendiri tanpa ada yang mengawal.

“Setiap ada orang Cina, bakal dikunjungi. Dia berkawan dengan orang Cina. Orangnya baik sekali. Sering mengajak masyarakat untuk bicara,” kata Durani, warga Dusun Sebol, Desa Tiga Berkat, Kecamatan Lumar, Kabupaten Bengkayang.

Brigjen Supardjo memberikan ultimatum kepada penduduk di Bengkayang, membuat lubang di belakang rumah setiap penduduk.

“Lubang itu berfungsi menghindari bom, bila ada serangan udara,” kata Supardjo.
Satu keluarga satu lubang. Lubang itu berbentuk hurur L. Dalam satu meter, panjang tiga hingga empat meter. Makin banyak jumlah keluarga, makin besar lubangnya.

Perintah membuat lubang di belakang rumah dilakukan serempak bagi warga di sepanjang perbatasan. Syahrir Mochtar dari Putussibau, memaparkan pengalaman yang sama. Setiap rumah diperintah membuat lubang di belakang rumah.

Semasa konfrontasi dengan Malaysia, banyak tentara Indonesia diterjunkan secara langsung ke Semenanjung Malaya. Untuk wilayah Kalimantan Utara, operasi lebih banyak dilakukan melalui jalur darat.

Sungai Kapuas menjadi urat nadi mobilisasi pasukan. Pelabuhan Pontianak, dulu bernama Pelabuhan Dwikora, menjadi pendaratan pasukan dari Jawa. Setelah itu, perjalanan dilanjutkan dengan menyusuri sungai Kapuas, menuju perbatasan Malaysia bagian barat.

Semitau dijadikan basis penyerangan ke Malaysia. Jalan darat belum banyak dibuat. Kalau ada pasukan baru datang, mendarat di Semitau. Kodim ada di Semitau. Jarak ke perbatasan lebih dekat dari sungai.

Masa konfrontasi hampir tidak ada perahu Bandong yang berangkat atau datang dari Pontianak. Jalur sungai yang menjadi urat nadi dan jalur utama transportasi masyarakat, menjadi rawan. “Orang tidak berani mengarungi sungai yang kala itu, dijadikan sarana utama bagi mobilisasi pasukan dari Pontianak,” kata Syahrir.

Akibatnya, semua rakyat jadi sengsara. Bahan pokok menjadi susah dan mahal. Bahkan, jatah beras bagi pegawai negeri, baru bisa diambil 6-7 bulan sekali. Sangking sulitnya transportasi.

Malaysia lebih bersikap bertahan, dan hanya berusaha membendung masuknya tentara Indonesia ke Malaysia. Usaha Malaysia dibantu tentara Inggris dan Australia.

AURI menyiapkan 8 Tu-16, 4 P-51, 9 B-25, 2 C-130, 11 C-47, serta 4 Il-14, dinyatakan siap. ALRI juga menyatakan kesiapannya dengan menempatkan ratusan kapal didukung pesawat terbang serta beberapa batalion marinir. Celakanya, kekuatan AURI harus berhadapan dengan AU Inggris dan AU Australia yang melindungi negara persemakmurannya. Kekuatan gabungan Inggris-Australia diduga terdiri dari 50-an bomber, 24 Hawker Hunter, 24 Gloster Javelin, 30 F-86 Sabre, serta 6 skadron pesawat angkut dan 12 helikopter. Belum dihitung skadron rudal Blood Hound serta 2 skadron pesawat siap di Australia. Pertahanan Malaysia makin sempurna dengan dukungan pasukan darat dan laut. Semua terdiri dari 27 batalion, 16 batalion artileri, belasan kapal, serta pasukan Gurkha (Angkasa-online).

“Dalam berbagai pertempuran, tentara Malaysia lebih banyak berada di garis belakang menjaga perbatasan. Yang lebih banyak bertempur adalah, pasukan khusus Gurkha,” kata Halim Ramli, wartawan senior di Kalbar.

Gurkha adalah pasukan bayaran yang dipakai Inggris sejak Perang Dunia Kedua. Mereka orang tangguh dan biasa hidup di pegunungan Himalaya.

Semasa konfrontasi dengan Malaysia, banyak sekali tentara Indonesia meninggal di pertempuran. “Setiap hari ada 3-4 tentara dibawa dengan helikopter dari daerah perbatasan,” kata Jomandi Loka, warga Singkawang.

Saat itu, dia duduk di bangku SMP Singkawang. Setiap hari menyaksikan mayat diangkut ke Rumah Sakit Umum Singkawang (sekarang RS Santo Vincentius, Jalan Pangeran Diponegoro 5 Singkawang).

Karenanya, Taman Makam Pahlawan di Singkawang, isinya sebagian besar tentara dari Jawa. Terutama pasukan dari Kodam VII Diponegoro, Jawa Tengah.

Tak hanya melalui pertempuran, Indonesia juga melancarkan perjuangan secara diplomatik. Ketika Malaysia diterima sebagai anggota tidak tetap Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), Indonesia keluar dari PBB dan membentuk Conefo (Conference of New Emerging Forces).

Suasana politik makin keruh dengan terjadi peristiwa penculikan terhadap para jenderal di Jakarta, pada 30 September 1965. Sembilan petinggi militer diculik. Peristiwa ini menimbulkan rentetan dan peristiwa kemanusiaan lainnya. Inilah lubang hitam sejarah bangsa Indonesia yang hingga kini masih misteri.

Banyak muncul buku dengan berbagai teori mengenai peristiwa ini. Ada yang menganggap, peristiwa ini pemberontakan PKI. Ada yang berpendapat, rivalitas di tubuh Angkatan Darat. Teori lain, usaha dan kekuatan asing mengakhiri kekuasaan dan politik Presiden Sukarno. Banyak teori bersliweran hingga sekarang. Satu yang pasti, akibat peristiwa ini, ada sekitar 2 jutaan orang dibantai dan meregang nyawa, karena dianggap anggota dan simpatisan PKI.

Peristiwa 30 September berimbas pada tentara di lapangan. “Posisi tentara pada waktu G30SPKI dalam keadaan sulit semua. Siapa kawan dan lawan, tidak jelas,” kata Sarwono. Hal itu tentu sangat rawan bagi jalur komando.

Kodam XII Tanjungpura juga kesulitan mengetahui mana kawan dan lawan. “Setelah itu diketahui Asisten 1, Letkol Langlang Buana dan Asisten 2, Letkol Kestam, termasuk sebagai anggota PKI,” kata Sarwono. Sarwono datang ke Kalbar pada tahun 1963. Dia berasal dari Jawa Tengah.

Hal serupa diungkapkan Edward Tenlima atau Edo. Dia menjadi pilot pesawat Mustang dan berpangkalan Lapangan Udara (Lanud) Abdul Rachman Saleh, Malang, Jawa Timur. Pada 2 Oktober 1965, dia diminta terbang bersama puluhan pesawat tempur lainnya ke Jakarta. Bila sebelum operasi pilot tahu, operasi apa yang akan dijalankan, malam itu dia tidak tahu.

“Pokoknya kenakan pakaian dan terbang,” kata Edo.

Dia terbang menyisir laut utara Jawa. Begitu mendekati udara Jakarta, tiba-tiba mendapat perintah mendarat di Bandung. Selanjutnya, dia harus mengenakan terus baju pilot siap tempur dan berada di samping pesawatnya, menunggu perintah selanjutnya. Hingga sebulan lebih, dia berada di samping pesawat tempurnya. “Pokoknya, harus siap terus. Makan dan tidur tidak boleh jauh dari pesawat,” kata Edo.

Dari empat pilot pesawat Mustang yang ada, hanya dia yang boleh terbang. Alasannya, karena dia dari Ambon. Lainnya dari Jawa dan “dianggap berbahaya.” Dia mendapat perintah langsung dari Leo Watimena, Panglima Pasukan Gerak Tjepat (PGT), sekarang bernama Paskhas. Leo orang Ambon dan dekat dengan Suharto. Laksamana Madya Omar Dhani, Menteri/Panglima AURI, yang menjabat Panglima Dwikora dianggap lebih dekat kepada Presiden Sukarno.

Pangdam XII Tanjungpura yang ketika itu dipimpin Brigjen Ryakudu, juga mengalami kesulitan, mana kawan dan lawan. Semua serba tak jelas.

Pascaperistiwa 30 September 1965, ada pesawat dari Jakarta yang menyebarkan selebaran dari udara di Bengkayang. Isinya, Jakarta dalam kondisi aman. Peristiwa itu terjadi sekitar 1966.

Brigjen Supardjo, Pangkopur di perbatasan dituduh dan dianggap sebagai anggota komunis. Dia ditangkap dan dihukum. Beberapa penduduk perbatasan mengingat pesan yang disampaikan Supardjo, “Nanti pada tanggal 30 September, jangan keluar rumah. Takut kena hujan yang tak bisa diobati,” kata Durani, menirukan ucapan sang Jenderal.

Pada 11 Maret 1966, Presiden Sukarno memberikan mandat kepada Jenderal Suharto. Pengalihan kekuasaan ini disebut dengan Supersemar atau Surat Perintah Sebelas Maret.

Perubahan kepemimpinan, turut pula memengaruhi kebijakan pemerintah. Konfrontasi dengan Malaysia dihentikan dengan pertemuan di Bangkok, Thailand pada 28 Mei 1966. Pemerintah Indonesia dan Malaysia mengadakan perjanjian damai pada 11 Agustus 1966.

Perdamaian ini, berpengaruh terhadap kebijakan pemerintah Indonesia. Juga kepada para tentara dan gerilyawan yang pernah direkrut, untuk membantu konfrontasi dengan Malaysia.□ (bersambung)

Edisi cetak ada di Borneo Tribune, tanggal 11 Februari 2008
Foto dari internet.

No comments :