Friday, February 15, 2008

The Lost Generation (6)

Derita Warga Perbatasan

Muhlis Suhaeri
Borneo Tribune, Pontianak
Di mana pun daerah yang dijadikan basis operasi militer, penduduk selalu mengalami kesusahan. Mau tak mau, mereka harus membantu operasi yang tentara jalankan. Bila tidak, mereka bakal susah sendiri. Atau, malah dianggap mendukung musuh tentara atau negara. Begitu juga warga di pedalaman Kalbar, ketika daerah mereka dijadikan daerah operasi tentara.

Selain direkrut untuk menggempur PGRS-PARAKU, penduduk lokal juga ditugasi mengangkut beras, dan perbekalan. Istilahnya sebagai patok atau ngambin. Mereka juga dijadikan kurir. Imbalannya cuma makan saja.


Seorang penduduk dari Dusun Sebol, Desa Tiga Berkat, Kecamatan Lumar, Kabupaten Bengkayang, menuturkan pengalamannya semasa ikut tentara.

Namanya Durani, 79 tahun. Durani ikut tentara karena ditunjuk oleh kepada desa. Selama ikut tentara, dia tidak digaji. Hanya dapat makan saja. Padahal, dia sudah punya empat anak. Durani ikut tentara selama satu tahun. Dia bertugas sebagai penunjuk jalan, bawa barang dan memanggul senjata.

Setiap desa diwajibkan mengirim warganya. Bahkan, setiap rumah harus ada satu orang menjadi wakil, untuk membantu tugas tentara. Kalau orang tua di rumah tak bisa berangkat, anaknya mewakili. Tiap kepala kampung wajib mengirim warganya.

Mereka bertugas sebagai pemandu dan penunjuk jalan. Juga wajib menjadi pembawa barang. Sekali bawa sekitar 30 kilogram. Tak hanya itu, mereka juga harus ikut menumpas PGRS-PARAKU. Masyarakat membawa tombak dan mandau.

Kenapa warga membantu tugas tentara?

“Karena PGRS-PARAKU memberontak terhadap pemerintah Indonesia,” kata Durani. Karena dianggap memberontak, masyarakat bergerak dan menumpas pemberontakan PGRS-PARAKU. Masyarakat berpendapat, barang yang diseludupkan ke hutan, untuk dibawa ke Tionghoa dan digunakan melawan pemerintah Indonesia.

“Itulah yang dilakukan PGRS-PARAKU,” kata Durani.

Penduduk di daerah itu serba salah. Orang yang tidak mau ikut PGRS-PARAKU, akan diculik, dibawa ke hutan dan dibunuh. Kalau tidak mau membantu tentara, dianggap anggota PGRS-PARAKU atau kaum komunis.

Pertama kali ikut tentara, Durani menjadi penunjuk jalan. Dia dianggap mengetahui dan menguasai seluk beluk hutan di sana. Selain penunjuk jalan, Durani juga membawa barang. Beratnya berkisar 10-20 kilogram. Dalam setiap operasi yang dilakukan, biasanya satu Regu, 11 tentara didampingi 8 penduduk lokal. Bila jumlah tentara satu Kompi, 100 tentara, didampingi sekitar 50 orang kampung. Setiap kampung ada posko dan diisi satu Peleton, 26 tentara.

Setiap jalan dengan tentara, waktunya bisa seminggu hingga beberapa bulan. Setelah itu, baru pulang ke kampung. Selama di perjalanan, orang kampung biasanya berjalan paling depan.

“Karena Tuhan adil, kami selamat,” kata Durani.

Sebagai penunjuk jalan, Durani tahu betul, daerah yang pernah dilewati orang atau tidak. Salah satu cirinya, kalau ada jejak babi banyak, berarti tidak dilewati atau tidak ada manusia.

Setelah lama ikut tentara, Durani boleh membawa senjata otomatis laras panjang. Seperti, AK 47. Senapan serbu legendaris buatan Rusia ini, memiliki 30 peluru tiap magazine. Namun, dia lebih senang membawa senapan lantak.

“Lebih ringan,” katanya.

Senapan lantak sekali isi, sekali tembak. Bubuk mesiu dari cendawa. Yang terdiri dari garam Inggris, belerang dan kayu Lempung yang dibakar. Ramuan itulah yang digunakan sebagai mesiu. Sebagai peluru, digunakan gotri. Akibat sering menggunakan senapan lantak, telinga Durani sudah berkurang kemampuannya. Ia menggunakan alat bantu pendengaran, sekarang.

Melihat ada penduduk lokal ikut berperang dengan tentara, biasanya para gerilyawan menghindari konfrontasi dan masuk ke hutan. Malam-malam mereka lari. Dia pernah bertempur langsung dengan pasukan PGRS-PARAKU. Kalau ada anak atau perempuan tidak akan dibunuh. Mereka akan dipungut anak atau diasuh.

Selama ikut operasi tentara, berbagai pengalaman pernah dijalani. Banyak tentara yang tewas dalam operasi. Pernah ada tentara dari Kompi D Siliwangi, habis. Hanya ada dua orang yang selamat. Truk pengangkut tentara hangus terbakar. Tak hanya tentara. Juga polisi. Ada satu polisi ditembak di Jelantang. Senjatanya diambil.

Banyak juga pasukan kena ranjau gerilyawan. Ranjau berupa lubang tertutup semak dan dedaunan. Di lubang itulah, beberapa bambu runcing dipancang tegak ke atas. Bila ada yang terperosok dalam lubang. Paha akan tertancap bambu runcing tersebut.

Akibatnya, pasukan bergerak lambat, karena ada anggota yang harus ditandu. Dan bagian orang kampung bertugas menggotong tentara yang menjadi korban. Durani pernah membawa pasukan terkena ranjau. Berjalan tengah malam hingga pagi dalam kondisi hujan.

Pengalaman yang sama, pernah dialami Abin, 76 tahun. Dia pernah ikut tentara selama beberapa bulan. Suatu ketika, ada pasukan terkena lubang ranjau. Bersama seorang penduduk, dia bertugas memikul tentara dengan tandu.

Tandu terbuat dari dua kayu. Dia dan rombongan pasukan berjalan dari pukul 6 sore hingga pukul 4 pagi. Dalam kondisi di tengah hutan, hujan dan tidak makan. Tidak boleh bawa senter, karena mudah diketahui musuh.

“Zaman itu sakit, lalu,” kata Abin, “namanya juga diperintahkan, terpaksalah.”

Begitu juga dengan Nasir, 56 tahun, warga Dusun Mulo. Dia ikut tentara enam bulan. Nasir berjalan ke berbagai daerah di sekitar Bengkayang. Keluar masuk hutan, hingga masuk ke Gunung Brambang dan Nyiut. Menurutnya, banyak gerilyawan di Gunung Sungkung atau biasa disebut Sungkung Compleks.

Sulitnya medan menyulitkan operasi penumpasan. Pasukan Batalyon 641, Beruang Hitam, Singkawang, pernah terjebak banjir selama sebulan, tanpa makanan dan perbekalan di Piong San, Bengkayang. Selain itu, kesamaan pemahaman dan teori, karena PGRS-PARAKU pernah dilatih tentara RI, membuat operasi tidak berjalan dengan baik. Banyak jatuh korban di pihak tentara.

Selain itu, ada sebagian pasukan dari Kodam VII Diponegoro yang “kecewa”. Pasukan ini paling banyak korban ketika Dwikora, konfrontasi dengan Malaysia. Sebagian besar penghuni Taman Makam Pahlawan di Singkawang, berasal dari pasukan Diponegoro.

Hal ini membuat banyak muncul pasukan bayangan. Pasukan Diponegoro ini, dianggap paling sering perang dengan tentara RI sendiri. “Pasukan Diponegoro pernah melawan Batalyon 330 Kujang dan Batalyon 303 Bukit Barisan,” kata Durani.

Meski begitu, di Bengkayang inilah, banyak pimpinan PGRS terbunuh. Seperti, Tambi dan A Siong. Ada juga pimpinannya yang gantung diri, dari pada tertangkap tentara. Seperti, Ki Siong, Pan Hin, dan Lo Yan.

Kewajiban membantu tentara tak hanya berlaku pada orang tua. Seorang penduduk Desa Lumar, ketika itu berumur 12 tahun, juga mendapat kewajiban membantu tentara. Namanya Gubang. “Saat itu, kalau ada yang menolak, akan langsung dianggap pro Tionghoa,” kata Gubang.

Satu bulan sebelum diturunkan, dia diberi berbagai latihan kemiliteran di Sanggau Ledo. Bahkan, setelah sekian lama ikut militer dan dilatih, rencananya juga dikirimkan ke Tim-Tim.

Dia sering ketemu orang mati di hutan. Dia pernah membantu tentara dengan membawa mortir. Dengan senjata itu, markas PGRS di Bubuk, Bintang 12, digempur.

Selama ikut tentara, dia biasa makan-makanan kaleng. Makanan kaleng tentara Indonesia, biasanya dari malaysia. Setiap jalan ada 12 tentara dan 7-8 orang kampung. Tentara juga melakukan operasi pagar betis. Operasi ini dilakukan hingga 12 tahun.

Setelah ikut membantu tentara selama bertahun-tahun, Gubang dipercaya membawa senjata LE atau Sten Gun. Dia pernah terjebak dengan tentara dan dikepung banjir selama satu bulan. Tak ada bantuan makanan. Ia biasa ikut pasukan Bukit Barisan. Ketika ada perekrutan tentara, Gubang tak bisa masuk karena tingginya dianggap kurang. Dia tak pernah mendapatkan gaji atau pensiun.

Gubang adalah potret masyarakat perbatasan yang menjadi daerah operasi militer. Mereka harus menyerahkan hidupnya. Membantu tugas dan operasi tentara.

“Kita bantu negara secara luar biasa. Sampai tak punya waktu untuk sekolah,” kata Gubang. Dia tak sempat menamatkan pendidikan sekolah dasarnya, karena ke hutan terus.(bersambung)□

Edisi cetak ada di Borneo Tribune, 15 Februari 2008
Foto oleh Sugeng Hendratno. Judul, Durani

No comments :