Wednesday, February 27, 2008

The Lost Generation (18)

Tugu Misteri

Muhlis Suhaeri
Borneo Tribune, Pontianak
Angin berembus menerbangkan ribuan benang sari. Membawanya pada sebuah perjalanan dan kembara. Pada sebuah putik sari yang beruntung, dia menempelkan dirinya. Menghasilkan penyerbukan dan terjadi pembuahan. Jadilah, sebuah bibit dan generasi baru.

Sore itu, angin menjadi penguasa pada sebuah ladang jagung yang menghampar. Hembusannya menggoyangkan dahan jagung. Menjadikannya seperti manusia yang sedang bergerak. Melambai dan meminta orang untuk mendekat. Faktanya, lambaiannya tak dijawab mereka yang melihat. Perladangan itu, tetap saja sepi dan sunyi.


Tak berapa lama, langit mulai pekat. Gerimis turun. Alam seolah menjawab dan menyambut, beberapa orang yang datang dan melintas perladangan itu. Inilah, sebuah sore di persawahan dekat Lapangan Udara Singkawang 2, Bengkayang.

Persawahan itu termasuk wilayah Lanud Singkawang 2. Dulunya, jalan setapak ini merupakan jalan utama ke wilayah Lanud. Dengan dibangunnya pintu masuk baru yang sudah teraspal, jalan ini tak digunakan lagi. Lama-lama semakin menyempit dan hanya menyisakan jalan setapak saja.

Di sawah itu ada dua tugu dari semen. Tugu pertama sudah mulai runtuh. Batu dan koral berserakan di samping tugu utama. Tinggi tugu sekitar dua meter. Lebar satu meter. Ujungnya mengerucut. Tugu kedua masih berdiri dengan kokoh. Jarak kedua tugu sekitar 50 meter.

Tugu itu di tengah sawah yang berjarak sekitar 1 km dari jalan raya Sanggau Ledo, Bengkayang. Menurut Durani, 79 tahun, Warga Lumar, jalan raya Bengkayang hingga ke Sanggau Ledo, mulai dibangun pada 1906, oleh Sultan Sambas, Syafiudin.

Sebagian besar penduduk di daerah ini, tahu tentang keberadaan monumen itu. Tugu menjadi cerita dari mulut ke mulut, tentang momen dan sebuah peristiwa yang pernah terjadi.

Orang menyebut tugu itu, sebagai kuburan PGRS-PARAKU. Di sana pernah ada enam anggota PGRS-PARAKU tertembak dalam pertempuran dengan tentara. Mereka dimakamkan dalam satu lubang. Sebagai penanda, di atasnya didirikan tugu.

Ketika berada di tempat itu, seorang anak muda yang menjadi tukang ojek, kebetulan melintasi persawahan. Dalam perbincangan sebentar itu, dia juga mengetahui keberadaan dan asal usul tugu itu.

“Oh, kuburan orang-orang PGRS itu, ya. Itu,” katanya, sambil menunjuk tugu warna hitam di tengah persawahan.

Melihat tugu hitam itu, ingatan kita langsung dibawa dan tertuju pada, produk budaya zaman prasejarah. Saat kebudayaan Megalitikum atau batu besar, membuat Menhir atau tiang batu didirikan sebagai tanda dan peringatan, bagi arwah nenek moyang dan leluhur.

Melihat tugu dan orang-orang yang dimakamkan di sana, mengingatkan aku pada desa-desa kecil di Jawa. Banyak dari kebun atau persawahan menjadi tempat kuburan massal bagi anggota atau simpatisan PKI.

Mereka yang dianggap “bermasalah” dibawa setiap malam dengan truk. Setelah itu, tak kembali lagi. Untuk menutup sejarah, daerah itu dikatakan “angker”. Berbahaya bila didatangi. Bisa menimbulkan celaka dan petaka.

Itulah cara bangsa kita menutup sejarah. Menyelimuti berbagai peristiwa dan fakta dengan mitos. Sehingga menghilangkan nalar dan kemampuan analisis generasi selanjutnya, pada berbagai realitas yang pernah terjadi.

Faktanya, di tanah air yang katanya dihuni Bangsa yang Agung dan Berbudaya ini, jutaan orang dikubur tanpa nisan. Jutaan orang mati dan dikuburkan tanpa prosesi pemakaman. Jutaan orang hilang tak tentu rimbanya.

Mereka hilang dalam berbagai peristiwa besar. Seperti, penumpasan PKI, PGRS-PARAKU, peristiwa Talang Sari, Tanjung Priok, DOM Aceh, kerusuhan antarkomunitas di Sanggau Ledo, Sambas, Sampit, Poso, Ambon, dan lainnya.

Cerita tentang tugu, aku dapatkan pertama kali, ketika berhenti untuk makan di sebuah warung dekat Lanud 2 Singkawang. Dari perbincangan dengan beberapa orang di warung, muncul cerita tentang tugu.

Aku menemui orang tua yang cukup lama tinggal di sana. Namanya Suminah, 95 tahun. Aku memanggilnya Mbah Suminah. Pendengarannya masih bagus. Cara bicaranya jelas sekali. Dia menjadi saksi dari beberapa peristiwa yang pernah terjadi di Sanggau Ledo. Perempuan itu lahir pada 1919 di Yogyakarta.

Ia ke Kalimantan Barat pada 1945. Perjalanan menggunakan kapal barang dari Jakarta ke Pontianak. Butuh waktu empat hari. Dari Jakarta langsung menuju Singkawang. Setelah itu, naik bis Taiso menuju Sanggau Ledo.

Suminah rumahnya dekat Lanud 2 Bengkayang. Jauhnya, tak lebih dari dua kilometer. Kebetulan, dia bekerja di kantin Lanud. Ketika gudang senjata AURI diserang oleh PGRS, sambungan telepon diputus PGRS.

Setelah peristiwa itu, setiap malam orang berjaga. Semua jadi tak aman. Rumah di sekitar lapangan terbang, diperintahkan membuat benteng pertahanan dari karung pasir sebagai benteng. Karung diletakkan menggelilingi rumah masing-masing.

Ketika peristiwa pengusiran terhadap orang Tionghoa, dia menjadi saksi dari peristiwa itu. “Banyak orang disuruh keluar rumah tanpa membawa barangnya,” kata Suminah.

Ada juga orang Tionghoa menjual barangnya ke dia. Orang Tionghoa tahu, selain bekerja di dapur tentara, Suminah juga jual beli barang secara kredit, kepada penduduk di sekitar itu.

Ada tiga mesin jahit ditawarkan padanya. Dia membelinya. Dua dijual lagi, dan satu digunakan sendiri. Merek mesin jahitnya, Singer. Mesin itu dibawa dengan gerobak yang dihela dengan sapi.

Dulunya, orang Tionghoa biasa bertani, berkebun sahang, karet, dan memelihara babi. Dari Sungai Sanggau Ledo, semua komoditi tersebut langsung dibawa ke Sentete, Paloh, dan Sekura, Kabupaten Sambas. Barang diangkut melalui jalur sungai Sanggau Ledo.

Seperti juga tugu yang berada di tengah sawah itu, Sumirah juga menjadi saksi dari peristiwa ethnic cleansing terhadap orang Madura pada 1997. Banyak yang terbunuh.
Setiap hari ada yang dijagal. Banyak yang terbunuh. Ada mayat tak lagi utuh. Hilang kepala, jeroan, hati dan lainnya. Dia berdoa, peristiwa 1967 atau 1997, tak terjadi lagi.

"Wis nak, mugi-mugi mboten wonten kedadian kados niki maleh. Ngeri....Ngeri,” kata Mbah Suminah.(bersambung)□

Edisi cetak ada di Borneo Tribune, 27 Februari 2008
Foto by Sugeng Hendratno

No comments :