Sunday, February 10, 2008

The Lost Generation (1)

Awal Tragedi

Muhlis Suhaeri
Borneo Tribune, Pontianak
“Dibalik peristiwa itu ada hikmah. Mungkin kalau tidak terusir, orang Tionghoa akan tetap di pedalaman, dan tidak bisa maju seperti sekarang,” kata Fung Jin.

Begitulah, kalimat yang mengalir dari perempuan paruh baya ini, menanggapi peristiwa pengungsian besar-besaran yang dilakukan etnis Cina di sepanjang perbatasan pada September-Oktober 1967.


Fung Jin tinggal di Pontianak. Usianya 58 tahun. Ketika peristiwa itu terjadi, usianya 21 tahun. Ketika itu, bersama keluarga dan pengungsi lainnya, dia berjalan kaki dari Toho ke Pontianak. Jaraknya sekitar 75 km. Dia berharap, peristiwa itu tak pernah terjadi lagi.

Fung Jin adalah satu dari 70 ribu warga Cina yang mengungsi karena “demontrasi” atau ethnic cleansing, pembersihan etnik yang dilakukan orang Dayak, terhadap orang Cina. Saat itu, sebagian besar etnik Cina hidup di pedalaman dan sepanjang perbatasan Indonesia dan Malaysia. Setelah peristiwa itu, mereka menyebar ke berbagai wilayah di Kalbar, Jakarta, Singapura, Hongkong, Taiwan, atau kembali ke Cina Daratan (RRC).

Peristiwa itu berkaitan dengan penumpasan yang dilakukan militer Indonesia, terhadap para mantan anggota Pasukan Gerilya Rakyat Serawak (PGRS) dan Pasukan Rakyat Kalimantan Utara (PARAKU).

Keberadaan PGRS-PARAKU tidak bisa dipisahkan dengan peristiwa konfrontasi yang terjadi antara Indonesia dan Malaysia. Peristiwa ini biasa disebut Dwikora. Presiden Sukarno mengobarkan semangat rakyat Indonesia dengan semboyan “Ganyang Malaysia”, untuk merespon kondisi politik yang terjadi saat itu.

Peristiwa Dwikora terjadi, karena Perdana Menteri Persekutuan Melayu, Tun Abdul Rahman ingin membentuk Negara Federasi Malaysia yang meliputi Semenanjung Malaya, Singapura, Sabah, Serawak dan Brunei.

Malaysia yang berada dibawah negara Persemakmuran, segera mendekat ke Inggris. Tun Abdul Rahman menemui Perdana Menteri Inggris, Harold Mc Millan di London, pada Oktober 1961.

Sikap Tun Abdul Rahman membuat AM Azahari meradang. Dia melakukan pemberontakan terhadap Brunei. Azahari mengumumkan berdirinya Negara Kalimantan Utara (NKU), dan pembentukan Tentara Nasional Kalimantan Utara (TNKU). Wilayahnya terdiri dari Brunei, Serawak dan Sabah. Pernyataan itu disampaikan di Manila pada 8 Desember 1962

Menurut JAC Mackie, Azhari pemimpin Partai Rakyat Brunei patut kecewa, karena dalam Pemilihan Umum Agustus 1962, dia memenangkan 54 dari 55 kursi di Dewan Distrik dan 16 dari 33 kursi di Dewan Legislatif. Malaysia menuduh Indonesia berada dibalik aksi pemberontakan ini. Namun, hal itu ditepis pemerintah Indonesia, dan tidak merespon masalah ini.

Pemberontakan ini bisa diatasi. Inggris turut campur tangan memadamkan pemberontakan itu. Malaysia menuduh Indonesia berada di balik pemberontakan itu. Hubungan kedua negara langsung tegang.

Pada 31 Mei - 1 Juni 1963, terjadi pertemuan antara Presiden Sukarno dengan Perdana Tun Abdul Rachman di Tokyo. Hal ini bisa meredakan ketegangan sesaat.

Manai Sophiaan berpendapat, untuk merumuskan lebih lanjut hasil pertemuan Tokyo, diadakan lagi pertemuan para Menteri Luar Negeri tiga negara, yaitu: Indonesia, Malaya dan Filipina, di Manila dari tanggal 7-11 Juni 1963. Pertemuan tingkat Menteri Luar Negeri ini, diperkuat dengan diadakannya Konperensi Tingkat Tinggi antara Perdana Menteri Tun Abdul Rahman, Presiden Macapagal dan Presiden Sukarno yang dilangsungkan di Manila dari 31 Juli - 1 Agustus 1963, yang hakekatnya hanya mengesahkan hasil-hasil yang telah dicapai dalam pertemuan tingkat Menteri Luar Negeri sebelumnya.

Dalam perundingan tersendiri antara Presiden Sukarno dan Presiden Macapagal, disetujui apa yang dikenal dengan Doktrin Sukarno - Macapagal yang menegaskan bahwa Masalah Asia supaya diselesaikan oleh bangsa Asia sendiri. Doktrin ini dengan serta merta ditolak oleh Amerika Serikat dan Inggris, karena dinilai dapat menggagalkan tujuan pembentukan Federasi Malaysia yang dirancang di London yang sebenarnya untuk meng-contain Indonesia. Hasil KTT Manila ternyata menggelisahkan London dan Kuala Lumpur.

Tun Abdul Rachman menandatangani persetujuan dengan pemerintah Inggris mengenai pembentukan Negara Federasi Malaysia, 9 Juli 1963. Dan, pada 31 Agustus 1963, Negara Federasi Malaysia secara resmi akan diproklamirkan.

Kondisi makin memanas, karena pemerintah Filipina juga mengakui Sabah bagian dari wilayahnya. Sultan Sulu di Pilipina, pernah meminjamkan Sabah sebagai pelabuhan untuk perdagangan Inggris.

Pada 16 September 1963, Negara Federasi Malaysia terbentuk. Namun, pada perkembangannya, Singapura keluar dari keanggotaan. Begitu juga Brunei.

Pembentukan Negara Federasi Malaysia membuat Indonesia marah. Pada 17 September 1963, pemerintah Indonesia memutuskan hubungan diplomatik dengan Malaysia.

Kedutaan Indonesia di Kuala Lumpur didemo rakyat Malaysia, pada 18 September 1963. Begitu juga Kedutaan Besar Persekutuan Tanah Melayu dan Inggris di Jakarta. Kedutaan Inggris di Jakarta, malah dibakar.

Sejak itu, mulai terjadi konfrontasi Indonesia dan Malaysia yang dibantu Inggris. Presiden Sukarno mengobarkan semangat rakyat Indonesia dengan semboyan “Ganyang Malaysia”. Sukarno segera membentuk Dwi Komando Rakyat atau Dwikora. Yang berisi, “Perhebat pertahanan revolusi Indonesia dan bantu perjuangan Revolusioner rakyat Malaya, Singapura, Sabah, Serawak dan Brunei, memerdekakan diri dan menggagalkan Negara Boneka Malaysia.”

Dalam pandangan Presiden Sukarno, terbentuknya Negara Federasi Malaysia, menjadi legitimasi bagi Inggris untuk “bermain” di wilayah itu, dalam rangka membendung laju pengaruh komunis. Saat itu, Sukarno sedang dekat dengan negara-negara komunis, seperti Soviet dan China. Bahkan, Indonesia juga telah membentuk poros Jakarta-Hanoi-Pyongyang-Peking.

Menurut JAC Makie, terbentuknya Federasi Malaysia yang berada di lingkungan Persemakmuran, membuat Inggris merasa punya kewajiban memberi perlindungan secara militer. Ketika Malaysia baru merdeka, ada 2.000 tentara Inggris dan Australia di sana. Setelah Federasi Malaysia terbentuk, kekuatan militer itu, dengan cepat ditambah menjadi 50.000.

Pembentukan Federasi Malaysia tidak berjalan mulus. Berbagai kekuatan menentang. Di Semenanjung Malaya, Front Sosialis Malaya, terdiri dari Partai Rakyat Malaya dan Partai Buruh, serta Partai Islam se-Malaya. Di Singapura, Barisan Sosialis, Partai Pekerja dan Partai Rakyat. Di Kalimantan Utara, Partai Rakyat Brunei dan Serawak United People's Party (SUPP).

Khusus untuk Partai Rakyat Brunei di bawah pimpinan AM Azahari, sejak 1956 sudah mempunyai program, mengusir Inggris dari Kalimantan Utara.

Presiden Sukarno menganggap Inggris dan sekutu terdekatnya, Amerika Serikat merupakan Neo Kolonialis atau Nekolim. Semangat anti penjajahan dan penghisapan yang dimiliki Sukarno, membuatnya ingin mengusir pengaruh Inggris di Malaysia.

Namun, sebagian pihak menilai, konfrontasi terhadap Malaysia adalah “politik pengalihan” Bung Karno atas situasi sosial, ekonomi, dan politik domestik saat itu. Peneliti LIPI, Ikrar Nusa Bhakti dalam tulisannya di Kompas menilai, perekonomian Indonesia sedang sulit, akibat revolusi yang katanya belum selesai. Antara TNI AD dan PKI pun sedang terjadi persaingan. Dalam konfrontasi PKI mendukung Bung Karno, sedangkan ABRI “setengah hati”.

Meski menghadapi kesulitan ekonomi, ABRI memiliki peralatan tempur tercanggih di Asia Timur. Peralatan perang itu dibeli dari Uni Soviet, untuk merebut Irian Barat. Pada masa Trikora (Tiga Komando Rakyat), Soviet mendukung Indonesia. Namun, pada saat Dwikora, Soviet enggan mendukung Indonesia. Soviet berpendapat, karena pengaruh PKI, Indonesia lebih condong ke RRC.

Dalam konfrontasi itu, Malaysia didukung Inggris, Australia, dan Selandia Baru, sebagai sesama anggota Persemakmuran Inggris.

Lie Sau Fat atau XF Asali, budayawan dari Kalbar berkata, ketika peristiwa Dwikora, banyak sukarelawan membantu perang dengan Malaysia. Mereka terdiri dari gerilyawan dan sukarelawan. Para pelarian dari Serawak, pada umumnya etnis Cina dan komunis. Sukarelawan berasal dari Singkawang, Bengkayang dan berbagai wilayah di Indonesia. Mereka terdiri dari berbagai etnis. Ada Melayu, Dayak, Cina di Indonesia dan Cina dari Serawak. Yang merupakan pelarian dari Malaysia, ketika masih dijajah Inggris.

Tahun 1967, Indonesia sudah berganti pemerintahan. Orde Lama dianggap pro komunis, karena ingin menjadi bagian dari poros Jakarta-Hanoi-Pyongyang-Beijing. Amerika dan sekutu, membuat perang domino untuk membendung pengaruh komunis menyebar. Maka, Amerika menempatkan pasukan dan menyokong perang Korea. Hingga pecah perang Korea yang membuat Korea terpecah menjadi dua. Korea Utara yang komunis dan Korea Selatan yang pro Barat. Di Vietnam, Amerika tidak bisa membendung laju komunis. Bahkan, tentaranya harus hengkang dari Vietnam.

“Nah, karena Malaysia mulai bergolak, sekutu membuat suatu strategi, untuk membendung masuknya komunis,” kata Asali.

Indonesia menerjunkan pasukannya ke Semenanjung Malaya, dan mengirim pasukan untuk menyusup ke berbagai wilayah di Kalimantan Utara. Dengan strategi gerilya, pasukan ini berhadapan langsung dengan pasukan Inggris yang terdiri dari pasukan Gurkha.

Selain melakukan perang langsung dengan Malaysia, Indonesia juga merekrut kelompok perlawanan yang menentang pembentukan Federasi Malaysia. Antara lain dengan pucuk pimpinan TNKU, Azahari, Serawak United People’s Party (SUPP), dan lainnya.

Menurut Soemadi, dalam satu pertemuan di Sintang, 1963, Azahari dan perwakilan dari SUPP bertemu dengan Dr Subandrio, Wakil Perdana Menteri I merangkap Menteri Luar Nageri. Hasil kesepakatan, beberapa kelompok perlawanan itu, dilebur menjadi satu dengan nama PGRS dan PARAKU. Kelanjutan dari kesepakatan ini, sebanyak 850 pemuda-pemudi dari Cina Serawak menyeberang ke Kalimantan Barat. PGRS punya wilayah operasi di Sanggau hingga Sambas. PARAKU wilayah operasinya dari Sanggau hingga ke Serawak.

Untuk memenangkan pertempuran melawan Malaysia, PGRS-PARAKU dilatih tentara Indonesia. “Saat itu, kita melatih PGRS-PARAKU untuk dipergunakan membantu memerdekakan Malaysia. Mereka dilatih oleh RPKAD di Bengkayang,” kata Letkol Harsono Subardi, mantan Biro Intel POM Kodam XII Tanjungpura.

Menurutnya, PGRS kebanyakan orang Cina Serawak. PARAKU sebagian besar dari Sabah. Dua kelompok ini ideologinya komunis.

Lalu, kenapa pemerintah RI melatih anggota komunis? (bersambung)□

Edisi cetak ada di Borneo Tribune, 10 Februari 2008
Foto Muhlis Suhaeri. Judul, Pemicu

3 comments :

Mas Sastro said...

Saya sangat tertarik dengan tulisan-tulisan mas Muhlis Suhaeri tentang PGRS-PARAKU. Apakah ada bukunya yang sudah diterbitkan?

Muhlis Suhaeri said...

Salam,

Secara spesifik belum ada. Tapi, naskah itu pernah diterbitkan diantara naskah jurnalistik lainnya. Bukunya berjudul "Menuju Jurnalisme Berkualitas." Penerbit KPG

Unknown said...

Saudara bisa menyaksikan tayangan video berupa Exclusive Interview with A.M Azahari by Dr.H.Pramudya A.Taufik pada tanggal 19 Maret 1997 pada Youtube link :http://www.youtube.com/watch?v=Rh6_69gIIIo

Tayangan tersebut baru bagian pertama , semuanya ada delapan bahagian.

Apa komentar saudara-saudara akan tayang tersbut , akan menambah wawasan dalam menyikapi perjuangan beliau. terima kasih . DR.H.Pramudya A.Taufik