Monday, February 25, 2008

The Lost Generation (16)

Generasi yang Hilang

Muhlis Suhaeri
Borneo Tribune, Pontianak
Bagaimana rasanya hidup tanpa tahu asal dan usul kita? Bagaimana rasanya hidup tanpa sosok dan figur orang tua? Padahal, awal dari kehidupan seorang anak adalah, meniru dan mengamati orang paling dekat dalam hidupnya: orang tua. Bagaimana rasanya berada dalam satu lingkungan yang dianggap beda secara fisik?

Aku menemukan jawaban itu, pada diri Moy Tang, 41 tahun. Moy Tang punya tiga anak. Yang paling besar kuliah di Yogyakarta. Suaminya PNS, penyuluh pertanian pada Dinas Pertanian Kabupaten Bengkayang. Namanya, Gaduh. Dia orang Dayak Bekatik. Gaduh baru saja menyelesaikan kuliah S2-nya. Dia membuka toko pupuk tanaman dan berbagai obat-obatan pertanian. Moy Tang yang mengelola dan menjaga toko itu.


Moy Tang bertubuh sedang. Kulitnya putih bersih. Ia mengenakan kaca mata. Di balik kaca mata itu, sepasang mata sipitnya terlihat dengan jelas. Sorot mata itu sendu. Meski selalu tersenyum ketika berbicara, aku merasakan, ada satu keterasingan pada dirinya. Pada sebuah sejarah dan asal usulnya.

Siang itu, aku menemuinya di toko pupuk dekat jembatan pasar Bengkayang. Dia sedang mengatur anak buahnya, mengangkut beberapa sak pupuk untuk dibawa ke mobil pengangkut.

Moy Tang anak asuh Lengken. Lengken beberapa kali mengganti nama Moy Tang. Ketika kecil, dia sering sakit, sehingga namanya diganti. Nama Moy diambil dari nama Amoy. Sebutan bagi perempuan Tionghoa. Tang, memudahkan untuk dipanggil saja. Moy Tang.

Sejarah keberadaan Moy Tang, aku dengar dari Lengken. Sulit untuk membujuknya bercerita. Setelah diberi berbagai penjelasan tentang arti dan pentingnya cerita itu, bagi generasi sekarang, dia mau bercerita. Lengken khawatir, cerita itu bakal membuat Moy Tang sedih. Ya, begitulah sikap sayang pada anak asuhnya.

Lengken punya 10 anak. Namun, yang masih hidup ada empat orang. Lengken ikut membantu tentara. Mengangkut berbagai perbekalan, beras senjata dan lainnya. Dalam suatu perjalanan dari Bengkayang ke Samalantan, rombongannya ketemu bayi berusia sekitar satu tahun.

Hari menjelang sore. Di hutan yang termasuk wilayah Maya Sopa, rombongan terhenti. Ada sesuatu di jalan. Merasa ada yang janggal di hutan, rombongan itu saling bertanya.

“Itu anak rusa mungkin?”
“Itu bukan anak rusa. Itu anak manusia.”

Setelah didekati, ternyata anak manusia. Melihat ada anak manusia di hutan, mereka mulai saling silang pendapat. Ada yang minta anak itu dibunuh. Namun, Lengken tidak mengizinkan. Dia malah ingin membawa anak itu ke rumahnya.

“Jangan piara anak Tionghoa. Apalagi kamu masih bujang,” kata teman yang lain.

Ada anggapan, orang bujangan mengambil anak, akan sulit dapat jodoh. Logika sederhananya, orang tentu akan pikir-pikir, kawin dengan orang sudah pernah menikah, atau punya anak.
Lengken membawa anak itu pulang. Lehernya sempat ditempeli Mandau oleh temannya. Hendak dibunuh. Dia bersikeras membawa anak itu.

Sampai di Dusun Molo, Moy Tang dititipkan pada keluarga Alex, saudara Lengken. Setelah Lengken berkeluarga dan Alex meninggal, Moy Tang dibawa ke rumahnya.

Lengken tidak membedakan anak sendiri dengan anak angkat. Dia mengurus Moy Tang dengan baik. Sangking sayangnya pada Moy Tang, dia tidak ingin menyekolahkan anaknya hingga pendidikan tinggi. Khawatir kalau nanti tahu kondisi sebenarnya, Moy Tang akan pergi dari rumahnya. Dan, tak mengakui dia sebagai orang tua angkat.

Ketika kecil, Moy Tang sering diolok teman sepermainan.
“Eh, kau tuh anak Tionghoa. Mana gak orang mau berkawan.”

Moy Tang tegar mendengar olokan dari temannya. Ketika berumur enam tahun, dia mulai tahu, bahwa dirinya bukan anak kandung dari Lengken. Akhirnya, dia tanya pada Lengken.

“Orang tua ada di mana? Diejek terus oleh teman main. Disebut sebagai Tionghoa sesat,” kata Moy Tang.
“Itukan olok-olokan dari teman saja. Kamu tidak boleh sedih dengarnya,” kata Lengken.

Pendidikan formal masih jarang. Sekolah belum ada. Kalaupun ada, jauh dari kampung tersebut. Sekolah non formal dilakukan dengan memanggil guru, dan mengajar mereka sekolah di ladang. Belajar hitung dan membaca. Bayarnya dengan bekerja di ladang atau mengambil rumput.

Gurunya bernama Safin. Kelas satu umur 15 tahun. Lucunya, karena sudah pada remaja, gurunya pun ada “rasa” dengan sang murid.

Beranjak dewasa, Moy Tang mencari orang tuanya ke Singkawang dan Pontianak. Lengken menyusul dan memintanya pulang. Moy Tang pernah empat kali ke Singkawang mencari orang tuanya.

Dia terus berdo’a, supaya mendapatkan jodoh orang baik. Dan, doanya terkabul. Sekarang ini, dia suaminya baik sekali. Bersama sang suami, dia juga mencari informasi tentang keberadaan orang tua kandungnya. Dia berharap, orang tuanya masih hidup.

Pernah ada orang di Singkawang datang menemui dan bertanya, marganya apa. Tentu saja dia tidak bisa menjawab. Orang itu juga tahu, nama orang tua yang mengangkatnya.

Anak Moy Tang yang beranjak dewasa juga menanyakan keberadaan keluarganya.
“Manalah betul, kakek dan nenek kita nih? Nenek dan kakek di mana?”
“Nenek di kampunglah.”
“Nenek kok hitam.”
“Om itu hitam, mama putih.”

Apa yang paling dirasakan dan membuatnya sedih, tatkala orang merayakan Natal atau keluarga sedang berkumpul. Dia merasa sedih, karena tak bisa kumpul dengan keluarga biologisnya.

Moy Tang pernah sakit, hingga dua bulan tidak bisa bangun dari tempat tidur. Suami dan anak paling besar, merawatnya dengan telaten. Ia merasa sedih, karena sering marah pada keluarganya. Penyakit darah tinggi membuatnya sering marah. Sudah dua tahun ini, hidupnya tergantung dengan obat. Beruntung, sang suami bisa memahami kondisinya.

Ketika sedang sakit-sakitan, dia ingin mendapatkan kesembuhan. Suatu hari, dia pernah bermimpi, ketemu dengan orang tua yang menyarankan, untuk sembahyang di Pekong. Kemudian, dia bertanya dengan baik-baik pada sang suami.

Suami setuju, dia sembahyang di Pekong, kalau memang hal itu bisa membawa perubahan dan menentramkan. Kemudian, Moy Tang mulai bertanya pada temannya, orang Tionghoa. Bagaimana tata cara sembahyang di Pekong.

Sekarang ini, dia hanya ingin menyekolahkan anak-anaknya. Yang paling besar sudah kuliah di Yogyakarta. Moy Tang sering mengantarkan anaknya ke Pontianak. Ada pengalaman lucu, ketika mereka makan dan minum di sebuah kedai di Singkawang. Sang pemilik kedai berbicara dengan bahasa Tionghoa. Namun, Moy Tang tak bisa menjawabnya. Si pemilik kedai heran.

“Orang Tionghoa kok tak bisa bahasa Tionghoa?”
“Saya hidupnya dengan orang Dayak Bekatik,” jawab Moy Tang.
Moy Tang berbahasa Dayak Bekatik dalam kesehariannya.

Saat aku bertanya, hal apa yang paling istimewa dalam hidupnya sampai sekarang? Moy Tang merasa belum ada yang istimewa dalam hidup.

“Kalau saya remaja dulu, hal istimewa adalah, dapat suami dan keluarga yang baik. Sekarang ini, ketemu keluarga, mungkin hal yang paling istimewa dalam hidup,” kata Moy Tang.

Moy Tang masih menyimpan asa, tentang keluarga kandungnya. Sebelum meninggal, dia ingin bertemu kedua orang tua, adik atau kakak, kalau memang mereka masih hidup. Dia mendengar dari orang kampung, keluarganya masih hidup.

“Kalaupun mereka meninggal, di mana makamnya,” kata Moy Tang.

Aku tak kuasa lagi bertanya atau memandangnya. Matanya sembab dan berkaca-kaca. Dari sudut matanya, bulir air mata mulai menetes. Aku terbawa suasana. Terbayang wajah gadis kecilku yang baru berumur satu tahun, Cori Nariswari Mernissi.

Aku membatin, “Nak, ayah, akan menjagamu dengan sebaik-baiknya.”(bersambung)□

Edisi cetak ada di Borneo Tribune, 25 Februari 2008
Foto by Muhlis Suhaeri

No comments :