Pascatragedi
Muhlis Suhaeri
Borneo Tribune, Pontianak
Pergolakan, konflik, kerusuhan atau apa pun namanya, selalu menyengsarakan. Korban pertama dari peristiwa itu adalah rakyat. Ketika terjadi peristiwa demonstrasi, dan diikuti pengusiran terhadap etnis Tionghoa di pedalaman, efeknya sangat terasa. Tak hanya bagi orang Tionghoa, juga bagi warga Dayak.
Tak ada yang jual bahan makanan. Banyak toko tutup dan ditinggal pergi pemiliknya. Kalaupun ada dagangan, hanya garam. Rakyat juga tidak punya uang.
“Berbagai kebutuhan pokok sulit dicari. Kalau pun ada, harganya selangit. Orang Dayak jadi tidak bisa membeli kebutuhan pokok,” kata Fung Jin.
Distribusi barang dan perdagangan dikuasai orang Tionghoa. Ketika mereka terusir, secara otomatis, jalur distribusi barang juga terputus.
Letkol (Pur) H. Zaenal Arifin, mantan Komandan Batalyon 402 Sintang dan Bupati Ketapang menuturkan, pascaperistiwa pengusiran, ada kebijakan dari Panglima Kodam Tanjungpura XII, Brigjen Soemadi.
Pemerintah memberi modal pada para panglima Dayak yang dianggap berjasa, untuk mendistribusikan barang di pedalaman. Para panglima mendapatkan modal usaha. Setelah mendapatkan modal, mereka belanja di Pontianak, lalu dibawa ke pedalaman.
“Tapi, memang dasarnya bukan bakat pedagang, modal yang diberikan ludes,” kata Zaenal.
Semasa Kadarusno menjabat Gubernur Kalbar, juga ada operasi seperti itu. Pemerintah memberi modal pada para panglima, untuk menyuplai barang di pedalaman. Itu pun tidak berhasil.
Zaenal pernah diminta menagih pada para panglima. Dia menjawab, tak tahu perjanjiannya seperti apa. Kalau harus menyita barang, apa yang harus disita? Apa rumah Betang itu? Dia juga tak tahu persis, berapa jumlahnya. Kebanyakan yang diberi modal di daerah timur. Seperti, Lanjak, Nanga Kantuk, dan lainnya.
“Tapi yang jelas, modal itu tidak kembali,” kata Zaenal.
Edward Tenlima atau Edo, mantan Danlanud Singkawang 2, Bengkayang, mengungkapkan, setelah orang Tionghoa mengungsi, pohon sahang atau lada, tidak ada yang merawat. Pohon menjadi mati. Orang Dayak tidak bisa merawat pohon Sahang, karena tidak tahu caranya.
Punari, istri Edo, berkata, “Orang Tionghoa tidak mau mengajarkan cara bercocok tanam. Kalau pun orang Dayak bekerja pada kebun mereka, hanya membersihkan rumput. Berapa takaran memberi pupuk dan merawat Sahang, tidak diberitahu caranya.”
Pada umumnya, orang Tionghoa di Bengkayang, bercocok tanam sahang atau karet, karena tanahnya subur dan ada hujan. Ada ekspor lada. Pascaperistiwa itu, pohon lada sebagian besar mati dan tak terawat.
Dari segi pengamanan dan keamanan, efek dari peristiwa ini cukup lama. “Karena ini menyangkut masalah pengamanan, pemerintah selalu mengirim tenaga pengamanan ke Singkawang,” kata Darius Iskandar.
Dari segi pergaulan sosial, peristiwa itu menorehkan trauma tersendiri. Yohanes J., pemuda dari etnis Tionghoa, dilarang orang tuanya pacaran dengan etnis Dayak. Alasannya, “Kan, orang Dayak yang mengusir kita dari pedalaman.”
Namun, Tyhie Dju Khian atau Petrus, menyikapi lain permasalahan itu. Menurutnya, orang Dayak hanya dimanfaatkan pemerintah. Tapi, pemerintah tidak mau menampakkan dirinya. Orang Dayak tidak akan mau melakukan itu, kalau tidak disuruh.
Petrus juga heran, mengapa peristiwa itu terjadi. Padahal pergaulan orang Tionghoa dan Dayak, sudah seperti saudara. Diantara mereka juga banyak kawin campur. Mereka rukun. Banyak orang Dayak diangkat anak oleh orang Tionghoa. Begitu juga sebaliknya.
“Saya tidak mau mengajarkan anak saya membenci orang Dayak, karena saya tahu peristiwanya seperti apa,” kata Petrus.
Akibat peristiwa itu, bahasa Khek juga mulai berkembang. Dulu, di Pontianak dan Ketapang, bahasa Teochiu digunakan sebagai bahasa perdagangan dan keseharian orang Tionghoa.
Sekarang ini, kalau mau lancar berdagang, orang Tionghoa harus menguasai bahasa Khek juga.
“Orang kalau tidak bisa bahasa Khek, payah berdagang,” kata Thong Fuk Long atau Tomidi.
Pascaperistiwa itu, timbul persepsi baru di masyarakat, pendidikan kurang penting. Orang harus bekerja dan mencari uang. Kalau tak ada uang, orang akan susah dan tidak ada yang menolong. “Karena kalau kita susah, siapa lagi akan menolong mereka dari kesusahan,” kata Wijaya Kurniawan, Ketua Majelis Adat Budaya Tionghoa (MABT) Singkawang.
Namun, ketika ekonomi sudah mulai mapan, perspektif untuk menyekolahkan anak setinggi mungkin, juga mulai muncul. Era 90-an, generasi baru berpendidikan tinggi, mulai muncul dari mantan keluarga pengungsi.
Akibat peristiwa itu, Bengkayang menjadi daerah statis dan tidak berputar ekonominya. Selama puluhan tahun, sebegitu saja. Perdagangan dan jual beli tidak berjalan dengan baik yang menyebabkan banyak hasil rakyat tidak terjual.
Sekarang ini Singkawang dan Kalbar aman, karena masyarakat sudah alami langsung peristiwa hebat, dan efek dari pengusiran yang dilakukan. Sehingga mereka akan berpikir panjang, bila mau membuat ulah atau bertindak anarkis.
Orang Tionghoa yang terusir, karena tidak ada harapan untuk kembali ke daerahnya, mereka merantau ke berbagai daerah di Jakarta, Singapura, Hongkong, RRC dan lainnya. Bahkan, di Jembatan Lima dan Jembatan Besi, Jakarta, merupakan daerah sentra pengungsi dari Kalbar.
Pada tahun 1970-an, banyak yang bekerja di PT Perkayuan di hutan Kalimantan. Jadi, mereka semua mencari hidup walaupun dengan tanpa pengalaman di bidang yang mereka terjuni.
Akibat peristiwa ini, banyak perempuan Tionghoa kawin dengan lelaki Taiwan atau Hongkong. Perkawinan itu tidak lepas dari kemiskinan yang timbul, karena efek dari pengungsian yang terjadi.
XF Asali, sesepuh dan tokoh Tionghoa di Pontianak bercerita, para pengungsi semula ditampung di semua yayasan Tionghoa. Yayasan biasanya mengurusi masalah sosial dan pemakaman.
Tahun 1967, ada sekitar 25 yayasan di Pontianak. Yayasan mendapatkan sumbangan sukarela dari anggotanya. Dengan uang itulah, yayasan membiayai para pengungsi. Ketika itu, ia harus menerima pengungsi, masak air, dan menyediakan berbagai makanan.
Para pengungsi menempati berbagai pabrik yang tidak lagi beroperasi. Seperti, pabrik Hemmes di Jalan Pelabuhan atau Yos Sudarso. Pabrik itu merupakan pabrik karet tapi sudah bangkut. Pabrik itu dikelola PT Hutan Raya. Daerah sepanjang pelabuhan merupakan areal pabrik semua. Banyak juga rumah atap untuk gudang karet di Siantan, digunakan tempat tinggal para pengungsi.
Orang Tionghoa di Sungai Raya, kebanyakan pengungsi dulunya. Karena itu, mereka pakai bahasa Khek dari Singkawang. Daerah Siantan hingga Parit Jepang, Jungkat, juga tempat pengungsi. Dari Pontianak banyak menyebar ke Sungai Raya. Yang ketika itu masih berupa hutan.
Pengungsi tak lama tinggal di Yayasan. Sekitar dua bulan, mereka sudah pada pindah ke berbagai tempat di sekitar Pontianak. Wali kota saat itu mengeluarkan peraturan, bahwa pengungsi harus segera pindah dari kota karena memperburuk kondisi kota.
Harga tanah di Sungai Raya masih Rp 20 per meter, pada 1967/1968. Tapi orang tidak mau beli. Nah, para pengungsi ini menempati daerah tersebut. Mereka kerja di pabrik yang banyak terdapt di sana.
Ketika itu ada bantuan dari PBB. Tapi, banyak juga bantuan yang tidak sampai ke pengungsi. “Banyak yang dikorupsi,” kata Asali.
Kondisi sosial Pontianak saat itu, sebenarnya aman-aman saja. Masyarakat kalau tidak dipengaruhi oleh elit politik atau kelompok tertentu, tidak akan bergerak. Yang namanya orang dagang, tentu mereka butuh aman saja.
Banyak anak kecil dibawa ke yayasan. Akhirnya, mereka ikut ke keluarga lain, menjadi anak angkat.
Pada masa ini, menandai berdirinya induk Yayasan Bhakti Suci. Yayasan ini didirikan para tokoh masyarakat yang peduli pada kondisi saat itu. Yayasan Bhakti Suci didaftarkan melalui akta notaris No. 42, tanggal 19 Maret 1966, di hadapan Notaris M. Damiri di Pontianak.
“Tujuan dari pendirian yayasan ini, membantu pemerintah mengusahakan penerbitan, pengaturan, penggunaan serta perawatan makam-makam di wilayah Kodya Pontianak, khususnya. Dan wilayah Kalimantan Barat, pada umumnya,” kata Asali.
Pertama kali didirikan, Yayasan Bhakti Suci dipimpin dr. H. Soegeng. Wakil Ketua, Slamet Wariban. Sekretaris I, Aloysius Djais Padmawidjaja. Sekretaris II, Raden Slamet Prajitno. Bendahara I, Ng Ngiap Liang. Bendahara II, Ibrahim Saleh dengan pembantu teknis Ir. Ketut Kontra, Mas Soedarjo, Roostamiji, Then Hon Ciap. Pembantu umum, Andi Muis Sunusi, Petrus Anjin, Drs. Achmaddin, Donifansius Manurung, Syarif Sjamsudin, Nio Peng Hian dan Masharum.
Yayasan Bhakti Suci didirikan oleh orang dari beragam etnis dan suku. Ini menunjukkan, adanya hubungan yang sebenarnya harmonis antara semua suku yang ada di Kalbar, saat itu.
Esidorus, generasi Dayak terdidik dari Bengkayang, mengemukakan pendapatnya tentang peristiwa itu. Ketika itu, banyak kelemahan di masyarakat, karena SDM rendah, sehingga mudah terprovokasi. Masyarakat hanya menerima informasi dari satu arah saja.
Bagi generasi muda, ada dua hal yang bisa dipetik dari peristiwa 1967. Secara positif, banyak hal bisa belajar dari kesalahan masa lalu. Ketidaktahuan masyarakat saat itu, sehingga muncul tragedi kemanusiaan. Masyarakat termakan isu yang tidak benar. Sisi negatif, dampak secara psikologis dan menyeluruh, khususya bagi orang Tionghoa yang kebetulan menjadi korban. Ada perasaan sedih, kehilangan, dan dampak lainnya.
Menurutnya, sekarang ini, tak banyak generasi muda tahu tentang peristiwa ini, dan akar penyebabnya. Kalaupun tahu, mereka biasanya tak mau menyalahkan suku Dayak. Mereka melihat bahwa kedua suku menjadi korban politik. Masyarakat di akar rumput dimanfaatkan, sehingga mereka menjadi korban.
“Sekarang ini, saya rasa tidak ada pengaruh yang besar. Tidak ada dendam. Peristiwa itu seolah-olah tidak pernah terjadi,” kata Esidorus.
Mereka ini termasuk generasi ketiga, sejak peristiwa itu terjadi. Hal ini akan menjadi dongeng bagi generasi ketiga, karena tidak terjadi secara langsung. Artinya, mereka melihat segi positifnya. Peristiwa itu mengakibatkan nyawa orang lain meninggal. Hal itu tentu saja melanggar HAM.
“Sekarang ini kalau ada penyesalan, kita bisa memahami diri. Sejarah akan kita jadikan pelajaran,” kata Esidorus.
Generasi muda sadar bahwa hal ini tidak boleh diperpanjang dan ini menjadi catatan di hari depan. Ia berharap, generasi muda tidak boleh melupakan sejarah. Dari sejarah dapat mengambil nilai-nilai positif, dan akan menjadi bahan evaluasi dan bisa menjadi catatan, sehingga menjadi lebih baik.
“Kedepannya, masyarakat harus lebih hati-hati dalam menanggapi berbagai macam isu,” kata Esidorus.
Pada akhirnya, aku harus menutup tulisan bersambung ini dengan mengucapkan terima kasih kepada Perhimpunan Pengembangan Media Nusantara (PPMN). Yang telah memberi kesempatan mendapatkan pendidikan dan memberi dana liputan, sehingga bisa meliput ke Pontianak, Singkawang, Bengkayang dan Kuching.
Semoga, kita semua bisa bercermin dari peristiwa yang pernah terjadi. Sejarah tak perlu diratapi. Sejarah menjadi cermin dalam melangkah. Menuju Indonesia lebih baik. Penuh kesetaraan, plural dan saling menghargai.(selesai)□
Edisi cetak ada di Borneo Tribune, 28 Februari 2008
Foto Sugeng Hendratno
Friday, February 29, 2008
The Lost Generation (19)
Posted by Muhlis Suhaeri at 12:02 AM
Labels: Investigasi
Subscribe to:
Post Comments
(
Atom
)
No comments :
Post a Comment