Muhlis Suhaeri
Borneo Tribune, Pontianak
Dalam masalah kabut asap, Kalimantan Barat ibarat “Negeri Kutukan.” Negeri yang memiliki nasib dan tidak bisa diubah.
Bagaimana tidak, permasalahan ini terjadi setiap tahun. Selalu terjadi dan terus berulang. Permasalahan asap seolah tak ada penyelesaian, atau ada satu cara untuk menyelesaikannya.
Asap selalu memenuhi udara Kalimantan Barat setiap tahun. Setiap saat, rongga paru-paru kita dipenuhi oleh partikel udara yang mengandung zat berbahaya. Organ paru-paru kita seolah dibakar, karena menghirup karbon dan zat berbahaya lainnya.
Bisa dibayangkan, dalam beberapa tahun kedepan, apa akibat paru-paru yang selalu dimasuki bahan dan zat berbahaya, akibat pembakaran lahan atau hutan ini. Zat berbahaya itu bisa berupa Karbon Monoksida, Nitrigen Dioksida, Ozon atau Sulfur Dioksida.
Zat dan partikel berbahaya ini, bila kontak langsung dengan tubuh, akan membuat mata perih, paru-paru terasa panas, dan dada terasa sesak. Pada tahap selanjutnya, akan membuat infeksi saluran pernapasan atas (ISPA).
Bisa dibayangkan, bagaimana generasi Kalbar kedepan, bila generasi mudanya banyak terkena ISPA. Hal itu, tentu berimbas pada produktifitas kerja. Pada akhirnya, berpengaruh pada kesejahteraan dan kehidupan setiap warga.
Kabut asap tidak saja berpengaruh terhadap kesehatan, tapi juga punya efek sosial, ekonomi, perdagangan dan lainnya. Dengan adanya kabut asap, jalur transportasi darat, pelayaran dan penerbangan terganggu. Distribusi barang tak bisa dilakukan. Akibatnya, terjadi kerugian pada berbagai sektor ekonomi. Yang membuat kerugian pada produsen maupun konsumen.
Terhambatnya jalur distribusi membuat berbagai barang menjadi mahal dan tak terjangkau. Masyarakat dirugikan akibat ulah sebagian masyarakat peladang atau perusahaan perkebunan tak bertanggungjawab, yang melakukan proses pembersihan lahan melalui cara bakar.
Repotnya lagi, ketika masalah ini muncul, terjadi saling tuding siapa yang harus bertanggungjawab. Masing-masing pihak tak merasa bertanggungjawab terhadap permasalahan yang muncul. Selain itu, kurangnya koordinasi antarlembaga, makin membuat permasalahan ini tak berujung pangkal.
Tak tegasnya aparat penegak hukum, juga membuat masalah ini tak pernah tuntas. Para pelaku dan pembakar lahan, selalu mengulangi perbuatannya, karena tak ada efek jera bagi setiap pelanggar.
Seharusnya, pemerintah melalui berbagai instansi yang terkait di dalamnya, membuat langkah penanganan lebih serius dalam masalah kabut asap. Harus ada satu teknologi pertanian murah yang bisa digunakan masyarakat atau perusahaan, selain teknologi bakar.
Pemerintah bisa bekerja sama dengan pihak universitas untuk mengembangkan teknologi pertanian. Pada dasarnya, teknologi ini, juga tidak terlalu sulit untuk diterapkan. Tinggal kemauan dan iktikat baik dari pemerintah saja, untuk melaksanakannya.
Aparat penegak hukum mesti menyamakan persepsi dalam masalah ini. Sehingga tidak muncul tumpang tindih satu instansi dengan lainnya. Harus ada satu persepsi tentang penanganan hukum, bagi para pelanggar ini.
Bila penanganan hukum masalah kabut asap tidak dilakukan dengan baik, pada akhirnya berimbas langsung pada kesehatan diri dan keluarga. Tentunya, kita tidak ingin, generasi di Kalbar, tumbuh menjadi generasi yang ringkih dan layu, karena tubuhnya digerogoti berbagai penyakit akibat kabut asap.□
Edisi cetak di Borneo Tribune 1 maret 2008
Lukas B. Wijanarko
Saturday, March 1, 2008
Kabut Asap
Subscribe to:
Post Comments
(
Atom
)
No comments :
Post a Comment