Saturday, February 23, 2008

The Lost Generation (14)

Mengungsi ke Negara Tetangga

Muhlis Suhaeri
Borneo Tribune, Pontianak
Peristiwa pembersihan terhadap etnis Tionghoa, tak hanya terjadi di pedalaman Kalbar, juga terjadi di Kota Singkawang. Pada awal-awal peristiwa, penduduk yang berada di dalam kota, merasakan betul situasi itu. Akibat berbagai intimidasi dan situasi tak menentu, membuat mereka juga mengungsi.

Peristiwa itu dialami Bong Bu Tjin, 70 Tahun. Aku menemuinya di Kuching, Sarawak, Malaysia. Dalam usianya yang telah senja, Bong masih terlihat gagah. Cara berjalannya cepat dengan langkah-langkah lebar. Bahasa Indonesianya agak patah-patah. Dia sudah 40 tahun di Malaysia. Namun, tak bisa kemana-mana, selain di Kuching.


Bong mengemudikan mobilnya sendiri. Kemanapun. Ketika aku tanya tentang fisiknya yang masih sehat hingga usia tua, Bong menjawab dengan yakin, “Biasa bekerja dari muda. Itulah resepnya.”

Bong Bu Tjin kelahiran Singkawang, 1938. Sejak 1960, ia sudah memiliki foto studio di Jalan Pasar Tengah, Singkawang. Dari usaha studio itulah, dia sering diminta tentara mengabadikan berbagai momen penting. Bong sering diminta menjadi fotografer. Dia pernah ikut tentara melakukan operasi militer. Keluar masuk hutan mengabadikan kegiatan tentara.

Tak hanya itu. Dalam berbagai kesempatan, Bong selalu diminta memotret berbagai peristiwa penting. Ketika Jenderal Nasution datang ke Kalbar, untuk menandatangani prasasti di Taman Makam Pahlawan di Singkawang, Bong jadi fotografernya. Begitu juga ketika Jenderal Ahmad Yani berkunjung ke Kalbar, seminggu menjelang peristiwa G30SPKI. Atau, saat Mayjen Suharto ke Kalbar. Bong mengabadikan peristiwa itu. Tak heran, berbagai isu dan peristiwa penting, dia ketahui.

Bong Bu Tjin pernah foto bareng dengan Mayjen Suharto. Karena itulah, ketika berada di Malaysia, dia dibilang orang Suharto.

Menurutnya, zaman Sukarno, RI paling bagus. Antara orang Tionghoa, Dayak dan Melayu, satu adik. Zaman Suharto semua diadu. Semua nama dan huruf Tionghoa dilarang. Peraturan itu diterapkan dan diawasi para serdadu.

Waktu itu, setiap malam, para serdadu selalu jalan mengelilingi perkampungan. Maklum, Singkawang jadi basis penumpasan PGRS-PARAKU. Tentara juga memberdayakan masyarakat menjadi Hansip. Semua orang yang pakai baju hijau, bisa menangkap orang.

Ketika ada yang ketahuan bicara dengan bahasa Tionghoa, orang akan kena hukuman. Orang itu akan disuruh makan pasir. Kecuali, ada uang untuk menyogok para serdadu ini. Karenanya, saat itu banyak orang makan uang suap.

Sebagai basis dari operasi yang dilakukan, Singkawang dipenuhi para prajurit. Perdagangan jadi macet. Ada toko atau warung, menjadi tumpuan bagi sebagian serdadu, untuk memenuhi segala kebutuhannya. Mereka minta barang kebutuhan sehari-hari. Bila penjual menanyakan pembayaran, para serdadu itu menyorongkan senjata sambil berkata, “Ini senjata.”

Hal itu membuat para pedagang bangkrut. Bahkan, ada hotel digunakan menginap satu kesatuan elit tentara. Sepuluh kamar hotel dipakai, hingga sembilan tahun lamanya.

Menurutnya, pengusiran pertama kali dilakukan di Sanggau Ledo. Di Singkawang, sebelum pengusiran dilakukan, dibuat tanda dari tempayan berisi beras dan bendera. Tempayan ditaruh di satu tempat. Bila ada orang di tempat itu tidak pergi dari tempayan yang diletakkan, dan melanggar batas waktu yang ditentukan, mereka bisa dipotong lehernya. Karena itulah, banyak orang mengungsi dan menghindar.

Para serdadu juga melepas seragam dan mengikat kepalanya dengan kain merah. Mereka berada di antara barisan para demontran.

Ketika Singkawang terjadi ribut-ribut, semua mengungsi dari Singkawang. “Semua kalang kabut. Semua diusir dari Kota Singkawang. Rumah-rumah orang Tionghoa diambil,” kata Bong.

Hidup di Singkawang susah. Banyak orang minta-minta. Tak ada makanan. Akhirnya, banyak juga yang kabur ke hutan. “Mati-matilah. Sakit-sakitlah. Tak ada obat,” kata Bong Bu Tjin.

Pada masa pengungsian di Singkawang, pemerintah Republik Rakyat Tionghoa (RRC) mengirimkan kapal, untuk membawa para pengungsi yang ingin pindah ke RRC. Ada dua kapal dikirim. Thai Po Kong dan Chang Cun. Setiap kapal bisa memuat 3.000 orang.

Yang diutamakan dalam pengangkutan, orang tua dan orang cacat. Orang muda mendapat giliran terakhir, karena dianggap bisa menjaga diri dan cari makan sendiri. Setelah kapal membawa para pengungsi, pemerintah Indonesia tak membolehkan pemerintah RRC mengangkut para pengungsi. Indonesia memutuskan hubungan dengan RRC.

Setelah itu, semua orang Tionghoa di Indonesia, diminta mengganti nama dan masuk menjadi warga negara RI. Semua sekolah Tionghoa ditutup. Anak-anak Tionghoa tak bisa sekolah. Guru sekolah Tionghoa banyak ditangkap. Akhirnya, orang tidak bisa sekolah dan harus mencari hidup.

Melihat kondisi tidak menentu, Bong meninggalkan Singkawang, bersama 34 orang. Yang terdiri dari 5 keluarga. Ia membawa istri dan lima anaknya. Anak paling besar berusia tujuh tahun, paling kecil baru tiga puluh hari.

Lewat pelabuhan Kuala, dia meninggalkan Singkawang. Dengan kapal barang kayu berukuran kecil, rombongan itu menuju Sematan, Malaysia. Pemilik kapal juga ikut mengungsi dan membawa keluarga. Mereka tidak dipungut biaya.

Selama tiga hari dua malam, mereka mengarungi lautan menuju jalan pembebasan. Tak ada bekal dibawa. Hanya celana dan baju yang menempel di badan. Selama perjalanan, hanya ada sedikit roti dan air. Persediaan itu bagi kanak yang ikut mengungsi. Orang tua harus menahan diri, tidak makan apa pun, selama perjalanan.

Ketika mengungsi, dia bawa semua foto yang pernah dipotret dan dicetaknya. Foto tersebut hasil kerja selama beberapa tahun, ikut dalam berbagai operasi yang tentara lakukan. Foto Jenderal Ahmad Yani, Nasution dan Suharto, juga dimilikinya.

Sesampai di Sematan, rombongan pengungsi ditahan petugas Diraja Malaysia. Mereka ditempatkan dalam suatu camp oleh pemerintah Malaysia. Semua foto diambil dan dibakar polisi Malaysia.

Ketika berada di pengungsian, pemerintah Malaysia melarang wartawan bertemu dengan Bong. Pemerintah takut dia bicara dan membuka rahasia. “Tidak boleh diungkit masa lalu. Sekarang Malaysia sudah baik dengan Indonesia,” kata Bong, menirukan ucapan polisi Malaysia.

Mereka tinggal di camp selama tiga tahun. Yayasan Tionghoa dan perorangan di Malaysia, menanggung kehidupan para pengungsi. Setiap hari, mereka mendapat bantuan uang 50 sen.

Setelah tiga tahun di penampungan, ada datuk Lim Peng Sun menjadi pejabat di Sarawak. Dia menjamin para pengungsi dari Indonesia, untuk keluar dari camp. Setelah itu, Lim memberi pekerjaan para bekas pengungsi dengan bekerja di kebunnya. Lim punya 130 hektar kebun. Di kebun ini didirikan lima rumah, bagi lima keluarga tersebut. Satu bulan mereka mendapat bantuan 270 ringgit.

Selain itu, mereka juga berkebun dan menanam berbagai sayuran. Namun, karena tanah tidak subur, sayuran pun kurang bagus. “Tanah tak bagus. Mau beli pupuk uang tak cukup. Tidak ada pupuk, mana bisa bagus itu sayur,” kata Bong.

Mereka diberi bantuan selama tiga bulan. Setelah itu, harus bisa mencari kerja dan memenuhi kebutuhannya sendiri. Setelah tiga bulan, ia mulai mencari kerja. Bong Bu Tjin kerja apa saja. Dia menjadi buruh bangunan. Bongkar muat barang. Jualan kecil-kecilan. Pokoknya semua kerja dijalani. Pekerjaan itu dijalani hingga 10 tahun.

Selama di Malaysia, ia tidak bisa pergi kemanapun, karena tidak ada surat. Anak tak dapat sekolah. Kalau anak tak sekolah, mau jadi apa?

Meski sudah mendapat jaminan, Bong hanya boleh tinggal di Kuching. Lewat dari daerah itu, dia bisa ditangkap. Dia juga tidak bisa membeli rumah, tanah atau lainnya. Setiap tahun, dia harus memperpanjang izin tinggal di Sarawak. Untuk keperluan itu, dia harus mengeluarkan 90 ringgit per orang.

Jadi, bila sepasang suami istri dan lima anak, kalikan saja, berapa dia harus membayar izin tinggal tiap tahunnya. Dari salah seorang petugas imigrasi Malaysia, Bong pernah mendapat informasi, ada sekitar 20 ribu orang masih mendaftar ulang ke pemerintah Sarawak, tiap tahunnya.

Setelah anaknya paling besar kawin dengan warga Malaysia, ada sedikit rasa lega. Mereka mulai bisa membeli rumah. Tentu saja atas nama menantunya.

Kini, dengan adanya perubahan dan keluarnya UU Kewarganegaraan yang baru, Undang-undang Nomor 12 Tahun 2006, orang seperti Bong Bu Tjin mendapat kesempatan memperoleh kewarganegaraannya lagi. Dia sudah mengajukan diri dan mengurusnya.


Didik Zulhadji, Third Secretary/Vice Consul, Consulate General of the Republic of Indonesia di Kuching, pernah beberapa kali wawancara dengan Bong Bu Tjin, dalam rangka memperoleh kembali kewarganegaraan Indonesia.

“Orang yang pindah karena peristiwa 1965 atau 1967, tidak hanya di Kuching, tapi di daerah lain juga ada. Di Sarawak mereka pindah, karena faktor menghindari peristiwa dan bukan karena faktor ideologis,” kata Didik.

Sekarang ini dengan UU Kewarganegaraan yang baru, orang bisa memperoleh lagi kewarganegaraannya. Masih banyak dari mereka yang ingin memperoleh kewarganegaraannya. Mereka masih mengindentifikasi diri sebagai warga negara RI. Tidak hanya masalah suku dan etnis saja. Mereka sadar, bahwa merasa bagian dari warga negara RI.

Untuk generasi muda, mungkin mereka tidak terlalu kentara, karena generasi muda lebih mudah, dapat identifikasi sebagai warga negara.

“Kita melihat bahwa mereka memang sadar, dan ada kesadaran bahwa mereka punya identitas kebangsaan sebagai warga negara Indonesia,” kata Didik.

Padahal di Malaysia banyak etnis Tionghoa, dan mereka tidak sulit menyesuaikan diri. Ini menunjukkan, kesadaran politik lebih daripada warga di Sarawak.

Menurut Didik, orang seperti Bong Bu Tjin punya pandangan ideologis, bahwa para pemimpin mereka ada di RI. Identitas mereka masih hidup. Ini masalah dokumentasi tidak terwujudkan. Identitas harus dijaga secara dokumentasi.

“Masalah identitas, saya percaya sekali beliau bisa menjelaskan. Dan sedikit banyak mengikuti perkembangan yang ada di RI. Mereka jelas mengidentifikasi diri.

Apa yang dikemukakan Didik, memang cukup berasalasan. Selama berbincang dengan Bong Bu Tjin, dia selalu mengerti dan memantau perkembangan dan isu aktual di Indonesia. Berita itu diaksesnya melalui layar televisi dan koran.

Dari beberapa kali percakapan yang kami lakukan, aku bisa merasakan keindonesiaannya. Dia sangat merindukan Indonesia. Dia ingin kembali ke Indonesia.

Dia ingin........Meninggal dan dikubur di Indonesia.(bersambung)□

Edisi cetak ada di Borneo Tribune, 23 Februari 2008
Fotografer: Muhlis Suhaeri

No comments :