Thursday, February 14, 2008

The Lost Generation (5)

Operasi Teritorial

Muhlis Suhaeri
Borneo Tribune, Pontianak
Selain operasi tempur, ada operasi teritorial. Operasi teritorial adalah, operasi penaklukan tanpa peperangan.

“Ini lebih kepada perang psikologi. Yaitu, bagaimana membuat suatu pendekatan pada masyarakat,” kata Zaenal.

Operasi teritorial bertujuan, supaya masyarakat percaya dan membela operasi yang dilakukan tentara. Caranya bermacam-macam. Dengan memberikan penerangan kepada masyarakat, dan berusaha melakukan pendekatan yang efektif.


Jadi, pasukan tempur, selain bisa bertempur, harus bisa memberikan penjelasan kepada masyarakat. Misalnya, PGRS-PARAKU itu apa, datangnya dari mana, tujuannya apa, dan lainnya. PGRS-PARAKU bukan warga negara RI.

“Hal itu bertujuan untuk menimbulkan rasa perlawanan pada diri warga kepada PGRS-PARAKU,” kata Zaenal.

Kemudian, tentara juga mesti menjelaskan posisi tentara. Selain itu, mengikutsertakan masyarakat dalam kegiatan-kegiatan operasi. Masyarakat bertugas sebagai penunjuk jalan, kurir, ikut dalam pertempuran, dan lainnya.

Operasi teritorial bertujuan memisahkan massa dengan PGRS-PARAKU. Sehingga massa yang telah berpihak pada tentara, bisa digunakan untuk menghantam lawan. Itulah yang dinamakan, gerilya harus dilawan dengan antigerilya. Tidak bisa gerilya dilawan dengan perang konvensional.

Operasi teritorial juga dilakukan dengan memberikan berbagai kebutuhan penduduk. Tentara membuat pasar bulanan untuk penduduk. Sebulan sekali memberikan kesempatan pada pengusaha, untuk menggelar daganganya. Lokasinya berada di sepanjang perbatasan. Seperti di Nanga Merakai, dan lainnya. Barang dagangan antara lain, beras, kopi, gula, tembakau, dan lainnya.

Zaenal Arifin malang melintang di berbagai pertempuran dan pengejaran terhadap anggota PGRS-PARAKU di Sintang, Sanggau dan Bengkayang. Selama menjadi komandan tempur dan melakukan operasi teritorial, ia bisa menemukan kata mutiara, bagaimana menarik simpati warga kepada tentara, supaya bisa dimanfaatkan melawan PGRS-PARAKU.

Ada lima P. Pertama, pendekatan. Melakukan pendekatan pada masyarakat dan tidak boleh menjauhinya. Kedua, pengenalan. Setelah dekat, baru ada pengenalan. Mengenalkan diri, negara, dan rakyat. Tujuannya, supaya bisa menghantam lawan. Setelah pengenalan, tentu ada suatu kesamaan. Ketiga, penyatuan. Integrasi antara tentara dan masyarakat dengan adanya penyatuan. Keempat, pembinaan. Tindaklanjutnya, diadakan pembinaan terus menerus kepada masyarakat, dan jangan sampai terputus di jalan. Kelima, pemantapan. Sikap yang sama antara tentara dan masyarakat, untuk menghancurkan lawan.

“Lima hal dalam pelaksanaan operasi teritorial tersebut, tenyata sangat mujarab dalam melaksanakan operasi tempur,” kata Zaenal.

Martin Blumenson dan James L. Stokesbury, dalam Master of The Art of Command, memberi satu contoh bagus penaklukan tanpa peperangan di Maroko. Yang ketika itu dikuasai Perancis. Jenderal George S Patton, Jr, merupakan jenderal dalam berbagai peperangan besar semasa perang Dunia II. Pada November 1942 – Maret 1943, dia melakukan tugas berbeda. Tidak melalui pertempuran, tapi dengan cara politis dan diplomatis. Dia mengandalkan kegemilangan dan pertunjukkan seremonial, serta manfaat peristiwa kemasyarakatan. Tidak ada tempat lain, dimana ia mempertunjukkan dengan lebih baik keberadaan dan daya tarik sosialnya, serta kegemilangan pribadinya, untuk kepentingan diplomasi, selain di Maroko.

Patton merasa, bukanlah tugasnya untuk menaruh perhatian pada masalah-masalah politik, sosial, rasial, dan keagamaan di Maroko. Ia memandang tugasnya sebagai kewajiban untuk menjaga ketertiban dan stabilitas di negeri itu, sehingga kekuatan militernya tidak perlu terlibat pada apa yang dipandangnya sebagai suatu missi perubahan. Kekuatan bersenjata Amerika di Maroko, bukan untuk mengubah bentuk negara, memperbaiki keadaan sosial, atau mengganti hukum yang mengekang. Tetapi untuk siap dan berperang melawan musuh.

Dalam pandangan Zaenal, selain menggunakan cara lima P, untuk memisahkan masyarakat dengan PGRS-PARAKU pada perang antigerilya, juga menyingkirkan para suplier pemasok kebutuhan gerilyawan.

Bagaimana cara memisahkannya?

Kenyataannya, anggota PGRS-PARAKU hidupnya tidak bisa dipisahkan dengan para suplier di perbatasan. Cara untuk memutus suplai ini, orang Cina yang ada di perbatasan harus dipindahkan.

“Kenyataannya mereka ini memang membantu. Tanpa bantuan, tak mungkin bisa bertahan lama para PGRS-PARAKU ini,” kata Zaenal.

Kondisi masyarakat Cina di perbatasan ketika terjadi operasi penumpasan PGRS-PARAKU memang serba sulit. Ibarat buah simalakama. Dimakan ayah mati. Tidak dimakan, ibu yang mati. Ketika para gerilyawan datang minta makan dan berbagai kebutuhan pangan, mau tak mau mereka harus memberikannya. Kalau tidak memberikan, nyawa mereka terancam. Nah, kalau memberikan makanan, dianggap membantu pergerakan mereka. Sehingga dimusuhi tentara.

Hal ini pernah terjadi pada XF Asali. Saat itu, dia menjabat sebagai kuasa direktur CV Sinar Kapuas di Pontianak. CV ini bergerak di ekspor dan impor beras, gula dan kopra. Sekarang ini, nama CV tersebut berubah menjadi Bumi Raya.

Sebagai pedagang, dia tentu tidak bisa melarang pembeli. Atau, bertanya pada pembeli, bakal dibawa ke mana beras atau gula tersebut. Kalau dibawa ke perbatasan, tidak diperbolehkan. Hal itu, tentu saja tidak bisa dilakukan.

Asali pernah didatangi tentara dan diinterogasi.
“Kau ini pendukung komunis, ya?”
“Tidak ada, Pak.”
“Tidak ada. You punya karung beras sampai di perbatasan.”

Kondisinya serba salah. Ketika beras dan gula sampai di perbatasan, bukan berarti dia menjadi pendukung para gerilyawan. Toh, pembeli berhak membawa ke mana pun, barang yang mereka beli.

Lalu, bagaimana cara memutuskan logistik dan memindahkan masyarakat Cina dari daerah perbatasan?

“Caranya menciptakan supaya orang Dayak melawan Cina. Ini ada suatu cara dan tidak bisa saya sebutkan, karena saya tidak tahu. Ini dari Kodam,” kata Zaenal.

Menurutnya, orang Cina dan Dayak yang hidup di perbatasan, punya kesamaan cara hidup dengan orang PGRS-PARAKU. Mereka sudah lama saling berinteraksi. Dari segi makanan dan berbagai kebiasaan, ada kesamaan.

Masalahnya adalah, bagaimana memisahkan orang Cina dan Dayak. Karena ada semboyan, siapa yang bisa menguasai massa, mereka akan menang. Karena itulah, diadakan suatu usaha, memisahkan antara orang Cina dan Dayak.

Dibuatlah suatu cara menciptakan sifat permusuhan. Dengan bahasa sederhananya, bagaimana supaya orang membenci Cina. “Caranya tidak tahu, karena ini operasi intelejen. Dan bukan bidang saya menjelaskannya,” kata Zaenal.

Operasi intelejen berbeda dengan operasi tempur. Tanpa pertempuran, tapi bisa menciptakan pergolakan. Semuanya tidak langsung. Operasi intelejen dilakukan dengan cara menghembuskan permasalahan, sehingga masyarakat menangkap isu itu. Dengan munculnya isu, timbul rasa tidak aman. Sehingga orang merasa tidak aman dan meninggalkan tempat tinggalnya.

Akibat tidak aman, ada pihak memanfaatkan kondisi. Misalnya, kampung yang sudah ditinggalkan, barangnya dijarah dan diambil. Atau, orangnya belum pergi, tapi barangnya dijarah dan dirampok. Akhirnya, berita itu merembet ke berbagai tempat. Orang yang mendengar langsung ikut mengungsi.

Saat itu yang memimpin operasi intelejen adalah Mayor Romli. Sekarang sudah meninggal. Jabatan terakhir sebagai Wakil Asisten Intel (Waasintel) Kodam XII Tanjungpura. Pangkat terakhir Letnan Kolonel.(bersambung)□

Edisi cetak ada di Borneo Tribune 14 Februari 2008
Foto Muhlis Suhaeri, judul "Penaklukan Sosial."

No comments :