Sunday, February 24, 2008

The Lost Generation (15)

Diselamatkan, Dipelihara, dan Diperistri

Muhlis Suhaeri
Borneo Tribune, Pontianak
Dia biasa dipanggil Lilis. Nama sebenarnya, Cin Tiam Moy, 56 tahun. Lilis kelahiran Sempalai, Kecamatan Tebas, Kabupaten Sambas. Kehidupan yang rigid dan keras menempa hidupnya. Warna kulitnya tak lagi putih dan bersih. Sinar matahari melengaskan warna kulitnya. Saban hari ia bertani dan menanam padi.

Ia juga bercocok tanaman budi daya. Di kebun belakang rumahnya, Lilis menanam pisang, ketela, dan tanaman pangan lainnya. Pekerjaan itu dilakukannya bersama sang suami, Gubang. Lilis juga membuka kedai kopi di terminal Bengkayang. Kedai itu lebih banyak ditunggu dan dijaga sang anak.

Gubang lelaki penuh perhatian dan bertanggung jawab. Posturnya kecil. Dia berasal dari etnis Dayak Bekatik di Bangkayang. Lilis dan Gubang tinggal di Lumar, Bengkayang. Keberadaan Lilis di Lumar, punya kisah dan sejarah tersendiri.


Lilis anak paling besar dari lima bersaudara. Tiga perempuan dan dua lelaki. Mereka tinggal bersama dua orang tuanya di Sempalai. Ayahnya bernama Cin Hin Lung. Ibunya bernama Cang Moi Kie. Dua orang tua, dua anak lelaki dan tiga anak perempuan. Lilis baru berusia 11 tahun. Adik lelakinya berumur sekitar sembilan dan delapan tahun. Adik Ce Tu, tujuh tahun. Adik ketiga, Ce Moy berusia lima tahun.

Jarak satu rumah dengan lainnya berjauhan. Terpisah oleh kebun. Tempat tinggalnya menjorong ke dalam dan jauh dari jalan raya utama. Mereka hidup dari bercocok tanam.

Keluarga itu tak tahu, bakal ada demonstrasi. Rumah mereka berjauhan dengan para tetangga. Menjelang terjadinya peristiwa, tetangga mereka di sekitar jalan raya Tebas, sudah mengungsi ke Sambas. Kampung itu telah sepi. Ditinggalkan penghuninya.

Keluarga ini berangkat dengan jalan kaki menuju pasar Tebas. Di pasar ini, banyak komunitas etnis Tionghoa berdiam. Mereka hidup dari perniagaan.

Ketika orang Tionghoa akan diusir, ada juga yang hendak melawan. Mereka membuat berbagai perangkap, pelantik. Kalau tidak bisa melawan, mereka akan lari ke hutan.

Mereka berangkat tujuh orang menuju pasar Tebas. Sebelum mencapai pasar Tebas, mereka ketemu rombongan demonstrasi di jalan raya menuju pasar Tebas. Para demonstran berjumlah sekitar 800 orang. Mereka berasal dari Lumar dan sekitarnya.

Keluarga itu terkepung. Lilis dan dua adik perempuannya diberi selendang kain merah di lehernya. Ini sebagai tanda, mereka dilindungi dan tidak boleh diganggu. Orang tua dan dua saudara lelakinya ditangkap. Mereka dibawa ke pinggir sungai Perasa, Tebas. Di pinggiran sungai inilah, keempatnya dieksekusi. Lilis tahu cerita itu dari para saksi mata.

Setelah itu, rombongan demonstrasi melanjutkan perjalanan. Jarak Sempalai ke pasar Tebas sekitar 5 kilometer. Lilis dan dua adiknya dititipkan di perkampungan terdekat.

Rombongan demonstrasi melanjutkan penyerangan ke pasar Tebas. Rencana penyerangan sekitar jam lima pagi. Namun, sekitar jam empat pagi, jalanan menuju pasar Tebas telah dipenuhi ratusan tentara bersenjata lengkap.

“Karena tak mau mundur, tentara mengeluarkan tembakan peringatan ke udara. Ketika demonstran masih berusaha maju, tembakan diarahkan ke tanah,” kata Gubang, 54 tahun, warga Lumar yang ikut demonstrasi.

Sehari berikutnya, rombongan demonstran kembali ke Bengkayang. Lilis dan dua adik perempuannya dijemput. Mereka dibawa ke Lumar, Bengkayang.

Dalam demonstrasi itu, tentara menahan orang yang dianggap pimpinan demonstrasi. Namanya Petrus Kate. Pemerintah menangkap dan menghukumnya selama 12 bulan. Ketika ditanya tentara, siapa bertindak sebagai kepala, dia mengacungkan tangan. Penahanan ini, ibaratnya supaya ada yang dianggap bertanggung jawab.

“Di penjara kongsi Sambas, Petrus kate malah mendapat gaji dan badannya gemuk,” kata Gubang.

Sekembali di Bengkayang, Lilis dan dua adiknya tinggal di kampung Molo. Dia tinggal di rumah Tundur. Yang juga punya dua anak. Tundur punya dua adik, Sendok dan Gubang. Keduanya masih bujangan.

Setelah tinggal di Molo, Lilis juga membantu tugas tentara membawa beras. Ketika itu usianya 12 tahun. Dia juga dijadikan penerjemah, kalau tentara ketemu orang Tionghoa di jalan. Dia pernah diajak ke San Sak, Subah, Sanggai Ledo, sebagai penerjemah tentara Siliwangi 310. Lilis pernah diminta tinggal di San Sak selama dua bulan, sebagai tenaga di kantor tentara. Setelah itu tinggal lagi di Molo.

Ketika ditangkap, Lilis dibesarkan dulu. Karena ketika mau dikawini, umurnya belum cukup. Setelah berumur 15 tahun, dia dikawini Sendok.

Ketika ketemu di rumahnya, aku ingin tahu psikologi dari Lilis, ketika memutuskan kawin dengan Sendok.
“Kenapa mau kawin dengan Sendok?”
“Karena sebatang kara, tidak ada orang lain.”
“Tidak takut?”
“Tidaklah. Orang kampung yang tolong kita. Kalau tidak, kita akan mati. Kita tidak punya kampung lagi.”
“Tidak dendam pada orang-orang yang pernah membunuh keluarga Anda?”
“Tidaklah. Banyak pelaku sudah mati. Malah ada yang gila. Contohnya Ijil,” kata Lilis.

Ijil adalah salah satu pemimpin demonstrasi dari Bengkayang. Yang memimpin demonstrasi ke Tebas, Sambas. Selain Ijil, ada Karoyot dan Sakandung. Dua orang ini sudah meninggal.

Lilis sering ditanya orang, apakah masih punya orang tua. Dia biasanya menjawab, orang tuanya dibunuh. Dia diambil orang Dayak dan tinggal di kampung. Selama hidup di kampung, dia menyesuaikan diri dengan lingkungannya. Bercocok tanam dan berkebun.

Sendok meninggal usia muda. Perkawinannya dengan Lilis, dikaruniai satu anak. Gubang merasa bertanggung jawab dan menyelamatkan Lilis yang sebatang kara. Dia mengawini Lilis. “Kalau Lilis bersuami, tidak akan diganggu tentara,” kata Gubang.

Saat menikah, Gubang berusia 19 tahun. Lilis berusia 21 tahun. Dari perkawinan itu, lahir lima anak. Dua lelaki dan tiga perempuan.

Dulu, Lilis sembahyang di Pekong. Sekarang tidak lagi. Ia memeluk agama Katolik, dan sembahyang di gereja.

Semasa masih punya anak satu, Lilis tidak pernah pergi ke mana pun. Setelah punya dua anak, dia mulai mencari keluarganya ke Tebas. Lilis berangkat bareng Gubang. Di Tebas dia mendapat kabar, orang tuanya memang sudah terbunuh. Dia juga ketemu adik perempuan bapaknya. Juga beberapa keluarganya yang selamat. Sekarang ini tinggal di Singkawang.

Lilis merasa beruntung kawin dengan Gubang. Dia menganggap, Gubang sangat bertanggung jawab. Sekarang ini, lima anak-anak mereka tak tahu, tentang peristiwa yang terjadi. Namun, pernah juga ada anak yang bertanya.

“Mengapa orang Dayak dan Tionghoa berperang? Atau, mereka adalah orang Tionghoa, kenapa lalu masuk dan menjadi orang Dayak?”

Keduanya berusaha memberikan jawaban yang bisa diterima sang anak. Bapak orang kampung, ibu orang Tionghoa. Karena tinggal di kampung, ya, mereka tinggal dengan orang kampung.

Belum ada niat menceritakan permasalahan yang terjadi. “Kalau mereka tahu, kuatir sedih. Sengaja tidak dikasih tahu,” kata Gubang.(bersambung)□

Edisi cetak ada di Borneo Tribune, 24 Februari 2008
Foto oleh Sugeng Hendratno

1 comment :

Orsure said...

satu kisah yg sempat terhilang pada generasi muda sekarang ini. dan sudah melupakan pertikaan cina dan dayak (CEU FUNG TEU) thn 60an. malah skrg yg sangat mengesankan adalah ikatan cina dan dayak semakin kuat, solid dan berkembang maju serta bersatu bergandeng tangan. hal yg sangat paradoks sekali. perkawinan campuran dayak dan cina sudah lazim skrg.. kebanyakan perempuan dayak kawin dgn laki2 cina dibandingkan perempuan cina dgn laki2 dayak. akibat kawin campuran ini mempunyai keturunan yg sangat sulit dibedakan yg mana dayak dan cina, makanya ada orang dayak di sangkanya cina dan juga sebaliknya. Disamping adanya 'the lost generation' sekarang jg timbul 'the new generation' antara dayak dan cina. (http://sempalai.blogspot.com)
EMAIL:
paradox_borneo@yahoo.co.id