Thursday, February 21, 2008

The Lost Generation (12)

Berjuang Menyelamatkan Hidup

Muhlis Suhaeri
Borneo Tribune, Pontianak
Di sebuah tempat bernama Montrado, Liu Hian Kit, berjuang menyelamatkan nyawa. Montrado dulunya wilayah Kabupaten Sambas. Setelah pemekaran, Montrado termasuk Kabupaten Bengkayang. Montrado berjarak 165 km arah utara Pontianak.

Liu Hian Kit berumur 23 tahun, ketika itu. Ia tidak menyangka, bakal terjadi peristiwa penyerangan terhadap orang Tionghoa oleh orang Dayak. Dalam kehidupan sehari-hari, kedua etnis itu akur adanya. Bahkan, ia juga biasa minum arak bareng dengan orang Dayak. Hingga kini, Liu Hian Kit tidak pernah bisa lepas dari arak. Dalam satu hari, ia bisa menghabiskan satu liter arak.


Dulu, kehidupannya termasuk mapan. Ia hidup dari pertanian. Menanam sahang, karet dan padi. Ada puluhan ekor babi. Ia juga memelihara puluhan ekor sapi. Sapi dipelihara dari para pemilik ternak. Setelah besar dan berkembang biak, sapi dibagi antara pemilik dan pemelihara. Perbandingannya, tiga dibanding satu. Tiga untuk pemilik dan satu untuk pemelihara.

Sehari sebelum kejadian, ada temannya orang Dayak memberitahu. Kalau dia tidak pergi, bisa terbunuh. Semua orang diberitahu terlebih dahulu. Kalau lari tidak akan diapa-apakan. Tapi, kalau melawan, akan dibunuh. Semua orang pergi tanpa membawa apapun. Kalau ada yang menyembunyikan emas dalam baju misalnya, akan digeledah.

Ketika rombongan orang Dayak ke kampungnya, ia sudah meninggalkan rumah menuju hutan terdekat. Jumlahnya ada ribuan. Tersebar dalam berbagai kelompok. Mereka sembunyi. Tidak ada yang bawa makanan.

Hendak lari ke Singkawang takut, karena kuatir bakal dicegat di tengah jalan. Lagi pula tidak ada uang untuk biaya perjalanan. Bagi orang kaya dan punya persediaan uang, mereka bisa langsung sewa kendaraan menuju Singkawang.

Semua miliknya dalam bentuk barang. Dan ketika rombongan orang Dayak mendatangi kampung, semua barang itu diambil. Tak tersisa. Ia lari ke hutan hingga enam bulan. Selama itu, mereka makan apa saja. Ada ubi, umbi-umbian, dedaunan, kelapa, makan ubi, atau apa saja.

Ada 20 orang tertangkap, namun tak jadi karena ada tentara. “Kalau tak ada tentara di sana, orang Tionghoa akan habis,” kata Liu Hian Kit.

Setelah merasa aman, dia bersama sepuluh keluarganya menuju penampungan di Montrado. Penampungan itu dijaga militer. Dari Montrado dibawa dengan mobil palang merah menuju Singkawang. Ada penampungan untuk pengungsi di Singkawang. Penampungan berupa gudang karet.

Liu Hian Kit tinggal di penampungan Singkawang hingga dua tahunan. Setelah itu, ia pindah ke penampungan di sekolah Fajar Harapan, Siantan, Pontianak. Setelah tinggal di penampungan, pada 1969, pemerintah menempatkan pengungsi ke relokasi di Kalimas, Punggur, Kabupaten Kubu Raya.

Setiap pengungsi diberi lahan selebar 25 depa. Satu depa setara dengan 1,5 meter. Diberi rumah berukuran 6 kali 4 meter. Rumah dari kayu. Pengungsi juga dapat cangkul, sabit, pupuk, dan jatah makan selama setahun. Masing-masing orang secangkir beras sehari. Bila dalam keluarga ada empat orang, berarti dapat empat cangkir beras dalam sehari. Sewaktu pertama kali pindah ke Kalimas, ada 30 KK ditempatkan di sana.

Setelah penempatan relokasi pengungsi pertama, diikuti dengan gelombang pengungsi berikutnya. Ada empat lokasi penampungan di Kalimas. Pemerintah juga membuatkan 500 rumah untuk pengungsi di Siantan Tengah. Namanya Parit Baru.

Sekarang ini, penduduk di Kalimas menanam sayur mayur, timun, cabe rawit, padi dan kelapa. Selama berkebun, segala suka dan duka ia rasakan. Ketika panen, hasil kebun dijual ke Pontianak. Tapi, ada juga pedagang pengumpul datang ke Kalimas, membeli hasil kebun mereka. Harga terkadang tidak jelas. “Kalau panen murah,” kata Liu Hian Kit.

Bila dulunya punya banyak kekayaan, sekarang ini tidak punya apa-apa. Ketika teringat peristiwa itu, dia marah dan sakit hati. Liu masih ingat orang-orang yang telah memotong kepala di kampungnya, hingga sekarang. Dia memilih sikap, tidak membolehkan anaknya menikah dengan orang Dayak.

Seorang warga Roban Tama, Singkawang, A Ki, 65 tahun, menceritakan pengalamannya ketika harus mengungsi. Dulunya, ia tinggal di Montrado. Bekerja sebagai penoreh getah karet. Getah dibawa ke pasar Montrado.

Sebelum demontrasi, ada pemberitahuan bahwa orang Tionghoa di daerah itu, akan dihabisi. Mereka diminta kabur terlebih dahulu. Kalau tidak mau kabur, akan dipotong lehernya.

Isu itu begitu kuat. Akhirnya orang di kampungnya lari semua. Tanpa membawa apapun. Cuma pakaian singlet dan celana pendek. Ia bersama masyarakat di dusunnya berjalan hingga di Pakucing, Singkawang. Berangkat jam sepuluh malam dengan berjalan kaki. Sampai di Pakucing jam enam pagi. Setelah itu, ada jemputan dari tentara. Dalam rombongannya ada bayi, anak, dan orang tua.

Suasana sangat panik. Ia seperti mati rasa. Bingung. Semua campur aduk. Dia terpisah dengan orang tuanya. Kedua orang tuanya kembali ke hutan. A Ki berjalan menuju ke Kota Singkawang, bersama 20 orang lainnya. Namun, kedua orang tuanya, akhirnya juga dijemput oleh tentara.

Ia termasuk orang pertama di pengungsian. Penampungan pertama berada di Kali Asin, Singkawang. Bersama 300 ratusan orang lainnya, ia menempati sekolah bagi warga Tionghoa. Dia di sana selama 2-3 bulan. Setelah itu, pindah ke penampungan di Roban Tama. Orang tuanya berada di penampungan Kuala.

A Ki dan orang tuanya bertemu di penampungan Roban Tama. Orang tuanya dipindahkan dari penampungan Kuala ke Roban Tama. Roban Tama ketika itu merupakan gudang karet besar, milik CV Tama. Karenanya, diberi nama Roban Tama. Pemiliknya bernama Suhardi atau A Can. Dia juga pemilik bioskop Kota Indah, Singkawang.

Kini, semua gudang dan bekas pabrik pengolahan karet itu sudah hilang. Pun bangunannya. Namun, di lahan itu, masih terlihat bekas pondasi gudang karet sebanyak empat gudang. Ada bak besar berukuran 10 kali 20 meter, untuk mencuci karet. Dari bak inilah, dulunya getah karet dicuci, setelah itu dikeringkan dengan cara diasapi atau disalai, sehingga kering.

A Ki berada di penampungan selama lima tahun. Dalam sehari, dia mendapat jatah secangkir beras. Selama di penampungan, dia kerja dengan membantu orang berkebun. Dia minta orang mempekerjakannya sebagai tenaga buruh.

Setelah berada di penampungan, dia bekerja sebagai penjual kayu bakar. Kayu itu dicari dari hutan di sekitar Roban Tama. Di penampungan inilah, dia kenal dengan A Cau, yang kini menjadi istrinya.

Letkol Harsono Subardi, Eks Biro Intel POM Kodam XII Tanjungpura menuturkan pengalamannya, ketika bertugas di Singkawang mengawal dan mengamankan para pengungsi. Ketika bertugas di sana, komandannya bernama Mayor Jafar. Sekarang ini, dia sudah meninggal.

Dia mengamankan para pengungsi dari Singkawang hingga ke Montrado dan Capkala. Di sana, banyak orang Tionghoa terusir. Para pengungsi dikejar terus sampai di Kulor, Singkawang. Tentara dengan menggunakan truk, juga mengungsikan orang Tionghoa ke Pontianak. Mereka tidak bawa apa-apa. Hanya peralatan memasak dan baju. Kalau bawa barang-barang, akan susah dalam perjalanan.

Sebagian orang Dayak, malah akan menyerbu hingga ke Kota Singkawang. Ada sekitar 40 orang. Saat masuk ke Roban, perbatasan Kota Singkawang, senjatanya dilucuti di perbatasan. Mereka ditangkap dan ditahan.

“Kalau panglima instruksinya adalah, tidak boleh menyerang kota kabupaten. Kita melindungi benturan antara masyarakat. Boleh melawan PGRS-PARAKU yang bersenjata. Yang tidak bersenjata tidak boleh,” kata Harsono.

Akibat peristiwa itu, Kota Singkawang penuh dengan para pengungsi. Saat itu, sulit untuk mengungsikan dan membawa pengungsi. Mobil di Singkawang hanya ada lima. Empat mobil tentara dan satu mobil orang Tionghoa kaya di Singkawang. Namanya, Tek Long. Kebanyakan masyarakat menggunakan sepeda. Becak tidak ada. Oplet tidak ada. Motor adanya merek Humme DKW.

Sebagian besar rakyat tidak bisa bahasa Indonesia. Ketika itu, banyak pengungsi bekerja apa saja. Jadi pembantu, kerja cari air di sawah, petani, dan lainnya.

Ada juga pengungsi tak bisa memberi makan anaknya. Anak itu diberikan pada orang. Beberapa kali pengungsi datang ke rumah Harsono, menyerahkan anak kecil supaya dipelihara. “Bayar terserah bapak. Asal bisa untuk hidup,” kata sang pengungsi.

Tapi, karena dia sudah punya banyak anak, tidak mau mengadopsi anak lagi.

Saat itu, kesulitan hidup sangat luar biasa. Banyak anak Tionghoa dititipkan dan diadopsi keluarga lain. Banyak juga perempuan remaja diambil istri oleh orang Taiwan.

Rentetan pengungsian itu, menimbulkan peristiwa kemanusiaan yang luar biasa pedih. Lara, tiada berbatas.(bersambung)□

Edisi cetak ada di Borneo Tribune 21 Februari 2008
Foto Sugeng Hendratno

No comments :