Tuesday, February 12, 2008

The Lost Generation (3)

Yang Terbuang Pascakonfrontasi

Muhlis Suhaeri
Borneo Tribune, Pontianak
Perdamaian antara pemerintah Indonesia dan Malaysia, sangat berpengaruh terhadap para tentara dan gerilyawan yang berada di lapangan.

Menurut Bong Bu Tjin, ketika itu ada juga pasukan dari Kodam VII Diponegoro tidak ingin perang berhenti. Mereka melanjutkan operasi di Malaysia dan bergabung dengan pasukan PGRS-PARAKU “Mereka kecewa, karena tentara dari divisi ini paling banyak menjadi korban dari perang dengan Malaysia,” kata Bong Bu Tjin.


Bong banyak kenal tentara dan ikut dalam berbagai kegiatan tentara. Dia jadi fotografer para tentara. Banyak tentara yang cerita padanya. Bong pernah memotret Jenderal Ahmad Yani, Nasution dan Suharto, ketika berkunjung ke Kalbar. Mayjen Suharto adalah Wakil Komando Dwikora. Panglima Dwikora Omar Dhani.

Ketika Indonesia dan Malaysia menghentikan konfrontasi dengan pertemuan dan menghasilkan kesepakatan damai, penanganan sisa anggota PGRS-PARAKU diserahkan kepada kebijakan negara masing-masing.

Begitu juga dengan gerilyawan PGRS-PARAKU yang sebagian besar berideologi komunis. Pemerintah Malaysia mengampuni dan membina para mantan gerilyawan ini.

“Mantan PGRS dibina. Bahkan, ada yang diberi modal, sehingga bisa menjadi pengusaha. Di Malaysia, mereka pakai bintang merah 3,” kata Edo, mantan Danlanud 2 Singkawang di Bengkayang.

Di Indonesia, para anggota PGRS-PARAKU diminta menyerah dan meletakkan senjata. Sebagian ada yang meletakkan senjata. Namun, ada juga yang tidak mau. Mereka kuatir, pemerintah Indonesia bakal menumpasnya, karena ideologinya komunis. Apalagi pada saat bersamaan, ada pengejaran dilakukan terhadap para anggota PKI di Jawa.

Menurut Soemadi, pemerintah menyerukan pada gerilyawan untuk meletakkan senjata dan menyerah. Namun, hanya 99 orang yang menaati. Sedangkan 739 tidak melakukan perintah. Senjata mereka diperkirakan 538 pucuk. Terdiri dari Bren, Sten Gun, Senapan dan pistol.

Sarwono WHD, eks Waasintel Kodam XII Tanjungpura berkata, setelah konfrontasi dengan Malaysia, yang paling berperan masalah politiknya. Pergantian kepemimpinan membuat kebijakan terhadap PGRS-PARAKU juga berubah.

Ironis memang. Ketika Indonesia dan Malaysia konfrontasi, mereka direkrut dan dilatih melawan Malaysia. Begitu kondisi damai. Mereka diburu dan dikejar.
“Yang melatih kita, yang mengejar juga kita,” kata Sarwono.

Akhirnya, para gerilyawan masuk kembali ke hutan. Tentara banyak juga yang menjadi korban dalam pertempuran. Korban terjadi, karena PGRS-PARAKU sudah tahu taktik dan cara perang gerilya yang dilakukan TNI.

Ada suatu taktik dalam perang gerilya, pencegatan biasanya dilakukan di hutan. Di sawah tidak bisa dilakukan penyergapan, karena daerahnya terbuka. Dalam perang gerilya, mereka melakukan penyergapan di gunung. Di gunung biasanya tentara berjalan berpencar. Satu dengan yang lain jaraknya agak jauh. Tujuannya, ketika ada penyergapan, bisa menghindar. Di depan pasukan, biasanya ada penyisiran dulu dilakukan. Ketika di tanah datar, jalannya merapat dan berkumpul. Taktik itulah yang diberikan pada PGRS-PARAKU dalam pelatihan.

Teori ini dibalik oleh PGRS-PARAKU. Ketika tentara berjalan di sawah dan jalannya berkelompok, serta tidak melakukan penyisiran di depan pasukan, PGRS-PARAKU menyerang tentara. Tentara tidak siap dan tidak menduga bakal diserang. Karenanya, banyak tentara terbunuh di persawahan Bengkayang. Bahkan, sekitar 37 tentara dari Siliwangi meninggal semua.

Operasi penumpasan tidak mendapatkan hasil sesuai harapan. Sejumlah operasi yang dilakukan gagal di tengah jalan, karena keburu tercium. Operasi yang dilakukan sering gagal, karena bocor informasinya. Hal ini dirasakan betul prajurit di lapangan.

Idang Supandi, prajurit Kopassus yang ketika itu berpangkat Kopral, sangat merasakan sulitnya operasi. Dia melakukan operasi dalam penumpasan anggota PGRS-PARAKU di Benua Martinus, Kabupaten Kapuas Hulu.

Dalam melakukan operasi, dia selalu menggunakan pasukan kecil. Tujuannya, supaya bisa bergerak lebih cepat. Sulitnya medan operasi dan komunikasi yang selalu bocor, membuat operasi tidak menunjukkan hasil maksimal. “Kita seperti main kucing-kucingan. Ketika ada informasi musuh ada di salah satu bukit, begitu kita kejar sudah tidak ada. Selalu begitu,” kata Idang.

Kebocoran informasi terjadi karena ada sebagian anggota BPI pro komunis. Selain itu, penumpasan mengalami kesulitan, karena anggota PGRS-PARAKU kebanyakan orang Cina. Yang merupakan komunitas etnis tersendiri, dan punya bahasa sendiri. Sehingga intelegen tidak bisa masuk.

Perkembangan politik pascaperistiwa G30SPKI, sangat tidak menguntungkan gerilyawan. Apalagi dengan perdamaian antara Indonesia dan Malaysia. Karenanya, penumpasan gerilyawan PGRS-PARAKU di Kalbar, menurut Soemadi, punya empat kerangka besar. Pertama, dalam rangka pemulihan kembali hubungan Indonesia dan Malaysia. Kedua, dalam rangka pemulihan ketertiban dan keamanan umum. Ketiga, dalam rangka pembersihan G30SPKI, serta dilarangnya PKI dan Komunisme atau semua faham Marxisme-Leninisme-Maoisme, termasuk pelarangan semua organisasi pendukungnya. Keempat, dalam rangka pelaksanaan Doktrin Hankamnas dan Doktrin Perjuangan ABRI. Apalagi dengan keluarnya Surat Rahasia Pangkolaga No. R-33/1967 tertanggal 17 Februari, tentang pelaksanaan “security arranggement on the border regions” yang memuat, pertama; penyusunan dan pembentukan Komando Perbatasan. Kedua, Pengendalian Operasionil langsung dibebankan kepada Koandakal cq. Kodam XII Tanjungpura.

“Setelah tahun 1965, PGRS bongkar senjata dan lari ke hutan. Sebelumnya mereka memang diajari berbagai taktik perang oleh tentara Indonesia. Ada taktik perang gerilya, melakukan penyusupan dan lainnya,” kata Edo.

Yang dimaksud Edo adalah peristiwa penyerangan gerilyawan PGRS-PARAKU terhadap Lapangan Udara (Lanud) 2, Singkawang di Bengkayang.

Edo mantan pilot pesawat Mustang. Ia hampir meninggal dunia, karena pesawat Mustang yang dipilotinya mengalami kerusakan mesin, setelah lepas landas di Pangkalan Udara (Lanud) Abdulrachman Saleh, Malang, Jawa Timur. Di seluruh dunia, sebagian besar pilot pesawat Mustang yang jatuh, bakal meninggal. Karena radiator pesawat ada di bawah tempat duduk pilot.

Ketika mengalami kecelakaan pesawat, Edo sempat dirawat selama tiga bulan di rumah sakit. Setelah sembuh, dia tak pegang pesawat tempur lagi. Dia ditempatkan sebagai pasukan biasa di AURI. Dia ikut operasi penumpasan PGRS-PARAKU pada 1967-1969, dan tergabung dalam Operasi Samber Kilat. Gabungan pasukan dibubarkan seiring dengan penghentian operasi yang dilakukan militer. Setelah itu, dia ditempatkan sebagai Danlanud 2 Singkawang, pada 1970-1972 dan 1972-1974.

Menurut Edo, Lanud Singkawang 2, dibangun pemerintah Belanda pada 1939. Tujuannya, menghadapi invasi Jepang. Belanda membangun pangkalan di Sanggau Ledo, karena letaknya dekat dan menghadap Laut Natuna. Jadi, strategis untuk mendukung secara persenjataan.

Pangkalan dilengkapi dengan landasan pesawat terbang. Panjang landasan 900 meter. Landasan terbuat dari pengerasan batu. Dasarnya cukup kuat. Bagian atas landasan berupa rumput. Landasan dibuat untuk ukuran pesawat saat itu. Seperti, B25, B26, Dakota. Saat itu, hanya ada satu pesawat yang pernah uji coba.

Ketika pangkalan belum siap dan belum ada kekuatan militer yang masuk, tentara Jepang keburu masuk ke Indonesia. Pembangunan pangkalan tidak dilanjutkan. Belanda sudah kalah dengan Jepang.

Setelah Jepang kalah perang, fungsi pangkalan dikembalikan sebagai pangkalan pendukung oleh pemerintah Indonesia. Dulu, hanya ada seorang perwira berpangkat Mayor sebagai Komandan Lanud. Sekarang ini, ada dokter dan perwira lainnya.
“Pangkalan Singkawang 2 merupakan pangkalan kecil. Karena ada peristiwa PGRS, namanya menjadi naik,” kata Edo.

Di pangkalan ada gudang senjata berukuran 5 kali 10 meter. Temboknya terbuat dari beton setebal 30-40 cm. Ada penutup pintu besi setebal satu inchi. “Dibom pun, gudang itu tak akan runtuh,” kata Edo.

Pada 16 Juli 1967, gudang senjata diserbu gerilyawan PGRS yang dipimpin Lim A Lim. Ketika itu, hanya ada empat orang yang menjaga. Memang ada peraturan, pasukan tidak boleh membawa senjata ke rumah, dan harus diletakkan di gudang senjata.

Sistem jaga 24 jam. Pergantian bisa pagi dan sore. Sekali jaga ada empat orang dan 24 jam nonstop. Penyerangan terjadi pada hari Minggu, menjelang pagi. Saat kondisi penjaga sudah mengantuk.

Ada tiga anggota AURI tewas. Sekitar 150 pucuk senjata dirampas dan ribuan amunisi dibawa gerilyawan. Senjata yang dirampas antara lain, LE, senjata peninggalan perang Dunia ke II. G3, senjata otomatis, dan lainnya. Setelah gudang senjata dibongkar, komandan pangkalan langsung diganti. Setelah itu, dikirim pasukan tambahan dari Jakarta.

“Mereka tidak menyangka, pasukan PGRS akan menyerang, karena selama ini mereka adalah kawan dan pernah dilatih tentara,” kata Edo.□ (bersambung)

Edisi cetak ada di Borneo Tribune 12 Februari 2008
Foto Muhlis Suhaeri, Judul; Jalur Mati

No comments :