Penampungan Pengungsi
Muhlis Suhaeri
Borneo Tribune, Pontianak
Sebuah bangunan tak lagi utuh. Pada suatu tanah lapang penuh semak dan rumput liar. Bangunan dua lantai itu, seluruhnya terbuat dari kayu. Luas bangunan sekitar 20 kali 30 meter. Pada beberapa bagian bangunan, kayu telah mulai keropos dan lapuk.
Waktu, cuaca dan manusia, melemahkan fisik bangunan itu. Namun, struktur, bentuk dan detail sisa-sisa kejayaan bangunan, masih terlihat pada berbagai sisinya. Ada bak air berukuran tiga kali enam meter dengan tinggi satu setengah meter.
Bak ini berfungsi mencuci lembaran karet. Sebuah tungku bulat berukuran satu meter dengan bentuk memanjang. Pada ujung tungku, terhubung dengan satu ruangan. Yang terdiri dari beberapa tonggak kayu. Bentuknya tersusun dan bertingkat ke atas. Di tempat inilah, lembaran-lembaran karet dikeringkan dengan cara diasapi atau disalai.
Ya, di bangunan ini, masa kejayaan karet pernah ditorehkan. Dari salah satu bangunan ini, Singkawang pernah mengekspor 700 ton karet ke Singapura setiap bulannya. Harga karet mentah berkisar Rp 5 ribu per kilo. Harga karet kering sudah jadi sekitar Rp 11-12 ribu.
Namun, pascaperistiwa ethnic cleansing terhadap orang Tionghoa di sepanjang perbatasan, industri karet langsung hancur. Kenapa? Karena pemilik kebun karet, tukang sadap karet, semuanya mengungsi.
Kini, bangunan tua itu, teronggok tak terurus. Padahal, bangunan ini saksi sejarah dari tragedi kemanusiaan yang pernah terjadi. Bangunan itu ada di Kuala, Gang Kelapa Mas, Singkawang Barat.
Seorang mantan pekerja karet yang tinggal di daerah itu, menceritakan padaku, tentang keberadaan bangunan. Namanya Asmawi, lahir 1929. Asmawi tinggal di Kuala sejak 1962. Gudang karet banyak terdapat di Singkawang pada 1960-an.
Asmawi tinggal di sebuah pondok kecil berukuran tiga kali enam meter. Seluruh pondok terbuat dari papan kayu. Rumah itu sederhana sekali. Status bangunan menumpang pada tanah pemilik gudang. Namun, ia terlihat menikmati kehidupannya. Terima hidup apa adanya.
Asmawi pernah bekerja sebagai pencuci karet. Perusahaan itu terdiri dari beberapa bagian. Ada pekerja yang khusus mencuci dan menggantung karet. Jumlahnya enam orang. Tukang bakar ada satu orang. Tugasnya menjaga tungku api supaya terus menyala. Dia harus memasukkan kayu ke dalam tungku. Ada tukang gunting getah yang sudah kering. Jumlahnya delapan orang.
Tugasnya memotong lembaran karet yang sudah disalai dan kering. Tukang bungkus ada delapan orang. Tugasnya membungkus karet yang sudah dipotong, dan memasukkannya ke bungkus plastik. Satu bungkus karet beratnya sekitar 113 kilogram. Setelah dibungkus, karet siap diekspor melalui pelabuhan Singkawang.
Asmawi bertugas mencuci karet, sebelum dimasukkan ke ruangan khusus, untuk disalai. Kerjanya borongan. Pada 1960, satu ton karet dibayar Rp 10 ribu. Satu ton selesai dua hari. Uang Rp 10 ribu dibagi tujuh pekerja.
Di bangunan itu, ada tujuh tungku pembakaran, dan tujuh kamar pengeringan karet. Satu kamar mampu keringkan 18 ton karet sehari. Lama pengeringan sekitar seminggu. Untuk mensalai menggunakan batang kayu karet atau kayu tamau. Satu kamar butuh 10 meter kubik kayu. Kayu diperoleh dari hutan di sekitar Singkawang atau membeli. Ada pemasok kayu. Yang khusus menangani hal itu.
Dalam satu hari, dari tujuh kamar itu, harus ada yang selesai, sehingga bisa dikirim. Karet dikirim melalui pelabuhan Kuala. Sekali kirim 100 ton. Pengiriman menggunakan kapal laut. Dari pabrik dibawa dengan perahu kecil. Setelah itu, dibongkar dan dipindahkan ke kapal laut lebih besar. Pelabuhan laut ada di ujung pelabuhan Kuala. Jaraknya sekitar 3 kilometer.
Ketika terjadi pengungsian secara besar-besaran menuju Singkawang, seluruh bangunan dan gudang karet menjadi tempat pengungsian.
“Saat itu, di Singkawang ada 14 pengasapan dan gudang karet,” kata Tomidi.
Singkawang menjadi pusat penampungan pengungsi dari wilayah Bengkayang dan Sambas. Bupati Sambas saat itu, Nurdin. Pengejaran terhadap orang Tionghoa hingga di Roban, Singkawang. Pengungsi di Kota Pontianak, biasanya datang dari Sanggau, Landak atau Kabupaten Pontianak.
Darius Iskandar, 80 tahun, seorang tetua masyarakat Tionghoa di Singkawang, bercerita tentang kondisi pengungsi saat itu. Dia punya gudang dan rumah di Pasiran serta Roban, yang ditempati pengungsi. Ia mau melakukan itu, karena ingin membantu pemerintah dan masyarakat.
Dulunya, dia pedagang dan punya CV Sampurna. CV ini menampung dan membeli karet dari Bengkayang. Setelah diolah dan dikeringkan, karet diekspor langsung ke Singapura melalui pelabuhan Singkawang. Biasanya dengan kapal tongkang.
Gudang karet di Kuala, termasuk paling akhir ditempati pengungsi. Dengan ditempatinya berbagai gudang karet, praktis produksi pengolahan karet terhenti. Para pekerjanya, seperti Asmawi, beralih menjadi petugas yang menangani pengungsi.
Bersama mantan pekerja karet lainnya, dia melakukan penjagaan gudang karet setiap hari. Kalau malam, mereka giliran ronda. Kuatir ada pencurian. Tak ada polisi atau tentara berjaga di pengungsian. Masyarakat sekitar secara gantian melakukan penjagaan.
“Pengungsi tak mau bercerita apa pun, tentang peristiwa yang terjadi dengan orang lain,” kata Asmawi.
Orang yang datang ke pengungsian, biasanya menggunakan pakaian sederhana. Malah banyak yang sobek-sobek. Mereka tak sempat membawa barang-barang berharga. Seperti, emas, intan, dan perhiasan lainnya. Kalaupun ada barang berharga, mereka akan menguburnya ketika mengungsi.
Perhiasan disimpan dalam cangkir atau piala kecil. Setelah itu ditanam di kebun dengan ancar-ancar sebuah pohon besar. Atau, tanda lain yang tak gampang hilang. Karenanya, tak heran ketika peristiwa itu telah terjadi puluhan tahun lamanya, ada beberapa orang Tionghoa di Bengkayang, masih bisa menemukan barang berharga yang mereka tanam di kebunnya, dulu.
Selama di penampungan, pengungsi tidur sembarangan dan tak beraturan. Pokoknya asal tidur saja. Bertumpuk-tumpuk seperti ikan. Pengungsi dapat jatah makan sehari dua kali. Makanan berupa nasi atau bubur. Namun, jangan membayangkan nasi seperti yang ada sekarang.
Beras itu serupa bulgur. Biasa untuk pakan ternak. Lauknya satu sendok kepala ikan asin yang dihaluskan. Ada juga sayur. Biasanya kangkung. Cara memasaknya dengan drum besi yang dipotong setengah.
Dalam penampungan pengungsi, orang dilarang jual kue. Banyak anak menangis minta kue. Orang tua tidak bisa membelikan anaknya, karena tidak ada uang. Penjual kue diminta pergi.
Banyak pengungsi meninggal selama di penampungan. Mereka meninggal karena kelaparan dan berbagai penyakit. Daerah di sekitar Kuala airnya asin. Banyak pengungsi terkena penyakit diare, muntaber dan lainnya. Hanya ada sedikit obat-obatan.
“Tiap hari ada yang meninggal. Ada sekitar 4-5 orang,” kata Asmawi.
Mereka yang mati dibawa dengan kereta dorong beroda tiga. Roda kereta ada dua di depan dan satu di belakang. Alat ini biasa digunakan membawa barang. Mereka yang meninggal dimakamkan secara berderet dalam makam. Lebar makam sekitar 75 cm dengan tinggi satu meter. Satu lubang makam untuk 4-5 orang.
Banyak juga anak kecil tak terurus dan dimakamkan dekat Rumah Sakit Umum Singkawang. Rumah sakit itu sekarang milik Yayasan Kristen Santo Vincencius.
Anak yang meninggal, sangking kurusnya, ada cacing keluar dari dalam lubang hidungnya. “Mungkin, sangking tak ada makanan lagi dalam perut anak yang meninggal,” kata Om Jo, aku biasa memanggilnya.
Ketika terjadi pengungsian, banyak perempuan tua Dayak ikut mengungsi. Mereka kawin dengan orang Tionghoa. Asimilasi Tionghoa dan Dayak, hampir terjadi di semua tempat. Mereka biasa disebut, Mebuyan Kamaluk (Famili) Bekatik. Karena percampuran darah. Kalau tidak ikut mengungsi, siapa yang bakal rawat cucu-cucu mereka.
“Banyak orang meninggal karena muntaber. Makanan tak sehat, dan kesehatan buruk. Pokoknya terserah nasib,” kata Tomidi.
Meski kondisi seperti itu, ada juga orang memanfaatkan dan mengambil keuntungan bagi dirinya sendiri. Ada bantuan dari PBB bagi para pengungsi. Makanan dan pakaian, banyak yang tersalurkan. Namun, obat-obatan, jarang yang sampai.
Yayasan Tionghoa membangun berbagai pondok untuk menampung pengungsi. Juga disediakan kuburan bagi yang meninggal. Salah satunya di pekuburan Manggis.
Dinamakan pekuburan Manggis, karena banyak pohon manggis di sana. Bahkan, ada pohon manggis tertua. Usianya sekitar 100 tahun. Pekuburan Manggis dinamakan Taman Batas Dunia dan Akherat. Ada sekitar 1.000 orang dikuburkan di sana. Para pengungsi dikuburkan di Manggis, karena pekuburan ini tidak dipungut biaya.
Tukang kubur bernama Sio Po Kie. Dia sudah meninggal sekarang. Ia berprofesi sebagai tukang angkut barang dan becak. Yayasan membayar Sio Po Kie.
Selama berada di penampungan, pengungsi melakukan kerja apa saja, untuk menyambung hidup. Ada yang berjualan. Menjadi kuli angkut barang. Cari kayu bakar, dan lainnya.
Akibat peristiwa ini, menimbulkan rentetan peristiwa kemanusiaan lainnya. Banyak orang jadi pengemis. Banyak anak kecil ditinggal semasa di perjalanan atau dititipkan pada orang lain. Orang tua tak sanggup merawatnya. Bagi mereka yang dianggap sudah dewasa, akan langsung dinikahkan.
Pascaperistiwa ini, banyak perempuan Singkawang menikah dengan lelaki Taiwan. Inilah era yang menandai munculnya Pengantin Pesanan, dan berlangsung hingga sekarang.
Semasa di penampungan, bagi mereka yang mau menetap, dipersilakan saja. Tapi kalau mau pergi dari penampungan, juga tidak dilarang. Setelah tak ada harapan hidup di penampungan, mereka sedikit demi sedikit meninggalkan penampungan. Pergi ke berbagai tempat di Pontianak, Jakarta, Malaysia, Hongkong, Tiongkok dan lainnya.
Kalau ada saudara, mereka pergi dan menumpang dulu di rumah saudara. Setelah sekian lama, para pengungsi yang sudah meninggalkan penampungan dan bekerja, juga mengajak teman yang masih berada di pengungsian. Pengungsi tinggal di penampungan 2-3 tahun.
Makin berkurangnya pengungsi di penampungan, seiring dengan pembangunan dan masuknya investor ke Indonesia. Banyak pengungsi masuk di lapangan kerja.
Lalu, bagaimana kondisi para pengungsi sekarang?
“Bekas pengungsi sekarang, sudah banyak yang kaya. Mereka malu kalau ketemu kita dan pura-pura tidak kenal. Dikiranya kita mau minta kalau menegurnya. Malas juga lah,” kata Asmawi. Padahal, dia biasa memberi makan para pengungsi. Mereka sekarang lupa. Namun, bukan berarti dia ingin mengungkit-ungkit.
Dia berharap, peristiwa itu tak terjadi lagi. “Kita sudah susahlah dengan peristiwa ini,” kata Asmawi.
Selesai berbincang, aku meninggalkan rumah kecil di pinggiran bekas gudang karet itu. Ketika gudang karet itu telah lama ditinggalkan para penghuninya, Asmawi masih dengan setia tinggal di sana. Tutur kata dan sikapnya yang bersahaja, membuatku menitipkan sesuatu untuk kebutuhannya.
“Semoga Tuhan membalas segala kebaikan yang pernah Bapak lakukan,” kataku dalam hati.(bersambung)□
Edisi cetak ada di Borneo Tribune 22 Februari 2008
Foto Sugeng Hendratno
Friday, February 22, 2008
The Lost Generation (13)
Posted by Muhlis Suhaeri at 7:24 AM
Labels: Investigasi
Subscribe to:
Post Comments
(
Atom
)
No comments :
Post a Comment