Sunday, February 17, 2008

The Lost Generation (8)

Dunia yang Hilang

Muhlis Suhaeri
Borneo Tribune, Pontianak
Dusun Molo termasuk Kecamatan Lumar, Kabupaten Bengkayang. Dusun ini dihuni puluhan keluarga dari sub suku Dayak Bekatik.

Dulunya, ada rumah panjang di sini. Namanya rumah Betang Molo. Sekarang sudah tak ada lagi. Orang lebih suka membangun rumah petak, untuk keluarganya sendiri.

Penduduk Dusun Molo sebagian besar hidup dari bercocok tanam. Mereka menanam padi dengan sistem perladangan. Tak ada sistem pengairan. Menanam pada biasanya dimulai sekitar awal September. Pada Agustus, lahan dibabat dan dibakar. Ada cara khusus, sehingga api tidak bisa merambat ke daerah lain.


Ada kearifan lokal dalam proses ini. Tak sembarang membakar. Abu hasil pembakaran dipercaya bisa membantu menyuburkan tanah. Selama puluhan, mungkin malah ratusan tahun, teknologi dan sistem pertanian tak bisa mengubah pola bertanam yang selalu menggunakan pola bakar.

Luas lahan warga tak lebih dari satu hektar, tiap kepala keluarga. Dalam jangka enam bulan, padi bisa dipanen. Hasil padi digunakan untuk persediaan makan sendiri. Namun, belum enam bulan, padi telah habis. Akhirnya, mereka harus membeli padi dari pasar yang harganya lumayan tinggi.

Dusun Molo bisa ditempuh melalui jalan darat. Cukup lumayan medannya. Kalau mau pakai mobil, harus double gardan atau berpenggerak empat roda. Namun, kita juga bisa menggunakan ojek sepeda motor dari dusun terdekat, Dusun Lumar. Tarifnya, Rp 100 ribu untuk jarak 18 km. Berangkat dan balik. Lumayan juga. Buruknya infrastruktur membuat masyarakat harus mengeluarkan uang cukup besar, untuk transportasi.

Selama 62 tahun kemerdekaan, pemerintah tak bangun jalan di sini. Pembangunan jalan penghubung dilakukan perusahaan sawit. Padahal pada zaman Jepang, jalan itu telah mulai dibangun dengan batu dan kerikil. Tujuannya, mobilisasi pasukan dan mengangkut perbekalan. Setelah kemerdekaan, jalan tak dirawat dan “hilang” dengan sendirinya. Menjadi kubangan lumpur atau ditumbuhi ilalang.

Dusun Molo, lokasi terdekat dengan Sepang. Jaraknya sekitar 8 km. Pada 1960-an, Sepang daerah paling ramai kedua, setelah Piong San. Dua nama itu, pusat pemukiman masyarakat Tionghoa di Bengkayang. Sepang adalah pohon kayu yang warnanya merah. Piong San berarti gergaji hutan. Piong artinya kayu atau papan. San berarti gunung atau hutan.

Untuk menuju Sepang, aku sengaja jalan kaki, meskipun ada jalan sawit yang bisa dilewati motor atau mobil. Ingin merasakan udara segar dan pemandangan indah di sana. Selain itu, ingin merasakan suasana dan menyerap energi alam selama perjalanan.

Dua warga Dusun Molo menemani perjalanan. Namanya Irah, 66 tahun dan Idah 58, tahun. Keduanya lelaki dan kakak beradik. Irah dan Idah sosok khas masyarakat pedalaman. Senyumnya selalu mengembang. Tutur katanya polos dan tak bertendensi. Dua orang ini posturnya tak terlalu tinggi. Sekitar 160 cm. Deretan ototnya terlihat kenyal. Menandakan otot itu selalu terlatih dan bergerak. Kulitnya coklat tua. Terik matahari melengaskan warna kulit itu.

Kami berjalan beriringan sambil berbincang. Mendengar cerita dua kakak beradik, tentang pengalaman masa lalu. Keduanya pernah menjadi tukang bawa perbekalan tentara.

Tahun 1960-an, penduduk masih tinggal di rumah Betang. Rumah itu memiliki 30 pintu. Ada 30 KK di sana. Dusun Molo jalur paling sering dilewati, bila orang ingin ke Sepang atau Piong San.

Para gerilyawan PGRS-PARAKU, juga berjalan melewatinya. Idah pernah menyaksikan kehadiran tentara PGRS di kampung mereka. Para gerilyawan berjumlah tujuh orang. Mereka bersenjata LA. Komadannya pakai pistol.

Gerilyawan sedang menuju Piong San dari Sanggau Ledo. Penduduk minta mereka menginap di rumah Betang. Namun, mereka menolak. Di Piong San ada sekitar 30 KK. Kepala kampungnya bernama Jong Ci Lin.

Menurut Thong Fuk Long atau Tomidi, di Piong San dan Sepang, sudah ada delapan generasi masyarakat Tionghoa di sana. Tomidi sesepuh masyarakat Tionghoa di Singkawang. Dia pernah jadi guru di Sanggau Ledo, pada tahun 1960-an.

Selain di Sepang dan Piong San, daerah lain yang banyak orang Tionghoa adalah Jawai dan Tebas. Mereka menanam karet, sahang dan padi. Karena itulah, dua daerah ini disebut Little Siam atau Siam Kecil.

Selama ikut tentara, Idah mengalami berbagai pengalaman. Menurutnya, tentara kalau memerintah galak. Apalagi kalau sudah dipanggil ke pos. Masyarakat tidak bisa mengelak perintah. Apalagi melawan. Di pos, warga yang tidak menuruti perintah dan membangkang, bisa dipukul.

Idah pernah dipukul dan direndam di sungai. Dia sering dipindah ke berbagai pasukan, karena dianggap melawan dan kelahi dengan tentara.

Apa alasan Idah membangkang dan melawan?
“Karena tentara kejam dengan rakyat,” kata Idah. Kalau tentara lewat kampung, pasukan minta ayam, beras, atau kebutuhan lainnya pada penduduk kampung. Padahal, pasukan membawa beras dan berbagai perbekalan. Warga biasa dalam rombongan tentara, jadi tak enak hati dengan orang kampung yang dilewati.

Kalau ada tentara mati dalam pertempuran, jasadnya tidak boleh ditinggal di hutan. Mayat tentara dibawa ke lapangan yang bisa didarati helikopter. Setelah itu, dibawa dengan helikopter ke Bengkayang atau Singkawang. Tapi, kalau ada orang kampung mati dalam peperangan, terkadang ditinggal begitu saja.

“Ini membuat masyarakat kampung marah. Akibatnya menimbulkan gesekan dengan tentara, selama menjalankan tugas sebagai pengangkut barang dan penunjuk jalan,” kata Idah.

Setelah berjalan selama satu jam mengikuti jalan sawit, kami sampai pada sisi sebuah hutan. Di pinggir hutan ini, banyak pohon durian. Tingginya mencapai puluhan meter. Nama durian disesuaikan dengan nama pemilik tanah. Misalnya, durian A Siong. Berarti, durian itu ada di tanah A Siong.

Selain durian, agak ke dalam hutan, banyak tanaman karet dan sahang atau lada. Tanaman itu dibudidayakan. Era tahun 1960-an, sahang dan karet merupakan komoditas andalan di Kalbar. Pusat dari sahang dan karet ada di Bengkayang. Tanahnya subur dan cocok untuk dua tanaman itu.

Di balik gerumbulan dan lebatnya pohon besar, Irah dan Idah memperlihatkan sebuah bekas pasar. Di pasar inilah, dulunya orang Dayak dan Tionghoa bertemu. Penduduk Sepang menjual berbagai kebutuhan pokok. Penduduk Dusun Molo kalau belanja kebutuhan pokok, harus ke Sepang. Warga Molo biasanya membawa ayam, karet, hasil kebun, pasir mengandung emas, dan lainnya. Barang itu ditukar dengan kebutuhan hidup sehari-hari. Seperti, beras, garam, pakaian dan lainnya.

Di antara bekas jalan setapak itu, kami menemukan pecahan keramik dari porselen. Jumlahnya lumayan banyak dan tersebar. Tak jauh dari bekas pasar, ada batu setinggi setengah meter. Lebarnya setengah meter. Batu berfungsi untuk meletakkan setanggi dalam ritual masyarakat Tionghoa. Inilah bekas rumah ibadah, Toa Pekong.

Kini, pasar, pohon durian, karet, sahang dan rumah ibadah itu, tak lagi terawat. Waktu menggerus jejak itu. Seiring terjadinya peristiwa kemanusiaan yang terjadi. Pengusiran dan pengungsian besar-besaran orang Tionghoa.

Tak jauh dari tempat itu, sebuah sungai mengalir. Airnya jernih dan bening. Di sepanjang sungai, gerumbul batang bambu tumbuh subur. Batangnya saling mengkait. Membentuk ukiran alam. Indah. Namun, terlihat misterius dan “bernyawa”.

Idah berkata padaku, “Ini airnya langsung bisa diminum.”

Sambil berkata, dia sudah menyerok air dengan dua belah telapak tangannya. Menyerutup air, lalu membasuh wajahnya.

Aku mengikuti. Benar juga. Segar rasanya. Tapi, terbayang juga dalam benakku. Barangkali, di air ini pula, 41 tahun lalu, darah mereka yang tak bersalah atau dianggap anggota PGRS, telah bercampur dan menggenangi sungai ini.

Aku memperhatikan air sungai yang terus mengalir. Suara riak air sungai, menghadirkan simponi tersendiri. Apalagi di tengah sunyi dan senyap hutan. Air sungai terus mengalir. Memberi hidup. Menyuburkan alam yang dilewati. Sungai telah menjadi saksi sejarah. Entah peristiwa apalagi yang bakal disaksikannya.

Yang pasti, satu situs sejarah peradaban yang biasa berdiri di sepanjang sungai, telah hilang. Dia menyusul sejarah peradaban kuno yang biasa tumbuh di sekitar sungai. Seperti, peradaban Mesir Kuno, Eufrat, Tigris atau Babilonia.

Begitulah hidup, sejarah atau peradaban. Terus berputar, tumbuh, tumpas dan hilang dari permukaan bumi.

Hari itu, kami melanjutkan perjalanan lagi. Menembus lebat dan gelap hutan. Rintik hujan menyapu. Membasahi sekujur hutan. Mengiringi perjalanan dan melicinkan jalan. Selang satu jam, kami sampai pada sebuah rumah. Berbincang dan mendengarkan sebuah kisah.

Selepas itu, kami kembali ke Dusun Molo. Ketika pulang, kami ketemu dan jalan bareng dengan beberapa orang. Mereka para penambang emas di Piong San. Sejak dulu, daerah itu merupakan areal pertambangan emas.

Perjalanan semakin meriah. Namun, jalanan yang kami lalui gelap dan pekat. Sepekat sejarah bangsa ini.(bersambung)□

Edisi cetak ada di Borneo Tribune, tanggal 17 Februari 2008
Foto Muhlis Suhaeri dan Sugeng Hendratno

No comments :