Monday, July 2, 2007

Menelusuri Hutan Mangrove di Batu Ampar

Muhlis Suhaeri
Borneo Tribune
Pagi yang cerah bagi suatu perjalanan. Bersama rombongan Yayasan Hutan Mangrove Indonesia, kami berangkat ke Batu Ampar, Kabupaten Pontianak. Ada dua orang profesor ikut dalam kunjungan ini Mereka terdiri dari Prof. Cecep Kusmana, ahli mangrove dan Profesor Yusuf Sudo Hadi, ahli pengolahan hasil kayu dari Institut Pertanian Bogor (IPB).

Kunjungan ini merupakan kesempatan yang diberikan Bapedalda Provinsi, pada para jurnalis. Aku dan Lukas B. Wijanarko mewakili Borneo Tribune, Aris Munandar dari Media Indonesia, Novi dan tiga rekannya dari TVRI Kalbar.

Pukul, 7.30 Wib, kami berangkat dengan mobil jemputan dari Hotel Kini ke Rasau. Rasau Jaya merupakan pemukiman transmigran pertama di Kalbar, dibangun sekitar tahun 1971/1972. Transmigran ini didatangkan dari Jawa. Meski “cuma” berjarak 25 km dari pusat kota Pontianak, butuh waktu satu jam untuk ke sana.

Sempit dan rusaknya ruas jalan, menghalangi sopir memacu laju kendaraan. Struktur tanah gambut sangat terasa pada ruas jalan ini. Kami terus terayun, pada jalan penuh gelombang. Mobil terus melaju. Membelah cadas batu, aspal dan debu.

Aku menikmati setiap liputan dan perjalanan luar kota. Let’s rocking roll......bisikku dalam hati.

Tak ada perubahan, pikirku. Setahun lalu aku sampai di sini. Meliput kabut asap. Sekarang ini, kembali lagi, dalam suatu perlintasan. Sawah tak ada yang menguning. Kebun tak terlihat hijau. Pembangunan tak meninggalkan jejak pada berbagai sarana dan prasarana. Semua masih terlihat sama. Yang berubah hanya waktu. Puluhan tahun masa pembangunan, tak terlihat signifikan. Padahal, Rasau hanya berjarak 25 km dari ibu kota provinsi. Hanya 25 km!

Aku jadi teringat satu buku karya Patrice Levang. Ia pernah meneliti masalah transmigrasi di Jawa, Sumatera, Kalimantan, dan Sulawesi. Ia juga pernah diminta Departemen Transmigrasi (Deptrans) sebagai konsultan.

Dalam bukunya berjudul, “Ayo ke Tanah Sabrang, Transmigrasi di Indonesia,” ia menuliskan catatannya. Ia tidak dapat langsung memahami, mengapa beberapa usulan umumnya ditolak, atau tidak diperhatikan Deptrans. Akhirnya terungkap, bahwa semua yang tidak sejalan dengan usaha pertanian pangan intensif, tidak berpeluang sedikit pun diterima.

Semua yang tidak sesuai dengan “pola Jawa” bakal ditolak. Padahal, kondisi iklim dan terutama kondisi lahan di sejumlah besar pulau, selain pulau Jawa, Bali, Madura, dan Lombok (Jambal) tidak mendukung proyek yang menitikberatkan pada pola tanaman pangan intensif.

Bila hanya proyek semacam itu yang dikembangkan, banyak daerah menjadi unsuitable (tidak cocok) untuk transmigrasi. Masalahnya, transmigrasi tidak hanya memberikan lahan bagi mereka yang tidak memilikinya, dan meningkatkan produksi pertanian. Tapi, sebuah transmigrasi tidak bisa dipisahkan dengan sebuah pola pangan, dari budaya dan teknik pertanian masyarakat setempat.

Tak berjalannya pembangunan di Rasau Jaya, membuat masyarakat menggantungkan hidupnya di Kota Pontianak. Mereka menjadi manusia urban. Alasannya beragam. Mulai dari faktor pendidikan, tak tersedianya pekerjaan, fasilitas kesehatan dan lainnya. Tak tersedianya berbagai teknologi pertanian, atau pupuk bagi lahan gambut yang harus mereka olah, membuat warga meninggalkan lahan pertaniannya. Mereka tercerabut dari ruang sosialnya. Berubah menjadi manusia urban, tanpa identitas budaya.

Satu jam sudah. Kami berhenti di terminal. Inilah batas penyeberangan. Orang yang hendak menyeberang ke Batu Ampar, Padang Tikar, Kubu dan Ketapang, melalui jalur ini.

Suasana hingar mulai terasa. Alunan musik dangdut dari tape karaoke diperdengarkan dengan keras. Suara itu muncul dari berbagai warung di sekitar terminal. Suara fals penyanyi, kwalitas tata suara kurang baik, berbaur jadi satu. Menimbulkan bayangan tersendiri terhadap daerah ini. Inilah sisi lain, daerah pinggiran yang tumbuh dengan dunianya sendiri.


SEBUAH kapal ferry bersandar pada steiger. Warna cat kapal telah memudar dan mengelupas di sana sini. Warna pudar cat, berpadu dengan coklat air sungai. Kapal ini milik PT Angkutan Sungai Danau dan Penyeberangan (ASDP). Kapal membawa penumpang ke Ketapang. Bila ada penumpang membawa truk atau kendaraan roda empat lainnya, bisa menggunakan kapal ferri ini.

Pada sisi lain, serombongan penumpang sudah antre. Jejeran penumpang dan deretan motor, berpadu membentuk komposisi tersendiri. Mereka menunggu perahu motor yang bakal membawanya ke Kubu, Padang Tikar atau Batu Ampar. Masyarakat biasa menyebut perahu mesin ini dengan sebutan perahu klotok.

Inilah urat nadi masyarakat. Sungai menjadi satu bagian tak terpisahkan dari kehidupan warga. Sungai memberi kehidupan pada manusia melalui aliran airnya. Sungai juga memberi ruang batas eksistensi dan keterbatasan manusia pada alam.

Setelah perahu klotok merapat, serempak barisan manusia itu bergerak mengisi berbagai ruang kosong di perahu. Untuk sampai di Batu Ampar, Anda cukup mengeluarkan uang Rp 12 ribu. Namun, Anda harus bersabar dan menahan diri. Perjalanan itu butuh waktu 6 jam.

Pada sisi lain, kami berkumpul untuk suatu pemberangkatan juga. Kami menggunakan speed boat. Perahu cepat itu bermesin 115 pk, dan sanggup menampung sembilan orang, termasuk sang motoris atau pengemudi perahu.

Untuk sewa perahu cepat ini, Anda harus mengeluarkan uang Rp 2 juta. Jumlah cukup lumayan. Apalagi di tengah sulitnya perputaran uang, seperti sekarang ini.

Kalau tak mau sewa, ada juga speed boat yang biasa mengantarkan penumpang ke Batu Ampar. Anda harus rela menunggu, hingga penumpang berjumlah delapan orang. Setelah cukup jumlahnya, baru berangkat. Biaya yang dikeluarkan Rp 70 ribu perorang. Jadi, nilai uang, tentu saja turut berpengaruh pada jasa yang kita terima. Impas, kan?

Kami berjajar rapi menuju pemberangkatan. Sebelum masuk perahu cepat, beberapa peneliti dari Institut Pertanian Bogor (IPB), mengenakan jaket pelampung. Mereka menyiapkan beberapa jaket pelampung untuk perjalanan ini. Jumlahnya terbatas. Warna jaket pelampung itu, terang dan menyala. Ini tentu ada maknanya. Seandainya sang pemakai terapung di perairan luas, tentu lebih mudah dilihat dari jarak jauh.

Aku hanya tertegun memandang. Melihat sikapku, salah seorang bertanya.
“Bisa berenang?”
“Bisa. Tapi, kalau jaraknya ratusan meter, pegel juga.”
Aku menjawab sekenanya.

Melihat mereka memakai jaket pelampung, aku jadi teringat peristiwa tenggelamnya kapal Levina I di teluk Jakarta. Suherman, kamerawan Lativi dan M. Guntur, kameramen SCTV, menjadi korban ketika melakukan liputan. Mereka tidak mengenakan jaket penyelamat, ketika meliput di kapal yang telah terbakar itu. Atau, hilangnya Agus, kameramen Jejak Petualang Tran 7 di perairan Papua.

Dalam satu perbincangan, aku pernah bicara pada teman sesama jurnalis, seharusnya tiap media menyediakan minimal dua jaket pelampung di kantornya. Jaket itu mesti dikenakan, bila ada jurnalis melakukan perjalanan, dan tugas liputan yang melewati perairan.

Bukankah di Kalbar, sebagian besar merupakan lahan basah dan sungai? Bukankah, pekerjaan jurnalis selalu bergerak ke mana pun dan kapan pun?

Agaknya, pengalaman meninggalnya wartawan Lativi, SCTV, dan Tran 7, ketika melakukan liputan di perairan, belum menjadi pelajaran berharga buat perusahaan media, untuk menjaga aset dan SDM yang dimiliki.

Selepas kejadian itu pula, beragam tanggapan muncul. Berbagai pelatihan dan cara menyelamatkan diri dari kondisi darurat dilakukan. Teori-teori dasar penyelamatan pun diberikan. Pengetahuan dasar dan cara bertahan hidup pada kondisi tertentu, menjadi sangat penting dan berarti. Bahkan, satu media besar di negeri ini, melakukan pendampingan terhadap jurnalisnya. Ada tim penyelamat ikut pada peliputan beresiko.

Namun, ada juga jurnalis yang menanggapi dengan semangat heroik. Menurut mereka, makin berbahaya suatu liputan, itulah kenikmatan lain dari profesi jurnalis. Ada adrenalin terpacu. Mendengar komentar para jurnalis ini, aku jadi ingat satu VCD yang pernah kutonton. VCD itu berupa film dokumenter dari National Geographic berjudul, “Unseen War in Vietnam.”

Film dokumenter itu bercerita tentang kisah para jurnalis meliput peperangan di Vietnam. Dalam narasi film terkisah, bagaimana medan peperangan berbahaya di seluruh dunia, menjadi tujuan para jurnalis melakukan peliputan. Orientasi jurnalis beragam, ketika datang ke medan pertempuran.

Ada yang beranggapan, medan perang merupakan wilayah paling bagus membuat peliputan dan menghasilkan karya jurnalistik, foto, video maupun tulis. Liputan perang merupakan cara berpetualang dan mengekspresikan diri. Meliput peperangan, merupakan satu cara, supaya perang itu berhenti. Karena dalam perang, ada kebrutalan, darah dan penindasan. Ada yang harus disingkap, dari sisi perang.

Begitulah dunia kami. Para jurnalis.
KAMI berjajar memasuki speed boat. Sebelum semua masuk ke perahu, crew TVRI Kalbar, mengambil gambar. Dua kameramen berdiri pada posisi berbeda. Sang recorder menyorongkan mike perekam suara pada sang reporter. Sejenak mereka mengatur posisi. Novi, sang reporter mulai bersiap-siap.

“Pemirsa, hari ini kita ke Batu Ampar bersama Yayasan Mangrove Indonesia dan para ahli mangrove.......”

Selepas itu, semua masuk ke speed boat. Tak ada retake atau pengambilan ulang adegan.

Melihat pengambilan gambar yang mereka lakukan, aku jadi teringat ketika meliput pembuatan film independen berjudul “Novel Tanpa Huruf R” karya sutradara Aria Kusumadewa. Sebagai bintang utama, Lola Amaria dan Agastya Kandau. Film itu bercerita tentang kondisi Indonesia yang sudah kejet-kejet.

Selama hampir tiga bulan, kami syuting di tiga kota, Jakarta, Sukabumi dan Tangerang. Film itu rampung setelah berkutat selama lebih dari setahun. Aku meliput awal pembuatan film ini, mulai dari desain produksi, sebelum dilakukan syuting. Proses pembuatan film atau syuting, editing film, hingga pendistribusian film melalui jalur independen, dari kampus ke kampus dan kantung budaya.

Semua proses itu pembuatan film itu, mewujud dalam satu buku berjudul, “Di Balik Novel Tanpa Huruf R,” penerbit LKiS, Yogyakarta.

Setelah semua masuk, speed boat segera berangkat. Suara mesin menderu. Pada bagian belakang, air muncrat terbelah baling-baling. Perahu melaju, menyibak hamparan air di depannya.

Bau khas sungai dan rawa, seketika tercium. Angin mengalir deras menerpa wajah dan tubuh kami. Speed boat yang kami tumpangi segera memacu. Kami yang berada di dalam speed boat, mulai terempas-empas. Apalagi, ketika berseberangan dengan perahu, atau speed boat lain. Sesekali, kapal dari fiberglass itu bermanuver. Memecah ombak dan menghindari bonggol kayu yang berserak di sepanjang perlintasan.

Satu menit. Setengah jam. Satu jam. Penumpang mulai terserang kantuk. Sebagian masih berbincang. Namun, suara mesin terlanjur memenuhi semesta. Mengalahkan semua yang berada di dekatnya.

Setelah terguncang selama satu jam, speed boat mulai memasuki kawasan flat mud. Ini adalah kawasan yang bila airnya turun, membuat wilayah itu menjadi dangkal. Bila tidak hati-hati. Kapal cepat itu akan kandas. Kami merapat dulu sebelum melewati kawasan ini. Setelah melihat kondisi air, perjalanan dilanjutkan dengan beriringan. Konvoi.

Setelah melewati jalur ini, kami langsung mendekati wilayah tujuan, Batu Ampar. Dari sini, perahu merapat ke tepian untuk melihat berbagai jenis species mangrove. Kami mengambil gambar. Teman-teman di TVRI juga merekam beragama jenis mangrove ini, dalam kameranya.

Profesor Cecep dari UPB, seketika langsung mencondongkan badannya ke depan, untuk berdiri. Ia terlihat antusias. Mangrove memang kajiannya. Dan ia mendapatkan gelar doktor, dari pohon yang hidup di sepanjang sisi pantai ini.


KAMI mulai masuk hutan mangrove di Nipah Panjang, Kecamatan Batu Ampar. Mangrove di sini masih asri dan terpelihara. Dari berbagai literatur yang telah dikumpulkan, hutan mangrove merupakan jenis tumbuhan di sepanjang garis pantai tropis sampai sub tropis.

Mangrove tumbuh di daerah yang mengandung kadar garam. Mangrove tumbuh di wilayah pasang surut. Mangrove tumbuh terutama di pantai yang terlindung, laguna, muara sungai. Daerah ini biasanya tergenang pasang dan bebas dari genangan ketika surut. Hampir semua jenis flora hutan bakau memiliki biji atau buah dan dapat mengapung, sehingga bisa mengikuti arus air dan tersebar.

Hutan mangrove menyebar di wilayah yang cukup panas, seperti di sekitar garis khatulistiwa yang merupakan daerah tropis dan subtropis. Luas hutan bakau di Indonesia sekitar 2,5 hingga 4,5 juta hektar. Menurut data dari mangrove center, luas merupakan mangrove yang terluas di dunia. Melebihi Brazil (1,3 juta ha), Nigeria (1,1 juta ha) dan Australia (0,97 ha).

Menurut Nyoto Santosa, Ketua Yayasan Mangrove Indonesia, hutan mangrove di Batu Ampar sekitar 65 ribu hektar. Dari sisi dan nilai ekonomis, hutan mangrove di Batu Ampar, senilai Rp 95,6 miliar, tiap tahunnya. Nilai itu terdiri dari nilai dasar penggunaan dan nilai keberadaan. Nilai dasar penggunaan langsung Rp 45 miliar. Penggunaan tidak langsung Rp 37, 6 miliar. Nilai opsi Rp 690 juta, dan nilai keberadaan Rp 12,19 miliar.

Mangrove bisa digarap menjadi jasa wisata, pertambakan, kayu arang, atau potensi lain. Hal yang harus dilakukan sebelum membuat mangrove sebagai ekowisata, membuat zonasi. Dibuat suatu sistem, mana yang bisa digunakan untuk datangnya para turis, dan daerah mana yang digunakan untuk pengolahan. Masyarakat juga harus dipersiapkan untuk datangnya para turis. Selain itu, Pemda harus juga menyiapkan sarana infrastrukturnya.

“Sehingga turis datang ke sana dengan aman dan nyaman,” kata Profesor Cecep Kusmana.

Menurut Cecep, komposisi mangrove di Batu Ampar sama dengan di daerah lain. Namun, ada satu keistimewaan dimiliki mangrove di Batu Ampar. Mangrove bisa tumbuh secara prima, karena kondisinya memungkinkan. Pasokan air tawar ada. Pasokan nutrisi dari laut, berjalan dengan baik. Substrate cukup stabil. Seperti, lumpur, sedimintasi berjalan seimbang. Ketiga unsur itu, terpenuhi di Batu Ampar. Itu kelebihan Batu Ampar dengan daerah lain.

“Batu Ampar menyediakan surga bagi mangrove,” kata Cecep.

Menurutnya, mangrove berfungsi meredam gelombang dan angin. Mangrove juga pelindung dari abrasi, penahan intrusi air laut ke darat, penahan lumpur dan perangkap sedimen. Mangrove juga penghasil sejumlah besar detritus (hara) bagi plankton yang merupakan sumber makanan utama biota laut. Mangrove merupakan daerah asuhan, tempat mencari makan dan pemijahan berbagai jenis ikan, udang dan biota laut lainnya. Daun mangrove yang jatuh ke air, menyediakan nutrisi dan makanan bagi biota laut.

Hutan mangrove juga menyediakan berbagai ruang dan habitat bagi burung, reptilia, dan mamalia. Mangrove bisa digunakan untuk arang supaya lestari. Hutan mangrove bisa digunakan sebagai tempat memelihara lebah madu.

Kerusakan mangrove di beberapa tempat bisa ditangani dengan berbagai cara. Salah satunya dengan penanaman kembali mangrove. Namun, cara ini memerlukan biaya cukup tinggi. Semua ekosistem mangrove bisa ditangani dengan baik, tergantung situasi dan kondisi arealnya. Dulu gangguannya hanya pernah ditebang. Sekarang ini sudah bisa tumbuh dengan sendirinya. Pemulihan di Batu Ampar, menanam mangrove saja sudah aman.

Pertumbuhan mangrove sangat lambat. Rata-rata 0,5 cm pertahun pertumbuhan diameter pohonnya. Mangrove bisa digunakan setelah berusia sepuluh tahun. Mangrove umur 10-15 tahun sudah cukup rimbun. Sampai saat ini, belum ada teknologi yang bisa mempercepat tumbuhnya mangrove. Mangrove tanpa perawatan tertentu, sudah bisa tumbuh dengan baik.

Sekarang ini, kerusakan mangrove di seluruh Indonesia, sudah mencapai 70 persen. Hal yang harus dilakukan sekarang adalah, memberi pemahaman kepada masyarakat, bahwa mangrove merupakan tanaman yang penting untuk penahan erosi laut. Mangrove dapat pulih dengan baik, bila pelihara dengan baik, begitu kata professor Cecep.

Cecep meneliti mangrove sejak 1985. Ia kuliah di Jepang, dan mengadakan penelitiannya di Sumatera tentang mangrove. Ia tertarik dengan mangrove, karena pohonnya kuat. Menurutnya, mangrove jangan dijadikan tambak. Namun, boleh saja orang membuat tambak di belakang mangrove.

Bagaimana kondisi hutan mangforve di Kalbar? Tim Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor (IPB), pernah mengadakan inventarisasi dan identifikasi pada 1999. Hasil dari penelitian itu menyebutkan, luas keseluruhan hutan mangrove di Kalbar, mencapai sekitar 472.385,80 hektar. Dari jumlah itu, yang berada di Kabupaten Sambas dan Bengkayang, sekitar 183,777,68 hektar atau 38,9 persen. Yang mengalami kerusakan mencapai 25,86 persen. Di Kabupaten Pontianak dan Kubu Raya, sekitar 178.845,14 hektar atau 37,86 persen. Yang mengalami kerusakan 80,76 persen. Di Kabupaten Ketapang dan Kayong Utara, seluas 109.742,98 hektar atau 23,24 persen. Angka kerusakannya mencapai 16 persen. Berdasar data itu, hutan mangrove yang telah alami kerusakan berat maupun ringan, ada sekitar 44,36 persen.
“Jadi, jangan ada lagi konfersi mangrove untuk konfersi,” kata Cecep.□

Edisi Cetak 2 Juli 2007 di Borneo Tribune
Foto Lukas B. Wijanarko

1 comment :

hifny said...

keren banget bos....
liput lagi donk mengenai keanekaragaman hayati Indonesia.. ttep sukses yah.... makasih infonya

Mahasiswa Ilmu Kelautan '07