Tuesday, July 17, 2007

Kalbar Berpotensi Kembangkan Wisata Bawah Laut

Muhlis Suhaeri
Borneo Tribune, Pontianak

Sebagai daerah yang pernah menjadi jalur perdagangan maritim, perairan Kalbar menjadi perlintasan yang selalu dilewati kapal dari berbagai penjuru dunia.

Begitu pun ketika badai atau perompakan terjadi, perairan Kalbar menjadi kuburan bagi kapal yang melayarinya.



“Selamat siang, Pak Helmi.”
“Ya.”
“Dapatkah, saya bicara dengan Anda?”
“Bisa. Apa yang bisa saya bantu.”

Itulah, kesahajaan pejabat yang satu. Tak berjarak. Aku langsung menanggapinya dengan antusias. Kujelaskan permasalahan yang mengganjal. Tentang peninggalan bersejarah yang bertebaran di perairan Kalbar. Orang yang satu ini, punya kapasitas bicara tentang topik itu. Sebab, dia adalah Direktur Arkeologi Bawah Laut, Departemen Kebudayaan dan Pariwisata Direktorat Jenderal Sejarah dan Purbakala.

Namanya, Helmi Surya. Dia kutemui, selepas mengikuti acara pembukaan Arung Sejarah Bahari (Ajari) II, di Balai Petitih, Kantor Pemprov Kalbar, Senin (15/7).

Menurutnya, wilayah perairan Kalimantan Barat (Kalbar), sangat berpotensi sebagai wisata bawah laut. Wilayah Indonesia yang terdiri dari duapertiga lautan, banyak memiliki kekayaan peninggalan bawah laut. Peninggalan itu berupa, kapal-kapal dagang yang tenggelam di perairan Indonesia.

Apalagi perairan Kalbar. Yang menjadi jalur perdagangan sutra perairan. Sekitar abad ke 10, perairan Kalbar menjadi jalur yang dilewati kapal dagang. Sebagai jalur perdagangan, tentu saja ada kapal tenggelam, ketika melewati jalur ini. Jalur klasik itu, berkisar dari Selat Malaka, Pantai Timur Sumatera, laut Utara Jawa, Selat Karimata, terus ke Selayar. Perairan itu merupakan jalur perdagangan laut.

“Sekarang ini, kita baru bisa mendeteksi sekitar 500 kapal yang tenggelam,” kata Helmi.

Padahal, dari sejarah dan berita China, ada sekitar 30 ribu kapal dagang China yang berlayar lewat jalur perdagangan ini, dan tidak kembali ke China. Jumlah itu baru kapal China. Belum lagi kapal Portugis, Belanda, Spanyol, India dan lainnya. Mungkin, puluhan ribu kapal yang tenggelam di perairan Indonesia, katanya.

Terhadap kapal yang tenggelam itu, sebenarnya pemerintah sudah punya perhatian. Cuma, belum begitu optimal. Untuk menyelamatkan hasil budaya bawah laut, dua tahun lalu, pemerintah mendirikan Direktorat Khusus. Namanya, Direktorat Arkeologi Bawah Air. Tugasnya, menangani peninggalan arkeologi bawah air. Instansi ini, scientific arkeologi. Penyelamatan data budaya.

Selain itu, pemerintah juga membentuk Panitia Nasional. Anggotanya terdiri dari 15 instansi. Semua menangani dan berhubungan dengan peninggalan bawah air. Secara prinsip, panitia ini bekerja dan menyelamatkan arkeologi bawah air, dari penjarahan orang tak bertanggungjawab. Dengan adanya Panitia Nasional, kalau pun diadakan pengangkatan kapal yang tenggelam, pengangkatannya harus dilakukan secara metodologi.

Dulunya, pengangkatan dilakukan secara langsung. Dengan adanya kebijakan baru dari pemerintah, pengangkatan harus atas persetujuan pemerintah.

Menurut Perpres terbaru, Perpres 76/77, peninggalan bawah laut, termasuk juga peninggalan budaya darat, merupakan obyek yang tidak boleh ada penanaman modal. Tapi, Perpres itu belum sepenuhnya diterapkan. “Sampai sekarang ini, swasta masih boleh melakukan pengangkatan,” kata Helmi.

Perpres itu baru diumumkan. Dia belum klarifikasi, pelaksanaannya bagaimana. Apakah tidak boleh ada pengangkatan terhadap kapal yang tenggelam, atau kapal itu dilestarikan sebagai aset negara. Sekarang ini, pihak swasta masih boleh melakukan pengangkatan. Tapi, harus dengan izin Panitia Nasional.

Lalu, syarat apa saja yang harus dipenuhi, bila suatu perusahaan ingin melakukan pengangkatan arkeologi bawah laut?

Yang pasti, perusahaan itu harus punya kriteria kelayakan. Panitia Nasional akan menilai, sejauhmana kelayakan perusahaan itu. Syarat lain, perusahaan harus punya modal. Tentu saja, karena pekerjaan ini butuh biaya besar. Pengangkatan harus mengikuti prinsip-prinsip arkeologi. Tidak asal angkat. Harus ada metodologi. Dengan cara itu, data sejarah yang didapat dari perusahaan, bisa digunakan untuk menggali sejarah.

“Kalau tidak diangkat berdasarkan metodologi, kita akan kehilangan data sejarah,” kata Helmi.

Kalaupun arkeologi bawah air itu diangkat, perusahaan harus membagi hasil penemuannya kepada pemerintah. Bagi hasil itu tertuang dalam Kepres 25. Isinya, hasil pengangkatan arkeologi air, harus dibagi 50:50 persen. Untuk negara 50 persen, perusahaan 50 persen. Hasil 50 persen negara, langsung masuk ke kas negara.

Seiring dengan adanya otonomi daerah, peraturan atau Kepres yang mengatur bagi hasil, mesti berubah. Pemda dapat apa? Bukankah, peninggalan arkeologi itu, berada di Pemda Tingkat I dan II. Itulah yang menjadi pertanyaan.

Nah, sekarang ini, pemerintah pusat sedang merevisi Kepres 25. Hasilnya, pengangkatan yang berada 12 mil ke bawah garis pantai, izinnya dari pemerintah daerah. Perinciannya, dari garis pantai ke 4 mil, izinnya kepada pemerintah kota/kabupaten. Dari 4-12 mil, izinnya kepada pemerintah propinsi. Di atas 12 mil, izin kepada pemerintah pusat, melalui Menteri Kebudayaan dan Pariwisata.

Meski demikian, semua izin pengangkatan, harus mendapat rekomendasi dari Panitia Nasional. Berapa persen hasil yang bakal diberikan kepada Pemda?
“Kita belum bisa menggambarkan, Pemda mendapat berapa persen dari hasil itu. Dan, ini memang harus dibicarakan, antara pemerintah pusat dan daerah,” tutur Helmi.

Sekarang ini, perubahan Kepres 76/77, terus dipantau pelaksanaannya. Kalau memang tidak boleh ada penyertaan modal, harus menyelamatkannya secara arkeologis.

Bila tidak ada pengangkatan, hal ini justru menguntungkan bagi daerah. Pemda bisa menggunakan situs bawah air itu, sebagai obyek budaya wisata bahari. Bila hal itu dikelola dengan baik, bakal meningkatkan pendapatan asli daerah (PAD).

Kalau ada ekplorasi atau pengangkatan, daerah hanya mendapat sekali. Tapi, kalau itu dikelola daerah, bisa menjadi wisata penyelaman. Caranya, daerah harus menata situs itu dengan baik. Harus ada nilai konservasi. Situs itu, harus dipelihara secara asli dan alami.

Sekarang ini, hanya ada satu daerah yang bisa melihat potensi itu. Di Tulamben, Bali, ada sebuah kapal perang Amerika yang tenggelam. Daerah ini dijadikan obyek wisata bawah air. Hasilnya, wisatawan asing berdatangan ke Tulamben melakukan diving atau penyelaman.

Daerah lain yang coba dikembangkan adalah, Manado, Sulawesi Utara dan Sumatera Barat. Ada kapal tenggelam di sana.

Arkeologi bawah air, telah melakukan berbagai pemetaan bawah air. Hasil datanya disumbangkan ke pemerintah daerah. Harapannya, dengan data itu, Pemda bakal mengembangkan wisata penyelaman.

Dengan sejarah Kalbar yang pernah menjadi jalur sutra perdagangan laut, terbuka peluang ekonomi mengembangkan wisata bawah air. Sekarang, tinggal kemauan Pemda. Mau atau tidak, mengolah potensi ini.

Aku menerawang jauh. Jawaban itu, ada di pundak kita semua.□

Edisi tulis ada di Borneo Tribune, 17 Juli 2007
Foto Lukas B. Wijanarko, "Penanda."



No comments :