Friday, July 27, 2007

Ketika (Parkir) Rakyat Harus Tersingkir

Muhlis Suhaeri

Borneo Pribune, Pontianak
Salah satu ciri kemajuan kota, katanya, bisa dilihat dengan munculnya beragam bangunan modern. Begitu juga dengan masalah pasar. Seiring dengan perkembangan kota, munculnya pula berbagai pusat swalayan. Pusat belanja yang lebih bersih, rapi, nyaman dan “aman”, langsung diterima masyarakat. Bagaimanapun, warga lebih senang mendatangi pusat pertokoan ini. Pada akhirnya, pasar tradisional menjadi hancur. Ekonomi rakyat kecil tercerabut. Tidak sanggup menghadapi raksasa ekonomi. Yang secara modal dan managemen, lebih baik dan dianggap unggul.


Begitu juga yang terjadi dengan masalah perparkiran. Perpakiran rakyat yang digarap secara manual, pada akhirnya juga harus tersingkir, karena dianggap tidak layak secara pengelolaan dan managemen. Ketika hal itu terjadi, dan urusan perut mulai terampas, yang muncul adalah perlawanan.

Hal itulah yang dilakukan serombongan juru parkir di Rumah Sakit Umum (RSU) Sudarso, Pontianak. Pada 15 Juli 2007, juru parkir mengadakan demo menolak pemasangan Sun Parking. Sun Parking adalah perusahaan atau operator yang menangani masalah perparkiran.

Alasan demo, “Pihak rumah sakit tanpa koordinasi di lapangan, memutuskan sepihak dengan para juru parkir dan menggandeng Sun Parking,” kata Suhartono Sukran, juru bicara tukang parkir di RSU Sudarso. Dia juga ketua rukun warga (RW) dan anggota Forum Kemitraan Polisi dan Masyarakat (RKPM).

Menurutnya, pemutusan kontrak itu adalah, kebijakan membabi buta. Tanpa menghargai juru parkir yang sudah mengelola secara turun temurun. Kehadiran Sun Parking, suatu komoditi kepentingan pribadi atau apa, kata Sukran.

Alasan lain penolakan, karena lokasi parkir yang digunakan Sun Parking, merupakan fasilitas umum (fasum). Yang bila digunakan, bakal menganggu ketertiban umum atau kemacetan di Jalan Sudarso.

“Kami pada dasarnya sangat mendukung kebijakan yang dilakukan RSU Sudarso. Tapi, setidaknya pengambilan kebijakan itu, harus disesuaikan dengan fasilitas yang ada,” kata Sukran.

Menurutnya, dari survey lapangan yang mereka lakukan, keberadan Sun Parking tidak menguntungkan pengguna jalan dan pengunjung. Mereka berpatokan, pusat pertokoan di Mega Mall, Jalan A Yani, lahan parkir yang diasuh Sun Parking, membuat jalan jadi macet. Apalagi di Jalan Sudarso. Yang sempit dan dua arah.

Dengan tegas mereka menolak keberadan Sun Parking di RSU Sudarso. Apalagi ditengah pekerjaan sulit seperti sekarang.

“Kami akan adakan perlawanan. Kalau ada kesepakatan bersama, kami siap untuk dipertemukan,” kata Sukran.

Ia mengingatkan, pihak juru parkir tidak ingin melakukan tindakan anarkis diluar ketentuan. Mengingat juru parkir adalah masyarakat di wilayah RW 14. Lokasi itu berada di sekitar RSU Sudarso. Ia khawatir, bila tindakan anarkis itu, terjadi di wilayahnya.

Sukran mengingatkan, seharusnya keluhan ditindaklanjuti demi menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat (Kamtibmas). Sukran menilai, kebijakan yang dilakukan pihak rumah sakit, merupakan keputusan sepihak. Karena, kondisi perparkiran yang mereka kelola selama ini, aman dan tertib. Bahkan, ia mempertanyakan, apakah pihak rumah sakit terjun ke lapangan.

“Dalam kondisi apapun, kami yang menyelesaikan masalah parkir di lapangan,” kata Sukran. Ia menganggap, pihak RSU Sudarso tidak ada toleransi dan perikemanusiaan terhadap juru parkir.
Paska demo, terjadi pertemuan tripartit antara tukang parkir, pihak rumah sakit, dan Kapolsek Selatan, AKP Slamet Nanang Widodo. Pertemuan tersebut disepakati dengan tindaklanjut. Masalah itu akan diselesaikan di Polsek Selatan.

Sesuai kesepakatan awal, pertemuan kedua dilaksanakan pada 16 Juli 2007, di Mapolsek Selatan. Namun, pihak managemen RSU Sudarso tidak menghadiri pertemuan. Kapolsek saja yang hadir. Pertemuan menemui jalan buntu.

Pada 20 Juli 2007, juru parkir mengadukan nasibnya ke dewan. Mereka menemui Komisi D DPRD Provinsi. “Kami diterima Pak Anwar, Spd. Oleh beliau, akan menindaklanjuti permasalahan tersebut. Sampai sekarang belum ada titik temu,” kata Sukran.

Mengenai ketidakhadiran pihak RSU Sudarso dalam pertemuan yang telah direncanakan, dr Subuh, MPPM, Direktur Rumah Sakit Umum dr. Sudarso Pontianak mengemukakan,
“Selama kami tidak dapat undangan secara tertulis, kami tidak datang. Kalau undangan lisan, ngapain kami datang.”

Menurut Subuh, ketika juru parkir mendatangi DPRD, Ketua Komisi D DPRD, meneleponnya. Sang dewan bertanya, mengapa ada permasalahan itu. Subuh menjawab, dirinya tidak tahu kalau ada pertemuan. Itu masalah memorandum of understanding (MoU). Ia justru mempertanyakan keberadaan para juru parkir. Mewakili dan mengatasnamakan siapa. Apakah ada perwakilan yang mengatasnamakan CV Cikal Mandiri atau tidak. Kalau perorangan, berarti sulit. Yang bicara satu orang, tapi badan usahanya tidak ada, kata Subuh.

Awal Mula
Menurut Sukran, mereka mengelola parkir di RSU Sudarso sejak 1982. Banyak dari pengelola parkir, menjalani profesi itu dari bujangan hingga punya dua atau tiga anak. Sudah cukup lama. Sekarang ini, juru parkir ada 56 orang.

Ketika pertama kali mengelola parkir, mereka tidak punya perjanjian tertulis dengan
pihak rumah sakit. Pada perkembangannya, sebagai satu syarat kerja sama pihak rumah sakit dengan juru parkir, dibentuklah CV Cikal Mandiri. Sebagai direkturnya, ditunjuklah Muhammad Arif, mewakili para juru parkir.

Pembentukan CV Cikal Mandiri untuk menjembatani kontrak kerja sama dengan pihak rumah sakit. Bagaimanapun, sebuah bentuk kerja sama, bisa terjalin dengan perusahaan berbadan hukum.

Subuh menjelaskan, hak dari wilayah parkir suatu instansi pemerintah, merupakan tanggung jawab dan wewenang dari instansi bersangkutan. Alasan pengelolaan parkir, supaya masyarakat bisa mendapatkan pelayanan dan kenyamanan. Dia ingin memberikan pelayanan yang profesional. Dan, pelayanan profesional dimulai sejak dari ruang parkir, hingga pelayanan rumah sakit.

Menurutnya, bila ada puluhan orang juru parkir merasa dirugikan, berapa masyarakat dirugikan, karena pengelolaan parkir yang tidak baik.

“Itu yang harus dipahami secara bersama. Ketika dipegang oleh CV Cikal Mandiri, masalah perparkiran tidak memberi rasa kenyamanan,” kata Subuh.
“Indikasinya,” tanya saya.
“Terlihat dari perilaku petugas di tempat parkir. Kurang menunjukkan suatu yang menyejukkan bagi pengunjung. Dengan sistem yang ada, tidak menjamin keamanan,” kata Subuh.
“Apakah dengan sistem komputerisasi, langsung menjamin keamanan?” tanya saya.
“Tidak. Tapi kita meminimalisasi faktor-faktor seperti itu,” kata Subuh.

Subuh menerangkan, terjadi semacam ketidaksepahaman antara MoU yang dibuat dengan pelaksanaannya. Misalnya? Sudah ada kesepakatan dengan seragam parkir, tapi tidak dilakukan. Keamanan parkir tidak terjamin. Setoran parkir tidak disepakati. Karenanya, wajar jika melakukan pemutusan kontrak seperti itu. Kewajiban yang harus lakukan, tidak dilaksanakan.

Apapun alasannya, penanganan masalah parkir di RSU Sudarso, cukup menggiurkan. Bagaimana tidak, bila satu sepeda motor saja harus membayar Rp 500 dan mobil Rp 1000, tinggal kalikan saja dengan kendaraan yang masuk.

Ada sekitar 3.000-3.500 orang, mengunjungi RSU Sudarso setiap harinya, kata Subuh. Katakanlah, setiap orang bawa motor sendiri atau boncengan, kendaraan yang masuk sekitar 800 motor dan 45 mobil, setiap harinya, kata Sukran.

“Dari sisi pendapatan, yang dikelola oleh pihak CV Cikal Mandiri selama ini tidak jelas,” kata Subuh.

Berdasarkan MoU yang dilakukan, juru parkir seharusnya memberikan pendapatan yang jelas. Sehingga pendapatan bisa disetorkan ke kas daerah, bukan kepada rumah sakit, karena RSU Sudarso merupakan aset pemerintah provinsi.

Mengenai setoran yang tidak tetap, Sukran, juru bicara tukang parkir menepis anggapan itu. Menurutnya, setiap bulan juru parkir setor ke pihak rumah sakit sebesar Rp 6 juta rupiah.

Hal ini ditepis Subuh, “Kalau data itu dari CV Cikal Mandiri, saya akan melakukan klarifikasi pada bagian keuangan kami. Tapi, kalau data dari mereka, itu data tidak falid.”


Karena, setiap setoran ke rumah sakit, diberikan bukti setoran. Menurutnya, ini bukan masalah setoran. Dia hanya ingin, masalah perparkiran dikelola secara profesional.


Untuk melihat alur dan kronologi masalah kontrak parkir, antara juru parkir dengan RSU Sudarso, saya menemui Muhammad Meha Menon, Kasubag Perlengkapan RSU Sudarso. Dia yang mengurusi masalah MoU.

Ia memperlihatkan beberapa lembar kontrak kerja sama itu. Dalam lembaran surat itu tertulis, kontrak parkir dilakukan dengan jangka waktu setahun. Tahun berikutnya, kontrak bakal diperbaharui. Dengan satu syarat, kedua belah pihak menyetujuinya.

Dalam satu surat kontrak yang diperlihatkan pada saya, pada Pasal 11 tertulis, “Kontrak tanggal 1 Maret 2006 dan berakhir 28 Februari 2007. Kontrak itu akan diperbaharui oleh managemen.”

Dalam surat bernomor 119/1618/RSDS/TUC/2006, setiap hari CV Cikal Mandiri menyetor Rp 75 ribu ke rumah sakit. Kewajiban yang diberikan kepada badan perparkiran, Rp 600 ribu perbulan.

Menurutnya, menjelang berakhirnya masa kontrak pada Februari 2007, pihak rumah sakit mengundang beberapa operator parkir. Mereka diminta mempersiapkan dan menawarkan penanganan masalah parkir. Ada empat perusahaan memasukkan penawaran. PT Sun Parking, REIM, CV Cikal Mandiri dan sebuah koperasi.

Dari hasil presentasi dan pemaparan yang dilakukan, PT Sun Parking dianggap paling siap. Dari apa yang dipaparkan, cukup profesional dan pengalaman mengelola perparkiran di rumah sakit.

Kerja sama dengan Sun Parking dalam bentuk kerja sama operasional (KSO). Maksudnya, perusahaan itulah yang membangun fasilitas operasional peralatan kerjanya. Faslitas itu berupa gardu, palang pintu parkir, dan berbagai fasilitas lain. Setelah lima tahun, fasilitas itu menjadi milik Pemda. Karena masalah yang masih mengganjal, hingga sekarang Sun Parking belum beroperasi di RSU Sudarso.

Subuh menerangkan, dalam masalah ini, pihaknya telah memberikan toleransi dengan juru parkir. Kontrak itu selesai pada Februari 2007. Namun, pihaknya tetap memberi toleransi hingga Akhir Juni 2007, sebagai persiapan yang dilakukan PT Sun Parking selesai. “Dan mereka sudah tahu itu. Jangan mereka tidak mau tahu,” kata Subuh.

Ia mempertanyakan, mengapa dari Februari hingga akhir Juni, tukang parkir tidak melakukan klarifikasi. Menjelang Sun Parking beroperasi, malah melakukan langkah-langkah ketidakpuasan. Ini yang perlu diklarifikasi.

“Kalau mereka ingin mengadakan ketidakpuasan, sampai sekarang saya tunggu pimpinan orang yang punya CV itu. Tapi tidak pernah mengadakan komunikasi,” kata Subuh.

Sekarang ini, ada 56 orang tukang parkir yang penghasilannya terhenti. Di sisi lain, atas nama kenyamanan dan profesionalitas, sebuah institusi mengambil satu langkah tidak populis. Apalagi ditengah kondisi serba sulit seperti sekarang ini. Kehidupan mereka terampas. Hal ini, bisa saja menimbulkan masalah sosial dan tindak kekerasan.

“Saya sudah bicara dengan Sun Parking. Begitu kerja sama itu terjalin, berdayakan mereka,” kata Subuh. Namanya perusahaan, tentu menghitung, berapa SDM yang dipakai. Sun Parking mengambil 20 orang dari jumlah asal, 56 orang.

Meski begitu, pihak juru parkir tetap mengajukan satu permintaan.
“Kalau memang lahan itu mau dikontrakkan, kami juga siap,” kata Sukran. Tapi, berapa jumlah sewanya, mereka mau berdialog. Pada dasarnya, juru parkir siap melakukan apa saja yang ditentukan RSU Sudarso.

“Dengan ketentuan, kamilah yang bakal mengelola parkir itu,” kata Sukran.□

Edisi Cetak ada di Borneo Tribune, 28 Juli 2007

1 comment :

mantugaul said...

Kadang parkir ptk tak standar, motor kadang 500 kadang 1000...ada solusi?

syd
ptk