Muhlis Suhaeri
Borneo Tribune, Mandor
Peristiwa Mandor seharusnya menjadi media pembelajaran bagi generasi muda dan pembentuk nilai-nilai luhur dalam memahami sejarah. Bila tidak, peristiwa Mandor, hanya ritual yang dilakukan setahun sekali. Setelah upacara selesai, Mandor, sepi lagi.
Puluhan wajah belia terlihat serius. Mereka menyimak setiap kalimat yang keluar dari orang di depannya. Tiga orang tua, sedang bercerita tentang sejarah dan tragedi Mandor. Ketiganya, Aswandi, Dekan Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP) Untan. Dia menjadi moderator. Paulus Alep Kopin, saksi peristiwa Mandor. Sudarto, pemerhati sejarah Kalbar. Siang itu, Kamis (28/6), mereka berdiskusi dengan sekitar 60 siswa dan guru, dari berbagai SD-SMA se-Pontianak.
“Sejarah itu data, fakta dan interpretasi. Kemampuan kita memotret sejarah, akan memberikan interpretasi terhadap fakta,” kata Aswandi, memulai diskusi.
Ia bercerita, ketika anak-anak Amerika tidak bisa mengerjakan ilmu eksakta dan ilmu alam lainnya, pemerintah tidak langsung memberikan penambahan terhadap ilmu tersebut. Tapi, pemerintah malah memberikan pelajaran ilmu sejarah. Hasilnya, anak-anak itu bisa mengerjakan berbagai ilmu yang diberikan.
Kenapa bisa demikian? Karena sejarah membuat sang anak menjadi bangga dan tahu jati dirinya. Hal itulah yang membuat mereka makin bersemangat mempelajari ilmu lainnya. Demikian, kata sang dekan dari FKIP ini.
Paulus Alep Kopin, 88 tahun warga Anjungan menuturkan, ketika Jepang datang, pasukan Jepang sering mengunjungi pasar Anjungan. Jepang membutuhkan tenaga pemuda desa, untuk mengerjakan berbagai proyek pembangunan pangkalan militernya.
Ia seorang romusha. Tenaga kerja paksa zaman Jepang. Tak ada upah. Makan pun sulit. Jepang mencari pemuda ke berbagai kampung, untuk dipekerjakan pada berbagai proyek. Kalau pemuda tidak mau ikut kerja paksa, ia akan dicari ke rumah, dan keluarganya bakal terancam. Alep pernah kerja paksa di Mempawah. Di sana, ia membabat hutan bakau demi, keperluan perang Jepang.
Semua serba susah. Sanking sulitnya bahan makanan dan sandang, orang harus berjalan puluhan kilometer, menukar hasil kerajinan dan bumi untuk beras.
Namun, sering kali apa yang dibawa, dirampas Jepang hitam –istilah bagi penduduk Kalbar-- yang menjadi kaki tangan dan bekerja bagi Jepang. Akibatnya, beras tak dapat, barang bawaan pun, dirampas.
Ketika itu, ia sering mendengar perbincangan orang di Anjungan, Jepang mulai menangkap orang terkenal, kaya, pejabat pemerintah, pengusaha, dokter, dan keluarga kerajaan dari berbagai daerah di Kalbar.
Saat berada di pasar Anjungan, ia biasa melihat tentara Jepang berkeliaran di sana. Dari sepatu yang dikenakan, ia melihat sepatu bala tentara Jepang, sering terlihat bercak darah.
Menurutnya, ketika Jepang mendapat laporan orang yang dianggap berbahaya bagi kekuasaannya, mereka tidak mengecek dulu sejauhmana kebenaran berita itu. Tapi, tentara Dai Nippon langsung menculik dan menghukumnya. Ia sering melihat lalu lalang truk menuju Mandor. Yang ketika itu masih berupa hutan.
Dia pernah kerja paksa di Mandor. Setiap ada pesawat terbang lewat, ia berlari dan sembunyi. Ia berharap pada generasi muda yang hadir, untuk selalu memperkuat persatuan dan kesatuan. “Bila tidak, kita akan mudah dijajah, oleh siapa pun,” kata Alep.
Murid yang hadir dalam perbincangan, seolah tak mau melewatkan setiap kata dan kalimat yang terucap, terlewat begitu saja. Mereka dengan serius mendengarkan para saksi sejarah ini.
Pembicara kedua, Sudarto. Ia pernah menjadi guru di SMA Paulus selama 30 tahun. Ia pernah meneliti berbagai sejarah di Kalbar. Dari apa yang dipaparkan, ia tahu setiap detail peristiwa dan sejarah di Kalbar.
Menurutnya, terungkapnya peristiwa Mandor, tidak bisa dipisahkan dengan era pemerintahan Gubernur Kadarusno. Ia gubernur Kalbar kelima, tahun 1972-1977. Ia bekas tentara KNIL Belanda. Saat masih menjadi kopral, ia anak buah Sultan Hamid II. Yang ketika itu menjadi perwira militer dan mendapat pendidikan ketentaraan di Belanda.
Saat menjadi gubernur, ia memerintahkan anak buahnya meneliti keberadaan makam yang terletak di Mandor, sekitar 89 arah timur kota Pontianak. Dari penelusuran yang dilakukan, ditemukan makam kerangka berserakan di berbagai area di Mandor.
Kadarusno memerintahkan tulang belulang itu dikumpulkan dan dikuburkan kembali dalam 10 makam besar itu. “Saat ini, yang ada di sepuluh pemakaman massal itu, tak lebih dari 800 orang,” kata Sudarto.
Lalu, di mana mayat lainnya?
“Sungai Kapuas,” kata Sudarto. Sungai Kapuas dan Landak, ketika itu menjadi jalur bagi pengangkutan tahanan dari Pontianak ke Mandor. Para tahanan diculik di daerahnya dan dibawa ke Pontianak. Setelah itu, baru dibawa ke Mandor. Dalam perjalanan ada yang sakit. Mereka langsung dilempar ke sungai. Orang yang tidak sakit pun, bisa saja di lempar ke sungai. Sungai menjadi kuburan termurah dan efisien bagi para tahanan. “Karena, tak mungkin Jepang menguburkan satu persatu tahanan. Biayanya akan sangat besar,” kata Sudarto.
Pembunuhan para korban peristiwa Mandor, tidak sekaligus. Namun, bertahap. Pembunuhan itu berawal sejak April 1943, dan berakhir sekitar Juli 1944. Alasan pembunuhan dilakukan pada April 1943, ketika itu di Banjarmasin sudah mulai terjadi pemberontakan melawan Jepang. Ada dua orang dari Banjarmasin dikirim ke Kalbar. Tugasnya, memberitahu permasalahan yang sedang terjadi di Banjarmasin, kepada para pemimpin di Kalbar. Keduanya seorang dokter. Rubini dan Makaliwe.
Dua orang dokter ini, sering bertemu dengan para pemimpin Kalbar di Gedung Medan Sepakat, Jalan Jenderal Urip, Pontianak. Dulunya, gedung itu sering menjadi tempat berkumpul para pejabat, pengusaha, aktivis kemerdekaan, dokter, dan para pembesar kerajaan di Kalbar. Mereka terdiri dari beragam etnis. Sekarang ini, keberadaan gedung ditempati satu organisasi kemasyarakatan.
Dalam berbagai pertemuan itulah, mereka mencari jalan dan berdiskusi untuk melawan Jepang. Caranya, melalui gerakan massa rakyat. Mereka beranggapan, penyebab berbagai kesulitan hidup, akibat penjajahan Jepang. Maka, negeri matahari terbit itu, mesti memperbaiki kondisi di masyarakat.
Saat itu, sulit menemukan keberadaan senjata. Jepang tidak percaya memberikan senjata, meskipun kepada warga Indonesia yang menjadi tentara dan bekerja untuknya.
“Namun, negeri ini memang sarang penghianat,” kata Sudarto.
Para penghianat yang merupakan warga Indonesia sendiri, menambahi berita itu dengan berbagai bumbu dan cerita. Seolah-olah, para pemimpin itu, akan melakukan perlawanan bersenjata pada Jepang. Tentara pendudukan Jepang langsung merespon dengan berbagai penangkapan.
Ada dua hal yang menjadi kekhawatiran Jepang, saat itu. Pertama, pasukan Jepang di berbagai medan pertempuran, mulai terpukul mundur. Bahkan, dalam berbagai pertempuran di lautan Pasifik, Jepang mulai kalah dan terjepit. Misalnya, di Filipina dan berbagai medan pertempuran lainnya. Kedua, orang yang dibunuh, punya massa dan menjadi pemimpin bagi warganya. Bila mereka memerintahkan sesuatu pada rakyatnya, Jepang sangat khawatir, bakal menjadi perlawanan bagi pemerintahan pendudukan Jepang.
Penculikan selalu terjadi pada tengah malam. Setelah diculik, para pemimpin itu disungkup. Kepalanya ditutup dengan karung goni. Para pemimpin itu dibawa ke kantor Kepolisian Residen atau benteng Belanda.
Sekarang ini, bekas benteng itu telah berubah menjadi Pasar Nusa Indah. Ironis memang. Ketika kita berteriak untuk mengabadikan 28 Juni, sebagai Hari Berkabung Daerah (HBD), melalui berbagai cara atau Perda. Di sisi lain, kita membongkar berbagai monumen sejarah yang berhubungan dengan hal itu. Begitu pun dengan bangunan penjara yang sekarang berubah menjadi Rumah Sakit Antonius.
Pemerintah Pusat mesti memperhatikan peristiwa Mandor. Dari peristiwa ini, ada hal bisa dilihat mengenai perjuangan rakyat Kalbar. “Meski tidak mengalami perjuangan fisik atau revolusi, tapi Kalbar berperan mempersiapkan kemerdekaan di Indonesia,” kata Sudarto.
Munculnya jumlah angka korban Mandor sebanyak 21.037 orang, karena berita di harian Akcaya. Angka ini masih menjadi kontroversi hingga sekarang. Bahkan, seorang komandan Jepang yang dihukum mati di Kalbar, Yamamoto, juga mengaku tidak tahu.
Menurut Sudarto, hal yang bisa dilakukan sekarang ini, untuk mengetahui jumlah sebenarnya tentang jumlah korban peristiwa Mandor, harus meneliti berbagai dokumen pengadilan perang di Jepang. Sudah ada kebijakan dari pemerintah Jepang, untuk mengakses berbagai dokumen pengadilan itu. Dokumen itu, tentu menggunakan huruf Kanji. “Karenanya, mulai sekarang kita mesti belajar hufuf kanji, bila ingin mengakses berbagai dokumen mengenai peristiwa Mandor,” kata Sudarto.
Pada diskusi itu juga dilakukan acara tanya jawab. Mereka yang mengikuti diskusi, terlihat antusias. Berbagai cerita dari sang narasumber dicatat pada sebuah buku.
Salah satunya, Chamsiah. Ia guru SD 25 Pontianak Kota. Terhadap kegiatan itu, ia memberikan pendapatnya, “Kegiatan seperti ini penting untuk mengenang masa lalu. Rencananya, peristiwa Mandor, akan dimasukkan dalam muatan lokal sekolah.”
Begitu juga dengan Afriyanti, siswa kelas 2/2, SMP 8 Pontianak. Menurutnya, kegiatan seperti ini menarik. Banyak informasi bisa diperoleh. “Kita juga ingin tahu, bagaimana peristiwa itu selanjutnya,” kata Afriyanti.
Ada satu kegelisahan diungkapkan Sudarto tentang peristiwa Mandor. Ia berharap, peristiwa Mandor jangan hanya seremoni dengan mengunjungi makam juang Mandor, setahun sekali. “Tapi, harus dijadikan sebagai media pembelajaran,” kata Sudarto.
Karenanya, di Mandor bisa dibangun berbagai kegiatan yang mendukung sebagai media pembelajaran. Seperti, area camping bagi anak sekolah dan dilengkapi berbagai film dan foto-foto tentang peristiwa Mandor.
Dengan mengetahui peristiwa Mandor, anak sekolah bisa mengetahui sejarah daerah dan bangsanya. Sebab, sejarah merupakan ilmu dasar. “Sebelum belajar ilmu lain, belajarlah sejarah,” kata Sudarto.□
Foto by Lukas B. Wijanarko, "Media Pembelajaran."
Edisi Cetak, Borneo Tribune, 30 Juni 2007.
Saturday, June 30, 2007
Peristiwa Mandor sebagai Media Pembelajaran
Posted by Muhlis Suhaeri at 9:12 AM 0 comments
Labels: Pendidikan
Yang Terlupakan
Muhlis Suhaeri
Borneo Tribune, Pontianak
Dalam setiap hajatan dan seremoni, selalu ada kemeriahan. Ada kesedihan tertahan. Ada proses berulang. Dan, ada sesuatu yang terlupakan. Salah satunya, dalam peringatan Hari Berkabung Daerah (HBD) Peristiwa Mandor. Ketika orang berduyun-duyun memperingati peristiwa itu, mereka melupakan sosok-sosok yang terlibat di dalamnya.
Ia terlihat semangat ketika bercerita. Kalimatnya bergelora. Ada ekspresi. Ada penumpahan. Ia seolah menemukan ruang untuk berbagi. Dengan ceritanya, ia menarik saya pada waktu. Yang seakan ingin direngkuhnya kembali. Dalam perbincangan itu, sesekali ia menyisipkan bahasa Jepang.
Rambutnya telah memutih. Ia kelahiran Singkawang, 1 September 1928. Tak terlihat ringkih pada tubuhnya. Namanya, Kasilan. Ayahnya, dari Jawa. Yang dijadikan serdadu Belanda, untuk menumpas pergolakan di Mempawah. Ayahnya tinggi besar. Karenanya, ia ditempatkan dalam kesatuan Marsose. Satu pasukan elit jaman penjajahan Belanda.
Ketika Jepang masuk ke Kalbar, Kasilan direkrut sebagai tentara Heiho. Ini merupakan satuan tentara yang dibentuk Jepang, untuk membantu dalam peperangan melawan sekutu. Pada perkembangannya, pasukan Heiho dikirim ke berbagai front peperangan di pasifik, Pilipina, Myanmar, Indochina dan lainnya.
Ketika itu umurnya masih 16 tahun. Supaya diterima sebagai serdadu Jepang, orang tuanya memberikan saran. Supaya umurnya ditambah setahun. “Supaya bisa diterima,” katanya.
Setelah diterima, ia bertugas di Kompi Merah Kuning Pasukan Jibakutai. Ini pasukan khusus dari angkatan darat, yang dilatih untuk berani mati. Pasukan berani mati di udara, bernama Kamikaze. Dalam berbagai pertempuran, pasukan ini sangat ditakuti.
Kasilan masuk regu I, Si Buntai. Komandannya bernama Kamiguci Hidewo. Di atasnya lagi, ada Zamada Heso dan Watanabe Kinjiro.
Ia pernah bertugas di Sungai Tebelian. Ketika itu, Jepang mengerahkan penduduk untuk membuat bandara. Sekarang ini, bandara itu bernama Bandara Supadio Pontianak. Landasan bandara terbuat dari batu-batu yang diambil di Batu Ampar. Batu itu dimuat di perahu. Sesampai di dekat Sungai Tebelian, batu itu diluncurkan dalam sebuah parit yang sengaja dibuat, untuk memudahkan pengangkutan batu. Maka, nama parit itu disebut dengan Parit Jepang.
Jepang membagi pekerja menjadi puluhan kelompok. Setiap kelompok ada sepuluh orang. Dalam satu hari, Jepang memberi makan tiap kelompok dengan sekilo beras. Masyarakat serba kekurangan. Beras sulit sekali. Beras hanya dimakan para pegawai pemerintahan yang ketika itu, sebagian besar ada di Jalan Sidas, Pontianak.
Masyarakat makan apa saja. Ada ubi makan ubi. Pokoknya apa saja. Ia makan dengan sumpit. “Ini yang membuat makan tidak kenyang,” kata Kasilan.
Semasa menjadi tentara Heiho, ia pernah ditugaskan dalam berbagai macam front. Ia pernah menjaga daerah dari serbuan tentara sekutu. Selama berbulan-bulan, ia harus hidup berbulan-bulan di lubang pertahanan. Karenanya, kakinya mengalami pembengkakan dan meradang. Penyakit itu susah sembuh. Oleh tentara Jepang, ia diminta mencabut kuku-kukunya. Akibat penyakitnya itu, ia tidak bisa berjalan sempurna. Alias pincang.
Semasa penjajahan Jepang, rakyat dikelabui dengan berbagai macam cara. Salah satunya, Jepang berbicara kepada masyarakat yang ada di sekitar Landak, Mandor, Ngabang dan sekitarnya, supaya menyerahkan intan berliannya kepada pemerintah Jepang. Alasannya, pesawat-pesawat sekutu tidak mempan ditembak dengan senjata biasa. Harus dengan intan supaya bisa tembus dan mengenai badan pesawat.
Akhirnya, masyarakat menyerahkan persediaan intan mereka pada Jepang. Ratusan kilo jumlahnya. Kasilan melihat sendiri intan yang dikumpulkan itu.
Menurutnya, ketika Jepang menjajah ke Indonesia, mereka juga menjadikan rakyat yang dikuasai sebagai tentaranya. Tak heran, dalam kesatuan tentara Dai Nippon, banyak terdapat tentara dari Manchuria, Korea, Shantung dan lainnya.
“Para kucing kurap inilah, yang selalu membuat kekacauan,” kata Kasilan. Yang dimaksud kucing kurap adalah balatentara Dai Nippon dari Manchuria, Korea, Shantung dan lainnya. Kalau mereka datang ke suatu perkampungan, mereka main tangkap perempuan dan memerkosanya.
Perilaku tentara pendudukan ini, membuat marah masyarakat Dayak. Inilah yang membuat perlawanan di wilayah pedalaman, kata Kasilan.
Semasa bekerja sebagai tentara Heiho, ia mendapat gaji sebesar 22,5 zen. Pada kenyataannya, gaji itu tidak pernah dibayarkan. karena itulah, melalui persatuan eks mantan Heiho seluruh Indonesia, mereka mengajukan kompensasi pada pemerintah Jepang.
Di Indonesia, ada sekitar 600 ribu mantan eks tentara Heiho. Di Kalbar, jumlahnya ada 6 ribu orang. Persatuan eks mantan Heiho, melalui pemimpinnya, Tasrib Raharjo, pernah ke Jepang, untuk melakukan negosiasi terhadap uang kompensasi. Pemerintah Jepang sudah menyetujui.
Namun, pemerintah Jepang tidak mau menyalurkan uang kompensasi itu secara langsung ke organisasi mantan Heiho ini. Alasannya, ini menyangkut satu pemerintah Indonesia dan Jepang. Mantan Heiho inginnya, uang itu langsung diserahkan kepada mereka. “Alasannya, supaya uang itu tidak dikorupsi pemerintah,” kata Kasilan.
Hal sama terjadi pada mantan perempuan yang dijadikan budak seks tentara Jepang, atau Jugun Ianfu. Perjuangan panjang mereka, seolah tak ada ujung dan tak ada akhir. Sementara, waktu memberi jarak pada kehidupan mereka. Banyak dari mereka telah menemui ajal, sebelum perjuangan itu mencapai keberhasilan.
Menurut Kasilan, uang gaji itu, bila dibayarkan kepada setiap anggota sebesar Rp 100 juta. Hitungannya, gaji selama tiga tahun menjadi serdadu, ditambah bunga selama 50 tahun.
Sejak tahun 1990, mantan pasukan Heiho memperjuangkan, supaya mendapat kompensasi gaji mereka. Namun, Pemerintah Pusat dan Daerah, tidak punya kepedulian dalam hal ini. “Apalagi pada zaman pemerintahan sebelum presiden SBY,” kata Kasilan.
Sekarang ini, pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), melalui Menteri Pertahanan Juwono Sudarsono, sedang berupaya menyelesaikan masalah ini.
Pemerintah daerah Kalbar, juga tidak punya perhatian terhadap masalah ini. begitu juga dengan DPRD-nya. Ia mencontohkan Sulawesi. Di sana, DPRD punya kepedulian terhadap masalah eks Heiho. Ada satu partai di DPRD yang begitu peduli, sehingga mereka mendapat perhatian dan bisa menjalani hidup dengan baik.
Kini, Kasilan hidup di Takong, Kecamatan Tohok, Kabupaten Landak. Ia hidup dengan kesederhanaan. Ia menggantungkan hidup dari gaji pensiun semasa ia menjadi TNI. Ia pensiun dengan pangkat Peltu, Pembantu Letnan Satu.
Sebelum meninggalkan tempat itu, aku menatap dalam pada wajah yang telah menua itu. Ada rasa menggumpal. Orang harus melihat pada nasibnya. Nasib orang-orang yang terlupakan.□
Foto by: Lukas B. Wijanarko
Edisi Cetak, Borneo Tribune, 30 Juni 2007
Posted by Muhlis Suhaeri at 8:20 AM 0 comments
Labels: Profile
Wednesday, June 27, 2007
NUSSP: Tantangan Otonomi Daerah
Penulis:
Profesor Johan Silas, dosen Institut Teknologi Surabaya (ITS), pakar Tata Ruang Kota.
Ada tiga dokumen pemukiman dan lingkungan dihasilkan oleh masyarakat dunia, yaitu Agenda-21 (1992), The Habitat Agenda (1996) dan Millenium Development Goals (2000). Ketiganya punya kesamaan. Yaitu, hendak mewujudkan pemukiman yang bermutu dan berkelanjutan dengan fokus pada warga berpenghasilan rendah. Ketiga dokumen ini juga mengingatkan, bahwa dunia menghadapi masalah gawat karena kerusakan lingkungan yang membuat kemiskinan makin parah.
Pergantian Abad lalu membawa dunia pada harapan yaitu kemakmuran yang merata di antara bangsa-bangsa dunia. Dalam kenyataan ternyata kemakmuran dunia memang meningkat namun tidak merata atau bahkan muncul jurang lebar antara yang berhasil dan belum.
Paradigma manusia mengalami perubahan dari sekedar memenuhi kebutuhan dasar (pangan, sandang, perumahan, pendidikan dan kesehatan), menjadi menjamin hak asasi tiap manusia. Di abad XXI, paradigma manusia lebih ditekankan pada aspek kemanusiaan. Yaitu, lebih utuh, mandiri, kreatif dan punya prioritas sendiri.
Jumlah orang miskin dunia ternyata bertambah makin banyak dan secara signifikan. Orang miskin terbanyak berada di negara sedang berkembang termasuk Indonesia. Walaupun ada pergantian pemerintahan, namun jumlah orang miskin masih cenderung naik. Berbagai krisis dunia menambah jumlah orang yang jatuh miskin.
Penyebab kemiskinan terbanyak disebabkan oleh masalah struktural yang bersumber pada pemerintah dari semua tingkat. Orang Indonesia di Singapore bisa tertib, sedang di Indonesia orang Singapore juga bertingkah tidak beda dengan orang awak. Lingkungan hidup yang buruk mutunya, memperparah orang yang terlanjur miskin. Kemiskinan bukan keadaan terminal, tetapi proses yang naik-turun.
Kemiskinan mudah dilihat (dan bersifat timbal balik) pada mutu pemukiman yang buruk. Kondisi ini akan berpengaruh secara mendasar pada mutu sumberdaya manusia yang akan (tetap) sangat rendah. Terutama terhadap anak-anak dan remaja yang seharusnya menjadi andalan masa depan bangsa.
Menjawab keadaan merisaukan ini, pimpinan dunia yang berkumpul pada Sidang Umum PBB tahun 2000, sepakat hendak memerangi kemiskinan dunia secara total dan menyetujui dokumen Millenium Development Goals (MDG). Yang pada tahun 2015, hendak mengurangi kemiskinan dunia sampai separo keadaan 1990, melalui delapan tujuan. Ini harus diperlakukan integral dengan beragam keputusan dunia sebelumnya.
Cities Alliance yang dicanangkan Bank Dunia dan UN Habitat, saat akan menapak pergantian abad, pada dasarnya bercita-cita agar pada 2020, kawasan kumuh dikurangi sampai separo keadaan 1990. Akhirnya, gerakan untuk mengurangi kawasan kumuh ini, menjadi bagian integral dari MDG. Yang harus dicapai oleh bangsa-bangsa seluruh dunia, termasuk Indonesia.
Hari Habitat 2005 yang diperingati di Jakarta, Indonesia menyatakan akan mengurangi sampai minim kawasan kumuh di kota-kota menjelang 2020. Pada 2010 diharapan 200 kota, sudah bebas dari kawasan kumuh. Artinya, penduduk yang mendiami pemukiman sub-standar sudah dibawah 2 persen. Pada 2015, kota yang ”bebas” kawasan kumuh, akan mencapai 350. Diharapkan pada 2020, Indonesia tidak diganggu oleh keberadaan pemukiman sub-standar.
Kemiskinan dan pemukiman kumuh, diakui masyarakat dunia sebagai hambatan serius dalam meningkatkan kesejahteraan rakyat pada umumnya. Bahkan, dikatakan bahwa tinggi rendah tingkat kemiskinan, menjadi gambaran dari keberhasilan atau kegagalan pemerintahan (di daerah), dalam memenuhi tanggung jawabnya. Makin besar luas kawasan kumuh dan jumlah orang miskin, makin gagal pemerintah (daerah) menjalankan tugas dan kewajibannya.
Orde Baru merupakan era pertama pembangunan perumahan. Yang dilakukan secara terprogram dan terencana, seperti tertuang dalam Rencana Pembangunan Lima Tahun (Repelita). Kenyataannya perumahan dalam Repelita, hanya dilihat sempit, terbatas pada perumahan formal baru. Perbaikan kampung dilaksanakan secara nasional dalam Repelita III, setelah Jakarta dan Surabaya berhasil melaksanakannya. Itupun masih secara ad-hoc.
Bank Pembangunan Asia (Asian Development Bank) bekerjasama dengan pemerintah Indonesia, untuk pertama kali memulai dengan pembangunan pemukiman dan perumahan kota yang holistik dan sesuai keadaan di lapangan.
Beda dengan program sebelumnya, Neighbourhood Upgrading Shelter Sector Project (NUSSP), hendak mencapai beragam tujuan. Tujuan itu adalah, mewujudkan perumahan dan pemukiman layak dan merata bagi seluruh penduduk (kota). Kedua, membangun kemampuan pemerintah daerah yang lebih baik dalam merencanakan dan mengelola pemukiman yang ada. Utamanya yang dihuni warga lapis bawah. Ketiga, Mewujudkan kemandirian warga yang dibangun tangguh dan ditingkatkan maju secara berkelanjutan, agar mutu pemukiman makin baik. Hal ini harus mendapat dukungan awal dan didorong oleh pemerintah. Keempat, mengantisipasi pembangunan rumah baru, untuk menampung mobilitas warga. Baik secara kuantitatif maupun kualitatif, utamanya warga di daerah pinggiran. Kelima, menjamin mutu lingkungan hidup perumahan dan pemukiman yang baik dan berkelanjutan sebagai prasarat untuk dapat menghasilkan bangsa yang tangguh di abad XXI.
Kota dan kabupaten (32) yang sudah menyatakan sebagai peserta dari pelaksanaan awal NUSSP, merupakan pelopor. Kelak harus dapat menjadi contoh bagi kota dan kabupaten lain di sekitarnya. Terutama dalam pembangunan perumahan dan pemukiman, untuk memenuhi tuntutan abad XXI. Seperti telah diutarakan dalam The Habitat Agenda (1996, delegasi Indonesia aktif ikut merumuskannya).
Pertimbangan makro dan mikro, harus diperhatikan agar NUSSP dapat mencapai hasil seperti diharapkan secara maksimal. Karena NUSSP bersifat holitik dan intergral, serta baru pertama kali dilaksanakan, maka pertimbangan ini perlu diperhatikan lebih awal.
Catatan makro yang harus diperhatikan adalah, memilih pola kerja yang mudah dan cepat terlaksana, tanpa mengabaikan prinsip pembangunan berkelanjutan. Menjadi bagian yang integral dari strategi pembangunan kota dan kabupaten pada umumnya. Memanfaatkan semua pengalaman yang sebelumnya ada, baik yang bersifat internal maupun eksternal, internasional dan nasional. Serta bekerjasama dengan lembaga yang sudah lebih dahulu punya keahlian dan pengalaman. Harus membangunan kapasitas lokal dalam menyiapkan dan mengelola program perumahan yang baik dan menyeluruh. Membangun kerjasama dengan kota dan kabupaten yang terlibat dalam pelaksanaan NUSSP ini, untuk menjamin keberlanjutannya ke masa depan dengan hasil yang lebih baik.
Secara mikro hal-hal yang harus diperhatikan adalah, melibatkan warga penerima program sedini dan seluas mungkin. Membangun kelembagaan masyarakat (comunity organization) dalam mengelola proyek, serta ada akuntablitas yang baik dan terjamin keberlanjutannya. Menggalang potensi sumberdaya lokal melalui tabungan dan sinergi dari semua sumberdaya setempat yang ada.
Membangun komunikasi terbuka dengan semua warga, agar pihak penerima dan tidak menerima, mampu mempunyai pemahaman dan kesepakatan yang sama. Membangun kerjasama antar kelompok masyarakat dari kawasan tetangga. Yang belum maupun sudah melaksanakan NUSSP, serta lembaga pendamping, demi mudahnya pelaksanaan dan efektif.
Konsep NUSSP merupakan konsep terbuka. Yang hanya menetapkan dasar pokok dan harus dianut. Jabaran dari prinsip tersebut sangat tergantung dari keadaan dan kemampuan setempat. Konsep pusat harus dijabarkan menjadi rencana operasional yang bersifat lokal.
Tiga pilar dasar dari NUSSP perlu difahami dan dijabarkan dengan baik sesuai keadaan lokal. Ketiga pilar tersebut adalah pemberdayaan, perbaikan rumah dan pengadaan rumah baru. NUSSP juga menuntut penyelenggaraan dengan akuntabilitas terbuka dan jujur. Utamanya yang terkait dengan masalah keuangan.
Pemberdayaan harus difokuskan pada semua pelaku dan stakeholder mulai dari anggota DPRD, Pemda, masyarakat luas dan lokal, serta pendamping seperti LSM, sivitas perguruan tinggi, dsb.
Perbaikan rumah merupakan bagian terbesar. Sebab, rumah yang ada (kampung) menampung 60 persen penduduk, dan terbesar berpenghasilan rendah. Kawasan perumahan swadaya ini, merupakan awal dari proses pembangunan kota. Pengalaman dari program perbaikan kampung (KIP) dapat dijadikan rujukan penting agar tak perlu mulai dari NOL. Termasuk dalam aspek ini adalah sarana, prasarana dan mutu rumah warga yang terus makin baik.
Rumah baru selalu merupakan gejala niscaya pada kota yang aspek ekonomi dan sosial kota tumbuh baik. Merupakan kelaziman, pembangunan rumah baru terjadi di daerah pinggiran dan diperuntukan bagi semua lapisan warga. Mulai dari warga paling bawah sampai mampu. Perlu direncanakan keterpaduan sarana dan prasarana. Yang ada demi efisiensi dan subsidi silang internal.
Mencegah kesalahan dan kegagalan yang sering terjadi sebelumnya, dari berbagai pembangunan pemukiman penduduk berpenghasilan rendah yang telah memboroskan dana besar. Beberapa hal tambahan perlu diperhatikan dan dilaksanakan, yaitu, pengembangan program dilakukan secara terbuka, agar diketahui masyarakat luas. Dan menjadikannya sebagai pembangunan, bagi dan oleh masyarakat (by and for the people), sehingga beban dan tanggung jawab terbagi antar sesama pelaku.
Membangun sikap, komitmen dan etika politik yang baik dan terbuka agar tidak dipermainkan sebagai komoditi politik yang sempit dan murah oleh fihak-fihak tertentu.
Memanfaatkan tenaga kompeten dan ahli, serta terus menyiapkan kader untuk perluasan kegiatan, baik secara teritorial maupun jangkauan ke masa depan yang berkelanjutan. Melakukan evaluasi oleh fihak yang tidak terkait dan terlibat dengan pelaksanaan, serta hasilnya disampaikan secara terbuka pada masyarakat luas.
Sedapat mungkin, membukukan hasil pelaksanaan secara periodik, agar dapat dipakai sebagai rujukan, bagi pelaksaannya di masa depan oleh fihak manapun.
Merupakan kesempatan yang baik, dan perlu melaksanakannya dengan kesungguhan tinggi, sehingga ikut membangun nama baik bangsa dengan menghilangkan kawasan kumuh dan kemiskinan laten.
Melaksanakan pendidikan terbuka, agar warga dapat hidup secara baik, teratur dan sehat. Membangun kemandirian, agar terjauhi dari sifat manja dan mau enak sendiri, tanpa mau bertanggung jawab terhadap diri sendiri. Lambat laun menjadikan NUSSP sebagai program lokal, yang mampu menyelesaikan masalah secara efisien dan efektif.
Aspek lingkungan yang keadaannya secara umum buruk harus ditangani secara terencana memanfaatkan pola yang sudah lazim seperti Agenda Lokal 21, Ecological Footprint, GAIA, dsb.***
Foto by Lukas B. Wijanarko, "Jendela Kota."
Edisi Cetak, Borneo Tribune, 27 Juni 2007
Posted by Muhlis Suhaeri at 9:45 AM 0 comments
Labels: Perkotaan
Sunday, June 24, 2007
Banjir
Banjir seolah menjadi “nasib” yang harus diterima. Banjir kembali terjadi dan selalu berulang. Seperti yang kita saksikan baru-baru ini di Desa Mega Timur, Sungai Ambawang dan Desa Wajok Hilir di Kabupaten Pontianak.
Banjir setinggi satu meter di Wajok, menyebabkan 40 rumah terendam banjir. Ratusan hektar palawija diperkirakan gagal panen. Warga mengungsi.
Dilakukanlah evakuasi yang melibatkan berbagai elemen warga, polisi dan pemadam kebakaran. Banjir tak hanya membuat warga mengungsi dan tercerabut dari lingkungan sosialnya. Banjir juga merusak berbagai potensi dan peluang ekonomi warga. Berbagai aset warga tergerus banjir.
Sempitnya penampungan, membuat mereka harus berjejal di pengungsian. Kondisi psikis, makan dan tidur tak teratur, membuat beberapa dari mereka jatuh sakit.
Pada akhirnya, banjir bukanlah sesuatu yang harus diratapi dengan tangis dan air mata. Atau, sebagai “takdir” yang mesti terjadi.
Banjir, harus dihadapi dengan cerdas, melalui pembuatan berbagai kebijakan pembangunan. Yang berkelanjutan.□
Fotografer : Lukas B. Wijanarko
Teks : Muhlis Suhaeri
Edisi Cetak ada di Borneo Tribune, 24 Juni 2007
Posted by Muhlis Suhaeri at 11:31 AM 0 comments
Labels: Essai Foto
Monday, June 18, 2007
Bagaimana Konsep Pembangunan Kota Harus Dibuat?
Oleh: Muhlis Suhaeri
Berbicara mengenai pembangunan kota, adalah bicara mengenai konsep-konsep pembangunan. Konsep pembangunan kota harus memiliki dan punya beberapa dimensi dan esensi. Esensi pembangunan. Ideologi pembangunan. Strategi pembangunan. Dimensi taktis pembangunan. Dan dimensi prakmatis pembangunan.
Untuk mengetahui sejauhmana konsep-konsep itu, berikut ini wawancara dengan Ripana Puntarasa, Institusional Development Specialist, Neighborhood Upgrading And Shelter Sector Project (NUSSP).
Berbicara dengan lelaki ini, bagai berhadapan dengan seorang orator. Yang siap mengagitasi dan memberi berbagai pemahaman dan konsep-konsep pembangunan perkotaan. Dalam satu tarikan napas, puluhan kalimat meluncur deras. Siap menghunjam dan membuka cakrawala kita.
“Ketika kita bicara tentang konsep pembangunan perkotaan, dan harus lebih spesifik lagi, harus bicara tentang konseptual,” katanya memulai pembicaraan.
Kota adalah suatu entitas yang utuh. Ada relasi fungsi sosial ekonomi, politik, budaya, dan lainnya. Yang prosesnya bukan serta-merta, ada begitu saja. Ada suatu proses kultural panjang.
Hubungan dan fungsi dalam konteks struktur dan sistem kota, mestinya ada sistem tata ruang yang diekplisitkan. Yang fungsi tata ruang itu, harus fungsional. Ada hubungan saling mempengaruhi dan tidak berdiri sendiri.
Kota merupakan suatu entitas yang sistemik atau utuh. Itu hal pertama yang harus dipakai. Sebagai suatu entitas yang utuh, apa pun realitas kota, merupakan wahana hidup bagi seluruh warganya. Dengan daya dukung material ke wilayahan apa pun yang ada di kota itu. Pada konteks seperti ini, hal mendasar yang harus diperhatikan adalah, bagaimana sumber daya kota secara materiel dan non materiel, menjadi wahana hidup bagi seluruh warga.
Kota mesti punya peran menjembatani berbagai kehidupan masyarakatnya. Baik secara ekonomi, budaya, politik, dan lainnya. Dalam konteks ini, warga harus punya daya hidup, sebagai pedagang, pengrajin, pegawai atau lainnya.
Secara sosial, kota memiliki relasi antarkelompok ethnik. Sebagai realitas warga, warga juga punya hak dan daya hidup, sebagai kelompok sosial, ekonomi, atau politik. Semua mesti mendapat layanan dan tidak dibedakan. Artinya, sebagai suatu entitas yang dimiliki, tak hanya individu, tapi juga entitas kemanusiaannya.
Meski begitu, ada hak tradisional yang tidak bisa diganggu gugat. Perkembangan lingkungan, seperti kota dan pedesaan, tanpa sentuhan dari luar komunitasnya, punya otoritas mengembangkan kemampuan dan lingkungan sosial. Komunitas itu secara kultural akan berkembang dengan kebutuhan tadi.
Selain itu, ada komitmen internasional yang sangat universal. Bahwa, semua manusia punya sepuluh hak dasar. Misalnya, hak yang sama untuk hidup, beragama, sosial, hidup layak, dapat mengakses air, kesehatan, pendidikan, seni, budaya, dan hak atas lingkungan hidup.
Lalu, sejauhmana hal itu sudah dilakukan atau terpenuhi?
“Itu yang jadi pertanyaan kita bersama,” kata Ripana. Setiap warga, apakah sudah merasa hidup nyaman dan aman, ketika bekerja atau menjalani kehidupan lainnya. Nyaman dan aman dalam hal ini adalah, ketika orang bekerja, ia tidak kuatir akan dipecat. Ketika orang berjualan, tidak kuatir akan dirazia dan digusur, dan sebagainya.
Menurutnya, secara keseluruhan hal itu belum terpenuhi. Apalagi ketika melihat berbagai fenomena sosial tentang perkampungan dan kota. Semua masih menyisakan sesuatu yang bermasalah.
Salah satu contoh, rekomendasi yang dihasilkan dalam Rakernas Apeksi, misalnya. Yang menganjurkan pemenuhan hak dasar. Bahwa, semua kota harus bisa memenuhi hak dasar warga kotanya. Ini merupakan semangat bersama, bagaimana pembangunan kota mesti dilakukan.
Konsep pembangunan kota harus dilihat secara makro dengan memahami esensinya. Yang bisa menjamin hak hidup setiap orang. Sehingga setiap orang memiliki harkat dan martabat kemanusiaan yang utuh. Bisa hidup, bertempat tinggal, bekerja dengan baik, dan sebagainya. Ada rasa aman dan nyaman, dalam menjalani semua itu. Bahwa, sejahtera, diartikan bukan pada jumlah materi yang dimiliki. Tapi, juga pada hidup itu sendiri. Hal ini, yang akan menjaga stabilitas manusia, dan alam sekitarnya.
Pembangunan kota harus berpegang pada sesuatu yang bersifat ideologis. Dalam artian, pembangunan mau dibawa kemana. Kalau konteks ideologi dikembalikan pada substansi hidup di Indonesia, berarti orang harus bisa memenuhi apa yang diamanatkan dalam pembukaan UUD 1945. Yaitu, ikut memajukan kesejahteraan bangsa, menjaga ketertiban dunia, berdasarkan keadilan sosial, dan lainnya.
Dalam pembangunan harus ada ideologi. Dalam kontek menuju proses pembangunan, berdasarkan kebijakan, maka kebijakan pembangunan mengacu pada amanat negara. Yang mengadung kewajiban dari pemerintah, secara strategis dan dalam konteks pembangunan. Mesti ada langkah ideologis, menyangkut masa depan.
Strategi dalam hal ini, bagaimana pembangunan harus dirancang, direncanakan dan dikelola. Karena, bicara mengenai pembangunan, tidak bisa bicara mengenai rentang pembangunan kota dalam jangka waktu pendek. Misalnya, jangka waktu lima tahun. Pembangunan harus direncanakan secara jangka pendek, menengah dan panjang. Apa saja langkah strategis yang harus dibuat. Tahapan dan pencapaian harus jelas.
Yang menjadi pertanyaan mendasar, apakah pembangunan kota punya rencana pembangunan strategis secara holistic atau menyeluruh. Ketika bicara mengenai pembangunan kota secara holistik, maka harus bicara mengenai banyak hal. Misalnya, hak warga untuk hidup. Hak sungai untuk terus mengalir. Hak tanah untuk tetap hidup dan menjadi wahana bagi setiap orang. Sehingga setiap mahlug di lingkungannya terjamin. Nah, yang jadi pertanyaan. Ada atau tidak, langkah strategis seperti ini.
Perencanaan strategis harus mengandung aspek sejarah. Sejarah ekonomi. Sejarah Sosial. Sejarah politik. Jadi, mesti ada kerangka, membangun kota kedepan seperti apa.
Bicara mengenai kota, harus bicara mengenai sistem tata ruang kota dan harus dikelola dengan baik. Sistem tata ruang menjadi referensi pembangunan bagi pemerintah, swasta maupun rakyat. Selama sistem tata ruang tidak disusun dengan baik, berdasarkan relasi-relasi fungsional, maka tidak akan pernah tertata dengan baik.
Salah satu contoh, relasi fungsional misalnya pembangunan pusat pertokoan. Ketika pertokoan dibangun, kehidupan di sekitarnya juga terkait. Pusat pertokoan dibangun tanpa harus mengganggu lingkungan pemukiman di sekitarnya. Tapi, bagaimana lingkungan sekitarnya bisa dipelihara dengan baik. Sehingga pekerja di pertokoan bisa tinggal di pemukiman tersebut.
Seharusnya, pusat pertokoan juga memberi ruang pada komoditas di sekitarnya, untuk ditampung di pertokoan. Pembangunan pusat pertokoan, seharusnya tidak mematikan pedagang kecil.
Relasi perusahaannya harus diterjemahkan secara visual dan konseptual. Begitu pula unit-unit pengembangan masyarakat, akan terkait dengan soal-soal ekonomi, budaya, perumahan dan pemukiman. Bagaimana sistem penataan dan perumahan di kota, memberi ruang pada yang tinggal di lingkungannya, tidak merasa terganggu kenyamanan dan kenikmatan dalam hidup.
Menurutnya, dalam sejarahnya ada problem pembangunan di Indonesia. Ketika pembangunan masih bersifat sentralistik, ada berbagai rencana tata ruang. Semua diberikan dari pusat, padahal realitas sehari-hari dihadapi pemerintah daerah.
Ketika otonomi daerah masuk, maka rencana pembangunan strategis daerah, mesti dikaitkan dengan kewenangan otoritas daerah, untuk mengelola daerahnya. Sekarang ini, kewenangan daerah secara operasional atau teknis sangat tinggi. Wilayah taktis, ketika rencana kerja disusun, harus bekerjasama dengan siapa. Apa problem pembiayaannya. Apa program pengorganisasian. Relasi fungsional dan struktural.
Ketika wilayah taktis ini dilakukan, maka rencana strategis menjadi acuan dari pemerintah untuk melakukannya. Di dalam proses pembangunan kota, harus dimasuk terus. Jadi, ada suatu proses bersama. Yang bisa mendorong proses pembelajaran di pemerintahan, masyarakat, LSM, dan lainnya.
Dalam pembangunan kota, ada proses pelembagaan. Dalam konteks ini, Pemerintah kota, dapat memanfaatkannya secara maksimal dan memutuskan secara prakmatik. Pembangunan kota harus bisa melihat, problem yang tidak bisa ditunda waktunya. Misalnya, orang perlu makan, kerja, harus ada langkah-langkah praktis dalam jangka setahun, setengah atau lainya. Yang diterjemahkan dalam APBD. Diterjemahkan dalam program masyarakat dan lainnya.
Konteks pembangunan kota secara umum, harus bisa menjelaskan hal itu dengan baik. Seorang pemimpin, apakah itu gubernur, walikota, bupati, camat, hingga kepala desa, harus bisa menerjemahkan lima dimensi esensi pembangunan. Ideologi pembangunan. Strategis pembangunan. Dimensi taktis pembanngunan. Dan dimensi prakmatis pembangunan.
Kalau ini bisa dikuasai, tidak akan terjadi prakmatisme pembangunan yang materialistik. Seolah-olah, hanya karena kebutuhan investasi, segera ingin tampak berhasil sebagai walikota atau gubernur, hal ini segera dilakukan.
Ini prakmatis yang fandalistik. Yang selalu dimanfaatkan kekuatan penguasa pasar dan punya modal. Ini yang selalu menjadi ancaman bagi warga, sehingga tidak nyaman tinggal di lingkungan, karena selalu dianggap kumuh. Sementara di lingkungan yang dianggap kumuh itu, ada pekerja kota, konsumen, warga sebagai konstituen pembangunan, penyelenggara pemerintah, dan lainnya.
Pembangunan kota tidak boleh meninggalkan sejarah, atau menghilangkan pencapaiannya pada bangunan bersejarah. Hal ini harus dilihat, agar proses pengembangan sosial, proses kesejarahan budaya, bisa ditandai dengan baik. Sehingga tidak ada budaya fandalis. Ketika membangun sesuatu, harus menghancurkan yang lama. Bangun kemudian. Namun, kalau toh itu harus dilakukan, harus dibicarakan dengan publik.
Pembangunan kota harus ada proses teknis dan program pembelajaran kota. Yang lebih populis dan humanis. Sehingga pemerintah bisa lebih punya legitimasi secara politik, demokrasi, dan pemerintahan yang transparan. Hak dasar manusia harus diperhatikan.
Nah, dalam rangka menuju kesana, tentu pemerintah daerah tidak boleh dibiarkan melakukan proses itu sendiri. “Orang atau lembaga yang peduli, seperti, jurnalis, LSM, akademisi, harus diorganisasikan untuk mengawal proses ini,” kata Ripana.□
Foto by Lukas B. Wijanarko, "Rumah Tepi Sungai."
Edisi Cetak, Harian Borneo Tribune, 18 Juni 2007
Baca Selengkapnya...
Posted by Muhlis Suhaeri at 10:58 AM 0 comments
Labels: Perkotaan
Sunday, June 17, 2007
Corat-coret
Ketika detik-detik penentuan itu mesti ditunggu. Segala perasaan seakan tertahan. Ada harapan, juga kecemasan. Ketika pengumuman itu didengar.
Dan hasil pun didapatkan. Semua seakan tertumpah.
Ada rasa haru. Sedih. Gembira. Semua campur aduk dalam satu momen. Kegembiraan pun dihelat. Aksi corat-coret pun, menanda pada baju. Rambut. Sepatu dan berbagai atribut. Yang mereka kenakan semasa sekolah.
Namun, pada saat yang sama. Sekelompok anak SMU, tak bergabung dalam iringan pesta corat-coret dan pawai keliling itu. Mereka tak sanggup melaksanakan. Sekolah mengumumkan, mereka tak lulus.
Kekesalan ditumpahkan. Mereka mencegat iring-iringan yang merayakan kelulusan.
Dan, terjadilah bentrokan. Perkelahian jalanan mewarnai pengumuman itu.
Begitulah.
Hari ini, seluruh anak SMU di Indonesia, menutup rapat masa tiga tahun mereka berbaju abu-abu. Atau, memulai tahun ajaran baru dengan seragam sama. Yang tak sempat dicorat-coret, karena kondisi tak mensyaratkan, ia melakukannya.
Fotografer : Lukas B. Wijanarko
Teks : Muhlis Suhaeri
Edisi Cetak ada di Borneo Tribune, 17 Juni 2007
Posted by Muhlis Suhaeri at 11:24 AM 0 comments
Labels: Essai Foto
Friday, June 15, 2007
Pengentasan Kemiskinan di Perkotaan
Oleh: Muhlis Suhaeri
Ketiadaan lapangan kerja di desa, membuat orang berduyun-duyun mendatangi kota. Namun, tak semua orang siap bersaing. Mereka yang berhasil, hidup dan turut menggerakkan ekonomi kota. Begitu juga sebaliknya. Yang tak bisa bersaing, bakal menganggur. Mereka inilah yang memberi beban pada kota, dalam bentuk kemiskinan.
Cara menangani kemiskinan bisa dilakukan dengan berbagai cara. Ada beberapa langkah dan tahapan mesti dilakukan untuk mengatasinya. “Salah satunya dengan melakukan pendataan tentang kriteria kemiskinan,” kata Sutrisno Hadi, Walikota Tanjung Balai, Sumatera Utara, disela-sela Rakernas Apeksi di Pontianak Convention Center, Kamis (14/6).
Sebagian besar penduduk di Tanjung Balai, hidup menjadi nelayan. Kota itu, berbatasan langsung dengan Malaysia. Ada satu pelabuhan yang perannya cukup besar di sana. Namanya, Teluk Nibung. Di pelabuhan inilah, berbagai barang hasil perniagaan masuk dan keluar.
Tanjung Balai dekat dengan Singapura dan Malaysia. Port Klang, merupakan pelabuhan di Malaysia, yang dulunya sering dijadikan lokasi masuk dan keluarnya barang illegal. Orang membawa rokok, pakaian, sayuran dan berbagai kebutuhan. Begitu juga sebaliknya. Orang Indonesia masuk dan menjadi tenaga kerja di Malaysia, lewat pelabuhan ini. Jarak dua pelabuhan itu sekitar satu jam dengan perahu mesin.
“Begitu ketatnya barang masuk dari luar negeri, membuat susah perkonomian masyarakat kota,” kata Sutrisno. Ia aktif di pemerintahan sejak 2000, dan sudah periode kedua. Dulunya, ia dokter.
Setelah keluar masuknya barang dihentikan oleh pemerintah pusat, kondisi Kota Tanjung Balai, langsung sepi. Pelabuhan tidak ada bongkar muat barang. Buruh-buruh angkut barang, juga tidak ada kerjaan.
Kondisi itu diperparah dengan naiknya bahan bakar minyak (BBM). Praktis, hal ini makin memperparah perekonomian masyarakat, dan menciptakan kemiskinan baru.
Nelayan tidak bisa ke laut karena penghasilan dan pengeluaran tidak seimbang. buruh angkat juga susah, karena tidak adanya barang yang masuk.
Masalah ini menciptakan kemiskinan baru. Kemiskinan di perkotaan ditandai dengan banyaknya tempat kumuh. Ini menjadi tantangan pengembangan kota. Kemiskinan disebabkan berbagai faktor. Seperti, tidak terpenuhinya hak-hak dasar, untuk mempertahankan dan mengembangkan kehidupan bermartabat.
Karena kondisi itulah, Sutrisno melakukan berbagai penanganan. Ia melakukan pendataan di masyarakat. Setelah itu, ia memberikan bantuan kepada masyarakat melalui asuransi kesehatan masyarakat miskin (Askeskin), pemberian beras bagi rakyat miskin (Raskin). Meski sudah melakukan berbagai pelayanan, tidak semua orang bisa terlayani atau mendapat bantuan itu.
Ada satu tantangan khusus mewujudkan perkotaan yang aman, damai dan sejahtera. Pemerintah harus bisa menciptakan kondisi yang dapat mendorong pembangunan perkotaan dan berkelanjutan, namun juga tetap seimbang. Tujuan dari pembangunan kota tentunya menghindarkan proses marginalisasi, yang ditandai dengan kemiskinan semakin meluas, tingginya urbanisasi dan pengangguran.
“Ini tentunya akan jadi beban kami. Untuk menghindarkan keluhan dari masyarakat, kami menyiapkan dana Askeskin. Dana itu disesuaikan dengan dana yang membutuhkan,” kata Sutrisno.
Pemkot Tanjung Balai membuat program multidisipliner. Tidak hanya masalah kesehatan, tapi juga masalah makan, pendidikan, lapangan kerja, dan lainnya. Dengan adanya P2KP, semua kegiatan itu langsung dilakukan kepada rakyat, dari kelurahan-kelurahan. Ini juga melibatkan komite sekolah, masyarakat dan lainnya.
Pemkot Tanjung Balai menyiapkan 20 ribu jiwa untuk Askeskin dan 5 ribu kk, untuk Raskin. Itu untuk tahun 2007. Jadi, pemerintah memberi subsidi kepada masyarakat. Caranya, Pemkot membeli beras dengan harga Rp 5000 perkilo. Setelah itu, menjualnya kepada masyarakat dengan harga Rp 1000 perkilo. Jadi, Pemkot mensubdisi Rp 4.000.
Masalah perumahan juga diperhatikan. Rumah kumuh diperbaiki. Sekarang ini, ada sekitar 300-400 rumah sudah diperbaiki. “Kita rubah, rumah yang tidak layak huni, menjadi layak huni,” kata Sutrisno. Pembangunan itu juga mendapat bantuan dana dari Dirjen Cipta Karya, melalui Program Penanggulangan Kemiskinan di Perkotaan (P2KP).
Menurut data di P2KP, program ini dilaksanakan sejak 1999. Pendiriannya dalam rangka menanggulangi kemiskinan, akibat krisis ekonomi 1997. P2KP melaksanakan program dengan pendekatan pemberdayaan masyarakat. Yang didukung perangkat pemerintah dan kelompok peduli, untuk menciptakan sinergi dalam penanggulangan kemiskinan.
Pemberdayaan masyarakat dilakukan melalui penguatan organisasi, atau kelembagaan masyarakat setempat. Selain itu, memfasilitasi penyiapan perencanaan jangka menengah program penanggulangan kemiskinan, tingkat kelurahan (3 tahun) sesuai kebutuhan masyarakat. Pelaksanaan kegiatan bertumpu pada komunitas, untuk mendorong partisipasi dan kemandirian masyarakat dalam penanggulangan kemiskinan.
Berdasar dari P2KP, sekarang ini telah berhasil membangun jalan desa, jalan setapak, jembatan, sepanjang 3.215.093 m. Saluran drainase 1.228.273 m. Sarana air bersih 3.600 unit. Mandi Cuci Kakus (MCK) 3.456 unit. Sarana persampahan 10.436 unit.
Rehab rumah 5.863 unit. Fasilitas pelayanan kesehatan 56 unit. Pemasangan lampu jalan 5.235 unit. Fasilitas pendidikan 154 unit. Pasar 103 unit.
Lokasi Sasaran P2KP tahun 2007, tersebar di 33 provinsi, 249 kota/kabupaten, 834 kecamatan, terdiri dari 7.273 kelurahan/desa. Dengan rincian 4.400 kelurahan/desa di lokasi lama (sudah dan/atau sedang melaksanakan P2KP), 2.873 kelurahan/desa di Lokasi Baru (Belum terfasilitasi P2KP). Pada 2007, telah dialokasikan Dana Bantuan Langsung Masyarakat (BLM) dalam DIPA 2007, sebesar Rp.1.161.520.000.000.
Di Tanjung Balai, P2KP turut membantu pembangunan rumahn susun. Satu rumah susun sudah selesai tahun ini. Sekarang ini, akan dibangun lagi sekitar delapan unit rumah susun, untuk menampung masyarakat tidak mampu. Yang tinggal di rumah sewa. Khususnya, bagi mereka yang tinggal di rumah illegal. Misalnya, mereka yang tinggal di bantaran sungai.
Bantaran sungai tidak bisa dihuni, karena selain berisiko, juga berbahaya. Tapi, karena mereka tidak punya pilihan tempat tinggal, mereka menempati bantaran sungai. Masyarakat ini yang dapat prioritas menempati rumah susun.
Selain membangun rumah susun dan membaiki rumah supaya layak huni, Sutrisno melakukan penanganan kemiskinan melalui program wajib belajar 12 tahun. Jadi, kalau secara nasional, pemerintah memprogramkan wajib balajar 9 tahun, ia sudah punya program wajib belajar 12 tahun. Kebijakan ini ada konsekwensinya. Pemkot terpaksa mengeluarkan biaya, supaya anak dari keluarga tidak mampu, bisa sekolah.
Program itu sudah dilaksanakan pada 2005. Sejak 2006, Pemkot telah memasukkan sekitar 1000 usia SD-SMA. Mereka yang tidak sanggup sekolah, akan dibiayai Pemkot. Ia punya program, pada tahun 2020 nanti, semua anak di Tanjung Balai, sudah harus lulus SMA. Itu minimal.
Sekarang ini, tingkat pendidikan anak yang lulus SD di Tanjung Balai, mencapai 100 persen, SMP 95 persen. “Kalau lulusan SMA di atas 90 persen, kita akan canangkan daerah yang sudah berhasil membuat program belajar 12 tahun,” kata Sutrisno.
Selain itu, Pemkot juga punya program pendidikan anak usia dini (PAUD). Ia memfasilitasi pihak swasta, untuk mendirikan berbagai gedung pendidikan pre-sekolah. Disamping itu, juga mendirikan taman kanak-kanak pembina. Semua difasilitasi, seperti layaknya sekolah.
Sejauhmana masyarakat bisa mengakses pendidikan itu? Ia sudah mulai membuat pelayanan gratis. Semua sudah mengarah ke sana. Kalau pun ada anak tidak mampu, dan akan menyekolahkan anaknya, ia akan menfasilitasi masyarakat untuk terus memberi berbagai fasilitas bangunan, dan peralatannya.
Dengan cara itu, ada satu targetan yang harus dilakukan. Semua anak dalam menuju jenjang berikutnya, tingkat SD misalnya, dia harus punya sertifikat dari PAUD. Jadi, dengan cara begini, orang tua akan berusaha anaknya bisa ikut PAUD. Karena kalau tidak ikut PAUD, dia akan kesulitan melanjutkan ke jenjang SD.
“Paling tidak, dia belum pernah mengenal, apa yang namanya sekolah. PAUD tujuannya mengenalkan anak pada sekolah. Bukan untuk yang lain-lain,” kata Sutrisno.
Ada satu tujuan yang ia ingin capai dalam pembangunan di kotanya. Karena kota itu tidak punya potensi, maka sifatnya hanya menjual jasa. “Saya akan mengembangkan Tanjung Balai menjadi kota perdagangan, industri dan pelabuhan,” kata Sutrisno.□
Foto by Lukas B. Wijanarko, "Beranda Depan."
Edisi Cetak, Harian Borneo Tribune, 15 Juni 2007
Posted by Muhlis Suhaeri at 10:55 AM 0 comments
Labels: Perkotaan
Wednesday, June 13, 2007
Pontianak Pertama di Indonesia Masukkan Kespro dalam Pendidikan
Oleh: Muhlis Suhaeri
Dalam rangka mempopulerkan pengetahuan kesehatan reproduksi (Kespro) kepada remaja, Pemkot bekerja sama dengan Diknas Kota Pontianak dan Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI), akan meluncurkan, ”Buku Pendidikan Kesehatan Reproduksi Remaja Usia 10-14 tahun.” Peluncuran buku bakal dilakukan bersamaan dengan kegiatan Rakernas Apeksi City Expo di komplek A Yani Megamal, hari ini, Rabu (13/6).
Hal paling sederhana mengenai Kespro, misalnya, bagaimana remaja harus membersihkan alat reproduksinya, setelah buang air kecil. Atau, bagaimana mengetahui apa itu haid, kapan datangnya, dan lainnya. Dengan mengetahui Kespro, setelah dewasa dan alat reproduksinya matang, diharapkan orang tidak sembarangan menggunakan alat reproduksinya.
Buku ini memberikan berbagai informasi tentang Kespro. Dengan mengetahui Kespro, remaja punya tanggung jawab dan mengerti fungsi alat reproduksi mereka. Dengan cara ini, remaja dapat meningkatkan kualitas hidupnya.
Pendidikan Kespro, menjadi tanggung jawab semua pihak. Tak hanya remaja itu sendiri, tapi juga keluarga. Tak kalah pentingnya adalah unsur pendidik, karena mereka yang paling dekat dengan siswa. Guru menggunakan metode pedagogi ketika mengajar, sehingga nilai keberhasilan dan sosialisasi itu, lebih mengena. Berbicara tentang kesehatan reproduksi, harus disesuaikan dengan tahap perkembangan anak.
Pengetahuan Kespro bersifat antisipatif, bagaimana remaja melihat alat reproduksinya sendiri. Cara paling baik, melakukan pencegahan sebelum alat reproduksi itu rusak. Jadi, yang paling susah, tindakan setelah terjadi.
Buku ini berangkat dari suatu kebutuhan dan tingginya minat siswa di Pontianak, terhadap pendidikan info Kespro. Dari berbagai evaluasi dan pengamatan yang dilakukan PKBI di lapangan, ada suatu kebutuhan siswa untuk mengetahui dan berminat terhadap berbagai informasi tentang Kespro.
Sebelum buku itu jadi, ada beberapa tahapan dilalui. “Ada aspek uji coba,” kata Mulyadi, dari PKBI.
Awalnya, PKBI memfasilitasi guru, siswa dan orang tua murid (komite sekolah) dalam workshop penyusunan silabus. Tiga komponen ini, dikumpulkan dalam suatu workshop, bersama tim ahli dari berbagai bidang dan disiplin ilmu. Ada pakar pendidikan. Pakar kesehatan. Instansi pemerintah, dan lainnya.
Setelah itu, PKBI menfasilitsi pertemuan 22 guru sekolah SMP dan 11 SD di Kota Pontianak, untuk penyusunan rencana pelaksanaan pembelajaran (RPP) dan lembar kerja siswa (LKS). Setiap sekolah mengirimkan satu gurunya. Dari sinilah, tim ahli memberikan panduan, berdasarkan masukan dari tiga kompenen tadi. Kebutuhan siswa dapat diakomodir berdasarkan kebutuhan pendidik dan orang tua siswa. Hasilnya menjadi silabus dan pedoman.
Setelah jadi, guru menggunakan RPP sebagai pembelajaran dan menerapkannya di sekolah. RPP ini disusun untuk jangka waktu tiga bulan sekali. Untuk mengetahui keberhasilan dari RPP, tiap tiga bulan harus ada pelaporan dan evaluasi.
Sebelum RPP diterapkan ke sekolah dalam bentuk pengajaran, dilakukan lagi workshop untuk membahas RPP. Setelah itu, baru diterapkan ke sekolah. Penerapannya tidak bisa langsung. Harus bertahap. Uji coba dilakukan pada semester ganjil dan genap.
Hasil evaluasi untuk mengetahui, sejauhmana keberhasilan metode pengajarannya, mudah atau tidak diterima siswa, dan lainnya. Apa yang dirancang, perlu penyempurnaan. Hasil dari evaluasi, dimasukkan ke tim.
“Buku ini adalah kumpulan dari uji coba itu. Sehingga sangat membantu dan sistematis,” kata Mulyadi.
Isi dari pengajaran, metode, bisa dipertanggungjawabkan kebenarannya. Proses pembuatan buku ini, lumayan panjang. Apa yang akan disampaikan, dan bagaimana menyampaikannya. Butuh waktu dua tahun mengerjakan buku ini.
Buku berisi metode pembelajaran info Kespro ini, tidak masuk ke dalam mata pelajaran khusus (monolitik). Pemerintah pusat tidak memperbolehkan penambahan mata pelajaran baru, diluar yang telah ditetapkan. Karenanya, Kespro diselipkan dalam berbagai mata pelajaran yang relefan. Misalnya, ketika guru agama sedang memberi pelajaran, ia bisa menyelipkan pengetahuan Kespro. Atau, ketika guru SD memberi pelajaran sains, ia bisa menyisipkan info Kespro dalam pelajarannya.
Lalu, kenapa pendidikan Kespro itu, dilakukan pada anak usia 10-14 tahun?
“Karena perkembangan psikologi anak pada usia ini,” kata Urai Husna Asmara, profesor bidang pendidikan yang menjadi ketua PKBI Kalbar. Proses kedewasaan dimulai dari SD. Ketika anak SD dasarnya bagus, biasanya, kedepannya juga bagus.
Menurut Husna, sistem ini baru pertama kali di Indonesia. Memberikan panduan kepada guru-guru, mulai dari kurikulum, RPP dan RKS, menjadi pelajaran di sekolah. Ini wajar sebagai inovasi dari pemerintah Kota Pontianak.
Ada satu keinginan, tahun depan mata metode ini bisa diperluas, oleh Pemkot seluruh Indonesia. Sehingga bisa menjadi masukan di tingkat nasional, dalam upaya preventif mengantisipasi makin merebaknya berbagai permasalahan seputar, kesehatan reproduksi, kehamilan tidak diinginkan, penyebaran HIV/AIDS, dan lainnya.
Menurut Gusti Hersan, pembelajaran kesehatan reproduksi di sekolah sangat penting sebagai awal (preventif) dalam memberikan alternatif dan solusi untuk mengatasi masalah kesehatan reproduksi siswa. Dengan pengetahuan lebih dini, diharapkan anak didik punya wawasan dan pengetahuan melindungi diri, agar dapat terhindar dari berbagai kasus yang tak diinginkan.
“Dengan terbitnya buku ini, akan memudahkan para pendidik dalam memberikan pengetahuan dan pemahaman kesehatan reproduksi remaja, kepada pelajar secara terencana, sistematis dan ilmiah,” kata Buchary, dalam kata sambutannya di buku itu.□
Foto by Lukas B. Wijanarko, "Tawa Remaja."
Edisi Cetak, Harian Borneo Tribune, 13 Juni 2007
Posted by Muhlis Suhaeri at 10:50 AM 0 comments
Labels: Pendidikan
Sunday, June 10, 2007
Racing
Suatu siang yang panas. Sebuah drama sedang terjadi. Adu cepat. Adu nyali. Adu kehebatan dan setingan motor, terjadi. Sekitar 100 pembalap, mengikuti Kejuaraan Nasional Motor Prix Seri III Region IV Kalimantan, di Sirkuit Sultan Syarif Abddurrahman, Pontianak, Minggu (3/6).
Kejuaraan diikuti pembalap dari Kalimantan Barat, Tengah, Selatan dan Timur. Kalimantan Barat mengirim lima pembalap, Kalsel 18 pembalap dan Kaltim dua pembalap.
Kejuaraan memperebutkan lima kelas. MP1, MP2, MP3, MP4, MP5. MP1, kelas bebek 110 cc tune up seeded kejurnas. MP2, kelas bebek 125 cc 4 langkah tune up seeded kejurnas. MP3, kelas 110 cc 4 langkah tune up pemula A kejurnas. MP4, kelas 125cc 4 langkah tune up pemula A. MP 5, kelas bebek 110 cc 4 langkah standard pemula B kejurnas.
Dari lima kelas yang dipertandingkan, Kalsel menyabet empat kelas. Dua kelas diantaranya, atas nama, M. Roni PJP. Kalbar menyabet satu kelas, MP1, atas nama Wendra.
Kemenangan Kalsel diperoleh melalui kerja keras dan persiapan yang mereka lakukan menjelang kejuaraan berlangsung. Tak itu saja, faktor motor juga menjadi penentu kemenangan.
Seperti juga di arena balapan pada umumnya, bau harum parfum para gadis pembawa payung start, makin menambah semarak pertandingan. Begitu pun dengan penonton yang dengan antusias mengikuti jalannya lomba. Tak kalah serunya adalah balapan itu sendiri. Saling kebut dan balap, mewarnai aksi para pembalap.□
Fotografer : Lukas B. Wijanarko
Teks : Muhlis Suhaeri
Edisi Cetak ada di Borneo Tribune, edisi 10 Juni 2007
Baca Selengkapnya...
Posted by Muhlis Suhaeri at 11:16 AM 0 comments
Labels: Essai Foto
Saturday, June 9, 2007
*Pontianak Plus: Kelompok Dampingan Sebaya
Oleh: Muhlis Suhaeri
Merebaknya virus HIV/AIDS seharusnya disikapi dengan baik. Tidak perlu ada stigma, hujatan, atau pengucilan. Mereka seharusnya dirangkul. Didekati dan diberdayakan. Toh, mereka juga bagian dari kehidupan di sekitar kita.
Terinfeksi virus HIV/AIDS, bukanlah akhir dari segalanya. Orang dengan HIV/AIDS (ODHA) bisa melakukan berbagai aktivitas kehidupan. Mereka bisa bekerja, berolahraga, atau kegiatan lainnya.
Perasaan senasib melahirkan kebersamaan. Kepedulian. Semangat saling berbagi dan persaudaraan. Begitu pun dengan para ODHA di Pontianak. Ketika tubuh mulai terinfeksi virus HIV/AIDS, rasa dan perasaan senasib itu pun muncul.
Mereka mengorganisir diri. Menghimpun diri dan bergabung dalam satu wadah atau organisasi. Namanya, Pontianak Plus (PP) Support.
Kelompok dukungan ini, berawal ketika Yayasan Spiritia, Jakarta, membuat suatu pelatihan dan program penguatan di Pontianak. Spiritia bertemu dan berbagi pengalaman tentang HIV/AIDS dengan para mantan pecandu narkoba, dokter, perawat, dan orang-orang yang peduli dengan masalah HIV/AIDS.
Pontianak Plus dibentuk pada 13 Oktober 2003, di Pontianak. Awalnya, pembentukan itu dilatarbelakangi, makin banyaknya kasus HIV/AIDS di Kalimantan Barat. Terdorong rasa peduli, menangani, dan membuat jejaring dalam penanganan itulah, mereka membentuk yayasan ini. Tujuannya, ingin saling berbagi pengalaman.
“Awalnya, ada komitmen pribadi dan yang lain, untuk berbagi pengalaman dan perasaan,” kata Hermia Fardin, biasa dipanggil Mia. Ia ketua Pontianak Plus.
Pontianak Plus merupakan kelompok dukungan sebaya ODHA. Dengan Pontianak Plus, mereka punya visi untuk menghapus stigma, diskriminasi, dan menghilangkan rasa takut masyarakat terhadap ODHA.
Stigma dan diskriminasi muncul, ketika masyarakat tidak tahu, apa itu HIV/AIDS. Bagaimana cara penularannya dan pencegahannya. Ketidaktahuan itulah yang membuat masyarakat menjauhi ODHA.
Dalam kegiatannya, Pontianak Plus selalu ingin memberdayakan ODHA. Meski telah terinfeksi virus HIV/AIDS, mereka masih bisa melakukan berbagai aktivitas. Pontianak Plus punya kepedulian pada ODHA, supaya mereka lebih semangat menjalani hidup.
Munculnya sikap masyarakat yang memberikan stigma atau diskriminasi, tak bisa disalahkan sepenuhnya. Kurangnya sosialisasi tentang permasalahan HIV/AIDS, juga jadi penyebab. Oleh sebab itulah, Pontianak Plus, juga membuat berbagai program dan informasi kepada masyarakat, tentang HIV/AIDS. Bentuk kegiatan ini dilakukan dengan pembuatan berbagai booklet, poster, dan buku saku mengenai HIV/AIDS.
Di Pontianak Plus, mereka giat memberi pelatihan, peningkatan keterampilan dan pengetahuan. Peningkatan keterampilan dalam hal ini, berupa berbagai pengetahuan teknis mengenai, cara menangani ODHA, pengobatan, dan lainnya.
Tak hanya itu, Pontianak Plus memberi dukungan dan pelayanan kepada ODHA dengan cara, memberikan akses informasi dan rujukan tentang pengobatan. Hal ini penting, karena ODHA maupun keluarganya, perlu tahu bagaimana mereka menangani permasalahan itu.
Pada perkembangannya, Pontianak Plus membentuk Yayasan Lembaga Kemanusiaan Pontianak Plus. Dengan terbentuknya yayasan itu, mereka berharap dapat memperkuat program di Pontianak Plus. Karena ada program, bagaimana Pontianak Plus kedepannya, bisa menjadi payung bagi kelompok dukungan sebaya di Kalimantan Barat.
Sekarang ini, Pontianak Plus punya kelompok dukungan sebaya di Kota Pontianak, Kabupaten Pontianak, Kota Singkawang, Kabupaten Sintang, dan Kabupaten Pemangkat, Kota Singkawang.
Selain melakukan pendampingan pada ODHA, Pontianak Plus juga melakukan berbagai pendampingan kepada kelompok masyarakat yang berisiko tinggi terhadap penularan HIV/AIDS. Mereka ini adalah, pengguna narkoba jarum suntik (IDU), perempuan pekerja seks (WPS), pelanggan WPS, homoseksual, dan orang yang hidup dengan HIV/AIDS (OHIDA). OHIDA dalam hal ini adalah, keluarga serumah yang tinggal dengan orang yang terinveksi HIV/AIDS.
Menurut Mia, Pontianak Plus merupakan kelompok payung yang melayani kelompok dukungan sebaya di seluruh Kalimantan Barat. “Dengan Pontianak Plus, kita bisa melakukan berbagai penjangkauan ke berbagai daerah,” kata Mia.□
Foto dokumen Mia
Edisi Cetak, Harian Borneo Tribune, 9 Juni 2007
Posted by Muhlis Suhaeri at 10:45 AM 0 comments
Labels: Kesehatan
Thursday, June 7, 2007
Adakah Jugun Ianfu di Kalbar?
Muhlis Suhaeri
Borneo Tribune, Pontianak
Tanggal 28 Juni, warga Kalimantan Barat, mengenang peristiwa Mandor atau Hari Berkabung Daerah (HBD). Peristiwa itu meninggalkan jejak, terbunuhnya ribuan warga Kalbar dari berbagai agama, etnis, dan golongan. Ada yang menyebut, jumlah korban 21.037. Ada lagi yang menyebut sekitar 50 ribu.
Kalau serdadu Jepang, membunuh ribuan warga Kalbar semasa penjajahannya, bagaimana dengan nasib perempuan? Berapa orang menjadi korban kekerasan seksual tentara Jepang?
Ketika elit politik, pejabat atau warga berteriak dan mengangkat isu HBD, isu tentang peremouan yang dijadikan budak nafsu tentara Jepang, tidak terdengar dalam teriakan para tokoh masyarakat itu. Apakah kita menutup mata terhadap permasalahan ini? Atau, memang tidak peduli dan tidak berani mengakui, karena merasa malu, bahwa perempuan kita pernah mengalami peristiwa itu.
Dalam kamus elektronik Wikipedia Indonesia, Jugun ianfu merupakan wanita yang dipaksa untuk menjadi pemuas kebutuhan seksual tentara Jepang di Indonesia, dan di negara jajahan Jepang lainnya, pada kurun waktu tahun 1942-1945, semasa Perang Dunia II.
Menurut riset Dr. Hirofumi Hayashi, seorang profesor di Universitas Kanto Gakuin, jugun ianfu termasuk orang Jepang, Korea, Tiongkok, Malaya (Malaysia dan Singapura), Thailand, Filipina, Indonesia, Myanmar, Vietnam, India, Indo, Belanda, dan penduduk kepulauan Pasifik. Jumlah perkiraan dari jugun ianfu pada saat perang, berkisar antara 20.000 dan 30.000. Pengakuan dari beberapa jugun ianfu yang masih hidup, jumlah ini sepertinya berada di batas atas dari angka itu. Kebanyakan rumah bordilnya berada di pangkalan militer Jepang, namun dijalankan oleh penduduk setempat, bukan militer Jepang.
Menurut riset Dr. Ikuhika Hata, seorang profesor di Universitas Nihon. Orang Jepang yang menjadi jugun ianfu ini sekitar 40 persen, Korea 20 persen, Tionghoa 10 persen. Dan 30 persen sisanya dari kelompok lain.
Dalam berbagai seminar mengenai trafiking, isu jugun ianfu kurang tersentuh dalam pembahasan. Padahal, Menurut Hairiah dari Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) perwakilan Kalbar, jugun ianfu termasuk dalam sejarah trafiking di Indonesia.
Masalah jugun ianfu pernah dilakukan tribunal court di Belanda dengan hakim dari negara-negara lain. Hasil dari persidangan menyatakan, pemerintah Jepang bersalah dan diharuskan memohon maaf pada korban dan keluarganya.
Menurut Asmaniar, jugun ianfu merupakan peristiwa menyedihkan. Dalam artian, banyak perempuan Indonesia dijadikan pemuas nafsu tentara Jepang, namun tidak terungkap. Demikian juga di Kalbar. Ada perasaan malu mengungkapkan. “Peristiwa ini dianggap sebagai aib bagi diri dan keluarganya,” kata anggota dewan dari Komisi D DPRD Kalbar, ini.
Ini sesuatu yang tidak adil dan menyedihkan. Dalam artian, banyak dari perempuan Indonesia menjadi korban, tapi tidak tersuarakan. Orang yang sudah menjadi korban, pada akhirnya menjadi korban lagi, karena tidak terungkap. Yang harus dilakukan tentu, membuat perasaan nyaman dan aman. Mereka harus dihargai dengan rasa kemanusiaan.
Membuat rasa aman pada perempuan yang menjadi jugun ianfu perlu dilakukan. Orang yang pernah diperkosa, punya efek psikologi dan trauma. Apalagi, dijadikan budak seks. Yang konotasi orang, jelek saja.
Dalam sejarahnya, para korban jugun ianfu tidak punya posisi tawar. Mereka tak berdaya. Yang laki-laki saja dibantai, apalagi perempuannya. Pada masa perang, sudah menjadi rahasia umum, perempuan dijadikan sandera dan pampasan perang.
Yang harus dipertanyakan adalah, apakah ini baik-baik saja. Artinya, tidak ada korban jugun ianfu. Atau, malu karena menjadi korban.
Seharusnya ada suatu usaha mencari tahu, apa yang sebenarnya terjadi. Caranya, menghimpun berbagai data tentang peristiwa itu. Seperti juga, bagaimana mencari berbagai data mengenai peristiwa Mandor. Dari hasil itu, dikuatkan pemerintah daerah dengan Perda. Bahwa, ini peristiwa yang memang pernah terjadi.
Dari rentang waktu terjadinya peristiwa hingga saat ini, para korban masih ada yang hidup. Dan kalau bicara harus mulai dari mana, harus ada yang mulai. Sejarah ini harus diungkap satu persatu. “Kita tidak punya kapasitas untuk menghujat. Malah, yang harus dilakukan adalah, melindungi dan membuka masalah ini ke permukaan,” kata Asmaniar. Seperti juga membuka tragedi Mandor.
Harus dibuka satu perspektif, para korban di Jawa sudah ada yang berani menuntut dan memperjuangkan masalah ini. Pemerintah Kalbar atau kelompok yang peduli, harus mau memperjuangkan hal ini. Sehingga korban terlindungi dan tidak membawa masalah ini sendirian, ke masa tuanya.
Lalu, tahapan apa saja yang harus dilakukan, sehingga isu ini tidak hanya menjadi wacana, tapi juga satu gerakan?
Sekarang ini situasinya memang masih cair sekali. Yang paling mungkin bisa dilakukan adalah, pemerintah harus membahas hal pada tataran eksekutif dan legislatifnya. Harus ada data awal, bahwa ada pengakuan persoalan kejahatan dilakukan oleh penjajahan Jepang pada perempuan Kalbar.
Pemerintah harus memberi informasi pada masyarakat, peristiwa itu memang pernah terjadi. Selain itu, harus ada studi perpustakaan atau penelitian tentang masalah ini.
Keterlibatan berbagai pihak dan instansi sangat diperlukan dalam hal ini. “Dinas sosial, Bapora, bahkan hingga ke Sekda, sekalipun,” kata Asmaniar.
Ia berharap, masalah ini harus dibuka. Menurutnya, bangsa ini adalah bangsa pelupa. Dan ada kekhawatiran dari korban untuk melapor atau malu. Bila itu terjadi, maka sejarah bangsa ini, tidak akan pernah terungkap. Kalau tidak punya sejarah, berarti tidak punya satu pijakan untuk bertindak dan berpijak, pada masa kini.
Menurut Sudarto, salah satu peneliti sejarah di Kalbar, saat ini pemerintah Jepang sudah memperbolehkan berbagai dokumen sejarah dibuka.
Hal ini tentu bisa ditelusuri. Membuka masalah jugun ianfu, bukan berarti ingin mempermalukan mereka yang menjadi korban. Tapi, ada satu usaha untuk meluruskan sejarah. Bahwa, penjajahan Jepang, pernah melakukan kekerasan terhadap perempuan di Kalbar.
Jepang harus minta maaf atas perbuatan-perbuatannya. Kalau memang bisa diikuti dengan pemberian kompensasi pada korban, tentu akan sangat lebih baik.
Persoalannya sekarang adalah di data. Kalau memang harus dibuka, harus ada bantuan dari berbagai pihak yang mengetahui masalah ini. Masalah ini harus dibuka secara bersama. Membuka masalah jugun ianfu bukan berarti mempermalukan korban atau membuka luka lama. Tapi, untuk melindungi hak-hak orang yang terbaikan.
Perjuangan ini tentu tidak sebentar. “Pemerintah Kalbar harus punya kemauan dan itikad baik, untuk mengangkat masalah ini. Ini memang bukan proses yang mudah,” kata Asmaniar.□
Edisi Cetak ada di Borneo Tribune, 7 Juni 2007
Foto Lukas B. Wijanarko
Posted by Muhlis Suhaeri at 10:32 AM 0 comments
Labels: Perempuan
Monday, June 4, 2007
Pelatihan Pendidik Pengobatan bagi ODHA
Oleh: Muhlis Suhaeri
Yayasan Spiritia Jakarta dan Pontianak Plus mengadakan kerja sama pelatihan, untuk pendidik kesehatan, mengenai penggunaan terapi obat antiretroviral. Kegiatan berlangsung di Hotel Kini Pontianak dari 4-9 Juni 2007. Kegiatan bertujuan meningkatkan mutu hidup ODHA, melalui akses pengobatan dan kehidupan bermutu untuk HIV dan pada informasi untuk meningkatkan tingkat keberhasilannya.
Pelatihan ini sebagai respon dari makin banyaknya orang yang hidup dengan HIV/AIDS (ODHA). Yang menggunakan terapi antiretroviral (terapi untuk menekan pembuatan HIV). Obat ini sudah disubsidi keberadaannya oleh Dinas Kesehatan.
Meski sudah banyak ODHA yang menggunakan terapi antiretroviral, namun banyak juga yang belum mengetahui dan mengerti secara jelas, semua aspek pengobatannya. Dalam hal ini termasuk kepatuhan, efek samping, kombinasi obat dan bagaimana menjangkau obat tersebut. Bahkan, ada satu laporan menyebutkan, ada ODHA yang memakai obat ini, tanpa mematuhi dan pedoman dari dokter.
Pelatihan ini juga bentuk kesadaran, bahwa jumlah dokter yang punya pengetahuan, pengalaman, ketrampilan, menangani terapi ini, sangat terbatas jumlahnya.
Hal inilah yang mendorong Yayasan Spiritia Jakarta, bekerja sama dengan Pontianak Plus, mengadakan pelatihan. Tujuan dari pelatihan, meningkatkan pengetahuan dan keterampilan ODHA dan komunitas yang berpengaruh pada ART. Selain itu, pelatihan bertujuan mendorong ODHA, memulai ART dengan penuh percaya diri, dan menyediakan modul pelatihan pendidikan pengobatan, yang dapat dipakai oleh peserta untuk melakukan pelatihan sejenis, pada kelompok atau lembaganya.
Peserta pelatihan berasal dari seluruh wilayah Kalbar. Mereka yang ikut pelatihan ini punya kriteria, harus memahami dan punya pengalaman penuh tentang dasar HIV, dan pengobatannya. Mereka yang tertarik dan ingin belajar tentang cara pengobatan HIV dan bersedia membagi pengetahuannya kepada kelompok atau ODHA di daerahnya, juga bisa mengikuti kegiatan ini.
Materi yang diberikan dalam pelatihan itu antara lain, pengetahuan dasar mengenai HIV dan pengobatannya, ARV dan anak, HIV dan perempuan, infeksi oportunistik, pelatihan paliatif (penanganan nyeri), HIV dan Tuberculosis (TB), HIV dan Hepatitis, dan lainnya.
Selain materi tersebut, pelatihan juga diisi dengan materi praktik dan kegiatan penunjang. Bahkan, dalam setiap sesi acara, panitia juga mengadakan berbagai permainan, supaya sesama peserta ada rasa kebersamaan.
Hermia Fardin dari Pontianak Plus, menuturkan, “Kegiatan ini merupakan satu cara untuk memfasilitasi kelompok dukungan yang ada di tiap kabupaten, yang tergabung dan menjadi kelompok dampingan ODHA.”□
Foto by Lukas B. Wijanarko, "Siluet."
Edisi Cetak, Harian Borneo Tribune, 4 Juni 2007
Posted by Muhlis Suhaeri at 10:40 AM 0 comments
Labels: Kesehatan
Sunday, June 3, 2007
Gasing
Dalam satu pameran gasing di Jakarta, seseorang bertanya pada Iwan Fals, yang hadir pada pameran itu.
“Bang Iwan, apa filosofi dari gasing itu?”
“Kenapa gasing bisa berputar lama, karena punya keseimbangan. Nah, kalau hidup kita punya keseimbangan antara jasmani dan rohani, maka hidup akan lama,” kata Iwan Fals.
Begitulah. Apa yang diungkapkan Iwan Fals tentang gasing, benar adanya. Dalam permainan gasing, terkandung berbagai nilai dan filosofi. Ada nilai kebersamaan. Gotong royong. Kekompakan. Sportifitas dan kejujuran.
Dulu, ketika orang membuat gasing, mereka harus mencari bahan pembuat gasing secara bersama. Dari sanalah muncul kebersamaan dan gotong royong. Dalam permainan gasing, orang tidak boleh menganggu gasing orang lain. Artinya, ada nilai sportifitas dalam permainan ini.
Permainan gasing tidak mengenal usia. Anak kecil hingga orang tua, memainkannya.
Permainan gasing sangat lokal. Gasing dibuat berdasar bahan yang ada di sekitar daerah itu. Orang dari Kalimantan membuat gasing dari kayu kapas atau belian. Di Kalimantan, banyak terdapat jenis kayu ini.
Orang dari Jawa, menyebut gasing dengan nama paton. Mereka membuat gasing dari kayu jambu, mahoni, petai China atau kayu asam. Jenis kayu itu, banyak terdapat di Jawa. Orang Bali, membuat gasing dari kayu jeruk. Orang pesisir di Papua dan Ambon, membuat gasing dari buah nyamplung yang dibuang isinya.
Jadi, gasing sangat fleksibel. Mengikuti ranah kehidupan manusia yang berinteraksi dengan alam di sekitarnya.
Bentuk gasing ada dua. Gasing piring dan Jantung. Gasing piring bentuknya pipih dan melebar. Semakin pipih gasing itu, semakin bagus. Gasing jantung bentuknya mengerut seperti jantung.
Dalam permainan gasing, ada tiga biasa dilombakan. Gasing adu. Gasing uri, lamanya berputar. Dan gasing bunyi. Dinilai berdasarkan keindahan bunyinya.
Nah, apakah kehidupan Anda ingin harmoni dan seimbang. Maka, lihat dan seni dan falsafah dalam permainan ini.
Fotografer : Lukas B. Wijanarko
Teks : Muhlis Suhaeri
Edisi Cetak ada di Borneo Tribuen, edisi 3 Juni 2007
Posted by Muhlis Suhaeri at 11:04 AM 1 comments
Labels: Essai Foto