Monday, June 18, 2007

Bagaimana Konsep Pembangunan Kota Harus Dibuat?

Oleh: Muhlis Suhaeri

Berbicara mengenai pembangunan kota, adalah bicara mengenai konsep-konsep pembangunan. Konsep pembangunan kota harus memiliki dan punya beberapa dimensi dan esensi. Esensi pembangunan. Ideologi pembangunan. Strategi pembangunan. Dimensi taktis pembangunan. Dan dimensi prakmatis pembangunan.

Untuk mengetahui sejauhmana konsep-konsep itu, berikut ini wawancara dengan Ripana Puntarasa, Institusional Development Specialist, Neighborhood Upgrading And Shelter Sector Project (NUSSP).


Berbicara dengan lelaki ini, bagai berhadapan dengan seorang orator. Yang siap mengagitasi dan memberi berbagai pemahaman dan konsep-konsep pembangunan perkotaan. Dalam satu tarikan napas, puluhan kalimat meluncur deras. Siap menghunjam dan membuka cakrawala kita.

“Ketika kita bicara tentang konsep pembangunan perkotaan, dan harus lebih spesifik lagi, harus bicara tentang konseptual,” katanya memulai pembicaraan.

Kota adalah suatu entitas yang utuh. Ada relasi fungsi sosial ekonomi, politik, budaya, dan lainnya. Yang prosesnya bukan serta-merta, ada begitu saja. Ada suatu proses kultural panjang.
Hubungan dan fungsi dalam konteks struktur dan sistem kota, mestinya ada sistem tata ruang yang diekplisitkan. Yang fungsi tata ruang itu, harus fungsional. Ada hubungan saling mempengaruhi dan tidak berdiri sendiri.

Kota merupakan suatu entitas yang sistemik atau utuh. Itu hal pertama yang harus dipakai. Sebagai suatu entitas yang utuh, apa pun realitas kota, merupakan wahana hidup bagi seluruh warganya. Dengan daya dukung material ke wilayahan apa pun yang ada di kota itu. Pada konteks seperti ini, hal mendasar yang harus diperhatikan adalah, bagaimana sumber daya kota secara materiel dan non materiel, menjadi wahana hidup bagi seluruh warga.

Kota mesti punya peran menjembatani berbagai kehidupan masyarakatnya. Baik secara ekonomi, budaya, politik, dan lainnya. Dalam konteks ini, warga harus punya daya hidup, sebagai pedagang, pengrajin, pegawai atau lainnya.

Secara sosial, kota memiliki relasi antarkelompok ethnik. Sebagai realitas warga, warga juga punya hak dan daya hidup, sebagai kelompok sosial, ekonomi, atau politik. Semua mesti mendapat layanan dan tidak dibedakan. Artinya, sebagai suatu entitas yang dimiliki, tak hanya individu, tapi juga entitas kemanusiaannya.

Meski begitu, ada hak tradisional yang tidak bisa diganggu gugat. Perkembangan lingkungan, seperti kota dan pedesaan, tanpa sentuhan dari luar komunitasnya, punya otoritas mengembangkan kemampuan dan lingkungan sosial. Komunitas itu secara kultural akan berkembang dengan kebutuhan tadi.

Selain itu, ada komitmen internasional yang sangat universal. Bahwa, semua manusia punya sepuluh hak dasar. Misalnya, hak yang sama untuk hidup, beragama, sosial, hidup layak, dapat mengakses air, kesehatan, pendidikan, seni, budaya, dan hak atas lingkungan hidup.

Lalu, sejauhmana hal itu sudah dilakukan atau terpenuhi?

“Itu yang jadi pertanyaan kita bersama,” kata Ripana. Setiap warga, apakah sudah merasa hidup nyaman dan aman, ketika bekerja atau menjalani kehidupan lainnya. Nyaman dan aman dalam hal ini adalah, ketika orang bekerja, ia tidak kuatir akan dipecat. Ketika orang berjualan, tidak kuatir akan dirazia dan digusur, dan sebagainya.

Menurutnya, secara keseluruhan hal itu belum terpenuhi. Apalagi ketika melihat berbagai fenomena sosial tentang perkampungan dan kota. Semua masih menyisakan sesuatu yang bermasalah.

Salah satu contoh, rekomendasi yang dihasilkan dalam Rakernas Apeksi, misalnya. Yang menganjurkan pemenuhan hak dasar. Bahwa, semua kota harus bisa memenuhi hak dasar warga kotanya. Ini merupakan semangat bersama, bagaimana pembangunan kota mesti dilakukan.

Konsep pembangunan kota harus dilihat secara makro dengan memahami esensinya. Yang bisa menjamin hak hidup setiap orang. Sehingga setiap orang memiliki harkat dan martabat kemanusiaan yang utuh. Bisa hidup, bertempat tinggal, bekerja dengan baik, dan sebagainya. Ada rasa aman dan nyaman, dalam menjalani semua itu. Bahwa, sejahtera, diartikan bukan pada jumlah materi yang dimiliki. Tapi, juga pada hidup itu sendiri. Hal ini, yang akan menjaga stabilitas manusia, dan alam sekitarnya.

Pembangunan kota harus berpegang pada sesuatu yang bersifat ideologis. Dalam artian, pembangunan mau dibawa kemana. Kalau konteks ideologi dikembalikan pada substansi hidup di Indonesia, berarti orang harus bisa memenuhi apa yang diamanatkan dalam pembukaan UUD 1945. Yaitu, ikut memajukan kesejahteraan bangsa, menjaga ketertiban dunia, berdasarkan keadilan sosial, dan lainnya.

Dalam pembangunan harus ada ideologi. Dalam kontek menuju proses pembangunan, berdasarkan kebijakan, maka kebijakan pembangunan mengacu pada amanat negara. Yang mengadung kewajiban dari pemerintah, secara strategis dan dalam konteks pembangunan. Mesti ada langkah ideologis, menyangkut masa depan.

Strategi dalam hal ini, bagaimana pembangunan harus dirancang, direncanakan dan dikelola. Karena, bicara mengenai pembangunan, tidak bisa bicara mengenai rentang pembangunan kota dalam jangka waktu pendek. Misalnya, jangka waktu lima tahun. Pembangunan harus direncanakan secara jangka pendek, menengah dan panjang. Apa saja langkah strategis yang harus dibuat. Tahapan dan pencapaian harus jelas.

Yang menjadi pertanyaan mendasar, apakah pembangunan kota punya rencana pembangunan strategis secara holistic atau menyeluruh. Ketika bicara mengenai pembangunan kota secara holistik, maka harus bicara mengenai banyak hal. Misalnya, hak warga untuk hidup. Hak sungai untuk terus mengalir. Hak tanah untuk tetap hidup dan menjadi wahana bagi setiap orang. Sehingga setiap mahlug di lingkungannya terjamin. Nah, yang jadi pertanyaan. Ada atau tidak, langkah strategis seperti ini.

Perencanaan strategis harus mengandung aspek sejarah. Sejarah ekonomi. Sejarah Sosial. Sejarah politik. Jadi, mesti ada kerangka, membangun kota kedepan seperti apa.

Bicara mengenai kota, harus bicara mengenai sistem tata ruang kota dan harus dikelola dengan baik. Sistem tata ruang menjadi referensi pembangunan bagi pemerintah, swasta maupun rakyat. Selama sistem tata ruang tidak disusun dengan baik, berdasarkan relasi-relasi fungsional, maka tidak akan pernah tertata dengan baik.

Salah satu contoh, relasi fungsional misalnya pembangunan pusat pertokoan. Ketika pertokoan dibangun, kehidupan di sekitarnya juga terkait. Pusat pertokoan dibangun tanpa harus mengganggu lingkungan pemukiman di sekitarnya. Tapi, bagaimana lingkungan sekitarnya bisa dipelihara dengan baik. Sehingga pekerja di pertokoan bisa tinggal di pemukiman tersebut.

Seharusnya, pusat pertokoan juga memberi ruang pada komoditas di sekitarnya, untuk ditampung di pertokoan. Pembangunan pusat pertokoan, seharusnya tidak mematikan pedagang kecil.

Relasi perusahaannya harus diterjemahkan secara visual dan konseptual. Begitu pula unit-unit pengembangan masyarakat, akan terkait dengan soal-soal ekonomi, budaya, perumahan dan pemukiman. Bagaimana sistem penataan dan perumahan di kota, memberi ruang pada yang tinggal di lingkungannya, tidak merasa terganggu kenyamanan dan kenikmatan dalam hidup.

Menurutnya, dalam sejarahnya ada problem pembangunan di Indonesia. Ketika pembangunan masih bersifat sentralistik, ada berbagai rencana tata ruang. Semua diberikan dari pusat, padahal realitas sehari-hari dihadapi pemerintah daerah.

Ketika otonomi daerah masuk, maka rencana pembangunan strategis daerah, mesti dikaitkan dengan kewenangan otoritas daerah, untuk mengelola daerahnya. Sekarang ini, kewenangan daerah secara operasional atau teknis sangat tinggi. Wilayah taktis, ketika rencana kerja disusun, harus bekerjasama dengan siapa. Apa problem pembiayaannya. Apa program pengorganisasian. Relasi fungsional dan struktural.

Ketika wilayah taktis ini dilakukan, maka rencana strategis menjadi acuan dari pemerintah untuk melakukannya. Di dalam proses pembangunan kota, harus dimasuk terus. Jadi, ada suatu proses bersama. Yang bisa mendorong proses pembelajaran di pemerintahan, masyarakat, LSM, dan lainnya.

Dalam pembangunan kota, ada proses pelembagaan. Dalam konteks ini, Pemerintah kota, dapat memanfaatkannya secara maksimal dan memutuskan secara prakmatik. Pembangunan kota harus bisa melihat, problem yang tidak bisa ditunda waktunya. Misalnya, orang perlu makan, kerja, harus ada langkah-langkah praktis dalam jangka setahun, setengah atau lainya. Yang diterjemahkan dalam APBD. Diterjemahkan dalam program masyarakat dan lainnya.

Konteks pembangunan kota secara umum, harus bisa menjelaskan hal itu dengan baik. Seorang pemimpin, apakah itu gubernur, walikota, bupati, camat, hingga kepala desa, harus bisa menerjemahkan lima dimensi esensi pembangunan. Ideologi pembangunan. Strategis pembangunan. Dimensi taktis pembanngunan. Dan dimensi prakmatis pembangunan.

Kalau ini bisa dikuasai, tidak akan terjadi prakmatisme pembangunan yang materialistik. Seolah-olah, hanya karena kebutuhan investasi, segera ingin tampak berhasil sebagai walikota atau gubernur, hal ini segera dilakukan.

Ini prakmatis yang fandalistik. Yang selalu dimanfaatkan kekuatan penguasa pasar dan punya modal. Ini yang selalu menjadi ancaman bagi warga, sehingga tidak nyaman tinggal di lingkungan, karena selalu dianggap kumuh. Sementara di lingkungan yang dianggap kumuh itu, ada pekerja kota, konsumen, warga sebagai konstituen pembangunan, penyelenggara pemerintah, dan lainnya.

Pembangunan kota tidak boleh meninggalkan sejarah, atau menghilangkan pencapaiannya pada bangunan bersejarah. Hal ini harus dilihat, agar proses pengembangan sosial, proses kesejarahan budaya, bisa ditandai dengan baik. Sehingga tidak ada budaya fandalis. Ketika membangun sesuatu, harus menghancurkan yang lama. Bangun kemudian. Namun, kalau toh itu harus dilakukan, harus dibicarakan dengan publik.

Pembangunan kota harus ada proses teknis dan program pembelajaran kota. Yang lebih populis dan humanis. Sehingga pemerintah bisa lebih punya legitimasi secara politik, demokrasi, dan pemerintahan yang transparan. Hak dasar manusia harus diperhatikan.

Nah, dalam rangka menuju kesana, tentu pemerintah daerah tidak boleh dibiarkan melakukan proses itu sendiri. “Orang atau lembaga yang peduli, seperti, jurnalis, LSM, akademisi, harus diorganisasikan untuk mengawal proses ini,” kata Ripana.□

Foto by Lukas B. Wijanarko, "Rumah Tepi Sungai."
Edisi Cetak, Harian Borneo Tribune, 18 Juni 2007

No comments :