Muhlis Suhaeri
Borneo Tribune, Pontianak
Dalam setiap hajatan dan seremoni, selalu ada kemeriahan. Ada kesedihan tertahan. Ada proses berulang. Dan, ada sesuatu yang terlupakan. Salah satunya, dalam peringatan Hari Berkabung Daerah (HBD) Peristiwa Mandor. Ketika orang berduyun-duyun memperingati peristiwa itu, mereka melupakan sosok-sosok yang terlibat di dalamnya.
Ia terlihat semangat ketika bercerita. Kalimatnya bergelora. Ada ekspresi. Ada penumpahan. Ia seolah menemukan ruang untuk berbagi. Dengan ceritanya, ia menarik saya pada waktu. Yang seakan ingin direngkuhnya kembali. Dalam perbincangan itu, sesekali ia menyisipkan bahasa Jepang.
Rambutnya telah memutih. Ia kelahiran Singkawang, 1 September 1928. Tak terlihat ringkih pada tubuhnya. Namanya, Kasilan. Ayahnya, dari Jawa. Yang dijadikan serdadu Belanda, untuk menumpas pergolakan di Mempawah. Ayahnya tinggi besar. Karenanya, ia ditempatkan dalam kesatuan Marsose. Satu pasukan elit jaman penjajahan Belanda.
Ketika Jepang masuk ke Kalbar, Kasilan direkrut sebagai tentara Heiho. Ini merupakan satuan tentara yang dibentuk Jepang, untuk membantu dalam peperangan melawan sekutu. Pada perkembangannya, pasukan Heiho dikirim ke berbagai front peperangan di pasifik, Pilipina, Myanmar, Indochina dan lainnya.
Ketika itu umurnya masih 16 tahun. Supaya diterima sebagai serdadu Jepang, orang tuanya memberikan saran. Supaya umurnya ditambah setahun. “Supaya bisa diterima,” katanya.
Setelah diterima, ia bertugas di Kompi Merah Kuning Pasukan Jibakutai. Ini pasukan khusus dari angkatan darat, yang dilatih untuk berani mati. Pasukan berani mati di udara, bernama Kamikaze. Dalam berbagai pertempuran, pasukan ini sangat ditakuti.
Kasilan masuk regu I, Si Buntai. Komandannya bernama Kamiguci Hidewo. Di atasnya lagi, ada Zamada Heso dan Watanabe Kinjiro.
Ia pernah bertugas di Sungai Tebelian. Ketika itu, Jepang mengerahkan penduduk untuk membuat bandara. Sekarang ini, bandara itu bernama Bandara Supadio Pontianak. Landasan bandara terbuat dari batu-batu yang diambil di Batu Ampar. Batu itu dimuat di perahu. Sesampai di dekat Sungai Tebelian, batu itu diluncurkan dalam sebuah parit yang sengaja dibuat, untuk memudahkan pengangkutan batu. Maka, nama parit itu disebut dengan Parit Jepang.
Jepang membagi pekerja menjadi puluhan kelompok. Setiap kelompok ada sepuluh orang. Dalam satu hari, Jepang memberi makan tiap kelompok dengan sekilo beras. Masyarakat serba kekurangan. Beras sulit sekali. Beras hanya dimakan para pegawai pemerintahan yang ketika itu, sebagian besar ada di Jalan Sidas, Pontianak.
Masyarakat makan apa saja. Ada ubi makan ubi. Pokoknya apa saja. Ia makan dengan sumpit. “Ini yang membuat makan tidak kenyang,” kata Kasilan.
Semasa menjadi tentara Heiho, ia pernah ditugaskan dalam berbagai macam front. Ia pernah menjaga daerah dari serbuan tentara sekutu. Selama berbulan-bulan, ia harus hidup berbulan-bulan di lubang pertahanan. Karenanya, kakinya mengalami pembengkakan dan meradang. Penyakit itu susah sembuh. Oleh tentara Jepang, ia diminta mencabut kuku-kukunya. Akibat penyakitnya itu, ia tidak bisa berjalan sempurna. Alias pincang.
Semasa penjajahan Jepang, rakyat dikelabui dengan berbagai macam cara. Salah satunya, Jepang berbicara kepada masyarakat yang ada di sekitar Landak, Mandor, Ngabang dan sekitarnya, supaya menyerahkan intan berliannya kepada pemerintah Jepang. Alasannya, pesawat-pesawat sekutu tidak mempan ditembak dengan senjata biasa. Harus dengan intan supaya bisa tembus dan mengenai badan pesawat.
Akhirnya, masyarakat menyerahkan persediaan intan mereka pada Jepang. Ratusan kilo jumlahnya. Kasilan melihat sendiri intan yang dikumpulkan itu.
Menurutnya, ketika Jepang menjajah ke Indonesia, mereka juga menjadikan rakyat yang dikuasai sebagai tentaranya. Tak heran, dalam kesatuan tentara Dai Nippon, banyak terdapat tentara dari Manchuria, Korea, Shantung dan lainnya.
“Para kucing kurap inilah, yang selalu membuat kekacauan,” kata Kasilan. Yang dimaksud kucing kurap adalah balatentara Dai Nippon dari Manchuria, Korea, Shantung dan lainnya. Kalau mereka datang ke suatu perkampungan, mereka main tangkap perempuan dan memerkosanya.
Perilaku tentara pendudukan ini, membuat marah masyarakat Dayak. Inilah yang membuat perlawanan di wilayah pedalaman, kata Kasilan.
Semasa bekerja sebagai tentara Heiho, ia mendapat gaji sebesar 22,5 zen. Pada kenyataannya, gaji itu tidak pernah dibayarkan. karena itulah, melalui persatuan eks mantan Heiho seluruh Indonesia, mereka mengajukan kompensasi pada pemerintah Jepang.
Di Indonesia, ada sekitar 600 ribu mantan eks tentara Heiho. Di Kalbar, jumlahnya ada 6 ribu orang. Persatuan eks mantan Heiho, melalui pemimpinnya, Tasrib Raharjo, pernah ke Jepang, untuk melakukan negosiasi terhadap uang kompensasi. Pemerintah Jepang sudah menyetujui.
Namun, pemerintah Jepang tidak mau menyalurkan uang kompensasi itu secara langsung ke organisasi mantan Heiho ini. Alasannya, ini menyangkut satu pemerintah Indonesia dan Jepang. Mantan Heiho inginnya, uang itu langsung diserahkan kepada mereka. “Alasannya, supaya uang itu tidak dikorupsi pemerintah,” kata Kasilan.
Hal sama terjadi pada mantan perempuan yang dijadikan budak seks tentara Jepang, atau Jugun Ianfu. Perjuangan panjang mereka, seolah tak ada ujung dan tak ada akhir. Sementara, waktu memberi jarak pada kehidupan mereka. Banyak dari mereka telah menemui ajal, sebelum perjuangan itu mencapai keberhasilan.
Menurut Kasilan, uang gaji itu, bila dibayarkan kepada setiap anggota sebesar Rp 100 juta. Hitungannya, gaji selama tiga tahun menjadi serdadu, ditambah bunga selama 50 tahun.
Sejak tahun 1990, mantan pasukan Heiho memperjuangkan, supaya mendapat kompensasi gaji mereka. Namun, Pemerintah Pusat dan Daerah, tidak punya kepedulian dalam hal ini. “Apalagi pada zaman pemerintahan sebelum presiden SBY,” kata Kasilan.
Sekarang ini, pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), melalui Menteri Pertahanan Juwono Sudarsono, sedang berupaya menyelesaikan masalah ini.
Pemerintah daerah Kalbar, juga tidak punya perhatian terhadap masalah ini. begitu juga dengan DPRD-nya. Ia mencontohkan Sulawesi. Di sana, DPRD punya kepedulian terhadap masalah eks Heiho. Ada satu partai di DPRD yang begitu peduli, sehingga mereka mendapat perhatian dan bisa menjalani hidup dengan baik.
Kini, Kasilan hidup di Takong, Kecamatan Tohok, Kabupaten Landak. Ia hidup dengan kesederhanaan. Ia menggantungkan hidup dari gaji pensiun semasa ia menjadi TNI. Ia pensiun dengan pangkat Peltu, Pembantu Letnan Satu.
Sebelum meninggalkan tempat itu, aku menatap dalam pada wajah yang telah menua itu. Ada rasa menggumpal. Orang harus melihat pada nasibnya. Nasib orang-orang yang terlupakan.□
Foto by: Lukas B. Wijanarko
Edisi Cetak, Borneo Tribune, 30 Juni 2007
Saturday, June 30, 2007
Yang Terlupakan
Subscribe to:
Post Comments
(
Atom
)
No comments :
Post a Comment