Muhlis Suhaeri
Borneo Tribune, Mandor
Peristiwa Mandor seharusnya menjadi media pembelajaran bagi generasi muda dan pembentuk nilai-nilai luhur dalam memahami sejarah. Bila tidak, peristiwa Mandor, hanya ritual yang dilakukan setahun sekali. Setelah upacara selesai, Mandor, sepi lagi.
Puluhan wajah belia terlihat serius. Mereka menyimak setiap kalimat yang keluar dari orang di depannya. Tiga orang tua, sedang bercerita tentang sejarah dan tragedi Mandor. Ketiganya, Aswandi, Dekan Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP) Untan. Dia menjadi moderator. Paulus Alep Kopin, saksi peristiwa Mandor. Sudarto, pemerhati sejarah Kalbar. Siang itu, Kamis (28/6), mereka berdiskusi dengan sekitar 60 siswa dan guru, dari berbagai SD-SMA se-Pontianak.
“Sejarah itu data, fakta dan interpretasi. Kemampuan kita memotret sejarah, akan memberikan interpretasi terhadap fakta,” kata Aswandi, memulai diskusi.
Ia bercerita, ketika anak-anak Amerika tidak bisa mengerjakan ilmu eksakta dan ilmu alam lainnya, pemerintah tidak langsung memberikan penambahan terhadap ilmu tersebut. Tapi, pemerintah malah memberikan pelajaran ilmu sejarah. Hasilnya, anak-anak itu bisa mengerjakan berbagai ilmu yang diberikan.
Kenapa bisa demikian? Karena sejarah membuat sang anak menjadi bangga dan tahu jati dirinya. Hal itulah yang membuat mereka makin bersemangat mempelajari ilmu lainnya. Demikian, kata sang dekan dari FKIP ini.
Paulus Alep Kopin, 88 tahun warga Anjungan menuturkan, ketika Jepang datang, pasukan Jepang sering mengunjungi pasar Anjungan. Jepang membutuhkan tenaga pemuda desa, untuk mengerjakan berbagai proyek pembangunan pangkalan militernya.
Ia seorang romusha. Tenaga kerja paksa zaman Jepang. Tak ada upah. Makan pun sulit. Jepang mencari pemuda ke berbagai kampung, untuk dipekerjakan pada berbagai proyek. Kalau pemuda tidak mau ikut kerja paksa, ia akan dicari ke rumah, dan keluarganya bakal terancam. Alep pernah kerja paksa di Mempawah. Di sana, ia membabat hutan bakau demi, keperluan perang Jepang.
Semua serba susah. Sanking sulitnya bahan makanan dan sandang, orang harus berjalan puluhan kilometer, menukar hasil kerajinan dan bumi untuk beras.
Namun, sering kali apa yang dibawa, dirampas Jepang hitam –istilah bagi penduduk Kalbar-- yang menjadi kaki tangan dan bekerja bagi Jepang. Akibatnya, beras tak dapat, barang bawaan pun, dirampas.
Ketika itu, ia sering mendengar perbincangan orang di Anjungan, Jepang mulai menangkap orang terkenal, kaya, pejabat pemerintah, pengusaha, dokter, dan keluarga kerajaan dari berbagai daerah di Kalbar.
Saat berada di pasar Anjungan, ia biasa melihat tentara Jepang berkeliaran di sana. Dari sepatu yang dikenakan, ia melihat sepatu bala tentara Jepang, sering terlihat bercak darah.
Menurutnya, ketika Jepang mendapat laporan orang yang dianggap berbahaya bagi kekuasaannya, mereka tidak mengecek dulu sejauhmana kebenaran berita itu. Tapi, tentara Dai Nippon langsung menculik dan menghukumnya. Ia sering melihat lalu lalang truk menuju Mandor. Yang ketika itu masih berupa hutan.
Dia pernah kerja paksa di Mandor. Setiap ada pesawat terbang lewat, ia berlari dan sembunyi. Ia berharap pada generasi muda yang hadir, untuk selalu memperkuat persatuan dan kesatuan. “Bila tidak, kita akan mudah dijajah, oleh siapa pun,” kata Alep.
Murid yang hadir dalam perbincangan, seolah tak mau melewatkan setiap kata dan kalimat yang terucap, terlewat begitu saja. Mereka dengan serius mendengarkan para saksi sejarah ini.
Pembicara kedua, Sudarto. Ia pernah menjadi guru di SMA Paulus selama 30 tahun. Ia pernah meneliti berbagai sejarah di Kalbar. Dari apa yang dipaparkan, ia tahu setiap detail peristiwa dan sejarah di Kalbar.
Menurutnya, terungkapnya peristiwa Mandor, tidak bisa dipisahkan dengan era pemerintahan Gubernur Kadarusno. Ia gubernur Kalbar kelima, tahun 1972-1977. Ia bekas tentara KNIL Belanda. Saat masih menjadi kopral, ia anak buah Sultan Hamid II. Yang ketika itu menjadi perwira militer dan mendapat pendidikan ketentaraan di Belanda.
Saat menjadi gubernur, ia memerintahkan anak buahnya meneliti keberadaan makam yang terletak di Mandor, sekitar 89 arah timur kota Pontianak. Dari penelusuran yang dilakukan, ditemukan makam kerangka berserakan di berbagai area di Mandor.
Kadarusno memerintahkan tulang belulang itu dikumpulkan dan dikuburkan kembali dalam 10 makam besar itu. “Saat ini, yang ada di sepuluh pemakaman massal itu, tak lebih dari 800 orang,” kata Sudarto.
Lalu, di mana mayat lainnya?
“Sungai Kapuas,” kata Sudarto. Sungai Kapuas dan Landak, ketika itu menjadi jalur bagi pengangkutan tahanan dari Pontianak ke Mandor. Para tahanan diculik di daerahnya dan dibawa ke Pontianak. Setelah itu, baru dibawa ke Mandor. Dalam perjalanan ada yang sakit. Mereka langsung dilempar ke sungai. Orang yang tidak sakit pun, bisa saja di lempar ke sungai. Sungai menjadi kuburan termurah dan efisien bagi para tahanan. “Karena, tak mungkin Jepang menguburkan satu persatu tahanan. Biayanya akan sangat besar,” kata Sudarto.
Pembunuhan para korban peristiwa Mandor, tidak sekaligus. Namun, bertahap. Pembunuhan itu berawal sejak April 1943, dan berakhir sekitar Juli 1944. Alasan pembunuhan dilakukan pada April 1943, ketika itu di Banjarmasin sudah mulai terjadi pemberontakan melawan Jepang. Ada dua orang dari Banjarmasin dikirim ke Kalbar. Tugasnya, memberitahu permasalahan yang sedang terjadi di Banjarmasin, kepada para pemimpin di Kalbar. Keduanya seorang dokter. Rubini dan Makaliwe.
Dua orang dokter ini, sering bertemu dengan para pemimpin Kalbar di Gedung Medan Sepakat, Jalan Jenderal Urip, Pontianak. Dulunya, gedung itu sering menjadi tempat berkumpul para pejabat, pengusaha, aktivis kemerdekaan, dokter, dan para pembesar kerajaan di Kalbar. Mereka terdiri dari beragam etnis. Sekarang ini, keberadaan gedung ditempati satu organisasi kemasyarakatan.
Dalam berbagai pertemuan itulah, mereka mencari jalan dan berdiskusi untuk melawan Jepang. Caranya, melalui gerakan massa rakyat. Mereka beranggapan, penyebab berbagai kesulitan hidup, akibat penjajahan Jepang. Maka, negeri matahari terbit itu, mesti memperbaiki kondisi di masyarakat.
Saat itu, sulit menemukan keberadaan senjata. Jepang tidak percaya memberikan senjata, meskipun kepada warga Indonesia yang menjadi tentara dan bekerja untuknya.
“Namun, negeri ini memang sarang penghianat,” kata Sudarto.
Para penghianat yang merupakan warga Indonesia sendiri, menambahi berita itu dengan berbagai bumbu dan cerita. Seolah-olah, para pemimpin itu, akan melakukan perlawanan bersenjata pada Jepang. Tentara pendudukan Jepang langsung merespon dengan berbagai penangkapan.
Ada dua hal yang menjadi kekhawatiran Jepang, saat itu. Pertama, pasukan Jepang di berbagai medan pertempuran, mulai terpukul mundur. Bahkan, dalam berbagai pertempuran di lautan Pasifik, Jepang mulai kalah dan terjepit. Misalnya, di Filipina dan berbagai medan pertempuran lainnya. Kedua, orang yang dibunuh, punya massa dan menjadi pemimpin bagi warganya. Bila mereka memerintahkan sesuatu pada rakyatnya, Jepang sangat khawatir, bakal menjadi perlawanan bagi pemerintahan pendudukan Jepang.
Penculikan selalu terjadi pada tengah malam. Setelah diculik, para pemimpin itu disungkup. Kepalanya ditutup dengan karung goni. Para pemimpin itu dibawa ke kantor Kepolisian Residen atau benteng Belanda.
Sekarang ini, bekas benteng itu telah berubah menjadi Pasar Nusa Indah. Ironis memang. Ketika kita berteriak untuk mengabadikan 28 Juni, sebagai Hari Berkabung Daerah (HBD), melalui berbagai cara atau Perda. Di sisi lain, kita membongkar berbagai monumen sejarah yang berhubungan dengan hal itu. Begitu pun dengan bangunan penjara yang sekarang berubah menjadi Rumah Sakit Antonius.
Pemerintah Pusat mesti memperhatikan peristiwa Mandor. Dari peristiwa ini, ada hal bisa dilihat mengenai perjuangan rakyat Kalbar. “Meski tidak mengalami perjuangan fisik atau revolusi, tapi Kalbar berperan mempersiapkan kemerdekaan di Indonesia,” kata Sudarto.
Munculnya jumlah angka korban Mandor sebanyak 21.037 orang, karena berita di harian Akcaya. Angka ini masih menjadi kontroversi hingga sekarang. Bahkan, seorang komandan Jepang yang dihukum mati di Kalbar, Yamamoto, juga mengaku tidak tahu.
Menurut Sudarto, hal yang bisa dilakukan sekarang ini, untuk mengetahui jumlah sebenarnya tentang jumlah korban peristiwa Mandor, harus meneliti berbagai dokumen pengadilan perang di Jepang. Sudah ada kebijakan dari pemerintah Jepang, untuk mengakses berbagai dokumen pengadilan itu. Dokumen itu, tentu menggunakan huruf Kanji. “Karenanya, mulai sekarang kita mesti belajar hufuf kanji, bila ingin mengakses berbagai dokumen mengenai peristiwa Mandor,” kata Sudarto.
Pada diskusi itu juga dilakukan acara tanya jawab. Mereka yang mengikuti diskusi, terlihat antusias. Berbagai cerita dari sang narasumber dicatat pada sebuah buku.
Salah satunya, Chamsiah. Ia guru SD 25 Pontianak Kota. Terhadap kegiatan itu, ia memberikan pendapatnya, “Kegiatan seperti ini penting untuk mengenang masa lalu. Rencananya, peristiwa Mandor, akan dimasukkan dalam muatan lokal sekolah.”
Begitu juga dengan Afriyanti, siswa kelas 2/2, SMP 8 Pontianak. Menurutnya, kegiatan seperti ini menarik. Banyak informasi bisa diperoleh. “Kita juga ingin tahu, bagaimana peristiwa itu selanjutnya,” kata Afriyanti.
Ada satu kegelisahan diungkapkan Sudarto tentang peristiwa Mandor. Ia berharap, peristiwa Mandor jangan hanya seremoni dengan mengunjungi makam juang Mandor, setahun sekali. “Tapi, harus dijadikan sebagai media pembelajaran,” kata Sudarto.
Karenanya, di Mandor bisa dibangun berbagai kegiatan yang mendukung sebagai media pembelajaran. Seperti, area camping bagi anak sekolah dan dilengkapi berbagai film dan foto-foto tentang peristiwa Mandor.
Dengan mengetahui peristiwa Mandor, anak sekolah bisa mengetahui sejarah daerah dan bangsanya. Sebab, sejarah merupakan ilmu dasar. “Sebelum belajar ilmu lain, belajarlah sejarah,” kata Sudarto.□
Foto by Lukas B. Wijanarko, "Media Pembelajaran."
Edisi Cetak, Borneo Tribune, 30 Juni 2007.
Saturday, June 30, 2007
Peristiwa Mandor sebagai Media Pembelajaran
Posted by Muhlis Suhaeri at 9:12 AM
Labels: Pendidikan
Subscribe to:
Post Comments
(
Atom
)
No comments :
Post a Comment