Thursday, June 7, 2007

Adakah Jugun Ianfu di Kalbar?

Muhlis Suhaeri
Borneo Tribune, Pontianak

Tanggal 28 Juni, warga Kalimantan Barat, mengenang peristiwa Mandor atau Hari Berkabung Daerah (HBD). Peristiwa itu meninggalkan jejak, terbunuhnya ribuan warga Kalbar dari berbagai agama, etnis, dan golongan. Ada yang menyebut, jumlah korban 21.037. Ada lagi yang menyebut sekitar 50 ribu.

Kalau serdadu Jepang, membunuh ribuan warga Kalbar semasa penjajahannya, bagaimana dengan nasib perempuan? Berapa orang menjadi korban kekerasan seksual tentara Jepang?


Ketika elit politik, pejabat atau warga berteriak dan mengangkat isu HBD, isu tentang peremouan yang dijadikan budak nafsu tentara Jepang, tidak terdengar dalam teriakan para tokoh masyarakat itu. Apakah kita menutup mata terhadap permasalahan ini? Atau, memang tidak peduli dan tidak berani mengakui, karena merasa malu, bahwa perempuan kita pernah mengalami peristiwa itu.

Dalam kamus elektronik Wikipedia Indonesia, Jugun ianfu merupakan wanita yang dipaksa untuk menjadi pemuas kebutuhan seksual tentara Jepang di Indonesia, dan di negara jajahan Jepang lainnya, pada kurun waktu tahun 1942-1945, semasa Perang Dunia II.

Menurut riset Dr. Hirofumi Hayashi, seorang profesor di Universitas Kanto Gakuin, jugun ianfu termasuk orang Jepang, Korea, Tiongkok, Malaya (Malaysia dan Singapura), Thailand, Filipina, Indonesia, Myanmar, Vietnam, India, Indo, Belanda, dan penduduk kepulauan Pasifik. Jumlah perkiraan dari jugun ianfu pada saat perang, berkisar antara 20.000 dan 30.000. Pengakuan dari beberapa jugun ianfu yang masih hidup, jumlah ini sepertinya berada di batas atas dari angka itu. Kebanyakan rumah bordilnya berada di pangkalan militer Jepang, namun dijalankan oleh penduduk setempat, bukan militer Jepang.

Menurut riset Dr. Ikuhika Hata, seorang profesor di Universitas Nihon. Orang Jepang yang menjadi jugun ianfu ini sekitar 40 persen, Korea 20 persen, Tionghoa 10 persen. Dan 30 persen sisanya dari kelompok lain.

Dalam berbagai seminar mengenai trafiking, isu jugun ianfu kurang tersentuh dalam pembahasan. Padahal, Menurut Hairiah dari Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) perwakilan Kalbar, jugun ianfu termasuk dalam sejarah trafiking di Indonesia.

Masalah jugun ianfu pernah dilakukan tribunal court di Belanda dengan hakim dari negara-negara lain. Hasil dari persidangan menyatakan, pemerintah Jepang bersalah dan diharuskan memohon maaf pada korban dan keluarganya.
Menurut Asmaniar, jugun ianfu merupakan peristiwa menyedihkan. Dalam artian, banyak perempuan Indonesia dijadikan pemuas nafsu tentara Jepang, namun tidak terungkap. Demikian juga di Kalbar. Ada perasaan malu mengungkapkan. “Peristiwa ini dianggap sebagai aib bagi diri dan keluarganya,” kata anggota dewan dari Komisi D DPRD Kalbar, ini.

Ini sesuatu yang tidak adil dan menyedihkan. Dalam artian, banyak dari perempuan Indonesia menjadi korban, tapi tidak tersuarakan. Orang yang sudah menjadi korban, pada akhirnya menjadi korban lagi, karena tidak terungkap. Yang harus dilakukan tentu, membuat perasaan nyaman dan aman. Mereka harus dihargai dengan rasa kemanusiaan.

Membuat rasa aman pada perempuan yang menjadi jugun ianfu perlu dilakukan. Orang yang pernah diperkosa, punya efek psikologi dan trauma. Apalagi, dijadikan budak seks. Yang konotasi orang, jelek saja.

Dalam sejarahnya, para korban jugun ianfu tidak punya posisi tawar. Mereka tak berdaya. Yang laki-laki saja dibantai, apalagi perempuannya. Pada masa perang, sudah menjadi rahasia umum, perempuan dijadikan sandera dan pampasan perang.

Yang harus dipertanyakan adalah, apakah ini baik-baik saja. Artinya, tidak ada korban jugun ianfu. Atau, malu karena menjadi korban.

Seharusnya ada suatu usaha mencari tahu, apa yang sebenarnya terjadi. Caranya, menghimpun berbagai data tentang peristiwa itu. Seperti juga, bagaimana mencari berbagai data mengenai peristiwa Mandor. Dari hasil itu, dikuatkan pemerintah daerah dengan Perda. Bahwa, ini peristiwa yang memang pernah terjadi.

Dari rentang waktu terjadinya peristiwa hingga saat ini, para korban masih ada yang hidup. Dan kalau bicara harus mulai dari mana, harus ada yang mulai. Sejarah ini harus diungkap satu persatu. “Kita tidak punya kapasitas untuk menghujat. Malah, yang harus dilakukan adalah, melindungi dan membuka masalah ini ke permukaan,” kata Asmaniar. Seperti juga membuka tragedi Mandor.

Harus dibuka satu perspektif, para korban di Jawa sudah ada yang berani menuntut dan memperjuangkan masalah ini. Pemerintah Kalbar atau kelompok yang peduli, harus mau memperjuangkan hal ini. Sehingga korban terlindungi dan tidak membawa masalah ini sendirian, ke masa tuanya.

Lalu, tahapan apa saja yang harus dilakukan, sehingga isu ini tidak hanya menjadi wacana, tapi juga satu gerakan?

Sekarang ini situasinya memang masih cair sekali. Yang paling mungkin bisa dilakukan adalah, pemerintah harus membahas hal pada tataran eksekutif dan legislatifnya. Harus ada data awal, bahwa ada pengakuan persoalan kejahatan dilakukan oleh penjajahan Jepang pada perempuan Kalbar.
Pemerintah harus memberi informasi pada masyarakat, peristiwa itu memang pernah terjadi. Selain itu, harus ada studi perpustakaan atau penelitian tentang masalah ini.

Keterlibatan berbagai pihak dan instansi sangat diperlukan dalam hal ini. “Dinas sosial, Bapora, bahkan hingga ke Sekda, sekalipun,” kata Asmaniar.

Ia berharap, masalah ini harus dibuka. Menurutnya, bangsa ini adalah bangsa pelupa. Dan ada kekhawatiran dari korban untuk melapor atau malu. Bila itu terjadi, maka sejarah bangsa ini, tidak akan pernah terungkap. Kalau tidak punya sejarah, berarti tidak punya satu pijakan untuk bertindak dan berpijak, pada masa kini.

Menurut Sudarto, salah satu peneliti sejarah di Kalbar, saat ini pemerintah Jepang sudah memperbolehkan berbagai dokumen sejarah dibuka.

Hal ini tentu bisa ditelusuri. Membuka masalah jugun ianfu, bukan berarti ingin mempermalukan mereka yang menjadi korban. Tapi, ada satu usaha untuk meluruskan sejarah. Bahwa, penjajahan Jepang, pernah melakukan kekerasan terhadap perempuan di Kalbar.

Jepang harus minta maaf atas perbuatan-perbuatannya. Kalau memang bisa diikuti dengan pemberian kompensasi pada korban, tentu akan sangat lebih baik.

Persoalannya sekarang adalah di data. Kalau memang harus dibuka, harus ada bantuan dari berbagai pihak yang mengetahui masalah ini. Masalah ini harus dibuka secara bersama. Membuka masalah jugun ianfu bukan berarti mempermalukan korban atau membuka luka lama. Tapi, untuk melindungi hak-hak orang yang terbaikan.

Perjuangan ini tentu tidak sebentar. “Pemerintah Kalbar harus punya kemauan dan itikad baik, untuk mengangkat masalah ini. Ini memang bukan proses yang mudah,” kata Asmaniar.□

Edisi Cetak ada di Borneo Tribune, 7 Juni 2007
Foto Lukas B. Wijanarko

No comments :