Wednesday, June 27, 2007

NUSSP: Tantangan Otonomi Daerah

Penulis:
Profesor Johan Silas, dosen Institut Teknologi Surabaya (ITS), pakar Tata Ruang Kota.


Ada tiga dokumen pemukiman dan lingkungan dihasilkan oleh masyarakat dunia, yaitu Agenda-21 (1992), The Habitat Agenda (1996) dan Millenium Development Goals (2000). Ketiganya punya kesamaan. Yaitu, hendak mewujudkan pemukiman yang bermutu dan berkelanjutan dengan fokus pada warga berpenghasilan rendah. Ketiga dokumen ini juga mengingatkan, bahwa dunia menghadapi masalah gawat karena kerusakan lingkungan yang membuat kemiskinan makin parah.

Pergantian Abad lalu membawa dunia pada harapan yaitu kemakmuran yang merata di antara bangsa-bangsa dunia. Dalam kenyataan ternyata kemakmuran dunia memang meningkat namun tidak merata atau bahkan muncul jurang lebar antara yang berhasil dan belum.


Paradigma manusia mengalami perubahan dari sekedar memenuhi kebutuhan dasar (pangan, sandang, perumahan, pendidikan dan kesehatan), menjadi menjamin hak asasi tiap manusia. Di abad XXI, paradigma manusia lebih ditekankan pada aspek kemanusiaan. Yaitu, lebih utuh, mandiri, kreatif dan punya prioritas sendiri.

Jumlah orang miskin dunia ternyata bertambah makin banyak dan secara signifikan. Orang miskin terbanyak berada di negara sedang berkembang termasuk Indonesia. Walaupun ada pergantian pemerintahan, namun jumlah orang miskin masih cenderung naik. Berbagai krisis dunia menambah jumlah orang yang jatuh miskin.

Penyebab kemiskinan terbanyak disebabkan oleh masalah struktural yang bersumber pada pemerintah dari semua tingkat. Orang Indonesia di Singapore bisa tertib, sedang di Indonesia orang Singapore juga bertingkah tidak beda dengan orang awak. Lingkungan hidup yang buruk mutunya, memperparah orang yang terlanjur miskin. Kemiskinan bukan keadaan terminal, tetapi proses yang naik-turun.

Kemiskinan mudah dilihat (dan bersifat timbal balik) pada mutu pemukiman yang buruk. Kondisi ini akan berpengaruh secara mendasar pada mutu sumberdaya manusia yang akan (tetap) sangat rendah. Terutama terhadap anak-anak dan remaja yang seharusnya menjadi andalan masa depan bangsa.

Menjawab keadaan merisaukan ini, pimpinan dunia yang berkumpul pada Sidang Umum PBB tahun 2000, sepakat hendak memerangi kemiskinan dunia secara total dan menyetujui dokumen Millenium Development Goals (MDG). Yang pada tahun 2015, hendak mengurangi kemiskinan dunia sampai separo keadaan 1990, melalui delapan tujuan. Ini harus diperlakukan integral dengan beragam keputusan dunia sebelumnya.

Cities Alliance yang dicanangkan Bank Dunia dan UN Habitat, saat akan menapak pergantian abad, pada dasarnya bercita-cita agar pada 2020, kawasan kumuh dikurangi sampai separo keadaan 1990. Akhirnya, gerakan untuk mengurangi kawasan kumuh ini, menjadi bagian integral dari MDG. Yang harus dicapai oleh bangsa-bangsa seluruh dunia, termasuk Indonesia.

Hari Habitat 2005 yang diperingati di Jakarta, Indonesia menyatakan akan mengurangi sampai minim kawasan kumuh di kota-kota menjelang 2020. Pada 2010 diharapan 200 kota, sudah bebas dari kawasan kumuh. Artinya, penduduk yang mendiami pemukiman sub-standar sudah dibawah 2 persen. Pada 2015, kota yang ”bebas” kawasan kumuh, akan mencapai 350. Diharapkan pada 2020, Indonesia tidak diganggu oleh keberadaan pemukiman sub-standar.

Kemiskinan dan pemukiman kumuh, diakui masyarakat dunia sebagai hambatan serius dalam meningkatkan kesejahteraan rakyat pada umumnya. Bahkan, dikatakan bahwa tinggi rendah tingkat kemiskinan, menjadi gambaran dari keberhasilan atau kegagalan pemerintahan (di daerah), dalam memenuhi tanggung jawabnya. Makin besar luas kawasan kumuh dan jumlah orang miskin, makin gagal pemerintah (daerah) menjalankan tugas dan kewajibannya.

Orde Baru merupakan era pertama pembangunan perumahan. Yang dilakukan secara terprogram dan terencana, seperti tertuang dalam Rencana Pembangunan Lima Tahun (Repelita). Kenyataannya perumahan dalam Repelita, hanya dilihat sempit, terbatas pada perumahan formal baru. Perbaikan kampung dilaksanakan secara nasional dalam Repelita III, setelah Jakarta dan Surabaya berhasil melaksanakannya. Itupun masih secara ad-hoc.

Bank Pembangunan Asia (Asian Development Bank) bekerjasama dengan pemerintah Indonesia, untuk pertama kali memulai dengan pembangunan pemukiman dan perumahan kota yang holistik dan sesuai keadaan di lapangan.

Beda dengan program sebelumnya, Neighbourhood Upgrading Shelter Sector Project (NUSSP), hendak mencapai beragam tujuan. Tujuan itu adalah, mewujudkan perumahan dan pemukiman layak dan merata bagi seluruh penduduk (kota). Kedua, membangun kemampuan pemerintah daerah yang lebih baik dalam merencanakan dan mengelola pemukiman yang ada. Utamanya yang dihuni warga lapis bawah. Ketiga, Mewujudkan kemandirian warga yang dibangun tangguh dan ditingkatkan maju secara berkelanjutan, agar mutu pemukiman makin baik. Hal ini harus mendapat dukungan awal dan didorong oleh pemerintah. Keempat, mengantisipasi pembangunan rumah baru, untuk menampung mobilitas warga. Baik secara kuantitatif maupun kualitatif, utamanya warga di daerah pinggiran. Kelima, menjamin mutu lingkungan hidup perumahan dan pemukiman yang baik dan berkelanjutan sebagai prasarat untuk dapat menghasilkan bangsa yang tangguh di abad XXI.

Kota dan kabupaten (32) yang sudah menyatakan sebagai peserta dari pelaksanaan awal NUSSP, merupakan pelopor. Kelak harus dapat menjadi contoh bagi kota dan kabupaten lain di sekitarnya. Terutama dalam pembangunan perumahan dan pemukiman, untuk memenuhi tuntutan abad XXI. Seperti telah diutarakan dalam The Habitat Agenda (1996, delegasi Indonesia aktif ikut merumuskannya).

Pertimbangan makro dan mikro, harus diperhatikan agar NUSSP dapat mencapai hasil seperti diharapkan secara maksimal. Karena NUSSP bersifat holitik dan intergral, serta baru pertama kali dilaksanakan, maka pertimbangan ini perlu diperhatikan lebih awal.

Catatan makro yang harus diperhatikan adalah, memilih pola kerja yang mudah dan cepat terlaksana, tanpa mengabaikan prinsip pembangunan berkelanjutan. Menjadi bagian yang integral dari strategi pembangunan kota dan kabupaten pada umumnya. Memanfaatkan semua pengalaman yang sebelumnya ada, baik yang bersifat internal maupun eksternal, internasional dan nasional. Serta bekerjasama dengan lembaga yang sudah lebih dahulu punya keahlian dan pengalaman. Harus membangunan kapasitas lokal dalam menyiapkan dan mengelola program perumahan yang baik dan menyeluruh. Membangun kerjasama dengan kota dan kabupaten yang terlibat dalam pelaksanaan NUSSP ini, untuk menjamin keberlanjutannya ke masa depan dengan hasil yang lebih baik.

Secara mikro hal-hal yang harus diperhatikan adalah, melibatkan warga penerima program sedini dan seluas mungkin. Membangun kelembagaan masyarakat (comunity organization) dalam mengelola proyek, serta ada akuntablitas yang baik dan terjamin keberlanjutannya. Menggalang potensi sumberdaya lokal melalui tabungan dan sinergi dari semua sumberdaya setempat yang ada.

Membangun komunikasi terbuka dengan semua warga, agar pihak penerima dan tidak menerima, mampu mempunyai pemahaman dan kesepakatan yang sama. Membangun kerjasama antar kelompok masyarakat dari kawasan tetangga. Yang belum maupun sudah melaksanakan NUSSP, serta lembaga pendamping, demi mudahnya pelaksanaan dan efektif.

Konsep NUSSP merupakan konsep terbuka. Yang hanya menetapkan dasar pokok dan harus dianut. Jabaran dari prinsip tersebut sangat tergantung dari keadaan dan kemampuan setempat. Konsep pusat harus dijabarkan menjadi rencana operasional yang bersifat lokal.

Tiga pilar dasar dari NUSSP perlu difahami dan dijabarkan dengan baik sesuai keadaan lokal. Ketiga pilar tersebut adalah pemberdayaan, perbaikan rumah dan pengadaan rumah baru. NUSSP juga menuntut penyelenggaraan dengan akuntabilitas terbuka dan jujur. Utamanya yang terkait dengan masalah keuangan.

Pemberdayaan harus difokuskan pada semua pelaku dan stakeholder mulai dari anggota DPRD, Pemda, masyarakat luas dan lokal, serta pendamping seperti LSM, sivitas perguruan tinggi, dsb.
Perbaikan rumah merupakan bagian terbesar. Sebab, rumah yang ada (kampung) menampung 60 persen penduduk, dan terbesar berpenghasilan rendah. Kawasan perumahan swadaya ini, merupakan awal dari proses pembangunan kota. Pengalaman dari program perbaikan kampung (KIP) dapat dijadikan rujukan penting agar tak perlu mulai dari NOL. Termasuk dalam aspek ini adalah sarana, prasarana dan mutu rumah warga yang terus makin baik.

Rumah baru selalu merupakan gejala niscaya pada kota yang aspek ekonomi dan sosial kota tumbuh baik. Merupakan kelaziman, pembangunan rumah baru terjadi di daerah pinggiran dan diperuntukan bagi semua lapisan warga. Mulai dari warga paling bawah sampai mampu. Perlu direncanakan keterpaduan sarana dan prasarana. Yang ada demi efisiensi dan subsidi silang internal.

Mencegah kesalahan dan kegagalan yang sering terjadi sebelumnya, dari berbagai pembangunan pemukiman penduduk berpenghasilan rendah yang telah memboroskan dana besar. Beberapa hal tambahan perlu diperhatikan dan dilaksanakan, yaitu, pengembangan program dilakukan secara terbuka, agar diketahui masyarakat luas. Dan menjadikannya sebagai pembangunan, bagi dan oleh masyarakat (by and for the people), sehingga beban dan tanggung jawab terbagi antar sesama pelaku.

Membangun sikap, komitmen dan etika politik yang baik dan terbuka agar tidak dipermainkan sebagai komoditi politik yang sempit dan murah oleh fihak-fihak tertentu.
Memanfaatkan tenaga kompeten dan ahli, serta terus menyiapkan kader untuk perluasan kegiatan, baik secara teritorial maupun jangkauan ke masa depan yang berkelanjutan. Melakukan evaluasi oleh fihak yang tidak terkait dan terlibat dengan pelaksanaan, serta hasilnya disampaikan secara terbuka pada masyarakat luas.

Sedapat mungkin, membukukan hasil pelaksanaan secara periodik, agar dapat dipakai sebagai rujukan, bagi pelaksaannya di masa depan oleh fihak manapun.

Merupakan kesempatan yang baik, dan perlu melaksanakannya dengan kesungguhan tinggi, sehingga ikut membangun nama baik bangsa dengan menghilangkan kawasan kumuh dan kemiskinan laten.

Melaksanakan pendidikan terbuka, agar warga dapat hidup secara baik, teratur dan sehat. Membangun kemandirian, agar terjauhi dari sifat manja dan mau enak sendiri, tanpa mau bertanggung jawab terhadap diri sendiri. Lambat laun menjadikan NUSSP sebagai program lokal, yang mampu menyelesaikan masalah secara efisien dan efektif.

Aspek lingkungan yang keadaannya secara umum buruk harus ditangani secara terencana memanfaatkan pola yang sudah lazim seperti Agenda Lokal 21, Ecological Footprint, GAIA, dsb.***


Foto by Lukas B. Wijanarko, "Jendela Kota."
Edisi Cetak, Borneo Tribune, 27 Juni 2007

No comments :