Ah, ini hari, aku dipaksa lagi untuk mengingat dan membuka sebuah memori. Pada sebuah tempat, di mana tembuniku ditanam dan dikaitkan lagi pada petilasan. Tempat yang telah menyemai bibit dan manusia unggul pada zamannya. Ratu Shima, Ratu Kalinyamat dan RA Kartini.
Ketiga manusia berkarakter tersebut, dihidupkan melalui dongeng pengantar tidur. Tidak untuk beromantisme pada sejarah. Tapi, demi menyalakan semangat dan pencapaian yang telah dilakukan. Pada lingkungan keluarga, masyarakat dan negara.
Ratu Shima sangat terkenal keadilannya. Karenanya, istriku tak keberatan, saat anak kedua perempuanku, diberi nama Shima. Shima Anna Calluella. Perempuan jelita yang membawa berkah dan keadilan. Begitu kira-kira artinya.
Ratu Shima sangat melindungi dan menyejahterakan rakyatnya. Menurut cerita, suatu saat, Ratu ingin menguji kejujuran rakyatnya dengan meletakkan buntalan emas, dan ditaruh di perempatan jalan. Hingga semingguan, emas tak ada yang mengambil. Dan, sang anak mengambil buntalan berisi pundi-pundi tersebut. Demi menjalankan hukum dan keadilan, anaknya sendiri dipotong tangannya.
Pisau hukum memang tak memandang pengecualian. Begitu pesan moral yang ingin disampaikan.
Ratu Kalinyamat terkenal berani melawan kezaliman. Kokoh dan teguh pada prinsip. Tak heran bila kedatangan pasukan Portugis di Malaka, disambutnya dengan pengiriman bala pasukan penggempur. Ratu berani melawan kekuasaan yang bakal menghegemoni dan menindas.
Jauh jarak tak menyurutkan langkah. Meski akhirnya, armada perangnya kalah dan porak poranda. Namun, langkah yang dilakukan, telah menyurutkan Portugis. Untuk terus melaju, dan menanamkan kekuasaannya di Nusantara.
RA Kartini, perempuan yang melebihi zamannya. Ia memperjuangkan kaum perempuan. Memberikan pendidikan dan pencerahan. Dari ketertinggalan dan segregasi hukum, serta tata sosial yang timpang.
Lalu, sudahkah masyarakat Jepara mengadopsi semangat, konsistensi dan usaha, untuk terus melaju menuju perubahan?
Hingga sekarang, aku sudah banyak kehilangan memori tentang kota ini. Namun, semasa kecil hingga remaja, yang kulihat adalah kesahajaan hidup masyarakatnya.
Sebagian besar orang bergerak dengan mencipta dan berkreasi. Mengukir. Menganyam. Membuat songket. Gerabah. Cincin monel, emas dan lainnya.
Sebagian lainnya, membawa berbagai dagangan ke pasar. Membawa puluhan kilo dagangan di punggung. Berjalan beriringan menuju sebuah pasar. Di pundak mereka, harapan dan doa dari seluruh keluarga tertumpah. Setiap langkah adalah asa. Setiap keringat yang menetes, wujud pengorbanan tanpa pamrih. Pada anak yang menunggu di rumah.
Mereka jarang berpikir jadi pegawai pemerintah. Amtenar. Atau, seonggok daging yang menggelayut pada nyawa orang lain. Mereka manusia mandiri dengan segala kesahajaan. Mengabdikan diri dan mengubah nasib. Tanpa rengekan dan tuntutan. Bahwa, mereka harus diberi perhatian atau fasilitas penunjang.
Manusia-manusia itu, sebagian menyebar. Tanpa meninggalkan entitas dan identitasnya. Terus membawa semangat perubahan dan pencapaian.
Bau tatal kayu jati, tiba-tiba-tiba menyeruak.
Lembut angin pantai, seolah berembus pelan di sekitar.
Aku, tiba-tiba merindu.......
Sunday, September 19, 2010
Jepara dan Semangat Zaman
Posted by
Muhlis Suhaeri
at
9:05 PM
0
comments
Labels: Opini
Wednesday, October 14, 2009
Selamatkan Hutan Kalimantan
Muhlis Suhaeri
Borneo Tribune, PontianakKalbar punya kawasan hutan seluas 4.893.923 hektar. Kawsan itu tersebar dalam berbagai kawasan taman nasional, cagar alam, dan hutan lindung. Namun, dalam perkembangannya, kondisi hutan makin menipis akibat penguasaan hutan yang dilakukan melalui Hak Penguasaan Hutan (HPH). Parahnya lagi, hal itu hanya dimiliki oleh segelintir orang saja, melalui berbagai keistimewaan yang didapatkan karena dekat dan bisa masuk ke lingkar kekuasaan.
Akibat tak adanya kontrol dan kendali atas kekuasaan itu, semua yang ada di hutan terjarah dan hilang. Tak hanya kayu, juga berbagai habitat ada di dalamnya. Termasuk berbagai tanaman yang menjadi unsur penting bagi masyarakat yang mendiami hutan. Penggundulan hutan juga menghilangkan berbagai macam satwa di dalamnya.
Masyarakat yang berada di sekitar hutan, tak bisa memanfaatkan hasil hutan. Bahkan terpenjara karena aturan yang tak jelas, dalam berbagai hal mengenai pemanfaatan hutan, dan segala yang berada di dalamnya.
Padahal, hutan ibarat pasar swalayan yang menyediakan berbagai kebutuhan masyarakat yang mendiami kawasan itu. Hutan juga menjadikan ruang interaksi bagi tumbuh kembangnya ilmu pengetahuan, budaya, adat, obat-obatan dan lainnya.
Penebangan yang tak terkendali berakibat pada berbagai hal. Salah satunya adalah bencana alam yang selalu terjadi. Seperti, terjadinya banjir, tanah longsor dan lainnya. Fakta membuktikan, dalam beberapa tahun kebelakang, bencana banjir semakin sering terjadi. Padahal, puluhan tahun ke belakang, tak ada kabar mengenai banjir di Kalimantan.
Ini membuktikan bahwa kerusakan hutan semakin parah, mengakibatkan bencana bagi manusia itu sendiri. Harga yang harus dibayar bagi kerusakan dan bencana itu sungguh parah dan mahal. Tak hanya harta, bencana juga mengakibatkan jatuhnya korban jiwa. Rusaknya infrastruktur jalan, jembatan dan berbagai fasilitas publik lainnya. Kerusakan ini tentu mengakibatkan kerugian besar jumlahnya. Bisa dibayangkan kerugian yang dialami Negara dan masyarakat.
Selain rusaknya lingkungan, juga harus membangun berbagai infrastruktur yang rusak. Juga hilangnya kesempatan ekonomi bagi warga. Belum lagi akibat yang dialami secara langsung. Misalnya dalam bentuk penyakit dan akibat bencana yang ditimbulkan.
Terlebih lagi bagi hutan di Kalimantan yang menjadi paru-paru dunia. Juga ada tiga Negara di dalamnya, Indonesia, Brunei Darussalam dan Malaysia. Di wilayah ini, ada kawasan hutan seluas sekitar 22 juta hektar. Hutan itu merupakan sumber air bagi 14 dari 20 sungai utama di Kalimantan.
Kedepannya, bila kita tak sama-sama menjaganya, bisa dipastikan, benteng terakhir paru-paru dunia ini, juga akan hilang. Bisa dibayangkan, bagaimana akibat yang ditimbulkannya. Karenanya, menjadi kewajiban kita bersama, untuk menjaganya.
Edisi cetak ada di Borneo Tribune 14 Oktober 2009
Posted by
Muhlis Suhaeri
at
9:16 AM
0
comments
Labels: Opini
Wednesday, September 30, 2009
Waspada terhadap Muntaber
Muhlis Suhaeri
Borneo Tribune, PontianakSungai, selain menjadi urat nadi perekonomian, juga menjadi pasokan air minum. Berbagai kehidupan di Kalbar, tak bisa dipisahkan dengan kehidupan sungai. Sungai melebur dengan warga, menciptakan suatu harmoni. Ada berbagai budaya dan tradisi lahir, karena kedekatan manusia dengan sungai.
Namun, saat musim kemarau tiba, biasanya sungai di berbagai daerah di Kalbar, alami kekeringan. Kekeringan menciptakan pola interaksi yang berubah. Misalnya saja dalam masalah penyediaan air bagi kehidupan warga. Sungai merupakan sumber mata air bagi segala kehidupan yang dibutuhkan bagi kehidupan yang harus dijalani.
Karenanya, musim kering membuat pasokan air bagi warga menjadi terkendala. Dengan berkurangnya air sebagai pasokan warga, tentu saja berpengaruh terhadap kesehatan warga.
Dengan berkurangnya air, membuat pola hidup dan sanitasi menjadi kurang maksimal. Bahkan, kekurangan air bersih juga membuat warga alami berbagai penyakit. Salah satunya adalah muntaber.
Hal ini, tentu perlu penanganan yang baik. Pemerintah melalui dinas dan instansi terkait, mestinya segera mempersiapkan berbagai langkah, untuk mencegah terjadinya korban di masyarakat. Ini harus dilakukan, agar warga yang sudah alami berbagai kesulitan hidup, tak lagi harus menanggung dan mengeluarkan uang dalam jumlah besar, bagi biaya pengobatan yang mereka lakukan.
Selain itu, pemerintah juga harus berupaya dan lakukan pencegahan, agar muntaber tak meluas dan jadi bencana. Dengan cara itu, korban dapat dihindari dan sebisa mungkin, dapat ditekan jumlahnya.
Penangangan yang dilakukan harusnya tak terbatas pada bidang pengobatan saja. Pemerintah harus sedari awal, memberikan berbagai sarana dan sarana yang bisa digunakan warga. Agar, mereka bisa menjalani pola hidup yang lebih baik. Salah satunya dengan fasilitas air bersih.
Kalbar yang memiliki sumber air melimpah, karenanya harus dijaga dengan baik. Sehingga air yang menjadi sumber kehidupan, tidak tercemar dan rusak kualitas airnya.
Ini tentu saja bukan peran pemerintah saja. Semua harus berperan menyelamatkan sumber air baku bagi kehidupan. Sehingga semua bisa hidup lebih layak dan sehat. Dengan hidup sehat, tentu saja berpengaruh pada produktifitas warga. Sehingga berbagai roda ekonomi, sosial, politik, dan lainnya dapat tumbuh dengan baik.
Edisi cetak ada di Borneo Tribune 30 Septemebr 2009
Posted by
Muhlis Suhaeri
at
7:55 AM
0
comments
Labels: Opini
Wednesday, September 16, 2009
Kisruh Ijazah Palsu
Muhlis Suhaeri
Borneo Tribune, PontianakSetiap ada hajatan pemilihan legislatif (Pileg), selalu saja ada kasus ijasah palsu.
Munculnya kasus ini, tentu tidak berdiri sendiri. Ini menyangkut sistem yang melibatkan banyak orang dan institusi.
Ada orang yang terlibat. Ada sekolah atau kampus yang dianggap berperan melegalkan. Atau, ada orang yang memfasilitasi praktek tersebut.
Pendidikan sebagai salah satu syarat keikutsertaan seseorang dalam suatu proses politik, tentu membawa sebuah konsekwensi bahwa, mereka yang tak pernah mengenyam pendidikan secara formal, akan terganjal partisipasi politiknya.
Pendidikan sebagai salah satu syarat ikut partisipasi politik, tentu punya argumentasi tersendiri. Sebab, orang yang akan menjunjung nasib warga, harus memiliki dasar yang baik. Salah satunya tentu saja dari segi pendidikan. Sebab, dengan pendidikan yang baik, akan membuat cara berpikir seseorang, menjadi baik. Itu konsekwensi logis saja.
Bila salah satu syarat itu tak terpenuhi, orang melakukan cara singkat atau potong kompas, untuk atasi tak adanya dokumen atau ijazah, sebagai salah satu syaratnya.
Cara ini dianggap paling gampang. Apalagi dengan buruknya sistem administrasi kependudukan atau pendataan kita. Sehingga orang sulit untuk dicek ulang bila terjadi pelanggaran terjadi.
Ini tentu suatu ironi. Orang yang akan memanggul tanggung jawab sebagai penyambung lidah rakyat, melakukan suatu praktek yang tak mencerminkan prilaku yang patut dan mencerminkan etika, atau moral yang baik. Belum menjabat saja sudah melakukan suatu praktek kecurangan yang sangat mendasar, apalagi bila mereka berkuasa nanti.
Inilah yang selalu terjadi dan terus terjadi. Ijazah palsu menjadi mata rantai yang seakan tak ada putusnya. Sanksi terhadap munculnya kasus ini yang dianggap tak terlalu keras, juga kerap melatarbelakangi orang melakukan praktek pemalsuan ijazah.
Padahal, sanksi terhadap permasalahan ini sangat jelas. Polisi berhak melakukan pemeriksaan. Nah, tentunya harus ada yang melaporkan. Kalaupun sudah ada yang melaporkan, kasus ini masih bisa terus berjalan. Tentunya, polisi yang harus punya kehendak.
Di sanalah hukum berperan. Apakah keadilan memang bisa ditegakkan dengan sebaik-baiknya, atau hanya orang yang punya kuasa dan uang, bisa membeli hukum.
Ini tentu menjadi tantangan tersendiri pada aparat penegak hukum, memperlihatkan sejauhmana kredibilitas mereka di bidangnya.
Pengadilan yang adil dan memenuhi rasa keadilan bagi seluruh masyarakat, tentu menjadi harapan semua warga. Nah, bagaimana kasus ini akan tertangani. Mari kita lihat bersama.
Edisi cetak ada di Borneo Tribune 16 September 2009
Posted by
Muhlis Suhaeri
at
7:43 AM
0
comments
Labels: Opini
Tuesday, September 8, 2009
Bersikap Tegas terhadap Penyebab Asap
Muhlis Suhaeri
Borneo Tribune, PontianakPermasalahan kabut asap selalu terjadi setiap tahun di Kalbar. Pemerintah dan instansi terkait, seolah tidak berkutik dan tak punya solusi, terhadap permasalahan yang kerap terjadi ini. Permasalahan itu selalu terulang setiap tahunnya. Anehnya lagi, pihak-pihak yang terkait, selalu melempar tanggung jawab terhadap permasalahan tersebut.
Permasalahn asap, tidak bisa dipandang sebagai masalah yang berdiri sendiri. Dengan adanya kabut asap, semua sektor bakal terganggu. Orang menurun kemampuan dan kinerjanya, karena berbagai penyakit akibat asap. Seperti, munculnya ISPA, dan lainnya. Anak-anak kecil harus hidup menanggung beban penyakit, karena kualitas udara yang mereka hirup.
Kabut asap juga mengganggu sektor ekonomi. Berbagai jadwal penerbangan bisa saja dibatalkan dan membahayakan, bila kondisi itu terus terjadi. Begitu juga dengan perjalanan darat atau laut. Semua terkait dan beresiko, bila ada kabut asap terjadi di Kalbar.
Akibat penundaan dan perubahan jadwal, tentu merugikan semua pihak. Tidak hanya perusahaan, tapi juga pengguna jasa alat transportasi tersebut.
Dengan adanya kabut asap, berapa kerugian yang harus dialami seluruh masyarakat yang terkena dampak langsung, dari kegiatan segelintir orang ini.
Jangan juga alasan ekonomis, tidak adanya cara mengolah pertanian, menjadi suatu legitimasi bagi orang, untuk melegalkan kegiatan yang mereka lakukan. Juga jangan sampai pihak perusahaan perkebunan, menggunakan kesempatan yang sama, karena pembakaran merupakan cara paling murah dalam melakukan sebuah proses produksi. Tapi berbahaya bagi kesehatan semua orang.
Ini tentu saja perlu perhatian semua pihak. Kalau mau tegas, aparat keamanan juga tidak terlalu sulit mendeteksi dan menentukan, siapa dan wilayah mana terdapat pembakaran hutan dan lahan. Bukankah, semua wilayah tercatat kepemilikannya.
Karenanya, tidak terlalu sulit menentukan dan mengidentifiaksi. Permasalahannya adalah, sejauhmana kemauan dan niat melakukannya. Kita semua tentu setuju dan berharap, ada tindakan tegas aparat secara hukum, terhadap para pembakar hutan dan lahan ini. Sebab, dalam hokum pun sudah jelas sanksinya, bagi para pembakar hutan dan lahan ini.
Karenanya, kita semua sepakat dengan tindakan tegas yang akan dilakukan Polda Kalbar, dalam menyikapi permasalahan ini. Kita juga berharap, hal itu tidak sekedar ungkapan manis dan enak didengar saja.
Prinsipnya, segala tindakan tegas dan bersifat penegakkan hukum, mesti ditegakkan demi berlakunya kesadaran massal semua warga, akan pentingnya saling menjaga dan menghargai kehidupan bersama yang sedang dijalani. Bagaimanapun, cara hukum harus dilakukan, agar ada efek jera pada para pelaku pembakaran hutan dan lahan.
Edisi cetak ada di Borneo Tribune, 8 September 2009
Posted by
Muhlis Suhaeri
at
9:30 AM
0
comments
Labels: Opini
Wednesday, September 2, 2009
Pertambangan Illegal Terus Terjadi
Muhlis Suhaeri
Borneo Tribune, PontianakKerusakan lingkungan akibat pertambangan illegal, seolah tak pernah berhenti dari aktivitasnya. Meskipun pihak keamanan terus melakukan razia secara terus menerus.
Hal itu bisa dilihat dengan masih banyaknya kegiatan yang dilakukan. Kabar terbaru, Kepolisian Kalbar, kembali melakukan operasi terhadap para pelaku pertambangan illegal di Ketapang. Operasi dilakukan, karena kegiatan itu semakin berani dan banyak jumlahnya. Dalam operasinya, polisi tak tanggung-tanggung melakukannya. Sebanyak 100 personil Brimob, dan 40 personil Pol Air diterjunkan lakukan operasi.
Polda bahkan menutup jalan keluar dan masuk lokasi pertambangan dengan mendirikan Poskotis atau Pos Komando Taktis. Tak hanya itu, polisi juga menyekat distribusi BBM yang masuk ke lokasi pertambangan.
Dalam operasi tersebut, polisi juga keluarkan imbauan kepada pekerja tambang maupun masyarakat sekitar, yang terkait pertambangan illegal. Polda mendirikan papan peringatan, yang berisi sanksi, tentang pertambangan illegal di lokasi pertambangan.
Dari operasi yang dilakukan, polisi menangkap 13 tersangka. Menyita barang bukti ratusan mesin. Puluhan ton timah hitam.
Maraknya pertambangan liar, khususnya timah hitam, bukan tanpa sebab. Mahalnya timah hitam juga menjadi penyebab, kegiatan itu semakin massif dilakukan. Apalagi hasil akhirnya, dihargai dengan uang dolar. Semakin lengkap kegiatan itu dilakukan.
Ketapang memang daerah unik. Setelah illegal logging kayu yang melibatkan berbagai unsur aparat, mulai dari kepolisian, kehutanan, cukong, dan warga, kini kegiatan illegal juga merambah ke sektor tambang.
Repotnya lagi, karena massifnya kegiatan, polisi menurunkan aparat dari pusat, Mabes Polri hingga Kepolisian Kalbar, untuk lakukan operasi dan penanganan kegiatan itu. Turunnya aparat dari pusat dan provinsi, tidak akan dilakukan bila permasalahan yang terjadi berskala kecil, dan bisa ditangani tingkat Polres.
Semoga saja, langkah aparat kepolisian melakukan penertiban, juga diiringi dengan penegakan hukum, melalui sidang terhadap para pelaku yang sudah tertangkap. Dalam hal ini, pihak kejaksanaan dan kehakiman, harus melakukan sinergi yang baik. Sehingga kasus itu bisa ditindak dengan tegas, melalui pemberian hukuman yang setimpal pada para pelaku yang sudah tertangkap, dan barang bukti yang sudah menguatkan tindakan illegal tersebut.
Selain itu, semua unsur masyarakat, media, LSM, para akademisi, dan para stakeholder, mesti berikan perhatian pada proses persidangan yang bakal digelar. Agar, ada efek jera bagi para pelaku. Dan, bukan sekedar dagelan hukum, atau kepentingan orang tertentu, bagi kegiatan yang jelas merusak lingkungan tersebut.
Edisi cetak ada di Borneo Tribune, 2 September 2009
Posted by
Muhlis Suhaeri
at
7:32 AM
0
comments
Labels: Opini
Wednesday, August 19, 2009
Korupsi yang Terus Berlanjut
Muhlis Suhaeri
Borneo Tribune, PontianakMasalah korupsi seolah tak ada hentinya di negeri ini. Berbagai praktek korupsi yang merugikan anggaran Negara, semakin menjadi-jadi. Apalagi dengan adanya pelaksanaan otonomi daerah.
Otonomi yang seharusnya menjadi jalan bagi daerah, untuk melakukan percepatan pembangunan dengan kemandirian pembangunan yang dilakukan, nyatanya menjadi kesempatan setiap pejabat di daerah, melakukan berbagai praktek korupsi.
Ditangkapnya para pelaku korupsi oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) di berbagai daerah di Indonesia, nampaknya tak menyurutkan para pelaku, untuk menjarah dan mencari keuntungan pribadi dari setiap wewenang dan kekuasaan yang mereka miliki.
Masuknya para pejabat, mulai dari anggota DPR RI, gubernur, walikota hingga ke tingkat bupati, semakin menunjukkan praktek ini telah merasuk ke berbagai lini dan sektor.
Tak adanya hukum yang membuat efek jera, turut berpengaruh pada para koruptor, untuk terus melaksanakan prakteknya. Padahal, bila efek jera itu bisa dilakukan, dana pembangunan yang seharusnya bisa dikelola bagi kepentingan bersama, bisa diselamatkan.
Kita bisa mengambil contoh yang baik dari Republik Rakyat China (RRC) dalam penanganan masalah korupsi. China menghukum mati dan menyita semua harta para koruptor. Hukuman ini terlihat kejam. Namun, efek dan kerugian yang ditimbulkan oleh korupsi juga menyebabkan kemiskinan struktural dan membuat banyak orang menderita, karena tak bisa melaksanakan berbagai hak dan fasilitas yang seharusnya bisa mereka miliki.
Akibat korupsi, banyak dana hilang. Pemerintah tak bisa membangun berbagai fasilitas pendukung dan infrastruktur. Yang semestinya dapat dibangun dengan baik, karena adanya berbagai kebocoran dana akibat korupsi.
Hal ini membuat daerah tidak bisa maju dalam melaksanakan pembangunan. Efek selanjutnya adalah, kemiskinan massal yang terjadi pada masayrakat, karena sulit melaksanakan berbagai aktivitas sosisl, ekonomi, dan lainnya, akibat minimnya sarana penunjang ini.
Karenanya, menjadi kewajiban bersama bagi setiap masyarakat, aparat hukum, media massa, untuk sama-sama mengawasi setiap pembangunan yang dilakukan. Caranya, dengan melihat secara bersama pembangunan itu. Sebab, bila hal itu tak dilakukan, kebocoran dana akibat koruspi akan terus berlangsung.
Edisi cetak ada di Borneo Tribune, 19 Agustus 2009
Posted by
Muhlis Suhaeri
at
8:49 AM
0
comments
Labels: Opini
Pentingnya Pembangunan Jalan
Posted by
Muhlis Suhaeri
at
8:39 AM
0
comments
Labels: Opini
Wednesday, August 12, 2009
PLN, Monopoli Tanpa Kendali
Muhlis Suhaeri
Borneo Tribune, PontianakSebenarnya amanat Undang-Undang Dasar 1945, yang menyebutkan bahwa, segala sesuatu yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh Negara, dan digunakan sebesar-besarnya bagi kepentingan dan kemakmuran rakyat, merupakan sesuatu yang bijaksana dan pro rakyat.
Tak heran, dalam berbagai pelaksanaannya, segala sesuatu yang berhubungan dengan hajat hidup rakyat, dikuasai oleh Negara. Misalnya, perusahaan tambang, air, listrik, kereta api, telekomunikasi, dan lainnya. Melalui berbagai Badan Usaha Milik Negara (BUMN), Negara menjalankan fungsi pelaksanaan dari berbagai perusahaan tersebut.
Namun, banyak dari perusahaan tersebut, karena tidak terurus dengan managemen yang baik dan karena berbagai praktek korupsi, akhirnya dijual kepada pemodal asing. Alasannya sederhana saja, daripada merugi terus. Bahkan, perusahaan yang dianggap masih sehat dan menguntungkan, juga dijual. Alasannya, si penjual dapat persenan dari perusahaan yang membelinya. Korupsi yang sudah kadung menggurita.
Satu lagi masalah yang hingga kini dialami dan masih terjadi, pada perusahaan-perusahaan Negara adalah, sistem monopoli. Dengan tidak adanya perusahaan lain yang menjadi pesaing, harusnya kepercayaan yang diberikan itu, dipegang dan dijalankan dengan baik. Namun, fakta dan kenyataan yang terjadi di lapangan, perusahaan Negara yang dianggap selalu identik dengan kebobrokan managemen, tak bisa mengubah citra dan performanya.
Salah satu contoh adalah Perusahaan Listrik Negara (PLN). Sebuah perusahaan pemerintah penghasil energi listrik. Di zaman moderen seperti sekarang ini, tak ada kehidupan yang tak ada kaitannya dengan listrik. Semua orang menggunakan listrik.
Dengan logika sederhana, bisa dipastikan perusahaan ini, alami keuntungan yang luar biasa. Tak ada pesaing dan produknya digunakan setiap orang. Mau apalagi. Namanya juga perusahaan tanpa pesaing dan menguasai hajat hidup orang banyak, seharusnya bekerja dengan profesional dalam menjalankan perusahaan.
Namun, seperti juga perusahaan Negara lainnya, salah urus di perusahaan pemerintah, sepertinya tak berhenti sampai sekarang. Ketidakbecusan aparatur, sistem yang korup, membuat perusahaan ini makin terseok-seok, tak bisa menjaga kinerjanya. Alhasil, pelanggan yang paling dirugikan.
Padahal, bila ada pelanggan yang terlambat membayar saja, saluran listriknya bakal diputus. Tapi, bila masyarakat sudah membayar dan memenuhi segala kewajibannya, PLN tak memberikan pasokan energi listrik dengan baik, tak ada sanksi yang diberikan pada perusahaan Negara ini.
Sebuah sistem kerjasama yang sangat timpang dan tidak adil. Memonopoli produk, tapi tak memberikan pelayanan yang baik.
Seharusnya, bila para pimpinan PLN masih punya jiwa dan hati, mereka akan malu dan mengundurkan diri. Tapi, mengharapkan hal itu, bagai pungguk merindukan bulan. Tak bakal terjadi. Sebab, mereka sudah buta hati, nurani dan profesi.
Posted by
Muhlis Suhaeri
at
8:20 AM
0
comments
Labels: Opini
Wednesday, August 5, 2009
Matinya Nurani, Listrik, Air, dan Kabut Asap
Muhlis Suhaeri
Borneo Tribune, PontianakSetiap tahun tiga peristiwa yang sama selalu terulang. Selalu ada listrik mati. Air PDAM payau dan mati, dan kabut asap. Padahal, dalam zaman modern seperti sekarang ini, peralatan apa yang tidak membutuhkan listrik, sebagai energi pengeraknya. Semua orang juga membutuhkan air bagi kelangsungan hidupnya.
Ketika hal-hal itu tidak terpenuhi dengan baik, tentu berakibat pada semua hal. Orang mengalami kerugian, karena tidak bisa berusaha. Kantor tidak bisa beroperasi memberikan pelayanan, karena listrik mati. Atau, sektor pelayanan publik, seperti rumah sakit, mengalami berbagai kendala, karena kurang pasokan energi.
Listrik dan air, juga salah satu yang berperan penting bagi masuknya investor ke Kalbar, selain berbagai syarat lainnya. Karenanya, bila tidak terpenuhi listrik dan air, jangan harap ada investor tertarik masuk dan menanamkan modalnya di Kalbar.
Repotnya lagi, para pihak yang berkepentingan dan bertanggungjawab terhadap permasalahan itu, seperti lepas tangan. Sungguh suatu sikap yang tak bisa ditoleransi. Seharusnya, kalau memang mereka tak sanggup menangani permasalahan itu, harus berani berkata atau mengundurkan diri dari jabatannya.
Kenyataannya, mereka diam seribu bahasa. Tak memberikan suatu penjelasan tentang kondisi yang terjadi. Kalaupun memberikan, hanya sekedar sebuah kamuflase dan menimpakan permasalahan yang terjadi, pada pihak lain. Saling lempar tanggung jawab. Itulah mental pemangku kekuasaan. Hanya mengambil enaknya, tak berani memperjuangkan apa yang jadi tanggung jawabnya.
Hal itu bisa dilihat dari berbagai pernyataan para pejabat di media massa, ketika memberikan sikap menanggapi pertanyaan masyarakat melalui media massa. Lebih kacau lagi, berbagai argumen tak masuk akal diberikan dengan melakukan justifikasi pada provinsi lain, atau pihak lain.
Ini bisa dilihat ketika muncul permasalahan kabut asap. Para pemangku kebijakan hanya saling lempar tanggung jawab dan menyalahkan orang atau institusi lain. Atau, paling parah lagi, hanya berharap pada hujan, agar kabut asap segera berhenti. Suatu penanganan yang sama sekali tidak memberikan perspektif mendidik, atau memang tak mengerti harus berbuat apa, terhadap permasalahan yang dihadapi.
Ini sesuatu yang aneh. Seorang pemangku kebijakan dan bertanggung jawab terhadap masalah yang dihadapi warga, tapi tak bisa memberikan solusi kongkrit. Namun, hanya bersandar pada alam yang akan memberikan hujan, agar kabut asap bisa berkurang atau berhenti.
Mendengar dan melihat cara berpikir pejabat seperti ini, kita seperti dihadapkan pada sebuah kondisi atau zaman beribu tahun sebelumnya. Dimana ilmu pengetahuan belum dimiliki manusia, untuk menyelesaikan permasalahan yang dihadapinya. Atau, memang hati dan nurani mereka sudah mati. Sehingga tak peduli dengan apa yang terjadi. Bila hal itu yang terjadi. Sudah saatnya masyarakat bergerak, menyampaikan tuntutan-tuntutan.
Edisi cetak ada di Borneo Tribune, 5 Agustus 2009
Posted by
Muhlis Suhaeri
at
8:08 AM
0
comments
Labels: Opini
Wednesday, January 7, 2009
Perang Tiada Akhir
Borneo Tribune, Pontianak

Perang menjadi siklus bagi tumbuh dan hilangnya sebuah peradaban. Pemenang perang akan menunjukkan eksistensinya dengan berbagai monumen-monumen baru, yang menjadi simbol bagi bermulanya sebuah peradaban.
Perang Iran dan Irak. Perang Kuwait dan Irak. Perang atas nama minyak dan mengakhiri kekuasaan Saddam yang dilakukan Amerika Serikat. Hingga, perang tiada akhir yang terjadi antara Palestina dan Israel.
Perang apapun itu alasannya, selalu membuat rakyat menderita. Perang tetap saja membuat dua pihak sama-sama menderita. Ibaratnya, menang jadi arang. Kalah jadi abu. Sama-sama merugi.
Perang dalam sejarahnya, selalu bermuara pada kebutuhan, mendapatkan berbagai sumber kehidupan. Air, tanah, dan udara. Kolonialisme, penjajahan model lama, semi modern atau modern, bahkan yang sedang menjadi tren, globalisasi, selalu mensyaratkan tiga hal itu.
Perbedaannya adalah, dulu praktek untuk melakukannya dibatasi oleh wilayah negara. Sekarang tak ada batas negara.
Perang dalam sejarah dan perkembangannya, tak lepas dari proses produksi yang semakin melimpah dan menumpuknya modal. Bila itu terjadi, bisa dipastikan, bakal mensyaratkan perang dalam sebuah proses produksi.
Perang bisa dilindungi dengan banyak wajah, bagi mengalirnya modal yang harus dilakukan. Atas nama mendapatkan bahan baku dan pemasaran sebuah produksi, mencaplok sebuah negara atau wilayah, syah saja dilakukan. Semuanya, tak lepas dari nilai kapital yang menghalalkan berbagai cara, bagi tujuan yang ingin dicapai.
Dalam perkembangan, kebutuhan dasar itu membias dalam wujudnya yang lain. Agama, nasionalisme, demokrasi, HAM, dan terorisme. Ada pembiasan isu.
Pembiasan itu merupakan wujud nyata dari kamuflase untuk mendukung, bagi perang yang sedang atau bakal dilakukan. Sebab, hal itu merupakan cara paling mudah dan bisa diterima, bagi alasan melangsungkan sebuah peperangan.
Perang yang terjadi di Timur Tengah, tak lepas dari proses produksi sebuah negeri yang penuh dengan komoditas minyak ini. Alasan mendapatkan dan menguasai sumber-sumber energi, mewujud melalui tangan raksasa dari berbagai perusahaan dunia, yang ingin menjalankan roda dan penumpukan kapitalnya, bagi proses produksi yang mereka lakukan.
Hasilnya adalah peperangan tiada akhir. Sebab, perang merupakan darah segar, bagi sistem kapitalisme yang sedang kolaps dan sekarat, seperti sekarang ini. Dengan perang, infrastruktur yang hancur bisa diperbaiki. Pasokan energi bagi industri bisa diperoleh kembali. Perusahaan konstruksi bisa mendapatkan proyak-proyek baru. Begitu juga perusahaan-perusahaan farmasi, senjata, pertanian, dan lainnya.
Semua mendapatkan darah segar, bagi peperangan yang baru saja dijalankan. Tak peduli, rakyat atau negara mana yang sedang dikorbankan.□
Edisi 7 Januari 2007
Foto dari Jordantime.com
Posted by
Muhlis Suhaeri
at
1:38 AM
0
comments
Labels: Opini
Wednesday, November 5, 2008
Berharap Perubahan dari Obama
Muhlis Suhaeri
Borneo Tribune, PontianakChange. Demikian singkat dan sederhana kalimat itu. Namun, efeknya sangat luar biasa. Kalimat itulah yang selalu menyertai kampanye yang dilakukan kandidat dari Partai Demokrat di Amerika Serikat (AS), Barack Hussein Obama (47).
Masyarakat di AS sudah jengah dengan berbagai kebijakan George Bush dari Partai Republik, yang cenderung agresor dan membahayakan perdamaian dunia. Perang di Afganistan dan Irak, jadi contoh. Perang itu menguras anggaran pertahanan AS. Ekonomi tak terbangun dengan baik. Akibatnya, muncul krisis dalam pemerintahan George Bush. Puncaknya adalah, krisis finansial atau keuangan yang melibas struktur keuangan di AS. Krisis ini juga menghantam keuangan dunia.
Karenanya, rakyat Amerika ingin perubahan. Ini merupakan syarat utama dalam tatanan sebuah sistem, bila terjadi kejenuhan dan kemandegan. Agaknya, kebutuhan itulah yang dilihat dengan baik oleh Obama. Dan, program serta kampanye yang dilakukan, sesuai dengan apa yang dibutuhkan rakyat AS.
Dalam berbagai jajak pendapat dan pemilihan pendahuluan, Obama lebih unggul dari John Mc Cain. Popularitas Obama tidak sekali jadi. Untuk menjadi kandidat dari Partai Demokrat, ia harus bersaing ketat dengan Hillary Clinton. Senator dari Illinois ini, menunjukkan konsistensi. Meski pada kampanye awal, ia sempat tertinggal. Pelan tapi pasti, akhirnya Obama bisa meraih suara dan menggungguli Hillary.
Pemilihan presiden 2008 di AS, menorehkan sejarah baru di AS. Bila Obama terpilih, ia akan menjadi presiden pertama dari kulit hitam. Begitu juga bila Mc Cain terpilih. Dia akan menjadi presiden tertua dalam sejarah AS. Umurnya 72 tahun. Dari segi partisipasi pemilih, pemilihan ini mencatat rekor tertinggi sejak 1920. Tingkat partisipasi sebesar 73,5 persen.
Di Indonesia, publik tak kalah bergairahnya. Obama pernah tinggal di Indonesia. Ayah tirinya juga dari Indonesia. Keterkaitan sejarah dan psikologi ini, tentu akan berpengaruh terhadap kebijakan luar negeri Amerika terhadap Indonesia, bila Obama terpilih kelak.
Tak hanya itu. Obama juga representasi dari sebuah proses multikulturalisme. Apalagi dengan kondisi sosial masyarakat Amerika, yang dibangun dari beragam budaya dan bangsa. Proses ini tentu bagian penting dari perjalanan sebuah bangsa.
Kini, semua mata tertuju pada pemilihan presiden AS, yang dianggap sebagai barometer dunia dalam proses demokrasi. Semua berharap, hasil yang didapat, bakal membawa proses perubahan yang lebih baik, bagi tatanan dunia.
Harapan itu, ada pada Obama.□
Edisi cetak ada di Borneo Tribune, 5 November 2008
Gambar diambil dari www.creativeriview.co.uk
Posted by
Muhlis Suhaeri
at
2:54 AM
0
comments
Labels: Opini
Sunday, October 26, 2008
Saatnya Membuktikan Janji
Muhlis Suhaeri
Borneo Tribune, PontianakPemilihan Kepada Daerah (Pilkada) di empat kabupaten, baru saja berlangsung. Dua kandidat di Kota Pontianak dan Kabupaten Pontianak, telah diketahui hasilnya. Dua lagi, Kabupaten Kubu Raya dan Sanggau, bakal melangsungkan putaran kedua. Paling lambat bulan Desember, dua daerah itu bakal melangsungkan putaran kedua.
Dari pelaksanaan kampanye yang dilakukan, berbagai janji ditebar para kandidat, untuk menarik simpati para pemilih. Ada pendidikan dan kesehatan gratis, pembangunan infrastruktu, jalan, jembatan, air bersih, peningkatan gaji pegawai dan lain sebagainya. Pokoknya indah, bagus dan enak didengar.
Ada warga yang menanggapi janji itu dengan antusias. Namun, tak sedikit yang abai dan menganggapnya sebagai angin lalu. Bagaimanapun, tebar janji dan program seperti itu, sudah menjadi tradisi dan perilaku politik bagi yang ingin menang dalam sebuah pemilihan.
Lalu, apakah ada apatisme terhadap politik dalam hal ini? Tentu saja tidak. Kesadaran memilih dan menentukan sosok pemimpin lima tahun kedepan, merupakan sikap politik yang sudah dibuktikan. Warga berbondong-bonding datang ke TPS dan mencoblos kertas suara.
Kesadaran memilih dan menentukan tidak sekali jadi. Namun, berangkat dari sebuah proses dan butuh waktu. Kesadaran ini, tidak sekali jadi. Ada proses pendidikan politik. Ada interaksi. Dari berbagai pemberitaan di media massa, orasi para kandidat, dan berbagai informasi lainnya.
Apalagi dengan era yang semakin global seperti sekarang. Informasi bisa diperoleh dengan mudah, cepat dan massal. Karenanya, hampir susah untuk menyembunyikan fakta dan berbagai borok yang ada. Tinggal, bagaimana orang punya keberanian untuk melakukannya.
Dalam hal ini, ada beberapa mekanisme kontrol dan pengawasan yang bisa dilakukan. Tentunya, siapa harus melakukan apa, sesuai kemampuan dan keahliannya. Warga yang mengetahui peristiwa, harus melaporkannya. Aparat hukum yang dilapori, harus memproses laporan dan melakukan tindakan. Awak media yang tahu peristiwa, harus memberitakan dengan berbagai prinsip dan etika jurnalistik yang baik. Bila hal itu bisa dilakukan, berbagai penyimpangan bisa dikurangi sekecil mungkin.
Bagaimanapun, niat melakukan penyimpangan muncul, karena adanya celah dan peluang. Bila semua orang memiliki kepedulian menutup dan menambal celah tersebut, semua orang pasti bisa menikmati hasil pembangunan. Bukan hanya segelintir orang saja.
Karenanya, menjadi kewajiban semua pihak, saling mengawasi dan mengingatkan. Akan pentingnya kelangsungan pembangunan kedepan. Dan, bagi yang sudah berjanji dan menawarkan program dalam kampanyenya, saatnya mengawasi dan melihat praktek dari pelaksanaan janji yang sudah terucap.
Janji merupakan sesuatu yang abstrak. Di Indonesia ini paling banyak agama. Tapi juga paling banyak terjadi korupsi. Terkadang, ketika orang dilantik dengan sumpah Alqur’an, Alkitab, atau apapun di atas kepalanya, hal itu hanya sebuah seremoni saja. Bukan sebuah janji kepada Sang Pencipta, Agama, atau Rakyat yang telah memilihnya.
Karenanya, harus ada mekanisme yang mengontrol dan melihat, bagaimana proses pembangunan dilakukan. Semua harus berperan dalam hal ini. Sehingga pembangunan bisa dinikmati oleh semua warga.
Bagi para kandidat yang terpilih, tentu harus memiliki kesadaran untuk membuktikan janji tersebut. Bila tidak, warga bakal menuntut janji, dan tak bakal memilih pada pemilihan berikutnya. Karena kesadaran warga bukanlah hanya sebatas beras dan sembako. Namun, lebih dari itu. Ada karakter yang mereka nilai dari sosok Sang Kandidat atau Pemimpin.□
Edisi cetak ada di Borneo Tribune, 26 Oktober 2008
Fotografer Muhlis Suhaeri
Posted by
Muhlis Suhaeri
at
3:26 AM
0
comments
Labels: Opini
Wednesday, October 22, 2008
Makanan dan Minuman Bermelamin Masih Beredar
Muhlis Suhaeri
Borneo Tribune, PontianakMasyarakat kembali dikejutkan dengan berbagai penemuan tentang makanan dan minuman yang mengandung bahan berbahaya. Fakta tentang efek dan akibat dari mengkonsumsi makanan ini, seakan dipandang sebelah mata oleh pihak berwenang. Juga bagi mereka yang ingin mendapat keuntungan dari sebuah perdagangan yang dilakukan.
Meski sudah sering beritakan kalangan media massa, makanan dan minuman yang mengandung bahan berbahaya melamin, masih beredar di pasaran. Fakta dan masih ditemukannya biskuit dan susu yang mengandung melamin, membuktikan pihak berwenang tidak tanggap dan mengabaikan keselamatan warga negara.
Padahal, efek dari makanan dan minuman mengandung bahan bermelamin dari China, sudah sangat jelas. Puluhan nyawa bayi di China melayang, dan banyak lagi yang mengalami gagal ginjal.
Ini sebuah permasalahan serius. Karenanya, pihak yang terkait, dalam hal ini pemerintah, harus serius pula menanganinya.
Beredarnya makanan dan minuman bermelamin di Kalimantan Barat, tak lepas dari mudahnya barang itu masuk melalui perbatasan. Kendornya pengawasan di lintas batas ini, menjadi surga paling empuk bagi para pemasok barang.
Tak heran bila di berbagai swalayan besar dan toko kecil di seluruh Kalbar, mudah ditemukan makanan dan minuman produk Malaysia. Kejadian yang sudah lama terjadi tersebut, kembali menemukan gaung dan gugatan dari warga, seiring dengan ditemukannya bahan berbahaya dari produk tersebut.
Lemahnya pengawasan dan pembiaran terhadap berbagai produk tersebut, berakibat pada beberapa hal. Pemerintah tak mendapatkan pemasukan pajak dari barang yang diperdagangkan. Masyarakat juga tak mendapatkan jaminan keselamatan dari produk yang diperjualbelikan. Bagaimanapun, sebuah produk makanan dan minuman, layak dikonsumsi bila sudah lolos dari uji klinis.
Menilik dari permasalahan tersebut, kiranya pemerintah melalui pihak berwenang, harus berbuat tegas dan melakukan tindakan. Agar barang berbahaya tidak bisa masuk ke Kalimantan Barat. Tindakan tegas tentu bisa diambil melalui berbagai razia dan penelusuran di lapangan terhadap produk ini. Pemerintah juga harus kembali mensosialisasikan berbagai produk berbahaya tersebut kepada masyarakat.
Bila tidak, korban yang sudah terjadi, akan terulang kembali. Kita tentu tak ingin, kejadian itu berakibat pada keluarga sendiri. Karenanya, semua harus bekerja sama, untuk menangani hal tersebut.
Bukankah melindungi dan mengamankan warga dari berbagai bahaya makanan dan minuman berbahaya, merupakan tanggung jawab pemerintah. Sebab, pemerintah yang memiliki kekuatan infrastruktur, kebijakan dan personel, untuk melakukannya.
Edisi cetak ada di Borneo Tribune, 22 Oktober 2008
Gambar diambil dari www.fomca.org.my
Posted by
Muhlis Suhaeri
at
3:46 AM
0
comments
Labels: Opini
Friday, December 1, 2006
Sungai Kapuas: Antara Mitos, Kutukan dan Kenyataan
Oleh; Muhlis SuhaeriSiapa orang di Indoensia yang tak kenal sungai Kapuas?
Kalau ada yang mengaku tak kenal sungai Kapuas, aku yakin, nilai pelajaran Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS)-nya, pasti jelek. Bukankah, sejak kita sekolah dasar, guru selalu memberi pertanyaan.
Apa nama sungai paling panjang di Indonesia? Jawabnya; sungai Kapuas. Titik.
Ketika itu, bila menyebut nama sungai Kapuas, selalu muncul bayangan, akan suatu petualangan seru. Menyusuri kelok alur sungai. Singgah di perkampungan. Mengamati pola hidup masyarakat, unik dan sahaja. Atau, malah dikejar-kejar penduduk lokal, karena mengintip gadis-gadis kampung sedang mandi.
Ya, bayangan dan fantasi itu muncul, karena aku begitu menikmati tokoh Tom Sawyer karya Mark Twain. Atau, pengembaraan para tokoh di buku Dr Karl May.
Sungai Kapuas merupakan sungai terpanjang di Indonesia. Sungai itu membentang sepanjang 1086 km dari hulu di Kabupaten Putussibau, hingga Kota Pontianak, Kalimantan Barat. Sungai Kapuas melewati Kabupaten Sintang, Sekadau, Sanggau, Pontianak dan Kota Pontianak. Lebar alur sungai Kapuas sekitar 70-150 meter, dengan kedalaman puluhan meter. Sungai ini, tidak pernah kering sepanjang tahun.
Semua kehidupan di Kalbar, seolah tak lepas dari aliran airnya. Sungai Kapuas menjadi urat nadi. Tak heran, di sepanjang aliran sungai Kapuas, segala yang berbau kehidupan, bakal muncul. Contoh saja, ketika orang Dayak mendirikan rumah betang (rumah panjang). Mereka akan mendirikan rumah di sepanjang aliran sungai. Tujuannya tak lain, memudahkan berbagai aktifitas kehidupan.
Sungai Kapuas menjadi jalur transportasi pengangkutan barang hingga kini. Bahkan, ketika beberapa wilayah kabupaten belum terhubung jalan raya, alur sungai Kapuas sangat penting peranannya. Orang menggunakan alur sungai Kapuas, untuk mengangkut sembilan kebutuhan pokok, hasil kebun, karet, bahkan manusia. Mereka menggunakan perahu motor bandung.
Ini perahu khas. Lebar 4-6 meter dengan panjang belasan meter. Bagian atas perahu menyerupai rumah. Bunyi mesin perahu menggelegar. Berirama ritmis dan konstan. Dung-dung-dung. Itulah yang membuat perahu ini, dinamakan perahu motor bandung.
Ketika RI konfrontasi dengan Malaysia pada tahun 1963, jalur sungai Kapuas begitu penting. Mobilisasi pasukan dari Pontianak ke sepanjang perbatasan, menggunakan perahu motor bandung.
Hingga kini, sungai Kapuas menjadi tempat berlabuh kapal barang dan penumpang dari luar propinsi. Artinya, sungai Kapuas menjadi pintu utama, keluar dan masuknya barang, dan manusia di Kalimantan Barat. Tak hanya itu, sungai Kapuas menjadi air kehidupan bagi masyarakat Kalbar. Masyarakat menggunakan sungai Kapuas untuk air minum, mandi, mengairi sawah dan kebun.
Sungai Kapuas menghidupi segala bentuk kehidupan masyarakat. Tak bisa dibayangkan, seandainya sungai Kapuas, tiba-tiba menghilang. Segala bentuk kehidupan juga bakal terampas.
Orang tidak bisa lagi mendayung sampan, menjual jasa menyeberangi sungai Kapuas. Anak kecil tak lagi berenang dan mandi, barang dan jasa dari luar atau dalam propinsi terhenti, dan Perusahaan Air Minum (PAM) tidak bisa beroperasi, karena tidak ada pasokan air. Apa jadinya?
Bagi aku, sungai Kapuas punya kenangan sendiri. Ini berhubungan dengan mitos dan kutukan. Ada kepercayaan di masyarakat Kalbar, bila orang sudah minum air sungai Kapuas, mereka akan kembali lagi ke Kalbar.
Ketika mendengar cerita ini, aku senyum-senyum saja. Ah, tahyul, kataku. Bagi orang yang telah mempelajari, dan berkutat dengan filsafat Materialisme, Dialektika, dan Historis (MDH), Karl Mark, cerita seperti itu, tentu aku anggap angin lalu saja.
Lalu, apa hubungan sungai Kapuas dengan aku?
Lima belas tahun silam, aku pernah berkeliaran, selama beberapa bulan di Kalbar. Menyambangi kawan. Bergaul di jalanan. Nongkrong di warung kopi. Minum dan mandi di sungai Kapuas. Begadang di tepian alurnya, sambil menikmati air sungai pasang. Pokoknya, tak bisa dipisahkan dengan aliran sungai Kapuas.
Di balik keterbukaan masyarakat, dan sifat kekeluargaannya, ada aura terpendam dan menyimpan bara. Masyarakat tersekat dalam berbagai isu etnis, agama, dan golongan. Alamnya ekstrem dan panas. Sulit mendapat air bersih, karena tanah gambut, dan kadar zat besinya tinggi. Jalan putus di mana-mana. Listrik selalu mati.
Segala konotasi buruk itulah, yang membuatku kembali ke Jawa. Aku ingat betul, sebelum kapal meninggalkan bibir sungai Kapuas, menuju lautan lepas, aku mengeluarkan sebuah kutukan dalam hati, “Aku tak ingin lagi melihat Kalbar.”
Selama belasan tahun, aku melupakan aliran sungai Kapuas. Aku menjalani rutinitas hidup di Jakarta. Tiba-tiba, ada seorang teman mengajak ke Kalbar. Menulis buku. Aku tercenung. Bayangan dan alur sungai Kapuas, kembali hadir. Sebelum pesawat lepas landas dari Cengkareng, aku seolah mencium bau dan aroma sungai Kapuas. Warna airnya. Kuat arusnya. Bonggol kayu terapung yang memenuhi aliran sungai. Ah, ia terlihat begitu dekat.
Menjelang pesawat mendarat, sebuah pemandangan hadir. Nun jauh di bawah, terlihat garis coklat memanjang. Berkelok-kelok tanpa putus di antara warna hijau pudar. Sepanjang sungai Kapuas, hutan telah gundul. Berbagai cabang anak sungainya, membuat sungai Kapuas seperti naga sedang tidur. Yang meletakkan kaki, sungut, dan kepalanya, untuk rehat.
Begitu mendarat, aku langsung bergumam. “Inilah tanah kutukan.” Aku dikutuk. Termakan mitos sungai Kapuas. Barang siapa telah minum air sungai Kapuas, ia akan kembali lagi.
Nyatanya, kutukan berlanjut. Selama hidup hampir setahun di Kalbar, aku harus memutuskan satu perkara. Yang tak pernah kupikirkan sebelumnya. Pernikahan. Kalimat apa itu? Bagiku, pernikahan adalah “kutukan”.
Bagaimana tidak?
Kita dipaksa memahami istri. Keluarga istri. Ayah, ibu, kakak, adik, paman, bibi, atau sederetan nama lainnya. Memaklumi kemauannya. Kesalahannya. Entah apa lagi. Semua itu, tentu menguras energi. Coba tanya, apa devinisi pernikahan pada seribu orang? Niscaya kita akan mendapat seribu jawaban berbeda. Pernikahan, begitu penuh misteri. Ada sesuatu yang harus kita pelajari, tiada henti.
Karena aku merasa telah dikutuk, aku harus bahagia dengan pernikahan ini. Kalau tidak bahagia, aku hanya membuang waktu saja. Begitulah, pikiranku menyikapi arti pernikahan.
Istriku lahir, besar, kuliah, mencari makan untuk hidup, di kota yang dialiri sungai Kapuas. Dalam daging dan aliran darahnya, mengalir denyut sungai Kapuas. Dia juga menjadi saksi dan memberitakan, segala peristiwa yang pernah terjadi di sepanjang sungai Kapuas.
Ya, begitulah. Faktanya, kehidupanku kini, tak lepas dari denyut sungai Kapuas. Sungai yang pernah kukutuk, dan tidak kupercayai mitosnya.
Kini, aku harus meleburkan diri.
Mencari makna mitos dan kutukan sungai Kapuas, dengan kebahagiaan.
Merangkul dan menikmati, setiap aliran dan arus sungai Kapuas, dengan gelegak energi. Memandang dan menikmati tetes demi tetes reguk airnya.
Meski, aliran sungai itu….
telah mengandung merkuri dan berbagai bahan beracun lainnya……
Foto Lukas B. Wijanarko
Posted by
Muhlis Suhaeri
at
9:47 AM
5
comments
Labels: Opini
Monday, September 19, 2005
Politik Identitas dalam Pelaksanaan Pilkada Kalbar
Oleh: Muhlis SuhaeriKepulauan Indonesia yang terdiri dari beragam etnis dan agama ini, sungguh merupakan suatu kekayaan tersendiri. Keanekaragaman budaya menghasilkan berbagai hasil budaya tingkat tinggi, seperti tarian, nyanyian, bangunan bersejarah, dan ciri khas fisik budaya lainnya.
Keanekaragaman itu menghasilkan sebuah identitas tersendiri bagi masyarakat dan wilayah. Dengan adanya identitas, pertalian dan kedekatan seseorang bisa bertambah, atau malah sebaliknya. Identitas bisa muncul melalui kesamaan etnis, ideologi, atau agama. Namun, apa sebenarnya identitas itu sendiri? Kapan ia muncul? Apakah ia bersifat abadi dan laten?
Dalam bukunya, In The Name of Identity, Amin Maalouf, menuliskan, identitas memang sebuah perkara khusus. Umat manusia sendiri tersusun atas perkara-perkara khusus. Hidup hidup adalah pencipta keberbedaan. Tak ada “reproduksi” yang pernah identik. Setiap individu tanpa kecuali memiliki identits campuran. Identitas tersusun dari sejumlah pertalian. Bahwa, identitas itu juga tunggal, sesuatu yang orang alami utuh dan sepenuhnya. Tak heran jika salah satu identitas itu tersenggol, orang akan bereaksi sepenuhnya.
Nah, dalam percaturan politik di negeri ini, masalah identitas kerap dijadikan salah satu cara untuk menjelekkan atau menjatuhkan, lawan politiknya. Masih jelas di ingatan kita, Pemilu 2004, yang lalu. Bagaimana identitas salah satu calon presiden dikritisi dan dibongkar. Katakanlah, presiden SBY. Oleh lawan politiknya, SBY diidentikkan sebagai calon presiden yang tidak agamis. Atau, istrinya, Kristina, juga mendapat pukulan dengan isu yang sama. Kristina dianggap sebagai pemeluk agama Kristen. Toh, akhirnya masyarakat juga tahu, bahwa hal itu hanya sebuah isu. Yang coba dihembuskan, untuk menjatuhkan dan menurunkan kredibilitasnya.
Identitas lahir dan muncul ketika kita lahir. Seorang anak dari bapak Jawa dan Ibu Jawa, maka ia akan menyandang identitas sebagai suku Jawa. Ketika ia lahir dari seorang ayah Tionghoa dan ibu Tionghoa, secara otomatis ia akan mendapatkan identitas sebagai etnis Tionghoa. Nah, ketika seseorang lahir dari ayah dan ibu seorang pemeluk agama Islam, seorang anak akan langsung mendapat identitas sebagai pemeluk agama Islam. Sama juga ketika dia lahir dari pasangan Kristen, secara identitas ia akan menjadi seorang penganut agama Kristen.
Dalam suatu kurun waktu tertentu, identitas juga bisa berubah, dihilangkan atau mengantinya dengan identitas baru. Penghilangan atau perubahan identitas dilakukan, bila suatu identitas dianggap merugikan atau kurang menguntungkan. Ambil contoh saja, ketika terjadi kerusuhan antargolongan di Kalbar, atau Ambon. Ketika menjadi Islam atau menjadi Kristen dianggap membahayakan dirinya, orang akan menanggalkan simbol atau identitas yang ia miliki. Sama halnya, ketika menjadi Dayak, Melayu atau menjadi Madura, dianggap membahayakan, maka orang akan menanggalkan identitasnya.
Nah, bagaimana dengan proses demokrasi seperti pemilihan kepala daerah (Pilkada)?
Sejauhmana isu mengenai identitas itu berkembang atau dilanggengkan?
Dalam setiap Pilkada di wilayah Kalbar, hal pertama yang akan kita dengar adalah, isu mengenai putra daerah. Sejauhmana sang calon pemimpin mempunyai “titisan darah” sebagai putra daerah. Isu mengenai putra daerah muncul, seiring dengan pelaksanaan otonomi daerah. Ada kalimat dalam salah satu pasal yang berbunyi, kepala daerah adalah orang yang mengerti daerahnya. Kalimat itu diterjemahkan secara kasat mata menjadi, orang yang berasal daerah itu.
Apa dan siapa itu putra daerah? Apakah seorang anak yang lahir dari etnis Dayak atau Melayu, otomatis mendapat sebutan sebagai putra daerah Kalbar? Bagaimana kalau ia lahir di Jawa? Apakah masih berhak menyandang sebagai predikat putra daerah? Bagaimana dengan etnis Bugis, Tionghoa, Jawa, Madura, Batak, dan lainnya. Ketika mereka telah beranak pinak di Kalbar hingga 2-3 generasi, tidak berhakkah mereka menyandang predikat sebagai putra daerah Kalbar? Apakah kita harus minta pada Tuhan, supaya dilahirkan dari etnis atau agama tertentu, supaya bisa mencalonkan diri sebagai kandidat pemimpin?
Kekuasaan memang menggiurkan. Dengan kekuasaan orang bisa melakukan apapun untuk mengapai maksud dan tujuannya. Tak heran jika orang melakukan berbagai cara, untuk meraih tangga menuju kekuasaan. Dan satu hal yang perlu dicatat, kekuasaan cenderung korup. Apalagi kalau tidak dikontrol oleh masyarakat. Para politikus atau kandidat pemimpin, seolah sengaja memelihara atau memainkan politik identitas itu, untuk kepentingan politik dan hegemoni kekuasaan.
Nah, seperti kita lihat dalam realitas politik dan Pilkada di Kalbar. Masalah identitas selalu muncul dalam setiap Pilkada. Dengan identitas tertentu, calon kandidat bisa melakukan posisi tawar, untuk menjaring dan mendapatkan dukungan. Orang membubuhkan identitas tertentu pada dirinya. Atau, memainkan isu identitas untuk menarik simpati.
Satu contoh terjadi di Kabupaten Ketapang. Seorang kandidat menghembuskan isu dan identitas agama. Kondisi itu hampir saja memicu konflik antarmasyarakat dan pendukung masing-masing calon. Atau, lihatlah dalam setiap pemilihan bupati. Ketika kandidat calon ketua adalah Islam, maka wakilnya adalah Kristen. Ketika calon ketua Kristen, maka wakilnya adalah Islam. Tak usah bingung mencari contoh. Lihatlah, semua Pilkada yang pernah dilakukan. Polanya sama. Identitas dijadikan posisi tawar dalam suatu Pilkada.
Apakah ini cermin kemunduran dari suatu politik?
Saya tidak mau menghakimi. Namun, rasa-rasanya, peleburan masalah identitas keetnisan atau agama, telah lebur bersamaan dengan ikrar Sumpah Pemuda 1928. Lalu, kenapa politik identitas itu muncul? Sebabnya tentu beragam. Ketidakpercayaan untuk menampilkan potensi dan kemampuan diri, bisa juga dianggap sebagai salah satu sebab, kenapa politik identitas itu muncul. Ketika orang tidak punya kemampuan dan potensi yang diandalkan untuk menjadi figur seorang pemimpin, maka salah satu jalan termudah adalah, menggali salah satu identitasnya. Sehingga bisa dilihat dan mendekatkan dirinya dengan masyarakat.
Ya, itulah cara termudah dan dianggap gampang. Padahal bila pola politik identitas itu terus dikembangkan, kita akan terus terperosok menuju politik purba. Kenapa politik purba? Karena politik itu sudah ketinggalan jaman dan susah membawa kemajuan. Orang terbutakan dengan realitas. Bahwa, kemampuan memimpin, mengelola dan menyejahterakan masyarakat, jauh lebih penting. Daripada hanya sekedar masalah identitas, dan dari mana ia berasal.
Coba lihatlah dalam setiap pemilihan umum di suatu negara?
Para kandidat yang mencalonkan diri, berlomba menawarkan berbagai program dan penanganan masalah yang ada di sekitarnya. Berbagai ideologi dan paham juga merambah dalam memenangkan dan merebut hati simpatinya. Ideologi menjadi senjata paling ampuh untuk memenangkan setiap pertarungan dan wacana. Munculnya berbagai partai yang mengusung ideologi kiri, kanan, liberal, konservatif, dan lainnya, turut mendinamisasikan kehidupan berpolitik suatu bangsa.
Melihat realitas itu, masihkah kita memposisikan masalah identitas sebagai garda depan dari suatu cara untuk memenangkan suatu Pilkada? Tentunya ini menjadi tugas kita bersama. Bahwa, membangun suatu daerah, tidak hanya muncul dari tangan seseorang, yang mempunyai darah “seorang putra daerah”.
Ada banyak syarat lain mesti dimiliki. Salah satunya, bagaimana ia meleburkan dan membuka wacana, tentang identitas itu sendiri. Bukankah pemerintahan sekarang ini, SBY dan JK, sudah begitu terbuka untuk mengenai sebuah identitas, dan membuka kran demokrasi.
Nah, apakah kita masih akan melanggengkan politik identitas? Karena, komunitas manusia manapun, yang merasa dipermalukan atau cemas akan eksistensinya, akan cenderung memproduksi pembunuh.***
Pernah dimuat di rubrik Opini, harian Pontianak Post
Foto Muhlis Suhaeri
Posted by
Muhlis Suhaeri
at
12:11 AM
0
comments
Labels: Opini