Muhlis Suhaeri
Borneo Tribune, Pontianak
Konflik dan peperangan, seolah tak bisa dipisahkan dari wilayah di Timur Tengah. Perang berkepanjangan selalu menorehkan luka, di wilayah tempat diturunkannya para Nabi dan Rasul. Juga, tempat yang menjadi awal dari sebuah peradaban dunia.
Perang menjadi siklus bagi tumbuh dan hilangnya sebuah peradaban. Pemenang perang akan menunjukkan eksistensinya dengan berbagai monumen-monumen baru, yang menjadi simbol bagi bermulanya sebuah peradaban.
Perang Iran dan Irak. Perang Kuwait dan Irak. Perang atas nama minyak dan mengakhiri kekuasaan Saddam yang dilakukan Amerika Serikat. Hingga, perang tiada akhir yang terjadi antara Palestina dan Israel.
Perang apapun itu alasannya, selalu membuat rakyat menderita. Perang tetap saja membuat dua pihak sama-sama menderita. Ibaratnya, menang jadi arang. Kalah jadi abu. Sama-sama merugi.
Perang dalam sejarahnya, selalu bermuara pada kebutuhan, mendapatkan berbagai sumber kehidupan. Air, tanah, dan udara. Kolonialisme, penjajahan model lama, semi modern atau modern, bahkan yang sedang menjadi tren, globalisasi, selalu mensyaratkan tiga hal itu.
Perbedaannya adalah, dulu praktek untuk melakukannya dibatasi oleh wilayah negara. Sekarang tak ada batas negara.
Perang dalam sejarah dan perkembangannya, tak lepas dari proses produksi yang semakin melimpah dan menumpuknya modal. Bila itu terjadi, bisa dipastikan, bakal mensyaratkan perang dalam sebuah proses produksi.
Perang bisa dilindungi dengan banyak wajah, bagi mengalirnya modal yang harus dilakukan. Atas nama mendapatkan bahan baku dan pemasaran sebuah produksi, mencaplok sebuah negara atau wilayah, syah saja dilakukan. Semuanya, tak lepas dari nilai kapital yang menghalalkan berbagai cara, bagi tujuan yang ingin dicapai.
Dalam perkembangan, kebutuhan dasar itu membias dalam wujudnya yang lain. Agama, nasionalisme, demokrasi, HAM, dan terorisme. Ada pembiasan isu.
Pembiasan itu merupakan wujud nyata dari kamuflase untuk mendukung, bagi perang yang sedang atau bakal dilakukan. Sebab, hal itu merupakan cara paling mudah dan bisa diterima, bagi alasan melangsungkan sebuah peperangan.
Perang yang terjadi di Timur Tengah, tak lepas dari proses produksi sebuah negeri yang penuh dengan komoditas minyak ini. Alasan mendapatkan dan menguasai sumber-sumber energi, mewujud melalui tangan raksasa dari berbagai perusahaan dunia, yang ingin menjalankan roda dan penumpukan kapitalnya, bagi proses produksi yang mereka lakukan.
Hasilnya adalah peperangan tiada akhir. Sebab, perang merupakan darah segar, bagi sistem kapitalisme yang sedang kolaps dan sekarat, seperti sekarang ini. Dengan perang, infrastruktur yang hancur bisa diperbaiki. Pasokan energi bagi industri bisa diperoleh kembali. Perusahaan konstruksi bisa mendapatkan proyak-proyek baru. Begitu juga perusahaan-perusahaan farmasi, senjata, pertanian, dan lainnya.
Semua mendapatkan darah segar, bagi peperangan yang baru saja dijalankan. Tak peduli, rakyat atau negara mana yang sedang dikorbankan.□
Edisi 7 Januari 2007
Foto dari Jordantime.com
Borneo Tribune, Pontianak
Konflik dan peperangan, seolah tak bisa dipisahkan dari wilayah di Timur Tengah. Perang berkepanjangan selalu menorehkan luka, di wilayah tempat diturunkannya para Nabi dan Rasul. Juga, tempat yang menjadi awal dari sebuah peradaban dunia.
Perang menjadi siklus bagi tumbuh dan hilangnya sebuah peradaban. Pemenang perang akan menunjukkan eksistensinya dengan berbagai monumen-monumen baru, yang menjadi simbol bagi bermulanya sebuah peradaban.
Perang Iran dan Irak. Perang Kuwait dan Irak. Perang atas nama minyak dan mengakhiri kekuasaan Saddam yang dilakukan Amerika Serikat. Hingga, perang tiada akhir yang terjadi antara Palestina dan Israel.
Perang apapun itu alasannya, selalu membuat rakyat menderita. Perang tetap saja membuat dua pihak sama-sama menderita. Ibaratnya, menang jadi arang. Kalah jadi abu. Sama-sama merugi.
Perang dalam sejarahnya, selalu bermuara pada kebutuhan, mendapatkan berbagai sumber kehidupan. Air, tanah, dan udara. Kolonialisme, penjajahan model lama, semi modern atau modern, bahkan yang sedang menjadi tren, globalisasi, selalu mensyaratkan tiga hal itu.
Perbedaannya adalah, dulu praktek untuk melakukannya dibatasi oleh wilayah negara. Sekarang tak ada batas negara.
Perang dalam sejarah dan perkembangannya, tak lepas dari proses produksi yang semakin melimpah dan menumpuknya modal. Bila itu terjadi, bisa dipastikan, bakal mensyaratkan perang dalam sebuah proses produksi.
Perang bisa dilindungi dengan banyak wajah, bagi mengalirnya modal yang harus dilakukan. Atas nama mendapatkan bahan baku dan pemasaran sebuah produksi, mencaplok sebuah negara atau wilayah, syah saja dilakukan. Semuanya, tak lepas dari nilai kapital yang menghalalkan berbagai cara, bagi tujuan yang ingin dicapai.
Dalam perkembangan, kebutuhan dasar itu membias dalam wujudnya yang lain. Agama, nasionalisme, demokrasi, HAM, dan terorisme. Ada pembiasan isu.
Pembiasan itu merupakan wujud nyata dari kamuflase untuk mendukung, bagi perang yang sedang atau bakal dilakukan. Sebab, hal itu merupakan cara paling mudah dan bisa diterima, bagi alasan melangsungkan sebuah peperangan.
Perang yang terjadi di Timur Tengah, tak lepas dari proses produksi sebuah negeri yang penuh dengan komoditas minyak ini. Alasan mendapatkan dan menguasai sumber-sumber energi, mewujud melalui tangan raksasa dari berbagai perusahaan dunia, yang ingin menjalankan roda dan penumpukan kapitalnya, bagi proses produksi yang mereka lakukan.
Hasilnya adalah peperangan tiada akhir. Sebab, perang merupakan darah segar, bagi sistem kapitalisme yang sedang kolaps dan sekarat, seperti sekarang ini. Dengan perang, infrastruktur yang hancur bisa diperbaiki. Pasokan energi bagi industri bisa diperoleh kembali. Perusahaan konstruksi bisa mendapatkan proyak-proyek baru. Begitu juga perusahaan-perusahaan farmasi, senjata, pertanian, dan lainnya.
Semua mendapatkan darah segar, bagi peperangan yang baru saja dijalankan. Tak peduli, rakyat atau negara mana yang sedang dikorbankan.□
Edisi 7 Januari 2007
Foto dari Jordantime.com
No comments :
Post a Comment