Muhlis Suhaeri
Borneo Tribune, Pontianak
Borneo Tribune, Pontianak
Apa terjadi di dunia ini, terkadang paradok dan bertolak belakang. Ada suka, ada duka. Ada kejujuran, ada kebohongan. Ada perdamaian, ada peperangan. Repotnya lagi, dua kata itu seolah selalu bersanding, bila kita menyebutkan satu kata diantaranya.
Begitu juga dengan pengalamanku. Ada pengalaman yang membuat aku gembira, sekaligus sedih. Begini ceritanya: seorang adik kelas ketika kuliah jurnalistik di Jakarta, tiba-tiba datang ke kantor Borneo Tribune di Pontianak.
Ia kameramen televisi berita nasional di Jakarta. Pagi itu, ia datang bersama reporter perempuan. Setelah bercerita dan bicara banyak tentang profesi kami, ia minta diantarkan ke salah satu narasumber, yang pernah aku wawancara.
Oh, bolehlah, jawabku.
Tak berapa lama, kami sampai di sebuah rumah. Letaknya di sudut jalan. Rumah itu sederhana. Sebagian halamannya, tergenang banjir, bila ada air pasang.
Seorang pemuda keluar rumah. Ia mempersilakan kami masuk. Kami berbincang. Di sudut ruangan, pada sebuah kursi, seorang tua sedang duduk. Ia menyandarkan badan dan kepalanya di kursi. Tangannya selalu bergerak tak teratur. Ia terkena parkinson.
Setelah berbincang-bincang, kami mengemukakan tujuan kedatangan. Begitu mendengar maksud kedatangan, si anak empunya rumah langsung berkata, ”Bukannya tidak boleh wawancara dengan Bapak, tapi kondisi beliau sudah droup,” katanya.
Sejenak, ia melihat ke arah bapaknya yang duduk di kursi.
”Bapak, ini ada orang mau wawancara.”
”Tak ingat. Lupa.”
Yah, kami percaya, ketika melihat kondisinya. Ia sudah sepuh. Tak mungkin mewawancarainya. Kami maklum. ”Sudah enam bulan ini, kondisi bapak droup,” katanya.
Ia bercerita, bahwa ada jurnalis yang setahun lalu, wawancara dengan bapaknya. Ketika itu, kondisi sang bapak masih bagus. Ia juga sedang giat-giatnya ingin bercerita. Banyak hal ingin disampaikan. Pengalamannya segudang. Namanya juga orang tua.
Sang bapak adalah mantan Waasintel Kodam Kodam XII Tanjungpura, pada 1967. Ketika itu, Kodam masih berada di Kalbar. Sekarang, markas Kodam VI ada di Balikpapan. Ia tahu banyak tentang sejarah pergolakan di Kalbar.
Si empunya rumah cerita, sang jurnalis lupa dengan barangnya. ”Tuh, topinya tertinggal di sini,” katanya, sambil menunjuk sebuah topi warna hitam. Topi itu dicantolkan pada sebuah paku. Debu memenuhi permukaan topi.
Aku langsung deg-degan. Jangan-jangan.
Ah, ternyata benar. Topi itu modelnya seperti yang biasa dipakai tentara Mao Tse Tung, dari China. Aku sangat menyukai topi ini. Semenjak kuliah selalu memakai model topi ini. Bukan bermaksud kekiri-kirian, tapi memang menyukai modelnya. Dengan model rambut yang selalu panjang, kalau memakai topi itu, kayak tokoh revolusioner dari Kuba, Che Guevara. Begitulah, pikiranku kalau sedang memakai topi itu. Waakakakakak......
Aku memang pelupa. Sering kehilangan barang. Terutama rokok dan korek api. Padahal, aku perokok aktif. Dan, topi itu, korban dari otak yang selalu pelupa ini. Sering kali istri marah, karena kalau mau berangkat kerja, kunci, atau apapun selalu tertinggal. Kami harus balik lagi ke rumah.
Karena kebiasaan inilah, istri sering senewen. Dan, aku menanggapinya dengan ringan saja. ”Yaaaaa, yang penting tidak lupa sama anak dan istri.”
Tapi, istriku tahu betul, kalau aku selalu ingat setiap kalimat penting, dari orang yang aku wawancara. Misalnya saja wawancara lima orang dalam satu hari. Hasil wawancara sudah jadi dalam bentuk tulisan di kepala. Beserta kalimat pembuka, alur cerita, berbagai kutipannya, dan kalimat penutupnya.
Ketika mengantar adik kelas itulah, aku dapat pengalaman cukup kontadiktif dalam hidupku. Aku senang karena menemukan topi kesayanganku. Tapi, juga sedih, karena tak bisa menggali sumber sejarah untuk Kalbar.
Ironis memang. Topi itu menghubungkan aku dengan sebuah realitas. Seiring dengan berjalannya waktu, makin banyak sumber dan saksi sejarah, bakal hilang. Meninggal termakan usia.
Aku jadi berpikir, bagaimana sejarah Kalbar kedepan, bisa dipelajari para generasi penerus. Ketika semuanya saksi sejarah sudah meninggal.
Di zaman yang serba materialistik seperti sekarang ini, segala pencapaian dan ukuran sukses, hanya dihitung berdasarkan barang apa yang mereka miliki. Orang tidak berpikir tentang sejarah yang menciptakan diri, lingkungan dan kesejatian mereka.
Bah, menyebalkan....□
Edisi cetak ada di Borneo Tribune 18 Januari 2009
No comments :
Post a Comment